Mulutku menganga lebar ketika om ganteng mengatakan kalau aku ini pacarnya. Bahkan aku bisa melihat wajah kaget juga dari om ganteng, padahal dia yang ngomong, kan? Cecilia si tante genit tertawa keras dengan wajah sinis. Dia gila?
“Jangan bercanda, Ardha. Aku tahu tipe kamu bukan anak sekolahan kecil kayak dia. Dari Nadine jatuh ke anak kecil ini tidak mungkin.”
Jangankan tante genit, aku saja tidak percaya kalau aku termasuk tipenya om ganteng. Tapi dalam hati, aku sangat senang.
“Memangnya tadi aku bilang apa?” tanya om ganteng polos.
Lah, dia sendiri yang bicara, dia yang lupa.
“Om tadi bilang aku pacar om.”
Om ganteng terkejut, kemudian menarik tangan tante genit, “Sudahlah, yang jelas kamu pergi dari rumahku,” usirnya. Tante genit menepis tangan om ganteng.
“Iya, aku pergi sekarang, tapi kamu nggak perlu sok bohong segala kalau anak kecil itu pacar kamu. Daripada dia, lebih baik aku. Usia kita nggak berbeda jauh, ayahku rekan bisnis kamu, dan aku juga lulusan S2, bukan kayak dia yang SMA saja belum selesai. Pikir baik-baik kalau mau bohong, Ardha.”
Tante genit tersenyum meremehkanku lalu keluar dari rumah om ganteng.
“Maaf kalau jadi ribet kayak gini, Om. Soalnya tadi Oza nangis, aku nggak tega, jadi aku kerjain Tante itu,” jelasku meminta maaf.
“Sudahlah, saya malas membahas yang sudah berlalu. Apa kepentingan kamu sampai ke sini?” tanya om ganteng kembali formal.
“Aku cuma mau kasih donat tadi ke Oza, nggak ada kepentingan lain, kok, Om.”
Om ganteng menghela nafas, “Kalau memang tidak ada kepentingan lain yang lebih penting lagi daripada donat, mungkin kamu bisa pulang. Lagipula, kamu nggak takut dimarahin kalau belum pulang dari sekolah sampai jam segini?”
Aku menunduk, merasa bersalah.
“Dan satu lagi. Saya rasa kita sudah saling impas, jadi kamu nggak perlu sering datang ke sini tanpa alasan. Mungkin bisa dianggap terlalu percaya diri, tapi saya tahu kalau kamu menyukai saya. Jangan terlalu berharap. Berharap dengan saya, sama dengan kamu mencoba menguras air di kolam renang pakai gelas, sendirian.”
Aku mengangkat kepalaku, “Sia-sia ya, Om?”
“Capek.”
“Tapi, lama-lama kan airnya habis juga, Om, kalau dikuras, walaupun capek. Jadi, kenapa nggak dicoba dulu?”
Om ganteng tersenyum meremehkan, seperti yang dilakukan Cecilia tadi padaku, “Saya bukan manusia yang mudah jatuh cinta. Di sekeliling saya, banyak wanita cantik, seksi, berpendidikan, tapi saya nggak terpengaruh, tuh, sama mereka.”
“Kan mereka, bukan aku, Om. Bukan Klatina. Itu mereka. Kalau Om sampai suka denganku, gimana?” Aku menaikturunkan alisku, mendapat lagi kepercayaan diriku yang tadi hilang ntah kemana, “Taruhan?”
“Kamu ini nggak ada kerjaan ya, ngajak saya taruhan hal yang sudah pasti saya menangkan?”
“Ayolah, Om! Kasih aku waktu sampai satu minggu sebelum ujian nasional untuk bikin Om suka sama aku. Kalau aku gagal, aku bakalan menjauh dan nggak dekatin Om lagi. Cuma sekitar 2 bulan kok.”
“Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu.”
“Kalau suka, gimana?”
“Ya berarti saya sudah gila.”
“Deal. Siap-siap gila berarti.”
********
Hari-hariku penuh semangat saat ini, dimulai saat pulang dari rumah om ganteng. Bagi orang yang tidak mengenalku, mungkin mereka mengataiku gila. Bahkan, yang kenal saja menganggapku sedang sakit jiwa.
“Kamu menang togel ya, Kla?”
Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Cleva, “Ih sembarangan kamu! Nanti aku ditangkap polisi, gimana? Lagian ya, ini tuh lebih besar dari kemenangan togel.”
“Hayo, ngomongin apa?” Oxel tiba-tiba duduk di depanku dan Cleva, menyomot kentang goreng dari piring Cleva, membuat cewek jangkung di sebelahku itu melotot marah.
“Kamu ini datang-datang nyuri makanan orang. Beli sendiri apa nggak mampu, ya?” amuk Cleva yang bukannya membuat Oxel takut, tapi malah tertawa keras.
“Kla, kamu tahu nggak, kemarin ada cewek liatin aku sinis gitu, tapi pas aku tatap balik, eh dia salah tingkah. Kayaknya, aku terlalu ganteng ya, sampai dia salting gitu.”
Aku manggut-manggut mendengar cerita Oxel selanjutnya. Aku tidak pernah mengerti apa inti dari ceritanya selama ini.
“Ah iya Xel. Aku sama Om kamu buat taruhan loh,” ujarku dengan senyum lebar.
“Jangan-jangan, taruhan ini yang kamu bilang lebih besar dari kemenangan togel?” Cleva bertanya penuh percaya diri.
Aku mengangguk semangat. Oxel tampak ogah-ogahan mendengarku. Pasti dia takut aku jadi tantenya. Hahaha.
“Taruhan apa sih? Kok bisa Om Ardha setuju taruhan sama anak SMA ya? Kekanakan banget.”
Apa ini? Dia bilang calon suamiku kekanakan? Kamu, Xel, yang kekanakan. Punya orang tua tapi manja-manjaan sama orang tua orang lain. Huh!
“Aku minta waktu dua bulan untuk bikin om kamu suka sama aku. Kalau aku gagal, aku ya bakal menjauh. Kalau berhasil, ya liat aja apa kelanjutannya.”
“Kamu nggak takut cowok yang kamu suka risi ya, Kla?” tanya Oxel padaku dengan tatapan serius.
“Emangnya Om ganteng risi digituin? Tapi dia setuju sama taruhanku.”
Oxel menghela nafasnya, “Baru ini aku liat kamu jadi cewek yang kesannya gimana gitu, Kla. Mana sih Kla yang berkelas?”
Aku mengerutkan dahiku, “Kamu kok gitu sih, Xel? Kok kayak si Cecilia, bilang aku kayak gitu. Maksud kamu, aku murahan, gitu kan?”
“Cecilia yang sering ke rumah Om Ardha? Ya gimana aku nggak mikir kayak gitu kalau kamu ngomongin cowok sampai kayak gitu, bikin ilang feeling, tau nggak?”
“Kamu kenal Cecilia? Lagian, peduli amat orang mau ilang feeling sama aku, asal om kamu nggak, Xel. Dan asalkan ada kalian berdua yang dukung aku.” Aku memeluk Cleva dengan tangan kiriku, menepuk-nepuk bahu kirinya.
“Aku lebih dukung Cecilia dari pada kamu, Kla. Aku nggak termasuk pendukung kamu. Umur kamu dengan Ardha itu beda jauh. Lagian Ardha itu nyebelin, Kla, kamu nggak bakal tahan.”
Tunggu, Ardha? Mana sopanmu, Oxel? Wah, kalau aku sudah jadi tantenya, akan kuhukum anak ini.
“Kamu ini, Oxel! Jangan gitu sama om sendiri, ya! Pakai kata depan Om sebelum namanya, atau tante ini pukul kamu. Mau?” ujarku pura-pura marah, kemudian tertawa. Tapi kurasa Oxel tak lagi bercanda, buktinya dia berdiri dengan tatapan serius.
“Terserah kamu, Kla. Yang jelas aku nggak bakalan restui kamu sama Ardha.”
Aku turut berdiri, kesal, “Itu hak kamu, mungkin kamu emang nggak mau punya tante kayak aku, tapi hak aku juga untuk bertingkah kayak gini. Ini kan hidup aku, Xel. Selama ini aku nggak pernah tuh ngamuk-ngamuk nggak jelas pas kamu ke rumahku setiap Sabtu libur. Aku juga nggak pernah marah selebay kamu pas mama dan papa lebih perhatiin kamu daripada aku.”
“Wah, bagus Kla, akhirnya kamu bisa keluarin unek-unek.”
“Kamu tuh kenapa sih, Xel. Lagian jodoh kan di tangan Tuhan. Mau kamu suka atau nggak, kalau nanti aku jadi tante kamu gimana? Aneh kamu tuh!” amukku lalu meninggalkan Oxel yang masih berdiri di kantin. Aku kesal sekali. Bukannya mendukung atau memberikan kisi-kisi tentang apa yang disukai omnya, dia malah memarahiku. Dan dengan ringannya, dia bilang lebih mendukung Cecilia dari pada aku?
“Kla!” panggil Cleva sambil mengejarku. “Kalian berdua kenapa sih? Seram tau liat kalian berdua berantem kayak tadi. Biasanya kan aku yang ngamuk-ngamuk ke Oxel gara-gara jahil. Lagian mungkin dia cuma mikirin usia kamu sama om dia yang beda jauh.”
Aku melirik malas ke arah Cleva, “Kamu mau ikutan Oxel ya, Va?”
“Bukan gitu, Kla. Kamu pikir deh, pasti kalau kamu di posisi Oxel, kamu bakal kaget juga. Mungkin Oxel itu belum bisa terima kalau omnya ditaksir sama kamu. Coba, umur om Ardha itu berapa sih?”
Aku berpikir sejenak, “Mungkin 27? Aku juga nggak tahu, Va, nggak pernah lihat KTP-nya.”
“Ya sudah, coba tanya gih, chat om-nya.”
Aku memberi cengiran, “Nggak punya kontaknya, Va.”
Cleva menepuk dahinya, “Gimana mau pendekatan dan jatuh cinta, kalau kamu kontaknya aja nggak punya, Kla. Kenal udah seminggu lebih gini masih belum punya kontaknya, gila nggak tuh?”
“Gimana, dong?”
Seseorang menyodorkan handphone-nya ke arahku. Itu Oxel. Ngapain dia? Mau ngajak berantem lagi?
“Salin nomor om Ardha!”
Aku tersenyum mengambil handphone Oxel kemudian menyalin nomor om ganteng ke handphone-ku.
“Kla. Maaf sudah marah-marah Tapi tetap, aku bukan pendukung kamu,” ujar Oxel serius.
Aku mengangguk-angguk, mengembalikan handphone Oxel.
“Untuk informasi, om Ardha umurnya tiga puluh, tahun ini.”
Oh tiga puluh.
“Apa? Tiga puluh?” ujar Cleva kaget.
Aku mengibaskan tanganku di depan wajahnya, “Ah, nggak terlalu tua, kok, Va. Cuma ...” aku menghitung perbedaan usia kami. “Tiga belas tahun.”
Apa tadi kubilang tiga belas tahun?
“Kenapa? Kaget? Mau mundur setelah tahu umur Om Ardha?” Oxel mengejekku.
Aku menggeleng, berusaha sok tegar padahal masih terkejut dengan usia om ganteng yang lumayan jauh.
“Ah, sekarang lagi hits kok punya hubungan jarak usianya jauh. Santai aja, sih.”
“Lagian ya, Kla, kamu kalau berhasil dapatin Om Ardha, bonus Oza. Kamu sudah pernah ketemu Oza? Anaknya agak nyebelin.” Oxel lagi-lagi memberi info. Aku baru ingat ada anaknya yang bukan agak menyebalkan, tapi sangat. Apa dia mau berteman denganku ya, sekarang?
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha