Read More >>"> Love You, Om Ganteng (Mama Klatina, Papa Ardha) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love You, Om Ganteng
MENU
About Us  

Oza memeluk erat Kla sambil membawa piala mungilnya bertuliskan Harapan I Lomba Mewarnai. Juara pertama diraih oleh Romeo. Kla sangat senang mendapat pelukan hangat dari anak berusia enam tahun itu.

“Selamat ya Oza.” Romeo muncul dari arah belakang Kla.

Kla sedikit melipir ke samping agar Oza dapat melihat Romeo yang tertutupi oleh tubuh mahasiswi cantik itu.

Oza mengangguk, tampaknya masih marah karena perkataan Romeo mengenai ibunya.

“Oza, aku minta maaf soalnya bikin Oza marah. Aku pengin Oza marah, soalnya kamu diam terus di kelas.”

Kla mengerutkan dahinya. Jadi, maksudnya Romeo ini cari perhatian Oza? Bahasa anak usia enam tahun agak berantakan, ya.

Oza akhirnya mengangguk, “Iya. Aku memang nggak punya Mama. Kakak ini bukan  Mama. Mamaku sudah sama Tuhan pas aku lahir,” jelas Oza.

Tanpa disadari Romeo memeluk Oza sebentar, “Kamu jangan diam lagi ya. Main sama aku aja kalau di kelas.”

Hati Kla terasa hangat melihat persahabatan sederhana yang ada di hadapannya. Mengingatkannya pada dia dan Oxel dulu. Kla berharap, persahabatan Oza dan Romeo bertahan tanpa ada rasa yang melebihi sahabat.

“Romeo, ayo pulang!” panggil seorang ibu muda pada Romeo.

“Mama sudah panggil aku. Aku pulang ya, Oza,” pamit Romeo lalu berjalan menuju ayah dan ibunya yang sudah menunggu.

Oza menatap kepergian Romeo. Dia bukan memfokuskan pandangan pada sahabatnya itu, tapi pada kedua orang tuanya. Romeo berjalan di tengah, bergandengan dengan Ayah dan ibunya. Dia selalu ingin seperti itu, tapi ayahnya bertambah sibuk saat ini, belum lagi dia tidak punya ibu, jadi kalau mau kemana-mana selalu bersama Tiwi atau Cecilia, itu pun kalau Gio, anak Cecilia, sedang tidak rewel.

Oza iri.

“Kamu kan bisa panggil aku Mama. Lupa?” Kla berlutut, menyejajarkan diri dengan Oza.

“Oza juga pengin kayak mereka ... Ma,” ujar gadis kecil itu ragu.

“Kalau gitu, gimana kalau kita main bareng terus beli es krim?” ajak Kla.

Oza mengangguk setuju, “Ajak Papa?”

Kla mengangguk.

 

**

 

Hari ini adalah satu hari baik bagi Oza. Gadis kecil itu akhirny mendapatkan apa yang dia mau. Berjalan bersama orang tua yang lengkap. Dulu, saat masih berusia empat tahun, dia memang belum menyukai Kla di awal pertemuan karena menganggap Kla akan merebut ayahnya seperti yang hendak dilakukan Cecilia. Tapi, seiring berjalannya waktu, Oza menyukai Kla. Namun, di saat kenyamanan itu hadir, Kla malah menghilang.

Oza tak menyukai Cecilia karena itu nalurinya sebagai anak kecil, namun sebenarnya hal itu sedikit menguntungkan bagi Cecilia karena sebenarnya perempuan itu pun tidak berniat menjadi istri Ardha. Cecilia sudah menjalin hubungan dengan Arga, adik dari Ardha, sejak masih kuliah.

Kedua orang tua Cecilia tidak setuju karena Arga berusia lebih muda dari anak mereka. Mereka lebih memilih Ardha yang sudah matang dan mapan. Sejak dulu, Cecilia selalu menuruti permintaan orang tuanya, namun dua tahun yang lalu, tepat saat Ardha menyatakan bahwa hanya akan menikahi Kla, Cecilia akhirnya berani bersuara.

“Aku juga cuma mau menikah dengan Arga, Ma, Pa, Om, Tante. Lagipula, aku hamil anak Arga.”

Mau tidak mau, para orang tua menikahkan anak mereka.

“Lihat tuh, makan eskrim belepotan gini, katanya sudah gede?” Ardha mengelap es krim yang berada di sudut bibir Oza.

“Iya aku udah gede Papa!” amuk Oza tak terima, “Buktinya, aku sudah bisa baca, nulis, terus udah bisa bikin susu sendiri. Kata Tante Cecilia, kalau sudah bisa bikin susu sendiri, artinya udah gede.

Kla dan Ardha tertawa mendengar pembelaan sederhana dari mulut gadis kecil berkepang dua itu.

“Pa, Mama boleh tinggal sama kita?”

Pertanyaan dari Oza membuat tawa Kla dan Ardha terhenti. Keduanya terdiam lalu saling tatap. Ardha tampaknya bingung hendak menjawab apa. Kalau salah jawab, bisa fatal akibatnya, karena usia Oza saat ini usia di mana dia akan dengan cepat belajar dan mengikuti apa yang dilakukan orang di sekelilingnya.  

“Oza, Mama kan nggak nikah sama Papa, jadi mana boleh tinggal serumah. Kita kan masih bisa main sama-sama setiap hari, kapan pun kamu mau.”

“Kenapa nggak nikah aja?” tanya Oza polos.

Baru saja Ardha hendak membenarkan perkataan anaknya, Kla langsung menjawab, “Mama kan pacarnya Mas Oxel.”

Ardha tersadar. Kla bukanlah anak SMA yang mengejarnya seperti dulu lagi. Semuanya berubah, tak lagi sama. Pria itu menatap lekat mahasiswa yang sedang berbicara dengan anaknya itu. Hanya ada senyuman, tak ada beban. Apakah dia benar berhasil melupakan Ardha? Apakah pernyataannya tadi mengenai taruhan itu tidak cukup sebagai bukti bahwa dia juga menyukai cewek itu? Buktinya, Kla tidak bereaksi sejak tadi, bahkan sekarang, cewek itu bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa.

 

**

“Mama!” teriak Oza sambil berlari menuju Kla dan Oxel.

Kla memeluk erat gadis kecil itu. Oxel mengangkat sebelah alisnya mendengar panggilan Oza pada pacarnya itu.

“Tadi kamu panggil Kla, Mama?” Oxel membawa Oza ke dalam gendongannya.

Oza mengangguk, “Iya, Mas. Mama aku sekarang ini,” ujarnya imut sambil berusaha meraih Kla dengan tangan kanannya. Kla tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan anak tersebut.

“Lah, kan Papa kamu nggak nikah sama Kla, ngapain manggil dia Mama?” Oxel mulai sedikit tidak terima. Kalau Mamanya Kla, Papanya sudah jelas Ardha, terus posisi Oxel di mana? Kenapa bisa jadi begini, sih? Mau menyalahkan Oza pun tidak mungkin, karena dia hanya anak kecil yang butuh ibu.

“Nggak papa, kok, Xel. Toh, aku kan pacarnya kamu. Oza bisa anggap aku mamanya, begitu pula aku anggap dia anak. Iya kan, sayang?” Kla mencubit pelan pipi Oza dengan gemas.

“Ah, terserah kalian para wanita,” ujar Oxel mengalah. “Jadi, kita menuju ke mana sekarang?”

“Ke kursus tari,” jawab Oza semangat.

 

**

Beberapa ibu dari anak-anak yang turut mengikuti kursus tari menatap Kla sambil berbisik-bisik, karena tidak pernah melihat cewek itu. Mereka menilai Kla dari atas  hingga ke bawah. Kemeja flanel, jeans, dan sepatu kets. Orang tua siapa ini? Kenapa gayanya anak muda sekali?

Kla yang sadar tengah diperhatikan hanya bisa mengabaikan semuanya dengan makan permen sambil mendengar musik melalui earphone-nya. Dia hanya tinggal menunggu sekitar 5 menit lagi sampai kursus menari Oza selesai. Oxel tadi pergi karena baru ingat kalau kelas untuk besok pagi diganti siang ini, jadi mau tidak mau, nanti Kla mengantar Oza sendiri untuk pulang ke rumah. Ke rumah Ardha.

“Wah, ganteng banget!”

“Itu Papanya Oza.”

“Ardha, kan?”

“Aku sudah cantik, belum?”

Touch up, touch up!”

Berbagai bisikan yang tadi berisi Kla di dalamnya, sekarang berganti jadi bisikan mengenai duda tampan yang datang. Kla tidak menyadari kedatangan Ardha, karena dia duduk di tempat paling ujung di ruang tunggu sanggar tari itu. Ardha yang sadar ada Kla di situ, langsung menghampiri mahasiswi tersebut.

“Kla?” tegur Ardha, tapi tak diacuhkan oleh Kla karena volume musik yang didengarnya full.

Ibu-ibu muda yang tadi berbisik-bisik, kini sedang merutuki betapa beruntungnya Kla ditegur oleh Ardha, dan memaki cewek itu karena mengacuhkan makhluk tampan itu.

“Klatina.”

Kla merasa ada yang memanggil, langsung menoleh.

“Eh, Ardha?” Kla melepas earphone-nya dan mematikan musik yang dimainkan sejak tadi.

“Saya tadi lewat di sekitar sini, jadi sekalian mau lihat Oza. Cuma mau lihat, nanti kamu dan Oxel yang antar Oza pulang.” Ardha duduk di sebelah Kla.

“Eh, Oxelnya ada kuliah. Jadi, nanti aku yang antar Oza sendiri.”

Ardha mengangguk-angguk, “Kalau gitu sama saya pulangnya. Sekalian nanti kamu saya antar pulang.”

Kla menggeleng cepat, “Nggak usah, Ar, aku bisa pulang sendiri. Angkutan umum masih banyak, kok. Ini kan belum sore.”

Ardha tersenyum lembut, “Paling nggak, saya mau memastikan kalau Mama Oza sampai di rumah dengan selamat.”

Hati Kla terasa hangat. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya karena perkataan Ardha. Kenapa dia harus semanis ini di saat Kla sudah berusaha untuk beralih ke Oxel? Kenapa tidak dari dulu seperti ini saja, agar ada alasan Kla untuk bertahan. Cewek itu kemudian sadar, semua disebabkan oleh ibunya. Mungkin lebih baik kalau dia dan Ardha cukup menjalin hubungan sebagai teman saja. Menjadi ibu untuk Oza, namun tidak memiliki hubungan yang lebih jauh lagi dengan Ardha.

“Siapa sih cewek itu? Kok bisa akrab dengan Ardha?” tanya seorang ibu muda dengan baju merah.

“Mungkin kakaknya Oza?”

“Tantenya, kali.”

“Atau dia anak dari mitra bisnis Ardha, makanya Ardha negur dia.”

Semua kemungkinan positif berada di pikiran ibu-ibu itu. Mereka jelas tidak bisa mendapatkan Ardha karena sudah memiliki suami, jadi kalau bisa anak ingusan macam Kla juga tidak mendapatkan Ardha.

“Mama! Papa!” seru Oza yang keluar dari aula tari bersama anak-anak yang lain.

Mendengar panggilan itu, semua ibu yang sejak tadi menjadikan Kla dan Ardha topik pembicaraan, terdiam.

Oza mengambil tangan kiri Ardha dan tangan kanan Kla untuk digenggam. Mereka bertiga berjalan menuju mobil Ardha dengan senyum yang lebar menghiasi wajah Oza. Berpasang mata ibu-ibu melihat keakraban tiga manusia tersebut.

“Ardha sudah beristri? Kok aku nggak tahu, ya?”

“Ardha kan terkenal, masa nggak diberitain sih pernikahannya?”

“Mungkin masih pacarnya.”

“Atau cewek itu yang goda Ardha?”

Para ibu mulai bergosip.

 

**

“Makasih udah ngantar aku, Ar. Kamu boleh pulang,” ujar Kla sesampainya di rumah, kemudian turun dari mobil Ardha.

Pria berjas tersebut turut turun dari mobil dan mengikuti langkah Kla sampai ke rumahnya, membuat mahasiswi berkuncir satu itu cemas bukan main. Dia takut kalau ibunya sempat melihat kedatangan Ardha, maka perang akan terjadi. Belum lagi, sekarang ayahnya masih di kantor, tidak bisa membantu sama sekali.

“Ngapain ikut turun, Ar?”

Ardha mengedikkan bahunya, “Cuma mau antar kamu sampai di depan pintu. Lagipula, saya juga pengin nyapa Bu Direly.”

Kla menggeleng cepat sambil mendorong Ardha menjauh, “Mending kamu pulang. Aku nggak mau Mama marah sama kamu, Ar.”

“Loh, saya kan nggak ngapa-ngapain. Cuma mau nyapa Bu Direly, bukannya mau ajak kamu kawin lari.”

Kla menghentikan aksi dorong-mendorongnya. Semburat merah mewarnai wajah cewek itu.

“Udah deh, Ar, sana pulang. Nanti kalau Mama lihat, jadi masalah.”

“Loh kok masalah? Kamu kan pacarnya keponakan saya. Anggaplah kita calon keluarga.”

Perdebatan kecil mereka, mengundang Dee untuk keluar melihat siapa yang sedang ribut-ribut di teras rumahnya. Pintu dibuka mendadak oleh ibu Kla, menampilkan cewek itu sedang sibuk mendorong-dorong Ardha menjauh dari rumah.

“Perlu apa duda ini kesini?”

Tubuh Kla menegang seketika mendengar suara ibunya.

“Hai, Bu Direly. Saya mampir untuk menyapa.”

“Kamu sudah menyapa saya, jadi kamu bisa kembali melanjutkan aktivitas kamu, Pak Ardha.”

Ardha tersenyum kecut mendapati Dee masih bersikap dingin semenjak ibu rumah tangga itu tahu kalau Kla selama sebulan penuh selalu bertemu dan menghabiskan waktu bersama duda sepertinya. Kla diminta masuk ke kamar tanpa bantahan, meninggalkan ibunya dan Ardha.

“Saya cuma mau bilang, cinta itu nggak bisa dipaksa, Bu. Termasuk memaksa untuk berhenti mencintai dan melupakan.”

“Maksud kamu apa?” tanya Dee sedikit emosi.

“Dua tahun terakhir, saya nggak bisa ngelupain anak Ibu–“

Dee memotong, “Kla dan Oxel sudah resmi pacaran. Seperti yang saya bilang, dia berhak dapat yang lebih baik daripada duda seperti kamu.”

“Kalau begitu, saya minta waktu dua minggu untuk membuktikan kalau Kla sudah benar-benar move on dari saya. Kalau kenyataannya sebaliknya, saya akan berusaha agar Ibu menjadi mertua saya.”

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Vnimu

    Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • emirah

    Tanggung jawab diriku langsung berangkat kerja tanpa tidur sedikit pun gara2marathon cerita ini huhu

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • dede_pratiwi

    nice story

    Comment on chapter Prolog
  • emirah

    Wah nih story ko bikin senyum-senyum sendiri ya padahal baru baca prolognya doang~

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Laci Meja
447      295     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
ZAHIRSYAH
5280      1627     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
DELUSION
3699      1348     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
282      194     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Dear You
13548      2273     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Code: Scarlet
20854      3824     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
karachi
618      362     0     
Short Story
kisah elo
Maroon Ribbon
450      314     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.