Eriz kebingungan di depan lemari. Hitam semua. Ia melirik ke luar jendela sejenak lalu kembali menatap baju-bajunya dengan hati tak keruan.
Azka mengajaknya ke pertunjukkan kembang api untuk yang terakhir kali karena besok ia dan mamanya berangkat ke Samarinda.
Alarm ponselnya berbunyi dengan volume maksimal. Ia meremas rambutnya dengan kedua tangan, bingung dan panik, membuatnya tidak bisa berpikir baik. Padahal ia hanya perlu memilih satu pakaian dan … selesai.
Ia dan Azka sepakat bertemu jam delapan di depan rumah, tapi lihat sekarang?
“Mampus deh gue.” Eriz menepuk jidatnya ketika melihat jam dinding. Lima belas menit lagi, maka ia terlambat.
Dampak situasi kepepet memang ajaib. Karena buru-buru, Eriz langsung merasa cocok dengan pilihan gaun pertamanya, yang tentu saja berwarna hitam. Ia mematut diri cukup lama di depan cermin, tapi semakin lama, pandangannya berubah kosong.
Waktu rupanya tidak cukup hebat membuat Eriz lupa pada sosok itu. Padahal ia berpikir dengan tidak melihatnya beberapa bulan, jejak kehadirannya segera memudar. Eriz tidak menduga bahwa kehilangannya bisa berefek selama ini. Terus merindu dan berharap bertemu dengannya.
Di atas ranjang, ponsel Eriz berdering. Azka yang menelepon. Eriz menjawab begitu melihat nama cowok itu tertera di layar.
“Lu di mana?” tanya Azka, terburu-buru.
“Ehm, rumah. Kak Azka di mana?” Eriz berjalan ke dekat jendela dan mengintip keluar. Tidak ada orang di depan rumahnya.
“Nelpon siapa lu?” Samar-samar terdengar suara lain. Azka lalu berbicara pada orang itu, menyuruhnya pergi.
Eriz mengernyit. Suara itu sangat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Ginov. Semenjak Azka kuliah, Ginov bergabung dengan Club Sesat. Eriz dengan lapang dada memberinya jabatan Ketua karena mau hidup bebas. Club Sesat perlu pemimpin yang serius, dan Ginov cocok dengan itu.
Lalu jabatan Ketua OSIS yang sempat diperebutkan dulu, berhasil dimenangkan Godar.
“Gue di rumah Ginov. Singgah sebentar ngasih catatan sejarah. Habis dari sini, gue mau jemput elu,” ucap Azka.
Eriz terdiam lama. Moodnya mendadak rusak mendengar Azka menyebut nama mantannya tanpa sungkan.
“Oh.” Hanya itu tanggapan Eriz. Tapi kemudian ia kepikiran sesuatu. “Bilang saja mau ketemu Gina,” ucapnya datar.
Di seberang sana, Azka tersentak kaget. “Heei, Gina nggak ada di rumah.”
“Masa’?”
“Serius, Erizia.” Azka lalu terkekeh. “Oh, ternyata sebesar itu sayang lu ke gue sampai cemburu banget gue dekat-dekat Gina.”
Merasa dijaili, Eriz langsung membantah, “Enggak. Siapa juga yang cemburu. Buang waktu. Kak Azka kalau nggak jadi ke sini, Eriz minta Godar yang jemput.”
“Jadi donggg,” jawab Azka dengan suara yang agak tinggi. “Mentang-mentang Godar jadi Ketos, lu mau dekat-dekat sama dia?”
“Yoi. Mumpung dia jomblo, gue jomblo.”
“Gue nggak ngerestuin kalian!” ucap Azka tegas.
Giliran Eriz yang tertawa. “Kalau ngobrol terus, berangkatnya kapan? Kembang apinya keburu selesai nih.”
Tawa Azka terdengar lagi. “Cie, yang nggak mau melewatkan spesial moment sama gue.”
Tuuut tuuut
Sambungan terputus.
***
Azka menggeleng-geleng sambil menatap layar ponselnya di teras. “Gimana mau dapat pacar kalau digoda-goda sama gue saja sudah kabur.”
“Eriz?”
Ginov muncul di belakang Azka.
Azka memutar tubuh menghadapnya lalu menyunggingkan senyum misterius. “Calon pacar gue.”
“Memangnya dia mau balikan sama lu?” tanya Ginov santai. Tapi matanya berpaling ke arah lain.
Azka mendekat, merangkul Ginov sambil berjalan ke dalam rumah. “Kalau lu nggak berhasil juga tahun ini balikan sama dia, terpaksa gue yang turun tangan.”
Otomatis Ginov menoleh, menatap Azka tanpa berkedip.
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG