“Oh iya, gimana kabar ibu?” Aku bertanya pada Sri saat kami sedang bersantai ria di kantin. Memang aku memanggil orang tua Sri dengan sebutan ibu dan bapak, begitu sebaliknya. Sri akan memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan bunda dan ayah.
“Udah mendingan kok,” Jawabnya kemudian. Aku mengangguk mengerti.
“Sorry yah, gue belum sempet jengukin ibu,” Kataku menyesal, karena belum menyempatkan diri untuk menjemput ibu. Sri tersenyum.
“Nggak papa, lagian lo nggak perlu dateng. Yang perlu dateng itu buah-buahannya, orangnya nggak dateng juga nggak papa.” Ujarnya dengan senyuman licik. Aku melengos.
“Oh ya, kemaren gue denger dari mas Risky. Kalau dia itu bisa dibilang pemilik kafe.” Tanyaku lagi. “Maksudnya apa sih?”
“Lo belum tahu ya,” Aku menggeleng. “Kafe itu dibangun dan dijalankan berdua oleh mas Evan dan mas Risky. Yah.. kerja sama gitu deh,” Jawab Sri seraya menyeruput es jeruk yang dia pesan tadi. Aku mengangguk-angguk paham.
“Tapi kok mas Ega malah kerja kayak pelayan gitu?” Tanyaku lagi penasaran, kenapa dia harus jadi pelayan kalau tingkatannya aja sama seperti mas Evan. Sri mengangkat bahu.
“Mungkin dia cuma menyalurkan hobi,” Aku cuma mengangkat alis sambil mengaduk-aduk minumanku.
“Padahal bakal lebih nyenengin kalau bos nya adalah mas Risky,” Kataku menerawang. Sri menatapku dengan ekspresi -anak-ini-lagi-kesurupan-rupanya. Yang aku balas dengan tatapan -gue-masih-cukup-waras, yang langsung dimengerti oleh Sri.
“Lo dijemput sama siapa tadi malem?” Tanya Sri.
“Ah.... Sama mas Ega.” Jawabku ragu-ragu. Sri cuma tersenyum kecil sebelum akhirnya dia menyeruput jus jeruknya hingga tandas. Aku nggak yakin apakah harus menceritakan ini, “Dia abis nganterin mbak Nana ke toko buku, baru deh jemput gue,” Akhirnya aku kelepasan, dasar mulut ember. Sri menatapku, aku tersenyum simpul. “Lo nggak papa kan?” Tanyaku kemudian kepada Sri. Dia hanya mengangkat kepala, tatapannya seperti menerawang. Sambil tersenyum kecil, dia mengangguk. Aku masih tidak mengerti atas sikap Sri yang seperti ini. apakah dia benar baik-baik saja atau hanya berpura-pura.
*
Enam bulan lalu...
Malam minggu ini Sri yang datang ke rumah dan akan menginap. Setelah makan malam bersama bunda dan papa, minus mas Ega yang dari tadi sore sudah pergi. Kami sekarang sedang mengobrol di dalam kamarku. Sambil melihat-lihat koleksi seri Detektif Conan-ku, kami bercerita kesana-kemari. Namun, tiba-tiba saja Sri terdiam.
“Gue mau ngomong sesuatu Ra!” Tiba-tiba dia bersuara, aku yang sedang membaca ulang serial Detektif Conan sambil tiduran menoleh ke arahnya yang sudah duduk sambil memeluk bantal dipangkuaanya. Aku terduduk dan meletakkan komikku begitu saja.
“Kok tiba-tiba serius gitu Sri?” Responku merasa aneh dengan sikap tiba-tibanya ini.
“Tapi, sumpah demi apa lo jangan ketawain gue,” Ujarnya lagi dengan menunduk dalam. Aku tersenyum.
“Ya.. Nggak mungkinlah... Kalo gue nggak ngetawain,” Ujarku bercanda, namun respon yang kudapat dari Sri justru kecanggungan. Dia semakin erat memeluk bantalnya. Aku mengerutkan kening. “Ada apa sih Sri? Bikin gue takut aja.” Lanjutku, merasa tak tahan dengan hawa ruangan yang seperti ini.
“Gue.... Suka sama mas Ega,” Sedetik, dua detik aku masih melongo berusaha mencerna kata-kata apa yang diucapkan Sri barusan. “Gue suka sama mas lo Ra! Mas Ega,” Ulangnya yang langsung berhasil membuatku terbatuk-batuk hebat. Sri mendekatiku dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Setelah batukku mereda, aku berusaha menatapnya dengan tatapan –udah-sejak-kapan?
“Udah lama” Jawabnya singkat mengerti arti tatapanku. Kenapa hal ini bisa terjadi sihh?? Aku justru mengacak rambutku frustasi. Sri ysng heran dengan tingkahku mulai menatapku kebingungan. Aku mendekatinya dan menyentuh kedua bahunya, dengan tatapan yang aku sendiri tidak sanggup mendefinisikannya. Sri semakin kebingungan.
“Kenapa lo nggak bilang dari dulu sih?” Kataku kemudian.
“Gue... Masih belum yakin Ra. Dan sekarang gue udah yakin,” Jawabnya dengan raut malu-malu. Dan keyakinan lo sedikit terlambat Sri. Aku semakin merasa gila.
“Gue minta maaf Sri... sebenernya..” Belum aku menyelesaikan kalimatku. Tahu-tahu saja pintu kamarku terbuka lebar-lebar dan menampakkan sesosok yang barusan membuatku gila dan segera ingin mencabik-cabiknya.
“Ra, gue berhasil. Nana nerima gue, thanks ya bunganya. Eh ada Sri.... dah, thanks berat lo.” Setelah berkata-kata seperti itu, dia menutup pintu kamar dan menghilng di balik pintu. Ingin rasanya aku menenggelamkan diri ke lantai kamarku. Sri menatapku nanar, aku bingung harus bagaimana.
“Kenapa lo baru bilang sekarang sih, kalo gue tahu dari awal. Sumpah! Gue nggak akan mau beliin bunga buat dia nembak mbak Nana.” Kataku benar-benar merasa menyesal. Aku menggenggam tangannya. Tahu-tahu saja tanganku merasakan sesuatu yang hangat menetes. Aku tertegun, Sri menunduk dalam. Samar-samar aku mendengar isakannya. Akupun menariknya ke dalam pelukanku. “Kenapa harus mas Ega sih Sri? Gue adiknya, gue tahu bener busuknya dia. Kenapa nggak orang lain, yang lebih baik dari dia.” Kataku berusaha menenangkannya. “Lagian dia itu pemales, nggak cocok sama lo.” Aku masih berkoar-koar masalah kejelekan mas Ega. Sri masih terisak pelan, sementara aku mengelus-elus punggungnya pelan. “Sumpah, gue seneng banget kalo lo yang jadi kakak ipar gue. Tapi sebelum terlambat, gue saranin lo cari cowok yang lain Sri, yang lebih baik buat lo. Sebagai sahabat, gue nggak mau lo terjerumus.” Aku mulai ngelantur. Sri melepaskan diri dari pelukanku. Dia mengusap air matanya dengan telapak tangan. Aku menyodorkan tissu, dia menerimanya dan mulai membersihkan sisa-sisa tangisnya. Setelah selesai, dia menarik napas dalam.
“Tapi dia yang terbaik buat gue Ra.” Aku tertegun. “Yang pemales itu elo, dan sebusuk-busuknya dia, palingan cuma ngerusakin kaset album Bigbang lo.” Oke, aku ketahuan. Tapi mas Ega emang busuk kok. Dan kaset album Bigbang itu, kalau aku ingat masalah tersebut. “Elo malah yang hampir buat dia ganteng tapi pitak,” Aku menelan ludah. Seharusnya waktu itu aku benar-benar menghabisi rambutnya dengan jambakanku. Sayangnya bunda keburu datang dan menghentikan aksi heroikku. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan mas Ega bangun pagi dengan rambut pitak-pitaknya. Dan aku akan tersenyum puas. Hahaha!
“Kok lo jadi belain mas Ega sih? Mentang-mentang....” Kataku kesal karena Sri lebih memilh mas Ega dibanding aku.
“Bukan gue pilih kasih, gue cuma membela yang benar Ra!” Ini yang lebih menyakitkan, jadi maksudnya aku nggak benar? Setelah usaha yang kulakukan untuk menjelek-jelekkan mas Ega untuk menenangkannya, ternyata itu dianggap tidak benar? Oke, tapi dia sudah bisa bercanda, setidaknya dia sudah lumayan baikan.
“Walaupun gue ngaku ke elo lebih cepat. tapi nggak bakal ada yang berubah kan Ra?” Tiba-tiba dia bersuara dengan mata yang masih sembab. “Dia juga bakal nembak mbak Nana, bukan gue.” Aku menatapnya. Sedikit-banyak yang dia katakan memang benar. Karena yang disukai mas Ega itu mbak Nana, bukan Sri. Aku menghela napas panjang. Seenggaknya aku nggak ikut berkontribusi dalam usaha pernyataan cinta mas Ega kan, kalau aku tahu Sri suka sama dia.
“Tapi kalo lo ngaku ke mas Ega lebih cepat Sri.. Gue yakin pasti bakal ada yang berubah.” Kataku masih berusaha menghiburnya.
“Berubah jadi canggung,” Sambarnya. “Dia pasti ngerasa canggung Ra, karena dia udah nganggap gue sebagai adiknya sendiri.” Oke, dia benar. Aku menghela napas berat.
“Tapi seenggaknya, ini belum nikah Sri. Masih ada kesempatan. Lo tahu peribahasa ‘sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan’ tenang aja.” Aku masih belum menyerah. Sri menatapku jengkel, sebelum akhirnya terkekeh. Tahu-tahu saja pintu kamarku terbuka, dan menampakkan seseorang yang sedang menjadi topik pembicaraan kami.
“Hai Sri....” Sapanya hangat. Aku menoleh ke arah Sri, memperhatikan rautnya. Dia tersenyum. Mas Ega mengacungkan bungkusan. “Ini ada martabak, aku baru beli. Mau?” Katanya kemudian masih di ambang pintu. Heh! Siapa yang bakal menolak? Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. “Mau makan bareng?” Ide ini baru ditolak.
“Mimpi aja sana!” Jawabku sambil merebut bungkusan martabak dari tangannya. Mas Ega manyun.
“Padahal aku udah lama loh nggak lihat Sri, apa salahnya sih makan bareng adek-adekku?!” Katanya protes. Aku tertegun, sesaat kemudian aku menoleh ke arah Sri. Dia menunduk. Haishh... Aku mulai frustasi.
“Bodo amat!” Jawabku, dan dibarengi dengan jambakan kuat di kepalanya. Mas Ega mengaduh. “Udah sana! Jangan ganggu malam minggu kami.” Kataku kemudian dengan menutup pintu kamar keras-keras. Terdengar suara protes mas Ega di luar kamar. Sorry mas! Aku lagi nggak peduli sama kamu. Aku berjalan mendekat ke arah Sri. “Tenang Sri, gue udah sampein perasaan lo lewat jambakan maha kuat gue.” Ujarku saat sudah duduk di hadapannya. Sri mengangkat kepala, kukira dia bakal gantian menjambakku karena telah berani menjambak rambut pangerannya. Sebelum akhirnya dia mengacungkan kedua jempolnya dengan senyuman. Yang aku tahu pasti, senyuman itu dipaksakan.
*