Eriz meninggalkan rumah tante Ruwi lebih cepat dari rencananya. Ia menerima pesan dari Yerin, sahabatnya. Pihak sekolah menyuruhnya ke sekolah besok karena izin yang diberikan hanya seminggu. Sementara yang terjadi, Eriz tidak masuk sekolah sudah lebih dari dua minggu.
Eriz diantar supir Tanter Ruwi. Emosinya yang mulai stabil beberapa hari ini, kembali memuncak saat melihat mobil yang terparkir di depan rumah. Itu mobil ayahnya.
Eriz berlari ke dalam rumah, menyeberang cepat dari ruang tamu ke ruang tengah dengan muka tertekuk. Begitu ia sampai di samping Pak Roan, deru napasnya kian kacau. Amarah yang dipendamnya sebulan ini telah mencapai batas, harus dikeluarkan dan Eriz yakin sekaranglah saatnya.
“Selamat, Pa.”
Tapi sial, tatapan memohon dari mamanya saat ini tidak bisa Eriz lawan. Bu Riza yang duduk berhadapan dengan mantan suaminya sudah menegaskan jauh-jauh hari pada Eriz. Tidak boleh ada pertengkaran dalam menghadapi kenyataan sepahit apapun yang menimpa keluarganya.
Jika perceraian adalah jalan yang mereka tempuh, maka mungkin itu yang terbaik.
Eriz tersenyum sepintas pada mamanya lalu menatap sang ayah. Ia hanya berjanji tidak marah pada beliau, bukan diam menerima perlakuannya. Jadi, tak ada salahnya berkata jujur. Selagi orangnya ada di sini.
“Selamat Pa,” ulangnya. “Selamat. Karena sudah bikin Eriz jadi anak paling sial di muka bumi ini. Eriz sial karena jadi anak seorang tukang selingkuh…”
“Eriz, diam!” Bu Riza menegur.
“… Tukang selingkuh yang tega ninggalin istri dan anaknya demi perempuan jala ....”
PLAK
Tamparan barusan membuat wajah Eriz terdorong ke kiri. Perih dari bekas tamparan yang memerah menjalar cepat ke dadanya. Seketika Eriz merasa sangat sesak dan air matanya pun jatuh. Ia memutar kepalanya, menatap dua pasang mata mamanya yang melebar. Kemudian ia menoleh ke Pak Tama dengan senyum tersungging.
“Eriz anggap tamparan ini adalah bukti kalau kita bukan ayah dan anak lagi,” ucapnya lalu berlari ke luar rumah.
Pak Tama mengembuskan napas dengan kasar lalu bertolak pinggang. “Lihat hasil didikanmu. Sudah berani bersikap tidak sopan…”
PLAK
“Benar sekali. Itu hasil didikanku, Mas.” Bu Riza meregangkan jari tangan yang baru saja menampar sang mantan suami. Kemudian ia menenangkan diri dan menunjuk jalan yang dilewati Eriz detik sebelumnya. “Sekarang, pergi dari rumah ini sebelum kupanggilkan polisi.”
***
Eriz menyendiri di perpustakaan kota. Tidak ada tempat lain yang bisa dipikirkannya sekarang. Dompet dan ponselnya yang ada dalam tas, tertinggal di rumah. Biarpun ia mau ke tempat lain, ia tidak punya uang.
Eriz melihat sekeliling. Pandangannya kemudian jatuh pada kursi yang paling dekat dari lemari buku fiksi. Di situlah hubungannya dan Ginov berakhir. Kursi itu adalah saksi utama ketika dirinya diputuskan oleh Ginov.
Berengsek.
Tatapan Eriz menajam seiring lamanya ia menatap kursi itu. Kenapa Ginov meninggalkannya demi Jean? Apa kelebihan cewek itu dibanding dirinya? Eriz bertanya-tanya dalam hati sementara matanya mulai berkaca-kaca.
Eriz memindahkan penglihatannya ke arah jalan masuk perpustakaan. Sewaktu SMP, Eriz benci ke perpustakaan karena orang-orang di sana dilarang ribut. Di jalan masuk itu, Eriz ditarik paksa oleh Eros agar masuk ke perpustakaan. Eriz dapat remedi di dua mata pelajaran, jadi ia dihukum membaca buku selama tiga jam di perpustakaan.
Air mata Eriz menetes, tapi ia buru-buru mengusap pipinya dan menghapus sisa air mata yang tersisa.
Nggak ada kakak, nggak ada pacar, nggak ada ayah, batin Eriz lalu tertawa masam. Menertawai takdir hidupnya yang begitu memilukan.
Dalam beberapa minggu, Eriz ditinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya. Ini lebih dari sekadar cobaan baginya. Di umur belasan tahun, masa remaja Eriz seharusnya menyenangkan.
“Riz.”
Suara lembut itu terdengar bersama tepukan halus di bahu Eriz.
“Kak Azka?” Eriz kaget dengan kemunculan Azka. Ditambah dengan tampilan yang jauh dari kesan rapi. Padahal di sekolah, Azka selalu satu paket dengan ketampanan dan kerapian. Layaknya pemimpin, ia benar-benar memberi contoh yang baik di sekolah.
Azka mengembuskan napas lewat mulut lalu menjatuhkan bokongnya di samping Eriz. “Lu tahu nggak gue ke mana saja nyariin lu?”
Eriz menggeleng.
“Dari Sabang sampai Merauke, Rizzz.” Azka kelihatan capek. Napasnya tidak stabil. “Mama lu nelepon gue dan bilang lu kabur dari rumah. Gue heran, kok lu bisa kabur. Kan lu lagi nginap di rumah Tante lu. Terus mama lu cerita kejadian di rumah lu. Gue panik dan ngira lu berbuat yang aneh-aneh. Sykurlah, lu baik-baik saja.” Ia mengelus dadanya ke bawah sebanyak duakali.
“Ssssstttt,” tegur cewek di depan Azka.
Erzi ketawa sementara Azka minta maaf sudah buat keributan.
Eriz tersenyum sembari menatap Azka lama-lama. “Makasih sudah peduli sama Eriz,” bisiknya.
Azka mendekatkan mulutnya ke telinga Eriz. “Nggak usah berterima kasih segala. Gue ini kakak lu.”
***
“Udah dong belajarnya, Ginovvv. Gue bosan.” Jean merengek di samping Ginov. Cewek itu menyuruh Ginov ke rumahnya untuk ditemani belajar fisika, tapi belum sepuluh menit ia sendiri yang minta berhenti.
Ginov tersenyum sayang lalu menutup buku-buku yang terhampar di depannya. Mereka sedang di ruang tamu. Rumah Jean sangat luas, sayang penghuninya cuma dua. Jean dan seorang pembantu.
“Kalau nggak belajar, kita mau ngapain?” tanya Ginov setelah membereskan bukunya ke dalam tas. Ia sengaja menyiapkan buku itu karena Jean sangat antusias minta diajari.
“Kita ke mall. Gue bosan di rumah. Mau yaaaa.” Jean menggosok-gosokkan kepalanya di lengan Ginov, seperti kucing yang minta makanan sama majikan.
Ginov yang bisa mendadak bego kalau berurusan dengan Jean, langsung menyetujui ajakan cewek itu.
“Ya udah, gue ganti baju dulu.”
“Gue tinggal kalau lu lama,” ancam Ginov dengan nada bercanda. Dan Jean membalasnya dengan juluran lidah sebelum berlari ke dalam rumah.
Oh, manisnya. Pasangan yang menggemaskan.
Awal masa pacaran memang menyenangkan. Pokoknya bahagia terus. Ginov lupa, dulu dia juga seperti itu saat bersama Eriz.
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG