Sudah satu bulan berlalu, aku lumayan sering ke rumah Ardha. Sisa waktuku tinggal satu bulan lagi, dan setelah itu aku akan mendapat hasil akhir. Benar kata Oxel, anaknya susah didekati, lama-lama kalau begini aku bisa gila benaran, tapi tak apa. Bukannya kalau mau mendapat hadiah besar, kau harus berusaha keras juga?
“Akhir-akhir ini kamu sering pergi ya, Kla, ke mana? Kamu tahu kan kalau bulan depan sudah ujian nasional?”
Aku mengangguk, “Iya, Ma, tenang, sekarang Kla sudah rajin belajar, kok. Lemahnya cuma di Akuntansi, nanti Kla belajar giat lagi.” Aku bersungguh-sungguh. Dalam ujian nasional pelajaran IPS yang ada Ekonomi-nya, pasti ada bagian Akuntansi yang menyebalkan, dan karena harus mendekati Ardha, aku jadi semangat belajar, ntah kenapa. Aku mau membuktikan kalau aku bisa jadi perempuan yang berpendidikan. Setelah ini aku akan masuk ke Fakultas Kependidikan, sesuai cita-citaku.
“Kla pergi dulu ya, Ma, ada janji,” pamitku diiringi tatapan curiga mama. Sudahlah, Ma, anakmu sudah besar.
Sore ini aku sudah ada janji kencan dengan Ardha. Om ganteng satu itu sekarang sudah bisa atur janji sendiri, padahal di awal pendekatan, aku yang selalu bertanya kapan dia punya waktu kosong. Untungnya Cecilia setelah kejadian donat pedas belum menampakkan hidungnya sampai sekarang.
Ardha mengajakku ke zona bermain di sebuah mall. Senangnya, kencan sambil bermain.
“Hahaha. Apa-apaan kamu, Ardha!”
Aku menghentikan langkahku menuju Ardha yang sedang berdiri membelakangiku di pintu masuk zona bermain. Di hadapannya ada Cecilia. Aku bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan sekarang.
“Sudahlah, paling tidak dia semangat belajar sekarang, jadi itu baik untuknya.”
“Tapi, kamu nggak ada rasa kan sama anak itu?” tanya Cecilia sambil memegang bahu Ardha. Genit!
“Sejauh ini nggak ada. Saya cuma mengikuti taruhannya saja. Lagipula, dia itu sudah seperti Oxel bagi saya, seperti keponakan. Dia anaknya lucu, kok.”
Cecilia menyadari ada aku di belakang Ardha, dan kurasa dia sengaja agar aku kesal dan pergi dari sini. Oh, kamu salah tante genit!
“Mas Ardha?” panggilku dengan suara yang kurasa sangat dalam. Aku tidak memamerkan senyumku seperti biasanya. Kali ini aku akan membuat dia sadar kalau aku dan Oxel berbeda. Aku bukan keponakannya, adiknya, atau siapa pun itu. Aku, perempuan yang jatuh cinta padanya.
Ardha berbalik dan tampak terkejut, “Kla? Sudah sampai? Kamu panggil saya apa tadi?”
Aku tersenyum, “Mas Ardha. Kalau aku panggil Om terus, aku kesannya sederajat dengan Oxel. Jadi, aku panggil Mas.”
Cecilia menatapku muak. Lagipula apa yang dia lakukan di zona bermain ini? Pakaiannya seperti biasa kurang bahan dengan sepatu berhak tinggi, beda denganku yang mengenakan kaos oblong, celana jeans dan sepatu kets. Ardha juga mengenakan pakaian kasual. Aneh sekali tante genit ini.
Aku merangkul lengan Ardha, “Ayo, Mas, main.” Aku menariknya masuk ke zona bermain, meninggalkan si tante genit melongo.
******
“Hari ini gimana belajarnya?” tanya Ardha membuka percakapan.
Aku meletakkan sendok eskrim, “Aku sudah ngerti kalau soal Matematika, cuma tinggal belajar Ekonomi aja. Lagian bentar lagi sudah masa tenang, kan. Mau ajak aku kemana?”
“Saya berbaik hati seperti ini karena kelihatannya kamu lebih semangat belajar. Kalau berdampak positif untuk seseorang, saya lakukan, kalau nggak ya saya batalin taruhan kita yang pemenangnya sudah pasti saya itu,” ujar Ardha cuek.
Aku gemas sekali dengan manusia satu ini. Sudah jelas dia berubah sejak sebulan lalu. Yang awalnya tidak peduli, bisa jadi peduli hanya karena nilaiku naik? Agak tidak masuk akal. Pasti ada sedikit celah di hatinya yang sudah kubuka.
“Uhuk!” Ardha mendadak terbatuk, wajahnya memerah.
Aku mengulurkan air mineral yang tadi kubeli karena kelelahan bermain, sebelum kami memasuki kedai eskrim. Ardha meminum air itu dengan rakus.
“Om– eh Mas kenapa?” tanyaku khawatir.
“Kamu kenapa liatin saya kayak mau nerkam? Saya kan jadi kaget. Lagian kalau tidak terbiasa panggil Mas, mending panggil Om saja. lebih lucu–“ Ardha berdehem, menghentikan kalimatnya, lanjut makan eskrim.
“Apa? Lebih lucu?” aku jadi senang menggodanya, “Jadi panggil Mas atau Om nih? Kamu sukanya yang mana?” tanyaku, dan pertama kalinya aku memanggilnya ‘kamu’. Wajah Ardha memerah, malu sepertinya.
“Terserah.”
Aku tertawa, “Aduh, Papa Oza lucu banget sih kalau salting kayak gini,” ujarku gemas sambil meraih pipinya untuk dicubit, yang jelas saja Ardha langsung menjauh.
“Eskrimnya sudah mau habis, jadi mau ke mana lagi?” tanya Ardha mengalihkan pembicaraan.
“Pulang aja, deh, kasian kamu malu-malu gitu. Lagian besok sekolah. Ah iya, aku besok main ke rumah ya? Mau ketemu Oza.”
“Dilarang pun kamu datang, jadi untuk apa saya jawab.”
Aku tertawa lagi. Astaga kenapa manusia ini jadi menggemaskan dan seakan-akan seumuran denganku? Atau aku yang seakan seumuran dengannya?
“Eh, tadi kenapa bisa ada Cecilia?”
“Oh, dia tadi belanja, ketemu gitu aja, kok.”
Aku berdehem. Ntah hanya perasaanku saja, dari kalimat Ardha aku menangkap bahwa dia seakan takut disangka selingkuh.
*****
Hari ini aku benar ke rumah Ardha, tapi ditemani Oxel. Katanya, untuk memastikan ke mama kalau aku tidak pergi ke tempat yang aneh-aneh. Dan mulai sekarang, Oxel sudah resmi menjadi bodyguard dadakan utusan mama. Mama kenapa sih? Aku kan mau pendekatan dengan calon anak, malah nyodorin Oxel untuk ikut kemana aku pergi.
“Mas Ocel kok sama nenek sihir?”
Aku tertawa keras mendengar panggilan untuk Oxel. Memang, anak seusia Oza belum bisa menyebut huruf ‘x’ dengan benar, tapi nama Oxel yang jadi Ocel membuatku geli. Bukan hanya aku yang tertawa, Oxel juga, karena panggilan Oza padaku. Nenek sihir.
“Kami berdua sahabat.” Oxel merangkul bahuku, lebih ke memeluk, karena erat sekali. Ini aku bisa remuk.
Kali ini aku melihat tatapan tidak suka dari Oza. Kenapa? Dia melarangku dekat dengan Oxel? Jadi semua keluarganya tidak ada yang boleh didekati olehku, begitu? Parah sekali anak kecil ini.
“Sebelum main, kita makan ini dulu,” ujarku mengangkat sekotak pizza yang masih hangat. Mata Oza berbinar kemudian mengangguk.
Aku mengambil sepotong pizza kemudian menyuapinya ke Oza. Anak itu tersenyum senang. Perlahan, memang aku mulai dekat dengan Oza, walau panggilan nenek sihir masih melekat di dahiku.
“Aku dong aaaaaaaa.” Oxel membuka mulutnya, membuatku tertawa, kemudian hendak memasukkan pizza ke dalam mulut cowok itu, tapi Oza menahan tanganku.
“Kenapa, Za?”
Oza membuka mulutnya. Oh, menyuruhku menyuapinya lagi.
“Aku lagi, Kla. Aaaaaa.” Lagi, Oxel membuka mulutnya. Dan lagi, Oza menghentikan aksiku untuk menyuapi Oxel, padahal mulutnya masih penuh pizza.
Oza menggeleng kencang, memeluk erat lenganku yang tidak memegang pizza dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menahan tanganku yang mau menyuapi Oxel. Anak itu duduk manis di samping kiriku sambil menahan semua pergerakan yang hendak kulakukan. Aneh. Alhasil, Oxel makan sendiri pizzanya, tanpa meminta kusuapi.
“Nenek sihir cuma boleh suapin Oza, bukan Mas Ocel.”
Wah, sejak kapan anak kecil menyebalkan ini jadi cemburu pada orang yang dekat denganku? Apa aku berhasil mendekatinya? Tanpa sadar aku tersenyum haru melihat Oza. Kenapa anak ini jadi menggemaskan, ya?
“Iya, Kakak cuma suapin kamu. Nggak suapin Om Oxel.”
Setelah kenyang memakan pizza, anak kecil yang duduk di sebelahku kelihatan mengantuk. Ah, nikmatnya, kalau sudah makan tidur. Coba kalau itu kulakukan, lemak di perutku bisa membludak mendadak.
“Nenek sihir, gendong!” Oza mengangkat kedua tangannya ke arahku.
“Duh, Kakak nggak kuat kalau gendong kamu pas kekenyangan gini. Gimana kalau dipangku aja?” tanyaku, kemudian dibalas anggukan olehnya. Aku pun membawanya ke pangkuanku. Oza menyandarkan kepalanya ke dadaku, sambil aku mengusap punggungnya lembut. Oxel terpaku dengan apa yang kulakukan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kayaknya kamu berhasil dekat sama Oza. Dia biasanya susah dekat dengan orang lain. Cecilia yang sudah nempelin Om Ardha selama dua tahun aja, nggak bisa dapatin hatinya Oza.”
Aku tersipu malu, “Apaan? Dia anggap aku tuh pantas disuruh, Xel. Dari kemarin juga kayak gini. Aku udah kayak Mbak Tiwi kedua buat anak ini. Lagian dia panggil aku nenek sihir,” ujarku pelan, takut membangunkan Oza yang ternyata cepat sekali sudah tertidur.
“Beda, Kla, keliatan banget dia mau dekat sama kamu. Mungkin dia anggap nenek sihir itu panggilan kesayangan. Ohya, Kla, aku mau ngomong sesuatu ke kamu.”
“Ini lagi ngomong.”
“Aku serius, Kla.”
“Oke, apa?”
“Aku suka sama kamu.”
Usapanku di punggu Oza terhenti. Napasku pun rasanya tercekat. Aku berniat meletakkan Oza di sofa, namun anak itu masih sadar, karena dia memeluk pinggangku erat.
Aku berusaha menetralkan suasana, “Ya aku juga suka sama kamu, Xel, makanya kita berteman. Kalau kayak sama Risabelle nggak mungkin aku mau, soalnya aku nggak suka dia.”
“Bukan suka kayak gitu. Suka cowok ke cewek,” ujar Oxel berapi-api dengan volume suara yang lebih besar.
Aku meletakkan telunjukku ke bibir.
Oxel menghela nafas, “Aku suka sama kamu, Kla.”
“Iya, jadi aku harus apa, Xel? Kamu tuh sahabat aku.”
“Aku cuma mau kasih tau, jadi nggak ada yang aku pendam.” Oxel menatapku dalam, “Kalau bisa, kamu berhenti dari taruhan dengan Om Ardha. Percuma, Kla, dia nggak bakal suka sama kamu.”
“Masih ada satu bulan, Xel,” ujarku optimis.
“Kamu lihat selama ini, dia bertahan gara-gara kamu jadi lebih semangat belajar.”
“Jadi kamu mau semangat belajar aku turun?”
Oxel menggeleng.
“Kalau gitu biar, Xel. Aku cuma minta waktu, bukan maksa Om kamu. Kamu juga jangan maksa aku kalau gitu. Biarin hati aku yang ngejar cintanya, kalau capek nanti berhenti sendiri, kok, nggak usah dipaksa. Kamu juga jangan paksa aku. Aku sayang kamu, karena kamu sahabat aku.”
Aku berdiri, menggendong Oza ke kamarnya, meninggalkan Oxel yang kurasa sedang berpikir. Ntah apa, aku tidak tahu.
****
“Kamu kenapa diam begitu?” pertanyaan Ardha membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng.
Setelah tadi aku menidurkan Oza di kamarnya, kamar Ardha pastinya, Oxel sudah tidak ada di rumah itu. Aku menelfonnya, tapi yang menjawab hanya perempuan yang mengatakan kalau nomor yang kutuju sedang tidak aktif. Sebenarnya aku lega kalau nomornya tidak aktif. Memangnya aku mau bicara apa?
Anak itu kenapa tiba-tiba membicarakan perasaannya padaku? Padahal aku kan sedang pendekatan dengan omnya. Apa dia sengaja, biar aku menjauh dari Ardha, atau dia sudah lama menyimpan perasaan padaku? Tapi kenapa aku merasa aneh?
“ ... Kla?”
Aku menoleh ke sebelah kananku, “Apa?”
Ardha ternyata menepikan mobil, kemudian menatapku serius, “Sudah sampai. Sana turun!” ujarnya lagi, dingin seperti biasanya.
Aku menurut, tanpa ba bi bu dan tanpa ekspresi, turun dari mobil Ardha. Aku sibuk dengan pikiranku mengenai Oxel tadi. Anak itu kenapa sih? Dan kenapa juga denganku? Aku kan sahabatnya, dan dari dulu tidak pernah merasakan perasaan sayang lebih dari teman padanya.
Kenapa aku terlalu memikirkan itu?
Lenganku tertahan saat hendak mengetuk pintu rumahku. Aku berbalik. Ardha?
“Hape kamu.” Ardha menyerahkan handphone-ku.
“Ah iya, makasih. Aku masuk dulu.”
Ntahlah, aku hanya sedang tidak bersemangat saat ini. Maaf, om gantengku.
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha