Ia tahu sekarang. Orang yang selalu menyerobot parkir sepedanya ternyata dia. Dia yang kini tengah memboncengkannya. Belum juga Alesa benar - benar berhenti, Natasya sudah terjun. Tidak perduli seberapa tinggi motor yang dinaikinya itu. "Aw" pekiknya kemudian. Ia terjerembab. Lutut dan tangannya sempurna mencium paving. Menyadarinya, Alesa langsung turun dari motornya dan langsung menghampiri Natasya.
"Kamu ngapain disini? Jatuh? Makanya kalau naik motor saya, pegangan. Jangan ngeyel. Jatuh juga kan ujung - ujungnya." katanya sambil terkekeh. Ia menjulurkan tangannya. Namun, langsung saja ditepis oleh gadis itu. Natasya mencoba berdiri akan tetapi sepertinya kakinya terkilir. Alesa membantu Natasya membenarkan posisi duduknya.
"Sini saya bantu pijitin." ujarnya sembari mencopot flatshoes hitam polos yang terpasang di kaki jenjang itu. Ia mencoba membenarkan kaki Natasya yang terkilir. Natasya menatap heran Alesa dan langsung memalingkan wajah ketika Alesa menyadari itu.
Alesa melepas tas ranselnya kemudian ia letakkan di atas motornya. Ia jongkok tepat di hadapan Natasya, "Ayo naik! Saya perlu obat oles buat ngobatin kaki kamu. Maaf saya bukan ahli tukang urut."
"Apaan sih?! Dasar modus!" ketus Natasya.
"Saya nggak modus. Saya hanya ingin membantu. Kalau kamu tidak mau nanti kaki kamu bisa bengkak."
Natasya tidak menggubrisnya. "Ya sudah. Kamu tunggu disini dulu. Saya ambilkan obat oles dulu di uks."
"Terserah!" ketusnya.
Setelah Alesa menghilang dari hadapannya, ia langsung mencoba berdiri. Berjalan dengan tertatih - tatih. Tidak perduli jika kakinya sedang sakit.
Sekolah masih terlihat sepi. Baru jam enam lebih sepuluh menit sekarang. Ia harus membuka uks dan membereskannya. Gilirannya untuk bertugas. Ia baru ingat kalau tadi Alesa bilang ingin ke uks. Bahkan uks nya belum ia buka sekarang.
Ketika melewati parkiran sepeda motor, ia mendengar suara motor yang sangat ia kenali. Adit. Ia menghampirinya.
"Dit! Baru berangkat? Sorry gue duluan. Tadi cowok rese jemput gue."
Adit memasang wajah masam dan terlihat tidak perduli. Ia melihat Natasya yang berjalan dengan pincang. Menengok kaki Natasya selama sepersekian detik kemudian berjalan meninggalkannya begitu saja.
"Dit? Lo kenapa sih?" katanya. Ia mencoba mengejar Adit dan malah membuatnya terjatuh. Mendengar pekikan Natasya, Adit menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan. Membantu Natasya berdiri dan berkata, "Lo nggak perlu minta maaf sama gue, Nat! Gue bukan siapa - siapa lo! Lo bebas ngelakuin apa aja! Justru dengan perasaan bersalah lo malah ngebuat gue merasa sakit, Nat! Gue jadi ngerasa menyedihkan di mata lo."
"Maksud lo apa sih, Dit? Lo itu sahabat gue. Siapa bilang lo bukan siapa - siapa gue? Lo sahabat terbaik gue, Dit!" ucap Natasya dengan mata berkaca - kaca.
Adit mendengarnya. Bahkan suara gemetar Natasya sangat terdengar jelas di telinganya. Tetapi ia menolak untuk mendengarnya. Ingin sekali ia berbalik dan segera memeluknya. Ia tidak ingin melihatnya menangis. Apalagi air mata itu jatuh karena ulahnya. Ia telah membentaknya. Dalam sekali bentaknya pun, gadis yang selalu tegar itu bisa menitikkan air mata. Sungguh pasti akan membuatnya menyesal seumur hidup.
-----
Tepat bel istirahat pertama berbunyi, Fian menempelkan sebuah brosur di papan pengumuman. Siswa yang kebetulan lewat pun dengan sigap mengerubunginya.
Brosur yang berisi pemberitahuan tentang acara penggalangan dana itu mampu menarik perhatian. Mereka mulai memperbincangkan hal apa yang akan mereka lakukan. Mengikuti bazar, menampilkan pensi, ataukah keduanya.
Ketika semua sibuk memikirkan acara itu, Natasya malah sibuk melamun di tempat duduknya. Ia berfikir, mengapa kedua sahabatnya, Adit dan Nayla, kini malah membencinya. Bahkan berbicara dengannya pun tidak sudi. Ia belum mengerti sepenuhnya, hal apa yang bisa membuat mereka membencinya. Ia benar - benar tidak paham kesalahan apa yang ia perbuat hingga berdampak semengerikan itu baginya.
Alesa datang dengan tiba - tiba dan duduk di bangku depan Natasya. Natasya tidak terkejut seperti biasanya. Ia hanya meliriknya sekejap. Ia sama sekali tidak perduli dengan kedatangannya. Setelah Alesa meninggalkannya tadi pagi, ia tidak masuk ke dalam kelas. Ia membolos selama 4 jam pelajaran sekaligus. Bahkan ia kini kembali ke hadapan Natasya dengan wajah lebam.
"Maaf saya baru kembali. Tadi setelah saya ke UKS saya malah bertemu preman. Awalnya sih saya biasa aja. Saya tinggal pergi. Eh premannya malah nonjok saya. Ya udah saya balas tonjok. Pas lagi seru - serunya, Pak Polisi dateng. Terus bawa kita ke ruang BK. Saya nggak salah kan ya?" terang Alesa panjang lebar dengan memperagakaannya pula.
"Gue nggak nanya!"
"Saya juga nggak jawab. Saya cuma minta maaf sama ngejelasin alasannya."
"Gue nggak minta penjelasan lo!"
"Memang kamu nggak minta penjelasan saya sekarang. Tapi saya yakin kamu butuh penjelasan saya suatu saat nanti."
"Ngomong apaan sih lo? Nggak jelas!"
"Ehemm.. Berduaan aja? Gue nggak diajak ngobrol - ngobrol gitu?" kata Nayla dengan tertawa lepas. Ia datang bersama Fian.
"Nay?" kata Natasya dengan wajah heran.
"Iya. Gue minta maaf, Sya. Waktu itu gue lagi banyak masalah. Gue kelepasan. Dan malah melampiaskannya ke lo. Padahal masalah gue sama sekali nggak ada hubungannya sama lo. Gue bener - bener minta maaf ya, Sya." terang Nayla dan langsung dijawab oleh Natasya dengan pelukan yang begitu erat.
Fian menghampiri Alesa yang menampakkan wajah kebingungan. "Biasa, masalah cewek." ujarnya kemudian sembari menepuk - nepuk bahu Alesa.
-----
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog