“Om Ardha?”
“Oxel?”
“Kla,” ujarku sambil tersenyum menatap Oxel dan om ganteng bergantian.
“Kamu kok bisa pulang bareng Om Ardha sih, Kla? Kenal di mana?”
Aku mengerutkan dahiku. Eh iya, kok Oxel kenal sama om gantengku?
“Lah kamu kok bisa kenal sama om ganteng ini?” tanyaku balik. Om ganteng menepis tanganku yang masih bergelayut bak monyet di lengannya.
“Ini kan pamanku, adiknya Mama, nggak mungkin aku nggak kenal. Ini loh yang aku ceritain anaknya masih kecil,” jelas Oxel padaku. Lah jadi ini omnya Oxel? Kok dunia ini sempit sekali? Yakin ini omnya? Gantengnya sama, sifatnya beda jauh. Omnya ngangenin, keponakannya kadang menyebalkan, walau omnya lebih dingin sih dari Oxel.
“Jadi tiap Sabtu, kamu itu ke sini ya, Xel? Pantas Minggu sampai Jumat selalu ada untuk jaga Oza, giliran Sabtu hilang ntah kemana,” tuduh om ganteng pada Oxel. Iya, Om, marahin aja, dia masuk-masuk ke rumah orang, pulang sore lagi, kadang sampai malam, nggak sadar diri. Tunggu dulu, kok sama kayak aku, ya?
“Siapa, Xel, kok lama banget di depan pintu?” Mama datang dari arah belakang Oxel dan tersenyum hangat pada om ganteng, “Eh ada Ardha? Ayo masuk.”
Oxel menatap bingung ke arah Mama, “Kok Tante kenal sama Om Ardha?”
Mama turut bingung, “Lah ini yang tadi siang Tante ceritain soal guci pecah. Jadi ini om kamu? Wah kebetulan banget, ya? Sama gantengnya. Ayo masuk semua!”
“Saya mau pulang saja, Bu, nggak enak kalau merepotkan. Sekalian mau bawa pulang Oxel yang kayaknya lebih merepotkan lagi.” Wah, manis sekali suaranya kalau sama Mama. Giliran denganku, bukan main garangnya.
“Eh jangan, Om, makan aja dulu. Sesekali kan makan bareng di sini,” ujarku manis sambil menaikturunkan alis menatap om ganteng. “Kalau Oxel, sudah biasa ngerepotin di rumah ini. Kadang aku bingung, di rumah ini, yang anak kandung itu aku atau dia,” ujarku jahat.
“Klatina! Nggak boleh gitu. Sudah, jangan ada yang komentar lagi. Ayo masuk, makan.”
Yes! Makan malam pertama bersama om ganteng. Aku akan catat ini di buku harianku, di lembar spesial.
********
KRING!!!!
Oh tidak, kenapa alarm di handphone-ku bersuara nyaring seperti ini? Pasti karena aku lupa mengganti nadanya. Tanpa bisa mengelak, aku bangun dengan mata yang benar-benar sudah tidak mengantuk lagi. Aku benci pagi Senin yang menyebalkan. Bukan, aku tidak membenci upacara, lagipula sepertinya subuh tadi hujan deras, jadi tidak akan ada upacara kalau tanah di lapangan basah. Aku membenci pelajaran pertama di hari Senin. Ekonomi.
Setelah mendapat teriakan-teriakan false dari Mama atas terlambatnya aku keluar dari kamar, aku pun berpamitan ke sekolah. Aku sudah mandi dan rapi tentu saja. Jangan lupa, wangiku sudah bisa tercium di mana-mana. Artinya aku siap ke sekolah.
Memasuki gerbang sekolah, aku sadar, dalam hitungan bulan, aku akan meninggalkan sekolah ini. Bahkan, bisa dibilang dalam hitungan hari sekarang. Sebentar lagi, aku akan melepaskan seragam dan memakai pakaian biasa, layaknya mahasiswa. Aku tersenyum gemas memikirkan bagaimana nanti kalau aku sudah jadi mahasiswa. Aku akan bergaya secantik mungkin, demi mendapat perhatian om ganteng. Itu pun kalau aku belum mendapat sinyal hijau darinya. Kalau sudah, ya bagus.
“Kla, kamu sudah buat PR dari Pak Gading, belum?” tanya Cleva padaku, saat baru saja kaki kananku memasuki kelas.
PR? Aku berpikir keras. PR? Kapan diumumkan kalau pelajaran Ekonomi ada PR? Bukannya kemarin ada ulangan Akuntansi? Kenapa ada PR? Astaga! Itu PR minggu lalu, sebelum ulangan. Diminta mengerjakan lembar kerja siswa dan harus dikumpul pagi ini sebelum jam pertama dimulai. Aku melirik jam tanganku. Sepuluh menit tersisa. Bagus.
“Nih, salin aja punya aku. Udah yakin banget kamu lupa, Kla.”
“Duh, sahabat terbaik!”
Tak sampai lima menit, aku selesai menyalin jawaban Cleva. LKS semua dikumpulkan ke meja ketua kelas, karena dia yang akan mengumpulkannya ke ruang guru. Aku tentu saja malas mengumpulkannya ke ketua kelas, jadi aku meminta Cleva yang melakukannya. Untungya sahabatku itu mengerti kondisi.
“Hai, Kla!” Oxel tiba-tiba datang ntah dari mana, dan duduk di bangku Cleva.
“Kamu ngapain ke sini? Sebentar lagi bel.”
“Biarin, kan guru mau rapat katanya, satu jam pelajaran. Jadi jam pertama kita semua kosong. Tapi cuma untuk kelas dua belas, soalnya yang rapat guru kelas dua belas.”
Aku mengangguk-angguk mengerti. Syukurlah, berkurang satu jam pelajaran untuk melihat wajah Pak Gading.
“Ohya Xel, Om kamu itu ganteng banget, ya? Suamiable banget.”
Oxel mengerutkan dahinya, “Suamiable?”
Aku mengangguk semangat, “Iya, cocok dijadiin suami.”
Oxel menyentil dahiku kuat.
“OXEL! Sakit, bego!”
Cowok berlesung pipi itu malah tertawa keras melihatku sibuk mengusap-usap dahi, “Biar sadar. Lagian aku nggak ikhlas kalau kamu suka sama Om Ardha.”
“Belum siap jadi keponakanku ya?” tanyaku sambil menyipitkan mata. “Awas aja kalau nanti aku jadi Tante kamu, kamu bakal aku siksa.”
Oxel menatapku tanpa ekspresi, “Bukan itu alasannya,” ujarnya lalu keluar dari kelasku.
Dia kenapa sih, dari kemarin hal-hal tidak jelas keluar dari mulutnya.
********
Maafkan anakmu, Ma, bukannya langsung pulang, aku malah mampir ke rumah orang. Masih jam tiga, belum begitu sore, tidak ada salahnya kan main sebentar ke rumah om ganteng? Searah juga kok sama rumahku. Kata orang, kalau mau dekat dengan makhluk ciptaan Tuhan, dekati dulu penciptaNya. Aku sudah berdoa semoga om ganteng mau membalas perasaanku, menjadi suamiku. Jadi, sekarang aku tinggal usaha dan mendekati ciptaan si om ganteng, alias anaknya. Mendekati anaknya juga salah satu modus untuk dapatin bapaknya, kan? Lagipula, aku ke sini bukan dengan tangan kosong. Saat ini, aku membawa sekotak donat.
Dengan mantap, aku menekan bel rumah om ganteng, menunggu Mbak Tiwi atau om gantengnya sekalian, membuka pintu. Tapi, aku menyadari bahwa pintu rumah itu sedikit terbuka, jadi apa gunanya tadi aku menekan bel? Toh, aku sudah pernah ke sini, kan? Lagipula, siapa suruh pintunya terbuka. Untung aku yang datang, bagaimana kalau pencuri?
Baru kakiku hendak melangkah, Oza keluar dengan wajah kesal. Apa dia memiliki firasat aku akan datang, membuat wajahnya ditekuk begitu? Aku berlutut, menyejajarkan diri dengan anak kecil itu,
“Hai, Kakak datang bawa ini!” ujarku semangat sambil mengangkat kantong plastik berisi kotak donat. Bukannya menyambut atau memarahiku, Oza tampak menahan tangis. Sebenarnya, aku sejak kemarin ingin membuat anak menyebalkan ini menangis, tapi kenapa sekarang saat dia hendak menangis, aku jadi tidak tega?
“Kamu kenapa, Za? Ini Kakak bawain donat loh. Rasa keju, stroberi, apalagi ya? Ayo masuk, kita makan sama-sama,” ujarku ramah kemudian menggenggam tangannya, berniat mengajaknya ke dalam.
Oza menahan tanganku, kemudian tangisnya pecah. Ya Tuhan, aku tidak tega kalau seperti ini jadinya.
“Kamu kenapa, sayang? Jangan nangis, dong. Kakak jadi ikut sedih, tau!”
Oza berusaha meredam tangisnya, menghapus air mata dari pipinya, “Tante merah mau rebut Papa, mau ambil rumah Oza,” tunjuknya ke arah dalam rumah.
Aku mengerti sekarang. Dia pasti kesal melihat tante genit yang menggoda om ganteng dan si tante genit ini pasti tidak memperlakukan Oza dengan baik. Kurasa masalah ini bisa kugunakan untuk mendekatkan diri dengan Oza.
“Kamu mau nggak kerja sama dengan Kakak?” tanyaku, disambut tatapan bingungnya. Jelas saja bingung, anak usia 4 tahun mana mengerti bahasaku.
“Udah, sini ikut Kakak. Kita ke dapur dulu.”
Aku mengendap-endap bersama Oza menuju dapur dengan donat bawaanku tadi. Aku mencari cabai bubuk di dapur itu, setelah sebelumnya bertanya pada Mbak Tiwi di mana letak cabai bubuknya. Mbak Tiwi terkejut melihat Oza yang matanya merah akibat menangis tadi. Mbak Tiwi mengira Oza sedang asyik bermain dengan si tante merah, ternyata malah mewek ke luar rumah.
“Untung Mbak Kla datang. Saya nggak tahu kalau cewek seksi itu ngebiarin Oza sendirian gitu. Pak Ardha sebentar lagi pulang, kok.”
Aku manggut-manggut sambil menaburkan bubuk cabai level 10 ke atas donat yang tadi kubawa. Biar rasa itu tante. Seenaknya jahatin calon anakku dan mau rebut calon suamiku. Tidak akan kubiarkan.
“Nah, Mbak Tiwi, ini tolong dihidangkan ke tante di luar, ya?” pintaku pada Mbak Tiwi sambil menyerahkan sepiring donat.
Mbak Tiwi menatapku bingung karena telah melihat donat itu sudah kubumbui cabai level 10.
“Udah, Mbak, kasih aja,” paksaku.
Aku mengedipkan sebelah mata pada Oza, dibalas senyum manis dari anak itu. Akhirnya dia mau tersenyum ke arahku. Semoga ini permanen. Aku dan Oza mengintip ke arah ruang tamu dari dapur. Bersamaan dengan diletakkannya donat di atas meja tamu, di depan tante aneh yang duduk sok manis, om ganteng pulang.
“Eh, Ardha, akhirnya kamu pulang juga,” ujar tante genit sok manis. Ih, lihatlah dia, bajunya saja ketat sekali, pendek dan tanpa lengan. Rasanya aku ingin memberikan seragam sekolahku ini padanya. Manusia itu apa kekurangan uang untuk membuat pakaian?
“Kamu ngapain ke sini?” tanya om ganteng cuek. Aku menahan tawaku melihat ekspresi kecewa tante genit karena pertanyaan om ganteng.
“Papaaaaa!” Oza berlari keluar dari dapur ke arah om ganteng, kemudian om ganteng mengangkatnya.
“Eh, ada Oza. Kamu kemana aja? Dari tadi Tante nyariin, loh.”
Nyariin dari Hongkong! Oza saja sampai menangis gara-gara kamu kacangin, nenek sihir! Dia yang lebih cocok jadi nenek sihir, bukan aku. Dasar calon ibu tiri jahat. Lebih baik aku kemana-mana, walau masih harus menunggu 4 tahun lagi sampai aku matang sempurna.
“Donat,” tunjuk Oza ke donat pedas racikanku.
“Kamu mau ini, sayang?” tante genit mengambil satu donat dan mengarahkannya ke Oza. Anak kecil itu menggeleng kemudian mendorong pelan tangan tante genit, maksudnya biar si manusia menor yang memakannya.
“Ya sudah, Tante yang makan, ya?” tanyanya kemudian memasukkan donat itu ke dalam mulutnya.
Bagus.
Wajah aneh tante genit membuatku berusaha menahan tawa sekeras mungkin.
“Kenapa?” om ganteng memberikan tatapan bingung pada tante genit.
Tante genit mengambil tisu yang ada di dalam tasnya, memuntahkan donat yang tadi ia makan.
“Donat apa sih ini? Apa ada varian baru? Aku butuh air!” Tante genit sibuk mengipas mulutnya, mungkin berharap pedasnya hilang.
Mbak Tiwi sepertinya mengetahui keributan ini, buktinya dia keluar membawa air.
“Biar Kla aja, Mbak,” pintaku kemudian mengambil alih antar minuman.
“Ini minumnya, Tante.” Aku memberikan minuman pada tante genit. Gila! Walaupun dia menyebalkan, tante genit ini cantik sekali. Memang, bibirnya merah, sama merahnya dengan pakaian ketat yang dikenakannya, tapi tetap saja dia sangat cantik. Berbeda denganku yang sudah lusuh, bau keringat dengan seragam SMA yang agak kebesaran padahal aku sudah mau lulus.
Aku tertawa kecil melihat wajah cantik tante genit jadi merah, dan sepertinya tawa kecilku dilihat oleh om ganteng.
“Ini ulah kamu, kan?” tembaknya tepat sasaran dengan wajah penuh amarah.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Tatapan om ganteng sangat tajam, menakutkan sekali. Kenapa dia malah tambah tampan? Marah saja begini, gimana senyum? Tante genit turut menatapku tajam, karena merasa dijadikan korban.
“Kamu siapa? Benar yang dibilang Ardha, kalau ini kamu yang punya kerjaan? Donat pedas, ulah kamu? Iya?” tante genit mengamuk, memojokanku. Ini tidak lucu. Ini menyeramkan.
“Kamu pasti mengoroti pikiran anakku, mengajaknya bekerja sama. Iya, kan?” tanya om ganteng yang malah kudengar sebagai pernyataan yang menyudutkanku, makin ke sudut.
“Memangnya dia siapa sih, Ar, sampai dengan nggak tahu malunya masuk rumah orang dan ganggu kita, trus ajak kerja sama anak kita, Oza.”
Anak kita?
“Anak kita?” ulang om ganteng.
“Oza kan sudah kuanggap anak sendiri, toh bentar lagi juga kita bisa nikah untuk mewujudkan dua kata itu.”
Om ganteng nampaknya menghembuskan nafas kesal, kemudian memijit pelipisnya, menurunkan Oza dari gendongannya dan membisikkan sesuatu ke anak kecil itu. Kurasa om ganteng memintanya untuk pergi dari sana, buktinya Oza langsung masuk ke dapur mencari Mbak Tiwi. Om ganteng yang tadi penuh amarah padaku, memenjarakan tante genit dengan tatapan buasnya. Seperti singa mau menerkam rusa, dalam artian jahat.
“Jangan menambah masalah Cecilia, jangan juga menyebar gosip menyebalkan. Bagusnya kamu keluar sekarang, pulang ke rumahmu sendiri. Aku lelah.”
Tante genit menyentuh bahu om ganteng, “Kalau lelah, sini biar aku pijat, atau kita harus refreshing seperti jalan-jalan? Kita bisa bawa Oza kalau–“
“Aku bilang pulang!” bentak om ganteng membuat si tante genit kekurangan bahan kaget bukan main. Aku saja kaget, apalagi dia yang dibentak.
“K-kamu tega bentak aku, Ar? Di sini aku yang jadi korban, bahkan bibirku masih panas akibat donat itu, dan kamu malah bentak aku, bukannya kasih pelajaran ke anak nggak tahu sopan santun yang masuk ke rumah orang ini?” Tante genit menekuk wajahnya, seakan tersakiti. Dasar! Kalau dia tersakiti, bagaimana Oza?
Tante genit itu sekarang beralih ke arahku, seakan-akan memindai tubuhku, dia menatapku dari atas hingga bawah, kemudian terawa sinis.
“Kamu ngapain sih di sini, di rumah orang? Jangan-jangan kamu ini anak sekolahan yang kekurangan uang ya, jadi mau menggoda Ardha, begitu?”
Apa aku terlihat serendah itu? Aku tidak terima dibilang siswa tidak benar. Memang, aku menyukai om ganteng tapi aku tidak serendah itu. Seandainya bisa, ingin kucabik mulut tante genit ini, tapi bahkan dilihat dari tinggi saja aku kalah telak. Bahkan aku kalah di bagian apa pun dari tante genit ini, kecuali otak mungkin, Karena aku bukan manusia jahat yang tega untuk tak acuh pada anak sekecil Oza.
“Dari diammu, aku kira jawabannya iya. Kau pasti anak sekolahan tidak benar yang sedang mengincar Ardha, kan? JAWAB!” Tante genit menoyor kepalaku, membuatku kesal sekali.
“Maaf, aku bukan perempuan seperti itu,” ujarku datar dengan mata yang kurasa nyaris lepas, menatap si tante genit.
“Terus mau dibilang apa kalau gitu? Perempuan nggak benar? Pelakor? Perempuan pencari om-om?”
“Cukup Cecilia!” om ganteng kembali membentak si genit yang bernama Cecilia itu. Aku mematung. Mungkin jika dilihat dari sudut pandang orang lain, apa aku sejenis perempuan itu? Apa salah kalau aku jatuh cinta pada pria dewasa seperti om Ardha si om gantengku? Atau om Ardha juga memikirkan hal yang sama seperti Cecilia? Mereka kan sama-sama dewasa, pasti pemikiran seperti itu pernah hinggap di kepala om, kan?
Ntahlah, aku sedih sekali. Rasanya aku mau runtuh, jatuh, tapi kutahan. Baru kali ini aku merasa malu sekali. Mungkin, aku memang salah untuk jatuh cinta pada pria yang usianya saja jauh di atasku. Oke, aku rasa ini bukan tempatku. Aku harus pulang.
“Maaf kalau begitu, maaf untuk semuanya. Tapi, aku bukan manusia murahan seperti yang Tante sebutkan tadi. Permisi.” Aku berbalik, menuju dapur mengambil tasku. Oza hanya melihatku saja, tanpa bisa berkata. Mungkin anak kecil itu juga tidak menyukaiku, begitupula ayahnya. Yah, paling tidak, om Ardha, atau bolehkan hanya kupanggil Ardha, tahu perasaanku. Dari tingkahku selama ini juga sudah jelas aku menyukainya.
Keluar dari dapur, aku melewati om Ardha dan Cecilia. Namun, baru saja langkah kaki kananku melewati pintu utama, om Ardha menahan lenganku.
“Kamu masih bisa di sini. Yang seharusnya pulang itu Cecilia.”
Ataga om ganteng! Kenapa ini? Kan aku jadi deg-degan lagi.
“Kok aku?” Cecilia tidak terima, “Atau jangan-jangan, kamu memang doyan sama bocah kerempeng ini, Ardha?”
Cecilia mendekatiku lalu mendorongku pelan, “Jawab sekarang, dibayar berapa kamu sama Ardha, hm? Jawab!”
“Cecilia silakan keluar! Klatina bukan perempuan bayaran, tapi dia pacarku.”
APA?
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha