“Mau bareng saya?” tanya Alesa. Membuat Natasya terlonjak kaget. Ia tengah mendorong sepedanya yang lagi - lagi terputus rantainya.
“Nggak!” jawabnya dengan judes. Alesa hanya menganggukkan kepalanya. Tidak ingin memaksanya. Ia menyejajari langkah Natasya.
“Ihh!! Ngapain sih lo ngikutin gue?!”
“Mau saya bantu dorong?”
“Nggak! Mending sekarang lo pulang deh! Daripada bikin gue capek teriak - teriak mulu!”
“Mau saya temenin jalan?”
“Enggakk!! Astaga! Lo punya telinga nggak sih?”
Lagi - lagi Alesa hanya tersenyum. “Yakin nggak mau saya anterin? Setahu saya sih di daerah sana rawan begal.”
“Gue nggak takut!” bohongnya. Ia menelan ludah. Benar juga kata dia. Beberapa meter lagi ia memasuki gang yang gelap. Kalau mau lewat jalan raya, ia harus berjalan lebih jauh lagi. Tidak ada pilihan lain selain, “Ya udah mau!” Ia langsung membelalakkan matanya, “Loh kok cowok tadi malah pergi sih? Dasar tukang berantem, nyebelin-” lagi - lagi Natasya dikejutkan olehnya lagi. Alesa kini telah berdiri di belakangnya sembari menempelkan minuman botol di pipi Natasya.
“Kenapa sih lo hobi banget bikin gue senam jantung?!” ketusnya.
“Apakah itu yang dinamakan cinta?” tanya Alesa dengan memasang wajah sok polos.
“Aish!” umpatnya.
“Gimana? Mau saya temenin pulang?”
“Iya! Tapi jangan salah paham dulu! Ini terpaksa!”
“Iya iya. Saya belum pernah salah paham dengan wanita, sebelumnya.”
“Ihh dasar buaya!”
“Bukan begitu maksud saya. Saya hanya akan salah paham dengan laki - laki. Entah sampai kapan prinsip saya berlaku. Kebetulan saya belum menentukan tanggal kadaluwarsanya.”
“Terserah lo deh!”
“Memang terserah saya. Kan saya tidak menyuruh kamu buat ngelarang saya?”
“Bisa nggak sih bilangnya nggak saya kamu saya kamu!”
“Saya juga nggak tau kenapa saya bilang begitu? Biasanya saya juga bilangnya lo gue sama yang lain.” jawabnya polos sembari mengedikkan bahu.
Natasya menghembuskan nafas kesal. “Gue capek. Kita istirahat dulu deh.”
“Emm oke. Kita ke rooftop aja gimana?”
“Rooftop?”
“Ayo ikut saya!”
Alesa mendorong sepeda Natasya, berjalan beberapa langkah di depan Natasya. Gadis itu menggosok - gosokkan kedua tangannya. Angin malam mulai menyeruak hingga membuatnya kedinginan. Terburu - buru membuatnya tidak sempat membawa sweater tadi. Bahkan ia tidak memakai baju panjang. Hanya memakai short dress bermotif kotak - kotak.
“Sudah sampai. Sepeda kamu ditinggal disini aja ya. Ayo kita naik!”
“Emang nggak papa kalo kita naik?”
“Udah tenang aja, saya udah biasa kok disini. Nggak bakalan ada yang berani marahin saya.”
“Gue berani tuh marahin lo!”
“Kalo itu sih beda konteks. Oh ya, ngomong - ngomong, sepertinya kamu selalu sensi kalau ketemu saya. Ada yang salah sama saya?”
“Banyak!”
“Oh ya? Ada berapa banyak?”
“Tak berhingga.”
“Boleh saya tahu?”
“Tukang berantem, nyebelin, sok kepedean, buaya, dan yang paling penting suka ngagetin!! Datang tak diundang pulang tak diantar, udah kayak jailangkung tau nggak.”
“Hahaha.. Hanya 5 hal kan? Itu sih bukan tak berhingga. Tapi ada yang mau saya klarifikasi. Saya bukan buaya. Saya aja nggak punya pacar sekarang. Bahkan saya juga belum pernah pacaran.”
“Tambah satu hal lagi, tukang tipu.”
“Saya klarifikasi lagi. Saya bukan pembohong. Saya sedang jujur sekarang. Saya juga belum pernah bohong selama berbicara dengan kamu.”
“Mana mungkin cowok kayak lo belum pernah pacaran sama sekali. Itu suatu kebohongan yang klasik. Lo pasti ngomong begitu kan sama setiap cewek di dunia ini?”
“Kamu salah. Bahkan saya jarang sekali mengeluarkan suara saya untuk bicara dengan perempuan. Baru kali ini saya bicara panjang lebar dengan perempuan.”
Semilir angin mulai menusuk hingga ke tulang. Menyebarkan hawa yang tak menentu dinginnya. Mereka berdua duduk dengan memeluk lutut. Menatap bintang - gemintang yang bersinar jauh disana. Melihat hiruk pikuk kota Jakarta dari rooftop. Lampu - lampu terlihat seperti bintang di bawah sana.
----
OSIS masih disibukkan dengan perencanaan kegiatan penggalangan dana. Mereka masih bingung memilih metode mana yang lebih sesuai. Apakah dengan bazar, pensi, ataupun cara lain.
“Gimana nih? Ada yang punya ide?” tanya Fian kepada para anggotanya yang terlihat sedang berpikir keras.
“Gimana kalo kita gabungin metode yang ada aja? Kita ngadain bazar dan pensi. Gue jamin itu bakalan lebih menarik dari pada hanya salah satu metode aja. Gimana?” saran Ali nampak bersemangat.
“Gue setuju!” sahut Fian. Diikuti anggota lainnya.
“Oke. Sekarang kita tinggal nyari tema. Ada yang punya ide?” ucap Ali.
“Kalau nggak usah pake tema aja gimana, Kak? Anggap aja tema nya bebas. Biar kita tu nggak perlu dibatasi dengan tema. Siapa aja boleh gabung, boleh ikut serta. Kita semua peserta. Siapa yang mau tampil di acara pensi diperbolehkan. Bukannya spontanitas itu terkadang lebih bagus hasilnya? Justru kalau kita terlalu banyak konsep, terlalu banyak latihan, yang ada kita itu merasa sedikit terkekang, menambah beban juga karena selain memikirkan tugas - tugas sekolah pastinya juga harus memikirkan kegiatan itu. Selain kita membantu orang lain kita juga bisa have fun kan? Sekalian kita refreshing.” terang Nayla dengan yakin.
“Kalau gitu topiknya, Kebersamaan dalam Kebebasan, gimana?” saran Ali kemudian.
“Boleh juga. Gimana yang lain, setuju nggak? Kalau nggak setuju bilang aja nggak apa - apa, nanti kita bahas lagi bareng.”
Semua pengurus OSIS di ruangan itu mengangguk - anggukkan kepala tanda setuju.
----
"Tasya! Natasya! Ayo turun! Ada temen kamu!" suara khas ibu Natasya sudah memekikkan telinganya. Dengan mata masih menahan kantuk, ia melirik jam berbentuk menara eiffel yang tertempel anggun di dinding. Pukul 05.30. "Sepagi ini Adit udah jemput gue? Kurang kerjaan banget. Nggak tau apa kalau gue masih ngantuk?!" batinnya.
"Natasyaa!!!" suara melengking itu terdengar kembali ketika Natasya ingin memejamkan matanya lagi.
"Iya Bu iya!" sahutnya dengan nada kesal. Dengan rambut yang acak - acakan dan muka bangun tidurnya yang khas ia keluar dari kamarnya. Menuruni tangga kayu menuju ruang depan. Matanya yang tadi masih enggan untuk terbuka kini langsung terbelalak seketika. "Lo lo ngapain disini?!"
Orang yang ditanya malah tertawa melihat penampilan Natasya ketika bangun tidur yang acak - acakan. Natasya dengan terburu kembali naik menuju kamarnya. Ia masih tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang menyebalkan baginya bisa sampai di rumahnya, pagi - pagi pula.
Handphonenya tiba - tiba berdering. 1 pesan masuk.
Saya harus mengantar kamu ke sekolah. Salah saya sudah membuat rantai sepeda kamu putus.
Maksud lo apa?!
Ijinkan saya bertanggung jawab atas kesalahan saya.
Natasya melempar handphonenya ke atas kasur. Mengusap kasar wajahnya. "Percuma ngomong sama orang nyebelin kayak dia!" gerutunya. Ia beranjak menuju kamar mandi.
Mungkin setelah ia bersedia untuk berangkat bersama Alesa, bisa membuatnya terhindar dari orang itu untuk seterusnya. Tetapi dugaannya salah. Setelah itu, malah membuat mereka semakin dekat. Bahkan lebih dekat dibandingkan dia dengan Adit. Yang justru membuat Adit menjadi menjauh darinya entah apa pasalnya. Adit menjadi dingin dengannya. Pertanyaan yang keluar dari mulutnya tidak ada yang digubris. Bahkan satu kata pun tidak ada yang keluar dari mulut Adit untuk seorang Natasya.
Natasya pun tidak peduli dengan sikap Adit yang sekarang. Ia telah merasa nyaman berada di dekat Alesa. Meskipun rasa nyaman itu ia tutupi dengan sikap juteknya.
----
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog