Gateway of India, Mumbai.
Arshad berdiri di tengah keramaian. Ingatannya hanya terfokus pada seseorang. Kini ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Selama setahun terakhir, ia selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Meski ia sudah berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan, namun tetap saja ia masih merasa ada kekosongan di relung hatinya.
Terlebih lagi selama setahun belakangan ini, seseorang yang menjadi tamu istimewanya menghilang tanpa kabar. Arshad sudah kehilangan akal untuk bisa menghubungi tamu istimewanya itu. Semua pertemanannya dijejaring sosial telah dihapus. Semua hal yang menjadi penghubung antara dirinya dengan tamu istimewanya itu pun terputus.
Arshad sama sekali tidak tahu apa penyebab dari semua ini. Yang ia tahu saat terakhir kalinya, ia masih sempat berkomunikasi bahkan bersenda gurau hampir selama satu malaman waktu terhabiskan.
Tak ada satu katapun yang bisa melukiskan bagaimana perasaannya sekarang ini. Pikirannya benar-benar kalut. Semua cara telah ia lakukan untuk bisa menghubungi tamu istimewanya itu. Tapi tetap saja hasilnya sama, nihil. Ia hanya tahu saat ini hatinya merasa tersakiti karena kini ia sudah tidak dianggap sama sekali. Hubungan pertemanan yang ia jalani selama hampir empat tahun kini kandas. Kisah pertemanan yang dilalui seperti kisah yang di tulis di atas pasir pantai yang hilang tak berbekas di terpa air laut.
Entah berapa lama Arshad berdiri dengan dikeliling burung merpati yang satu per satu mulai pergi berterbangan, pangan burung ditangannya ikut menjadi saksi bisu. Pikirannya terpecah mendengar suara langkah kaki yang kian mendekatinya. Namun ia tetap diam.
“Ternyata dugaanku benar, kamu memang berada disini,” ucap pemilik suara yang mendekati Arshad.
Arshad tetap saja masih diam seolah tidak menyadari kedatangan Malik di dekatnya. Malik tahu benar karakter Arshad yang sudah cukup lama menjadi temannya. Ia tidak akan bertanya apapun pada Arshad, karena Arshad hanya akan berbicara atas keinginannya sendiri. Malik pun hanya berdiri disamping Arshad dan ikut diam.
Arshad berdeham sedikit keras, lalu berkata, “Apa kedatanganmu kesini juga ingin berdiam diri sepertiku?”
“Kalau kamu tetap diam, aku juga akan ikut diam,” ucap Malik santai.
“Baiklah, aku sudah bicara. Dan sekarang giliranmu yang bicara,” ucap Arshad datar tanpa menoleh ke arah Malik.
“Aku datang kesini hanya untuk memastikan saja. Karena ….”
“Karena mengkhawatirkanku?” tanya Arshad menyela ucapan Malik.
“Ya, siapa lagi yang akan mengkhawatirkan dirimu selain aku disini. Tadi malam kamu tidak pulang dan tentu saja sebagai teman yang baik aku mengkhawatirkan keberadaanmu yang entah dimana,” jelas Malik menatap lurus ke depan. Cukup jelas tersirat kekhawatiran dari nada biacaranya.
Arshad mencoba untuk tersenyum. “Tenang saja. Temanmu ini bukan anak kecil lagi. Tadi malam aku berada di kantor, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Maaf tidak mengabarimu,” ucap Arshad seraya menepuk bahu Malik.
“Tiada maaf bagimu jika ini terulang lagi,” ucap Malik kesal. Malik begitu mencemaskan tingkah Arshad yang selalu berusaha menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya hingga Arshad tidak punya waktu untuk istirahat. Dan ia tahu persis apa penyebabnya.
“Apa ada perkembangan mengenai kabar Karina?” tanya Arshad terus terang dengan penuh harap. Namun, harapan Arshad kembali pudar begitu melihat reaksi Malik yang hanya menggeleng pelan.
“Tapi, aku punya kabar lain untukmu. Mungkin ini cukup penting,” ucap Malik, ia terus berusaha untuk tetap membantu Arshad karena ia tidak ingin Arshad semakin berubah karena putus asa.
“Aku tidak mau kabar lain selain kabar tentang Karina,” sahut Arshad acuh.
“Aku tahu, tapi aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan kabar yang aku bawakan untukmu,” kata Malik dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kabar apa yang kamu bawakan untukku?” tanya Arshad yang akhirnya mengalah.
“Ini, baca saja sendiri diponselku,” sahut Malik seraya memberikan ponselnya pada Arshad.
Arshad telah selesai membaca kabar yang dimuat di salah satu media online. Ia tidak langsung merespon. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu sambil membolak-balikkan ponselnya Malik. Tiba-tiba saja ia teringat akan suatu hal. Ekspresi wajahnya berubah menjadi ceria. Arshad memutar badannya dan kini ia tepat berhadapan dengan Malik. Ia begitu serius menatap Malik sambil memegang kedua bahu Malik dengan tangannya.
“Kamu memang sahabatku yang paling bisa diandalkan. Terima kasih karena kamu telah mengingatkan suatu hal yang sangat penting,” kata Arshad penuh ketulusan.
Malik bingung dengan perubahan sikap Arshad. Namun ia cukup senang melihat kecerian tersirat di raut wajah Arshad. “Mengingatkanmu tentang apa? Aku hanya membawakan kabar untukmu,” tanya Malik penasaran.
“Nanti aku akan beritahukan padamu,” ucap Arshad seraya memukul pelan pipi kiri Malik dengan tangannya dan masih tetap tersenyum.
Malik mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengerti dan sebenarnya ia cukup penasaran tentang hal itu.
“Malik, apa kamu masih menganggapku sebagai sahabatmu?” tanya Arshad dengan raut wajah serius.
Malik membalas tatapan Arshad dengan raut wajah penuh tanda tanya. “Tentu saja. Apa kamu meragukanku?”
“Tentu saja tidak.” Arshad menjawabnya dengan cepat. “Aku hanya ingin memastikan. Kalau memang begitu, apa kamu mau berjanji satu hal padaku?” Arshad kembali bertanya dengan seriusnya pada Malik dan tentu membuat Malik semakin bingung.
Meski masih sedikit bingung, namun Malik mengerti arah pembicaraan Arshad. ‘Sepertinya Arshad ingin meminta satu hal yang penting. Tapi, kira-kira apa ya?’ Malik sibuk bertanya pada dirinya sendiri. “Tentu saja. Inshaallah akan kutepati. Tapi kamu jangan terlalu serius seperti ini.”
Arshad melepaskan tangannya dari bahu Malik. Ia tersenyum puas dan sangat senang. Entah angin apa yang merasuki pikirannya hingga sikapnya berubah 180 derajat jauh berbeda dari sebelumnya. “Karena kamu sudah berjanji, maka kamu harus menuruti keinginanku tanpa banyak bertanya. Bagaimana? Kamu setuju, ‘kan?”
“Ya. Tapi, apa itu?”
“Aku sudah bilang kalau kamu harus menuruti keinginanku tanpa harus bertanya.”
Alis Malik berkerut samar.
“Don’t worry, yaar (Jangan khawatir, teman). Aku tidak akan minta hal yang macam-macam darimu. Apa kamu tidak percaya padaku?”
Malik tertawa kecil. Ia bukan tidak percaya pada Arshad, ia hanya penasaran tentang apa yang ada dipikiran sahabatnya itu sekarang. Malik tidak bisa bertanya apapun pada Arshad. Tapi, ia bisa melihat semangat sahabatnya itu kembali hidup. Sebagai sahabat yang baik, Malik hanya berharap semua akan membaik dan ia akan tetap membantu Arshad.
“Aku pinjam ponselmu dulu. Ponselku lowbat,” pinta Arshad.
“Ya, aku tahu itu. Karena dari tadi ponselmu tidak bisa dihubungi.”
“Dan temani aku makan. Perutku terasa sangat lapar,” ajak Arshad dengan wajah polosnya sambil memegangi perutnya. Mirip seperti anak kecil yang sedang kelaparan dan ingin minta makan sama ibunya.
Malik tak bisa menghentikan tawanya melihat ulah polos sahabatnya itu.
“Jangan menertawakanku seperti itu. Ayolah, kita makan dulu. Aku traktir.”
“Okay.”
“Tapi pakai uangmu dulu. Dompetku tertinggal di mobil dan mobilnya masih terparkir di kantor, hanya ada sedikit uang yang tersisa dikantongku,” ucap Arshad yang menyadari kecerobohannya.
“Arre … Kamaal hai yaar … (Ya, ampun. Kau aneh sekali, teman),” ucap Malik dan melesatkan satu jitakan mendarat di kepala Arshad. Malik pun berlalu dan Arshad mengikuti langkah Malik sambil mengelus kepalanya yang tidaklah sakit.
* * *
Arshad menceritakan keinginannya pada Malik disela-sela waktu sarapan mereka.
“Okay. Aku pasti akan membantumu. Tapi dengan satu syarat,” ucap Malik begitu mengerti maksud keinginan Arshad.
“Syarat? Baiklah, apapun itu syaratnya insya allah aku penuhi,” sahut Arshad tanpa pikir panjang.
“Syaratnya cukup mudah, aku cuma minta kamu harus jawab jujur apapun pertanyaan yang akan kutanyakan padamu. Bagaimana?”
Arshad mengernyitkan dahi. Ia bukan keberatan dengan syarat yang diberikan Malik padanya, tetapi ia hanya berpikir kira-kira pertanyaan apa yang akan ditanyakan oleh Malik padanya.
“Baiklah, insya allah aku akan menjawabnya dengan jujur. Tapi kamu tidak boleh menanyakan hal yang macam-macam padaku,” ucap Arshad memperingatkan Malik.
“Tentu saja,” sahut Malik dengan pasti.
“Ya sudahlah, tanyakan saja padaku.”
“Apa kamu sudah jatuh cinta padanya?”
“Kenapa kamu menanyakan hal itu padaku?” Arshad cukup kaget mendengar pertanyaan dari Malik.
“Aku sudah memintamu untuk menjawab pertanyaanku dengan jujur. Bukan begitu?”
Arshad memandang ke arah luar melihat orang berlalu lalang. Terlihat ia sangat serius sedang memikirkan sesuatu. Beberapa detik kemudian, ia melihat Malik yang kelihatan tidak sabar menunggu jawaban darinya.
“Aku tidak tahu persis dengan apa yang kurasakan. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Yang jelas, aku tahu saat ini aku merasa sangat merindukannya. Tidak mendengar suaranya, tidak membaca pesan darinya, dan tidak melihatnya walaupun hanya melalui Skype, semua itu sudah cukup membuatku tersiksa. Rasanya, seperti ada yang selalu kurang dalam setiap hari-hari yang kulalui semenjak komunikasi yang terjalin diantara kami terputus,” jelas Arshad pada Malik.
“Satu minggu waktu yang kuhabiskan bersamanya terasa sangat cepat berlalu bagiku. Aku ingin waktu yang seminggu itu terulang kembali meski hanya sejenak. Karena jika waktu itu terulang kembali, takkan kubiarkan waktu itu berlalu begitu cepat. Setiap ada pesan masuk, baik itu dari facebook, line, e-mail, aku pikir pesan itu berasal dari Karina. Tetapi apa yang kuharapkan sampai saat ini belum terwujud. Tak ada juga kabar darinya hingga detik ini. Aku merasa kesal dengan diriku sendiri ketika aku menyadari bahwa aku begitu merindukannya. I really miss her.”
“Are you sure about your feel?”
“Yes, I really sure.”
“Kalian tinggal di negara yang berbeda dan lagipula apa kamu sudah bisa memastikan kalau dia punya perasaan yang denganmu?”
“This is not about where I live and where she lives, this is about love. I fall in love with her. I want to meet her and I want to tell her about my feeling.”
Sejenak keduanya terdiam. Malik masih menunggu Arshad yang masih ingin mengatakan pendapatnya.
“Tidak ada perbedaan diantara kami. Dia seperti aku, aku seperti dia. Negerinya seperti negeriku, negeriku seperti negerinya. Kita semua sama.”
“Yes, you’re right.” Malik membenarkan pendapat Arshad.
Ada hening yang kembali tercipta sejenak. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Malik. Ia sepertinya sedang memikirkan suatu hal dengan serius.
“Baiklah, aku bersedia membantu sobat. Aku mendukungmu dan akan selalu bersamamu.”
“Bohat sukriya, yaar (Terima kasih banyak, teman).”
“You’re welcome. Arshad, bagaimana kalau nantinya dia ….”
“Bas (Cukup), I know what do you mean. I’ve already think about that. Yang terpenting bagiku adalah mengatakan kejujuran. Sebuah kejujuran tentang perasaan cintaku padanya. That’s all I really wanna do,” jelas Arshad menyela ucapan Malik.
Arshad sedikit merasa lega karena ia telah menceritakan apa yang dirasakannya kepada sahabatnya, Malik. Dengan begitu, ia yakin bahwa Malik akan siap membantunya dan pasti akan mendukung rencananya. Arshad telah berpikir untuk menjalankan sebuah rencana yang menentukan akhir dari penantiannya.
* * *
Sementara itu di sudut kamar, Arshad sedang duduk di meja kerjanya entah berapa waktu lamanya. Di depannya telah terbentang beberapa laporan kerjanya. Namun tak satu pun dari laporan itu disentuh olehnya. Ia pun kemudian menyalakan laptopnya untuk mengerjakan tugas yang lain.
Begitu layar laptopnya menyala, ia pun tersenyum tipis. Dilihatnya sebuah foto yang menjadi kenangan terindah baginya bersama dengan Karina. Sebuah foto yang mengingatkan kebahagiaan yang tak ingin berlalu begitu saja. Sebuah foto yang berhasil diabadikan oleh Malik saat mereka berada di Taj Mahal.
Tampak dirinya dan Karina sedang bertatapan secara tak sengaja. Kala itu, Arshad tersenyum dengan manisnya menatap Karina yang sangat serius memotret bangunan Taj Mahal dengan menggunakan kamera digitalnya.
Gadis berhijab yang menjadi satu-satunya teman yang ia miliki dari negara lain. Arshad begitu mengagumi sosok yang menjadi tamu istimewanya itu. Kesederhanaannya, kesopanannya dan kelembutan bicaranya membuktikan bahwa Karina tidak hanya memiliki paras yang indah, namun juga memiliki kebaikan hati yang begitu tulus.
Arshad mengurungkan niatnya untuk mengerjakan tugasnya, karena ia tahu saat ini ia tidak akan bisa fokus mengerjakannya. Kini, hati dan pikirannya hanya tertuju pada satu tujuan yang juga menyangkut masa depannya.
Entah sejak kapan rasa ini bermula, aku pun tak tahu. Meski sulit untuk ‘ku lalui. Namun ‘ku tak ingin rasa ini berakhir. Karena aku tidak bisa melupakanmu. Entah bagaimana rasa ini tercipta, aku pun tak pernah tahu. Meski sulit untuk ‘ku lalui. Namun ‘ku akan tetap bertahan. Karena aku tak bisa melupakanmu
Meski ragamu tak dapat kulihat. Namun kenangan tentangmu selalu dapat ‘kurasakan disetiap hariku,bahkan disetiap hembusan nafasku, kamu selalu kurindukan. Aku telah jatuh cinta padamu. Tamu istimewaku