Bandar Udara Internasional Chhatrapati Shivaji, Mumbai, India.
Setelah satu malaman berada di pesawat, kini Karina dan Maya sudah tiba bandar udara internasional Chhatrapati Shivaji, Mumbai tepat pukul 10 pagi waktu setempat. Karina berjalan perlahan sambil membawa barang-barangnya. Sementara itu, Maya sibuk mengotak-atik ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada keluarga di Indonesia bahwa ia dan Karina telah selamat sampai di bandara.
Begitu selesai dengan ponselnya, Maya baru menyadari bahwa Karina tidak ada di sampingnya. Ia terkejut dan segera mengarahkan pandangannya ke belakang dan ia merasa lega ternyata Karina tertinggal beberapa langkah dibelakangnya. “Hei, Karin. Kenapa kamu berjalan lambat sekali?” tanya Maya dengan nada sedikit kesal. Ia berdiri tetap di tempatnya menunggu Karina berjalan ke arahnya.
Karina tidak terlalu menyimak pertanyaan Maya. Dia terlihat seperti zombie yang berjalan lurus tanpa ada ekspresi dan gairah untuk memakan siapapun. “Apa kita sudah benar-benar sampai di bandara Mumbai?” Karina bertanya balik ke Maya begitu ia sudah berada di dekat Maya.
Maya hanya bisa menggeleng melihat tingkah sahabatnya ini. “Kamu pasti sedang mengalami jet lag, ‘kan?”
“Aku tidak tahu. Aku cuma merasa pusing dan sedikit mual,” ucap Karina sambil memegang perutnya.
“Ya, itu namanya jet lag. Aku pikir itu hal yang wajar mengingat kamu sama sekali belum pernah melakukan penerbangan apalagi sampai sejauh ini,” ucap Maya seraya memperhatikan kondisi Karina yang terlihat sedikit pucat. “Tapi kamu masih sanggup untuk berjalan, ‘kan?” tanya Maya memastikan kondisi sahabatnya itu.
“Masih kok, tenang saja. Aku bisa mengatasinya asalkan kita bisa segera sampai di penginapan,” ucap Karina berusaha untuk menyemangati dirinya dengan tersenyum kecil.
“Baiklah. Ayo, jalan,” ucap Maya memegang lengan kanan Karina sementara tangan kanannya memegang sebuah koper berukuran sedang. Ia takut kalau nantinya Karina bisa saja tiba-tiba pingsan. Keduanya pun berjalan pelan menuju pintu keluar.
“Karin, apa kamu yakin dia akan menjemput kita disini?” tanya Maya mengungkapkan keraguan dalam benaknya.
“Mudah-mudahan dia sudah tiba disini sesuai dengan janjinya,” jawab Karina dengan santai seperti ia sudah yakin kalau Arshad memang sudah ada dibandara ini untuk menjemput mereka berdua.
Karina dan Maya memperhatikan sekeliling. Hampir selama sepuluh menit keduanya menunggu sambil terus melihat seseorang yang mereka kenal wujudnya.
“Dia pakai baju warna apa?” tanya Maya tanpa melihat Karina dan tetap fokus memperhatikan sekitarnya.
“Mana aku tahu, May,” ucap Karina mengernyitkan dahi dan mengangkat bahunya. Wajahnya tidak sepucat tadi. Mungkin ia sudah merasa sedikit lebih baik. “Aku tidak menanyakan hal itu padanya,” lanjutnya.
“Kenapa tidak? Kalau kita tahu, kita pasti bisa lebih mudah menemukannya.”
“Aku sama sekali tidak terpikir mau menanyakan hal itu padanya,” kata Karina sedikit menyesal. Yang dikatakan oleh Maya memang benar juga adanya. Mereka pasti akan lebih mudah mengenali Arshad diantara banyak orang yang berada disini.
Karina menyipitkan matanya untuk memastikan bahwa seseorang yang tidak jauh dari hadapannya adalah seseorang yang mereka cari. “Sepertinya dia orangnya. Coba lihat ke arah jam 1. Dia yang sedang memegang ponsel itu.”
Maya segera mengalihkan pandangannya ke arah yang dimaksudkan oleh Karina.
“Bagaimana kalau kita berjalan mendekat ke arahnya untuk bisa memastikannya?” tanya Karina seraya menoleh ke arah Maya.
Maya mengangguk tanpa menoleh ke arah Karina. Ia pun mengikuti langkah Karina yang mulai berjalan mendekati seseorang yang dimaksud.
Karina masih belum yakin kalau lelaki yang mengenakan kemeja biru muda dengan dasi berwarna biru tua bergaris-garis putih dan celana berwarna cream lengkap dengan sepatu pantofel itu adalah lelaki yang telah menjadi temannya di dunia maya selama beberapa tahun ini. Penampilannya terlihat begitu rapi seperti hendak berangkat kerja. Begitu mereka mulai mendekat, lelaki itu masih sibuk berbicara melalui ponselnya.
“Itu beneran dia, bukan?” tanya Maya berusaha meyakini penglihatannya.
Karina hanya menjawab dengan satu anggukan pelan.
“Tapi kenapa dia tidak menyadari keberadaan kita disini, ya?” tanya Maya pada Karina yang hanya berdiri menatap heran, tidak habis pikir kalau sosok yang mereka cari keberadaannya itu sama sekali tidak mengetahui kehadiran mereka yang hanya beberapa langkah saja jaraknya.
“Itu mungkin karena dia tidak melihat kita disini,” jawab Karina yang ragu dengan ucapannya sendiri.
Sosok yang mereka kenal itu pun lalu berjalan ke arah mereka dengan tetap berbicara melalui ponselnya.
“Dia berjalan ke arah kita,” bisik Maya.
Karina yang juga mengetahui hal itu hanya bisa terdiam menunggu sosok yang dikenalnya itu berjalan mendekat menghampiri mereka. Begitu terkejutnya mereka ketika sosok itu hanya berjalan lurus melewati mereka bahkan tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka yang jaraknya hanya terpisahkan beberapa jengkal saja.
Maya hanya melebarkan sedikit mulutnya membentuk huruf O, dia benar-benar heran dan tidak menyangka. Sementara itu, Karina hanya bisa mengernyitkan dahinya menatap lelaki yang dikenalnya itu hanya berjalan saja seperti tidak melihat keberadaan mereka yang ia yakin pasti lelaki itu mengenal mereka. Kini, Maya dan Karina hanya bisa saling menatap heran satu sama lain.
“Kamu bisa lihat itu, Karin? Temanmu itu sama sekali tidak menghiraukan keberadaan kita disini. Padahal dia berjalan tepat ke arah kita,” gerutu Maya.
“Kita mungkin salah orang. Mungkin bukan dia orangnya,” ucap Karina, ia sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Tetapi saat pandangan pertama, Karina cukup yakin bahwa dialah Arshad.
“Good morning, girls.”
Kedua gadis bersahabat itu segera menoleh ke belakang untuk mengetahui siapa pemilik suara berat itu.
“Assalamu’alaikum,” sapa orang itu lagi masih dengan suara beratnya. “Apa kalian sedang membicarakanku?”
“Wa’alaikumsalam,” jawab keduanya hampir bersamaan dengan nada pelan hampir tak terdengar.
Keduanya terlihat begitu terkejut ketika mengetahui bahwa sosok lelaki yang mereka lihat tadi kini sudah berada tepat dihadapan mereka. Maya yang baru pertama kali mendengar suara sosok lelaki yang selama ini hanya ia tahu dari cerita Karina merasa terkejut terutama ketika ia begitu fasihnya bicara bahasa Indonesia.
Lelaki itu seakan-akan mengerti dengan kebingungan mereka. “Aku adalah lelaki yang kalian perhatikan sejak tadi,” ucapnya. “Tepatnya yang berada disana tadi,” sambungnya sambil menunjuk ke arah posisinya tadi.
“Arshad?” tanya Karina memastikan.
Sosok lelaki yang ternyata memang bernama Arshad itu mengangguk. “Namaste. Aku Arshad. Aku adalah teman yang kalian cari tadi,” kata Arshad dengan tersenyum.
Karina dan Maya terdiam seraya memperhatikan dengan seksama lelaki yang ternyata memang benar adalah Arshad.
“Apa wajahku terlihat jauh berbeda dari yang biasanya kamu lihat, Karin?” tanya Arshad begitu melihat ekspresi bingung yang tersirat di wajah Karina.
Karina menggeleng pelan.
“Lalu, kenapa kamu hanya berjalan saja melewati kami tanpa menghampiri kami?” tanya Maya pada Arshad.
“Aku sengaja melakukannya hanya untuk memastikan apakah kalian berdua memang orang yang sedang kutunggu. Maksudku, aku berjalan melewati kalian berdua dan memperhatikan ekspresi kalian dengan ekor mataku. Jika kalian menatapku seperti memang mengenalku, berarti bisa kupastikan bahwa kalian memanglah tamuku,” lanjut Arshad menjelaskan seraya diiring senyum ramahnya.
Keduanya masih terdiam. Antara kesal bercampur bingung tidak tahu ingin berkata apa menanggapi ucapan Arshad.
Melihat hal itu, Arshad berusaha mengalihkan perhatian keduanya. "Anyway, selamat datang di Mumbai," ucap Arshad seraya menyatukan kedua tangannya untuk memberi sambutan. Tidak ketinggalan pula senyum ramahnya menghias wajah rupawannya.
Senyum benar-benar dapat menular. Terbukti, Karina dan Maya membalas sambutan Arshad dengan senyuman.
Dalam hati Karina ingin berteriak, 'Mumbai... Aa raha hoon! (Mumbai... Aku datang!) '