Entah berapa jam Karina telah berada di alam bawah sadarnya. Begitu ia membuka matanya, dilihatnya jam yang sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Ia pun segera bangun dan mencuci muka lalu bergegas mandi.
Karina membereskan barang-barangnya yang sempat terabaikan. Ia baru sadar, kalau ponsel yang berada dalam tasnya belum tersentuh sama sekali. Begitu selesai merapikannya, ia pun kemudian menghidupkan ponselnya yang sejak tadi dalam keadaan turn off .
Berselang beberapa menit setelah ponselnya dalam keadaan turn on, bunyi dan getar dari ponselnya pun saling bersahutan. Dilihatnya ada belasan pesan yang masuk, baik dari facebook dan WhatsApp. Dan semuanya berasal dari satu sumber yang sama, Arshad. Karina jadi sedikit merasa bersalah karena ia tidak langsung memberikan kabar pada Arshad setibanya di Indonesia. Padahal, Arshad sudah berpesan padanya untuk segera memberikan kabar. Karina segera mengirimkannya melalui facebook begitu selesai mengetiknya.
Ada sesuatu hal yang membuat keduanya tidak melanjutkan percakapan. Entah apa itu, keduanya pun tidak ada yang tahu. Hanya satu hal yang mereka tahu, bahwa kini, keduanya harus terbiasa lagi kembali seperti awal. Seperti saat pertama kali mereka berkenalan. Hanya dunia maya ini yang menjadi perantara komunikasi yang terjalin diantara keduanya.
* * *
Hari demi hari telah berlalu. Kini sudah hampir dua minggu Karina kembali menjalani aktivitas biasanya sekembalinya dari India. Komunikasi yang terjalin antara Karina dan Arshad masih berjalan dengan baik.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Karina menerima pesan melalui facebook dari Arshad yang menyatakan keinginannya untuk berbicara dengan Karina melalui Skype. Takut kalau nantinya Karina menolak membuat Arshad kecewa, akhirnya Karina bersedia juga dan membuka laptopnya untuk menyalakan aplikasi Skype.
Beberapa menit kemudian setelah menyalakan laptopnya, wajah sang pemuda India pun telah muncul dari balik layar laptop. Wajah yang tetap sama seperti yang pernah dilihat secara langsung oleh Karina beberapa minggu yang lalu. Hanya saja tidak terlalu bersih karena ditumbuhi sedikit cambang yang menghiasi wajahnya.
“Assalamu’alaikum.” Arshad memberi salam dengan mengangkat tangannya seperti biasa.
“Wa’alaikumsalam.” Karina pun menjawab salam dari Arshad dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Arshad.
“Semenjak kepulanganmu dari India, ini adalah perbincangan pertama kita melalui Skype.” Arshad memulai pembicaraan.
“Ya, kamu benar,” ucap Karina singkat.
“Oh ya, sebenarnya aku ingin menanyakan satu hal padamu dan aku ingin menanyakannya secara langsung, seperti ini.”
“Apa yang ini kamu tanyakan padaku?”
“Sebenarnya, aku cuma ingin bertanya apakah kamu sudah membuka hadiah yang aku berikan padamu?” tanya Arshad sedikit terbata-bata.
Dari balik layar, Arshad melihat Karina mengernyitkan dahi.
“Oh ….”
Arshad jadi bingung dengan ucapan singkat dari Karina. “Kenapa kamu cuma mengatakan ‘oh’ saja?”
“Ya, maksudnya aku belum membukanya,” ucap Karina sambil tersenyum.
“Aisa kyon? (Kenapa begitu?)” tanya Arshad dengan nada sedikit kecewa.
“Jangan kecewa dulu. Kamu ingat ‘kan aku pernah mengucapkan terima kasih padamu beberapa hari yang lalu atas pemberian hadiah itu?”
Arshad mengangguk. “Aku pikir saat itu kamu sudah membukanya.”
“Aku memang sudah membukanya, tapi tidak semuanya.”
“Maksud kamu?”
Ada jeda sesaat. Karina teringat saat ia membuka hadiah itu. Dengan perasaan semangat bercampur penasaran, ia pun membuka kertas hadiah berwarna putih dengan motif pita berwarna merah muda yang terbungkus rapi itu.
Membuka kotaknya dan ia pun melihat ada kotak lagi di dalamnya. Kotak yang terbungkus kertas hadiah berwarna hijau toska dengan motif yang Karina tidak tahu persis motif apa itu. Kotak itu berukuran sedikit lebih kecil dari ukuran kotak pertama yang telah dibuka sebelumnya.
Karina semakin bertambah penasaran dengan isi yang ada di dalam kotak kedua tersebut. Sebelum membukanya, ia mengguncangkan pelan kotaknya. Tidak ada suara. Sepertinya ada kotak lagi di dalamnya. Ia kesal juga dengan tingkah Arshad yang begitu jahil ini. Dan benar, setelah kotak kedua dibuka ada kotak berukuran sedikit lebih kecil dari kotak sebelumnya. Tentu saja Karina tidak mau membukanya lagi.
Mungkin kalau nanti mood nya kembali bagus dan ia penasaran dengan isi dari hadiahnya, ia akan membukanya kembali. Tetapi sekarang, rasa penasarannya hilang digantikan dengan rasa kesal karena ia pikir Arshad berhasil menjalankan misi jahilnya.
“Hei, kenapa diam saja?”
Suara Arshad dari balik layar laptop menyadarkan Karina dari ingatannya. “Arshad, aku hanya membuka dua kotak sebelumnya. Begitu aku lihat berisi kotak lagi di dalamnya, aku tidak jadi membukanya.”
“Apa kamu tidak penasaran dengan isi di dalamnya?”
“Penasaran sih, tetapi aku sangat suka dengan kertas hadiahnya. Warna biru langit kesukaanku ditambah dengan motif awan yang lucu. Aku tidak tega merusaknya. Jadi, aku biarkan saja begitu.” Ia tidak menceritakan kalau ia sudah terlanjur kesal dengan ulah jahilnya Arshad. Namun, ia juga berkata jujur kalau ia memang sangat menyukai kertas hadiahnya.
“Aku tidak percaya kalau kamu belum membuka semuanya.”
“Kalau begitu tunggu sebentar, ya. Akan kutunjukkan padamu,” kata Karina yang kemudian berdiri meninggalkan Arshad yang berada di balik layar. Ia membuka lemarinya dan mengambil hadiahnya.
“Lihat ini,” ucap Karina dari balik hadiah yang menutupi wajahnya. Ia sengaja melakukannya agar Arshad bisa melihatnya dengan jelas. Karina kemudian meletakkan hadiah itu di samping laptopnya.
“Bisa kamu lihat sendiri ‘kan kalau hadiahnya masih belum kubuka?” tanya Karina memastikan apakah Arshad sudah benar-benar melihatnya.
‘Sudah kuduga kamu akan melakukannya,’ batin Arshad dalam hati.
“Hei, kenapa senyum-senyum sendiri seperti itu?” tanya Karina yang tidak mengerti dengan sikap Arshad.
‘Tadi dia kecewa karena aku belum membukanya, tapi kenapa sekarang dia malah tersenyum, ya?’ Karina sibuk bertanya-tanya sendiri dalam pikirannya.
“Koi baat nahin (Tidak ada apa-apa). Kalau begitu, bagaimana kalau kamu membuka hadiahnya sekarang?”
“Aku tidak mau.”
“Ayolah, kamu mau membuat teman India kamu yang paling tampan ini kecewa lagi, begitu ya,” gumam Arshad dengan senyum jahilnya.
Karina tertawa geli mendengar perkataan Arshad. Temannya yang satu ini benar-benar satu-satunya teman ternarsis yang ia miliki, tentunya selain Malik juga.
“Kalau aku tetap tidak mau bagaimana?” Karina tetap bersikeras dengan sikapnya. Sebenarnya, ia hanya menguji Arshad. Entah apalagi yang akan dikatakan Arshad untuk membujuknya.
“Kalau kamu tetap tidak mau membukanya sekarang, itu berarti kamu sudah tidak menghargai aku lagi sebagai teman kamu. It’s okay. Fine.” Arshad mengguratkan ekspresi wajah serius yang terkesan sungguhan.
Bukannya kalimat bujukan yang dikatakan oleh Arshad seperti yang diharapkan Karina. Tetapi malah Arshad yang tidak mau mengalah.
“Baiklah, akan kubuka hadiahnya sekarang juga. Tapi ini memang kotak yang terakhir, ‘kan?” tanya Karina memastikan.
“Ya, tentu saja. Kamu boleh melakukan apapun padaku jika itu bukan kotak yang terakhir. Aku bisa pastikan kamu tidak akan menyesal membukanya setelah melihat isinya. Kulo na (Bukalah).” Arshad kembali tersenyum.
Karina pun akhirnya membuka hadiahnya dengan sangat pelan dan hati-hati. Ia tidak ingin kertas hadiahnya robek sedikitpun. Bagaimanapun, ia ingin kertas ini tidak terlalu sobek karena ia sangat menyukai kertas hadiahnya.
Arshad memerhatikan layar laptopnya hanya dengan sesekali berkedip, sepertinya ia tidak ingin melewatkan momen seperti ini. Momen dimana saat melihat ekspresi penasaran dari wajah Karina.
Tiba-tiba saja ia tersadar dari pikirannya. ‘Karina yang akan membuka hadiahnya, lalu kenapa juga jantungku yang jadi berdebar keras seperti ini?’ tanya Arshad dalam pikirannya sendiri.
‘Aduh, kenapa juga ya aku harus membukanya sekarang, di depan pemberinya langsung lagi. Aku tidak mau kalau dia melihat ekspresi wajahku yang penasaran seperti ini. Untung saja masih ada laptop ini yang menjadi perantara,’ gerutu Karina dalam hati.
Begitu kertas hadiahnya telah selesai dibuka, Karina pun kemudian langsung membuka kotaknya. Dan isi dari dalam kotak itu membuat Karina sedikit terkejut, untungnya ia bisa menutupi ekspresi terkejutnya itu. Tetapi, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.
“Sepertinya aku tahu nama benda ini,” gumam Karina.
“Kalau begitu, apa namanya?”
“Salwar Kameez. Hai na (Benarkan)?”
“Yes, you’re right.”
Karina mengambil Salwar Kameez dari dalam kotak, dan ia pun membentangkannya. Bajunya terlihat indah. Pakaian berbahan Poly Crepe ini berwarna dasar biru muda dengan tambahan motif berwarna putih yang sedikit menambah keindahan baju tersebut. Selendang dan celananya berwarna putih. Benar-benar perpaduan yang cocok dan terlihat stylist.
“Do you like it?” tanya Arshad setelah melihat Karina merapikan kembali Salwar Kameez pemberiannya.
“Memang aku punya alasan untuk tidak menyukainya? Selain bagus, aku sangat menyukai perpaduan warnanya. Lagi-lagi, kamu memilih warna kesukaanku. Kalau aku boleh tahu, siapa yang memilihkan baju ini?”
Arshad tersenyum mendengar pertanyaan dari Karina. “Siapa lagi yang memilihkannya kalau bukan aku sendiri.” Arshad berkata dengan percaya dirinya.
“Benarkah itu?” tanya Karina seakan tidak percaya.
Arshad menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sebenarnya, aku meminta kakak sepupuku untuk membantuku mencarikan Salwar Kameez yang bagus karena aku tahu dia lebih pintar dariku soal pakaian itu. Dia memberikanku dua pilihan baju dengan motif dan warna yang berbeda. Lalu aku memilih yang itu karena aku pikir kamu pasti suka dengan warnanya. Jadi intinya tetap aku yang memilih bajunya, bukan?”
“Ya, harus kuakui pilihanmu bagus dan aku menyukainya,” gumam Karina seraya tersenyum. Ia pun meletakkan kembali hadiahnya. Tetapi sebelum itu, ia melihat ada sebuah kotak kecil berwarna merah muda lagi di dalamnya. Ia pun mengeluarkan kotak kecil tersebut dan mengarahkannya ke arah Arshad yang melihatnya dari balik layar laptop.
“Kulo na (Bukalah),” ucap Arshad yang seakan-akan mengerti dengan maksud Karina.
Karina pun membuka kotak kecil tersebut dan kali ini ia juga sangat terkejut dengan isi di dalamnya. Ia tidak percaya kalau benda yang sangat ingin dibelinya kini berada di tangannya.
“Ini untukku?” tanya Karina masih tidak percaya kalau benda yang berada di tangannya akan menjadi miliknya.
“Haan, sirf tere liye (Ya, hanya untukmu).”
Sebuah Snow Globe Taj Mahal yang sangat ingin ia beli sewaktu berada di India. Sebenarnya, saat membeli oleh-oleh miniatur Taj Mahal untuk Kak Ratna dan tante Ratih, Karina juga ingin membeli satu Snow Globe untuk dirinya. Tapi karena harganya sedikit lebih mahal, ia mengurungkan niatnya dan memilih membeli miniatur yang sama seperti yang dibelikannya untuk oleh-oleh.
“Arshad, apa yang harus aku lakukan untuk membalas pemberianmu selain ucapan terima kasih dariku?” tanya Karina yang tidak tahu harus bagaimana untuk membalas pemberian dari Arshad yang cukup berarti baginya.
“Tidak perlu membalas apapun. Aku sudah pernah bilang sebelumnya padamu kalau kamu adalah tamu istimewaku. Jadi pemberian dariku juga harus istimewa,” ucap Arshad sambil tersenyum.
“Bohat sukriya, yaar (Terima kasih banyak, teman). Kalau suatu saat kamu berkunjung ke Indonesia, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang telah kamu lakukan untukku.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Mungkin aku akan datang berkunjung ke sana untuk memastikannya.”
Keheningan kembali tercipta. Hal ini cukup sering terjadi ketika keduanya sedang berpikir sesuatu atau ketika keduanya bingung dengan topik apalagi yang akan dibicarakan.
“Karin, aku sengaja memberikan Snow Globe Taj Mahal itu untukmu. Agar ketika kamu memandang miniatur Taj Mahal yang berada di dalamnya, kamu akan teringat padaku,” gumam Arshad pelan dengan bahasa Hindi.
Karina yang tadinya memandangi Snow Globe Taj Mahal itu pun mengalihkan pandangannya ke layar laptop setelah mendengar Arshad berkata sesuatu. “Excuse me, apa tadi kamu mengatakan sesuatu padaku?” tanya Karina pada Arshad yang menurutnya seperti sedang melamunkan sesuatu.
“Nothing.”Arshad tersadar bahwa ucapannya tadi terdengar juga oleh Karina dan ia merasa bersyukur Karina tidak terlalu mendengar ucapannya.
Cukup lama Arshad memperhatikan Karina yang sedang sibuk memandangi Snow Globe Taj Mahal itu. Arshad merasa sangat bahagia karena ia tahu kalau Karina sangat menyukai pemberiannya. Tidak ada maksud apapun dibalik pemberiannya itu. Ia tulus memberikannya sebagai ungkapan terima kasihnya atas kekaguman Karina terhadap negerinya.
Arshad juga beranggapan bahwa hanya Karina satu-satunya orang asing yang telah menjadi teman baiknya. Dan ia takkan pernah membiarkan hubungan pertemanan diantara mereka berakhir.
“Ehmmm …,” Arshad berdehem memberikan isyarat. “Apa kamu akan terus memandangi Snow Globe Taj Mahal itu dan membiarkan teman tampanmu ini hanya berdiam saja menatapmu dari balik layar laptop ini?”
Ucapan Arshad itu membuat Karina sedikit merasa bersalah karena sudah membuat Arshad seperti patung. Karina hanya tertawa geli mendengar ucapan Arshad yang menyinggung dirinya, apalagi Arshad tetap tidak melewatkan pujian terhadap dirinya sendiri. Tanpa ada yang memerintah, Arshad pun ikut tertawa melihat Karina tertawa karenanya.
* * *
Beberapa minggu waktu telah berjalan, komunikasi antara Karina dan Arshad perlahan mulai menghilang. Karina kini sibuk dengan pekerjaan barunya yang membuatnya berpaling dari kesibukannya di sosmed bahkan ia sudah tidak lagi log in di semua akun sosmednya. Ditambah lagi tidak ada kabar dari Arshad baik dari akun sosmed Karina.
Meski Karina menyadari adanya sesuatu yang berbeda yang terjadi dalam dirinya, namun ia selalu menutupi hal tersebut dengan kesibukannya. Terkadang ia juga berpikir mungkin Arshad disana sama sibuknya dengan dirinya sekarang ini hingga tak ada satupun kabar dari Arshad, bahkan Maya pernah bilang bahwa dia tidak pernah lagi membaca status Arshad ataupun melihat Arshad mengganti foto profilnya.
Sempat terpikir oleh Karina untuk menanyakan kabar Arshad, namun pikirannya mengendalikan dirinya untuk tidak menanyakan kabar lebih dahulu.
‘Kenapa aku harus sibuk memikirkan Arshad yang tidak memberikan kabarnya lagi padaku? Aku tidak seharusnya memikirkan hal itu. Mungkin saja ia memang sedang sibuk dan aku tidak perlu menganggunya. Lagipula, aku yakin Arshad akan memberikan kabar kalau ia nantinya punya waktu senggang.’ Karina berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Karina selalu saja disibukkan dengan pekerjaannya yang hampir tiap minggu dikejar deadline. Ia tidak bisa menyerah dan bermalas-malasan karena ini adalah pekerjaan pertamanya dan pekerjaan yang disukainya.
Satu hal yang sampai detik ini selalu menganggu pikiran Karina yang membuatnya merasa ada sesuatu yang kurang dalam kesehariannya. Berulang kali ia telah mencoba untuk tidak memikirkannya dan menganggap hal itu adalah faktor kelelahan yang dirasakannya.
* * *
Karina kini telah lama berbaring di tempat tidurnya. Dilihatnya jam dinding yang berdetak menunjukkan pukul satu malam. Sudah selarut ini matanya belum juga bisa terpejam. Suasana keheningan malam menemaninya menatap langit-langit kamarnya. Sudah hampir dua jam ia mencari posisi tidur yang pas agar ia bisa memejamkan matanya, namun tetap saja matanya terasa seperti ada yang mengganjal.
Karina menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan kesal. “Kenapa hampir disetiap malam belakangan ini dimimpiku selalu ada dia?” tanyanya pada dirinya sendiri.
“Arrrgghhh… Tidak… Tidak…Tidak,” ucapnya dengan kesal sambil mengusap-usap wajahnya dengan kedua tangannya.
“Ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin aku bisa memimpikannya di dalam tidurku?” Karina berbaring ke kanan dan memeluk erat gulingnya.
* * *
Kala rindu menyapa
Pantaskah hati ini merindu pada hati yang tak dimiliki?
Haruskah rasa ini datang menghampiri hati yang tak termiliki?
Dengan satu sentuhan tombol kirim, status tersebut telah dibagikan diberanda milik Karina. Status itu adalah ungkapan isi hatinya yang ia sendiri tak tahu ditujukan pada siapa dan untuk apa. Namun satu hal yang ia tahu pasti, dia hanya ingin mengungkapkannya. Dan ini bisa saja menjadi status terakhir yang ia bagikan di akun miliknya.
Karina merebahkan tubuhnya yang terasa lelah di atas kasur beralaskan sperai bercorak awan berwarna langit biru. Bukan tubuhnya yang membuat dirinya merasa lelah, tetapi ia lelah dengan rasa yang tersimpan dihatinya. Ia lelah bila harus terus menyimpan rasa cinta yang ia tak tahu kapan rasa cinta itu hilang dengan sendirinya.
Di tatapnya langit-langit kamarnya dengan gelisah. Lalu ia pun memiringkan tubuhnya ke kanan berharap akan mendapatkan posisi yang bisa membuatnya sedikit nyaman. Tetap saja rasa gelisah menyelimuti dirinya. Tak juga merasa nyaman, ia pun bergerak ke arah jendela kamarnya. Menghirup panjang udara sore yang tidak begitu terasa sejuk. Hatinya sedikit merasa tenang setelah memandang langit senja kemerahan.
Dari balik jendela kamar, ia bergelut dengan pikirannya sendiri.
Ketika cinta telah bersemi dihati. Semua hal menjadi terasa indah. Cinta tak pernah salah, meski ia datang diwaktu yang tidak tepat. Aku menghargai rasa cinta yang kumiliki sekarang. Karena kutahu bahwa cinta adalah anugerah terindah dalam hidup. Cintalah yang bisa membuat segalanya terasa indah. Namun cinta jugalah yang mampu membalikkan segala rasa indah itu. Saat kutahu aku sedang jatuh cinta, disaat yang bersamaan pula aku juga menyadari bahwa jalan cintaku ternyata tak seindah dengan jatuh cinta yang kurasakan. Aku disini, hanya mampu melihatmu dari kejauhan. Mengingat bayangmu dengan sejuta kerinduan. Berharap dirimu yang disana juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.
Aku sama sekali tidak pernah berkeinginan untuk memiliki rasa ini padamu. Sama sekali tak pernah berharap akan ada sesuatu yang terjadi diantara kita. Namun apalah dayaku saat berhadapan dengan makhluk ciptaan-Nya yang seindah dirimu. Membuatku tak bisa menghentikan rasa cinta ini. Jangankan untuk mencoba menghentikannya, aku pun tak pernah tahu kapan rasa cinta ini tumbuh dan bersemi dihatiku