Di antara semua adjektiva yang aku tahu, senyap bukanlah kata yang menggambarkan tim kami. Begitu pula dengan sunyi, hening, dan damai. Seharusnya, aku tidak lega terlalu cepat. Karena ketenangan di antara kami itu hanyalah pembuka sebelum badai.
Dalam kelas LS hari ini, ada 72 siswa yang berpartisipasi, termasuk aku dan Kak Tessa. Itu artinya, ada 30-an anak kelas XI dan XII yang tidak hadir, termasuk Kak Daya dan Kak Saza, yang membuat kecemasanku makin lama makin mendekati panik. Mengapa mereka tidak datang? Bukankah kegiatan ini wajib? Memang sih, kalau mereka sakit pasti dimaklumi. Tapi aku ragu Kak Daya dan Kak Saza akan sakit pada saat yang bersamaan. Kecuali kalau ada yang namanya penyakit musiman khas Reksaraga. Tapi kalau penyakit itu ada, maka harusnya jumlah peserta kelas ini makin sedikit lagi.
“Kamu pikir semua orang itu sekurangkerjaan kamu?” kata Kak Fira judes. “Kak Daya dan Kak Saza itu sibuk ngurusin administrasi keluarga, tau.”
Aku melirik Kak Tessa, yang setelah pulih dari ngos-ngosan pendakian tadi, sekarang sudah bisa berjalan dengan pose malas-malasannya yang biasa. Selain itu trek kami sekarang agak menurun, sehingga tidak terlalu menguras otot.
Kak Fira langsung terkesiap.
“Ah, maaf, bukan maksud aku nyindir Kak Tesis!”
Kak Tessa mengedik tak peduli.
“Gue emang kurang kerjaan kok. Dan jangan panggil Tesis, rasanya gue jadi genius dengernya.” Yang terdengar satir kalau diucapkan oleh Kak Tessa.
“Jadi… kamu putra Om Ale…?” tanya Kak Nirmala pelan.
KRAK! Sebuah ranting diinjak keras-keras di belakang kami. Aku tidak mau menoleh.
Kak Tessa mengedik lagi. “Papa pasti lagi nangis di alam kubur sekarang, karena anaknya terjebak situasi begini.”
KRAKKKK!!! Sebuah ranting lain diinjak dengan lebih keras. Tapi kali ini disusul suara kaki yang melompat-lompat. Sepertinya ranting yang barusan terlalu besar dan menginjaknya membuat si penginjak kesakitan.
“Om Alegori!” seru Kak Fira. “Beliau termasuk tokoh yang sering diceritain di rumahku.”
Kak Tessa mengangkat satu alis. Kak Fira mengangguk bersemangat.
“Om Alegori dan Om Fabel sahabat dekat dari kecil kan? Katanya paviliun yang kebakaran gara-gara mereka dibiarin gosong sampe sekarang ya?”
“Mana gue tau,” kata Kak Tessa. “Gue belum pernah ke rumah utama.”
“Lo sujud-sujud pun, nggak bakal ada yang ngizinin lo masuk,” kata Kak Adrian dari belakang kami, “Pengkhianat!” sumpahnya sambil meludah.
“Kenapa lo balik sekarang, Tess?” tanya Kak Kemal dengan suaranya yang sangat dalam. Kalau hanya menilai dari situ, dia sepertinya orang yang sangat tenang. Tapi aku tidak boleh terkecoh: mana ada orang baik-baik yang mau ngintil-ngintilin tukang sate mulut petasan seperti Kak Adrian? “Jangan bilang sekarang lo butuh Perisai, padahal selama ini lo selalu menutup mata. Kita ini bukan organisasi sukarela, yang memberi tanpa mengharap kembali.”
Kak Tessa menoleh sekilas.
“Lo pikir, gue orang yang sukarela, memberi tanpa mengharap kembali?”
“Jadi lo menganggap kembalinya lo karena kita butuh lo?!” sambar Kak Virgian pedas.
“Gue nggak bakal menjawab pertanyaan itu, karena kalian nggak bakal suka.”
“Apa lo bilang?!”
WHOOOOOSSSHHH—
“Kak Tessa!” pekikku, tidak bisa lagi tenang.
Kak Tessa mengobarkan api yang menyala-nyala di lengan kanannya, menjilat-jilat kulitnya tanpa membuat terbakar, bahkan membiarkan kausnya tak tersentuh. Aku tahu itu kemampuan level tinggi, bahkan di antara Adikala terbaik sekali pun. Semakin besar kobaran api yang dibuat, semakin sulit mengendalikannya. Pada dasarnya, pengendalian api bukanlah kemampuan menimbulkan atau menembakkan api, tetapi kemampuan memilih titik mana yang harus dibakar, sehingga pengendalian api bukanlah cara menghancurkan, atau menyerang, melainkan cara melindungi dan bertahan.
Ketika api di lengan Kak Tessa padam, gambaran api yang begitu hidup telah terpatri dalam ingatan kami. Kak Adrian dan gengnya kehilangan hinaan karenanya.
“Lo nggak menganggap gue saudara?” kata Kak Tessa, kembali menggunakan nada mencemoohnya yang khas dan membuat orang ingin mencincang tapi segan itu. “Sama. Gue juga. Sayangnya gue yang memimpin keluarga, jadi…” Dia berhenti melangkah dan berbalik menghadapi sepupu-sepupu jauhnya yang begitu geram sampai rahang mereka terkatup rapat. “Lo sadar siapa yang nggak berhak menyandang nama Adikala kan?”
“APA?!!” Kak Adrian maju sambil mengeluarkan bola api.
“Dri!” Kak Kemal mencoba memperingatkan, tetapi Kak Adrian tidak peduli.
Kak Tessa menangkis bola apinya tanpa susah payah. Tetapi bola api itu hanya pengecoh. Serangan yang sebenarnya adalah bogem mentah Kak Adrian.
Seperti yang sudah pernah kukatakan, Kak Tessa akan menang kalau mereka saling sundut, tapi bakal langsung kalah kalau saling tinju. Tubuh kurusnya terpelanting ke belakang dihantam pukulan Kak Adrian, seperti boneka ragdoll yang tak berbobot.
“Dri!!” Kali ini bukan hanya Kak Kemal, tetapi Kak Chandra juga maju untuk mengunci bahu Kak Adrian. Mereka menahan Kak Adrian bukan untuk menolong Kak Tessa, tetapi agar Kak Adrian tidak bertindak lebih jauh dan membuat dirinya dikenai sanksi berat. Menghajar kepala keluarga adalah dosa besar di klan manapun. Salah-salah, dia bisa dikira kudeta. Dan itu akan membuat seluruh keluarga dekatnya terkena imbasnya.
Aku bergegas hendak membantu Kak Tessa berdiri, tetapi Kak Tessa menepis uluran tanganku. Darah mengalir lewat sudut bibirnya. Dia membetulkan kacamatanya yang miring, melangkah mendekati Kak Adrian, yang sedang meronta ingin melepaskan diri dari cekalan Kak Kemal dan Kak Chandra. Tidak sia-sia deh mereka semua berukuran rambo.
Kak Tessa agak membungkuk ke depan, menelengkan kepalanya ke kiri sambil tersenyum. Kak Adrian pun membeku menatap ekspresi yang ditunjukkan Kak Tessa.
“Kenapa lo mukul gue, Dri?” tanyanya. Dia terdengar seperti anak kecil yang menanyakan mengapa langit berwarna biru. Terdengar begitu polos, rasanya mengerikan. “Bukannya lo Adikala, yang bisa memanggil api sesuka lo? Atau jangan-jangan… sebenernya api lo lemah? Jadi sebenernya… lo cuma pecundang yang nggak bisa apa-apa?”
“Atau jangan-jangan bener? Lo sebenernya nggak bisa apa-apa? Jadi sebenernya lo cuma pecundang yang nggak bisa apa-apa?”
Itu adalah kata-kata yang dilontarkan Kak Adrian padaku tadi pagi.
Aku tidak menyangka Kak Tessa mendengarnya, mengingatnya, bahkan menggunakannya untuk membelaku.
Namun, meskipun aku senang Kak Tessa membelaku, tetapi aku takut melihatnya seperti ini.
Kak Adrian meronta lagi, kali ini dibarengi dengan kemunculan api di kedua lengannya, membuat Kak Kemal dan Kak Chandra tak punya pilihan selain melepasnya.
“Bangsat! Nggak usah sok kuat looo!!!” maki Kak Adrian. Dia melepaskan carrier-nya lalu menerkam Kak Tessa, sehingga mereka berguling-guling di tanah yang miring ini. Api Kak Adrian mengenai semak-semak, menyulutnya menjadi api unggun.
Tidak perlu waktu lama, api segera menyebar, mengelilingi kami dalam lingkaran yang panas dan merusak. Kak Nirmala menjerit lalu meringkuk seperti bayi. Kak Fira berdiri dengan punggung tegak, siaga, meski dengan kemampuannya, dia tidak punya cara menghentikan perkelahian ini. Kak Kemal, Kak Chandra, dan Kak Virgian berteriak-teriak menyuruh Kak Adrian berhenti, seraya mencoba menghalau api dari sekitar.
Sementara bagiku… langit bagaikan berubah warna. Cahaya jingga memenuhi penglihatanku. Dari balik kobaran api, manusia-manusia setengah iblis bermunculan, geliginya yang panjang dan runcing siap untuk menggigit nadi, merobek daging dari tulang—
Jeritan-jeritan kesakitan memenuhi pendengaran. Asap membubung, membuat mataku perih, sementara panasnya benar-benar tak tertahankan. Sebuah bola api besar terbentuk. Benda itu akan menghabisiku. Aku harus melakukan sesuatu.
Ujung-ujung jariku terasa seperti kesemutan, suatu energi yang asing, sekaligus familiar, terkumpul di sana, ingin dilepaskan. Aku menahannya. Tetapi aku tak cukup kuat. Tak menemukan jalan keluar, energi itu mengalir ke lenganku, ke bahu, terus sehingga seluruh tubuhku merupakan gumpalan energi yang termampatkan.
“Legenda!!!” seseorang menjerit memanggil namaku.
Siapa?
Sesuatu yang tajam menyerang kepalaku. Rasanya seperti ribuan jarum yang menembus tengkorakku.
“Legenda!!! STOP!!! ”
Kekuatanku lebih besar.
Aku tahu.
Kukerahkan energi itu untuk menghalau serangan. Pada saat yang bersamaan, kudengar seseorang menjerit. Disusul dengan bunyi gedebuk tubuh yang roboh.
Kemudian serangan lain terjadi. Tidak menyakitkan, tetapi lebih mematikan. Seperti kain hitam yang ditutupkan ke atasku, melemparku ke dalam kegelapan. Kucoba melakukan hal yang sama seperti tadi. Tetapi kali ini energiku seperti tersedot, lenyap entah kemana. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan mana bawah. Tubuhku bagaikan melayang, tetapi aku tahu sebenarnya aku terbaring di tanah, kehilangan sensasi di seluruh permukaan kulitku, seperti terlalu lama direndam dalam air dingin.
Sesaat, pemandangan di depanku kembali normal.
Pohon-pohon yang tinggi. Semak-semak yang diliputi jelaga. Langit biru.
Dan sesuatu hitam bersayap terbang berputar-putar ratusan meter di atasku. Badai telah datang.
Itulah hal yang terakhir kuingat.
#
Sebelum terbangun di ruangan serba abu-abu yang membuat depresi.
Klinik Perisai.
Merah adalah warna milik Adikala, putih milik Atmaspara, dan hitam milik Reksaraga.
Perisai memilih abu-abu. Semua hal tentang Perisai berwarna abu-abu. Dinding sekolah, atap, bahkan sampai piring yang digunakan kantin. Klinik tak terkecuali. Perisai tidak percaya pada yang namanya psikologi warna.
“Le!” seru Mitos. Sedetik kemudian, Fakta melakukan hal yang sama. Keduanya memelukku. Lebih tepatnya menggabruk sih.
Beberapa kepala muncul dari balik tirai yang menyekat kamar rawatku dari kasur-kasur sebelah.
Kak Tessa. Pak Rangga. Dan… Kak Nirmala.
Kak Tessa menarik satu kursi lalu duduk. Kacamatanya retak dan terlihat longgar, engselnya patah dan sekarang direkatkan darurat dengan selotip. Pak Rangga dan Kak Nirmala tetap berdiri.
“Legenda, kamu ingat kenapa kamu dibawa kemari?” Pak Rangga bertanya. Tidak, lebih tepatnya, menginterogasi.
Kuceritakan semua yang kuingat. Bahkan aku pun menceritakan perkelahian Kak Tessa dan Kak Adrian, yang membuat semak-semak terbakar dan menimbulkan flashback bagiku.
Selama satu menit, gunung Perisai ini berubah menjadi bukit Getigeni. Orang-orang di dekatku berubah menjadi vampir-vampir yang telah mencuri kekuatan supranatural orang lain. Siang menjadi malam.
Dan kekuatanku…
kembali.
“Kak Fira!” teriakku, teringat akan serangan ribuan jarum, yang pastilah berasal dari sepupuku itu.
“Dia baik-baik saja,” kata Pak Rangga.
“Aku kira Kak Fira nggak bakal terpengaruh,” kataku dengan suara bergetar, campuran antara lega dan bersalah. “Justru harusnya dia yang bisa mengerem kalau aku kelepasan.”
“Kami pikir juga begitu,” kata Pak Rangga muram. “Tapi Fira belum cukup kuat buat melawanmu. Pada akhirnya Kamitua lagi yang harus bergerak. Waktu kami lihat Kamitua terbang, saya langsung tahu kelompok kalian pasti dapat masalah.”
Aku menatap kedua tanganku yang juga gemetar. Mitos menggenggam salah satunya, dan Fakta menggenggam yang lain.
“Kenapa… Kamitua nggak bikin aku pingsan aja selamanya?” kataku pelan.
“Le!” tegur Mitos.
“Ini salah gue,” cetus Kak Tessa, membuat kami semua menoleh. “Seharusnya gue nggak memprovokasi Adrian. Gue tau dia cuma tong sampah yang nggak ada sampahnya. Tapi gue gerah sama lagaknya, jadi gue gatel pengen ngasih dia pelajaran. Penyebab Legenda dapat flashback itu gue.”
“Kak Tessa…” Fakta berucap, tetapi tidak ada kelanjutannya.
“Tapi…” Kak Nirmala berujar, dengan suaranya yang mencicit. “Adrian marah awalnya karena aku bicara soal Om Ale.”
Kak Tessa menggeleng. “Nggak Mal. Lo cuma membuka topik simpel, nggak ada yang salah dengan itu. Yang bikin Adrian bener-bener ngamuk itu tetep gue.”
“Memang kamu sudah keterlaluan,” kata Pak Rangga setuju. “Saya masih belum paham kenapa kamu tiba-tiba mau ikut kelas ini, padahal sudah berbulan-bulan kamu menolak.”
Kak Tessa melirik Mitos, kemudian jelaslah bagiku. Mitos pasti meminta tolong padanya untuk menjagaku. Padahal dia juga tahu betapa enggannya Kak Tessa terlibat dalam urusan Perisai.
“Sori Mit, gue malah bikin kacau,” dia berkata.
Mitos menggeleng.
“Aku juga sebel banget sama Kak Adrian. Malah menurutku, kalau akhirnya bakal begini, harusnya sekalian aja, permak tuh mukanya. Atau sundut rambutnya. Siapa tau kalau afro dia bakal gantengan sedikit.”
Fakta mendengus.
“Hei, begitu-begitu juga dia masih cucunya kakak iparnya kakek saya,” kata Pak Rangga. “Paling tidak jangan sampe jadi afro lah, ikal-ikal sedikit aja.”
Mitos meledak tertawa mendengarnya. Kak Tessa menyeringai, seperti anak nakal mendapat ide untuk mengerjai gurunya yang menyebalkan. Bahkan Kak Nirmala menekap bibirnya dengan satu tangan.
Aku tidak bisa tertawa.
Pak Rangga membiarkan suasana cair selama beberapa menit, sebelum kembali ke mode serius.
“Tapi semua ini nggak sia-sia,” katanya. “Memang menimbulkan korban, tapi, Fira cuma pingsan. Tenang, dia cukup terlatih. Begitu dia menyadari kalau dirinya diserang balik, dia nggak memaksakan dan men-shutdown dirinya. Jadi ini meminimalisir risiko yang dia terima. Selain dia, tidak ada lagi yang shutdown. Bisa dibilang, dengan menjadikan Fira sebagai benteng, kita bisa membatasi kerusakan yang kamu timbulkan.”
“Dengan mengorbankan Kak Fira?” kataku penuh horor.
“Dengan mengandalkan Fira,” ralat Pak Rangga. “Fira tahu risikonya. Dan dia tahu apa yang harus dilakukan. Paling tidak, sekarang kita bisa menyusun strategi dengan adanya kamu, Fira, dan Daya.”
Aku tidak suka mendengarnya. Meski logikanya bisa diterima oleh otakku. Menjadikan Kak Fira sebagai tameng? Bukankah itu terlalu kejam?
“Jadi kamu akan terus latihan dengan dengan Fira. Ada banyak hal yang harus kamu lakukan, banyak yang perlu kita ketahui soal kekuatanmu. Seberapa jauh jangkauannya. Seberapa besar efeknya. Berapa lama kamu bisa menggunakannya setiap kali.”
“Kalau udah tau,” kata Mitos, “lalu apa? Kalian mau memanfaatkan Legenda?!”
“Kami mengajak Legenda untuk berkontribusi,” ralat Pak Rangga, tapi aku tahu dia cuma mengganti kata saja.
“Bukannya Perisai didirikan supaya kami nggak dimanfaatkan di luar kemauan? Kalau kalian juga mau manfaatin kami, terus apa bedanya dengan orang-orang itu?” tandas Mitos.
“Berhenti pakai kata memanfaatkan, Mit. Pandanganmu bias. Lihat semua ini dengan sudut pandang Perisai.”
“Kenapa? Aku bukan orang Perisai.”
“Meskipun kamu ada di Matra sekarang ini?”
“Kami datang karena terpaksa! Kalian bilang mau membantu Legenda. Kalian bilang setelah masalah Getigeni itu bakal ada lagi kelompok-kelompok lain yang bakal menginginkan Legenda.”
Pak Rangga mengangguk. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya begitu tua, seperti veteran perang kemerdekaan yang seharusnya tinggal duduk-duduk menikmati masa pensiunnya. Padahal dia belum tiga puluh tahun.
“Mit,” katanya lambat-lambat. “Perisai itu bukan organisasi sukarela, yang hanya memberi dan tak mengharap kembali.”
#
Para guru sepakat bahwa kecelakaan apapun yang mungkin terjadi gara-gara aku, kelas LS dilanjutkan seperti biasa. Ledakan yang terdengar, termasuk kemunculan Kamitua, dijadikan masalah sepele oleh para guru. Tapi tetap saja, ada rumor yang menyebar. Apalagi, tak satu pun dari tim kami kembali ke checkpoint pada waktu yang ditentukan. Rumor semakin kencang begitu diketahui bahwa Kak Fira harus dirawat, kacamata Kak Adrian ganti, dan Kak Tessa kembali ke Matra pada hari Senin, mengenakan kacamata baru dengan model frame yang sama (jadi tidak ada bedanya), membawa ransel berisi baju ganti dan dokumen registrasi.
“Gue cuma lagi pertukaran pelajar,” katanya ketika Mitos membombardirnya dengan pertanyaan.
Bohong banget. Ngapain pertukaran pelajar ke sekolah yang masih ada di kota yang sama? Apalagi, dua bulan lagi Kak Tessa mau ujian.
Begitu sekolah bubar, Mitos dan Fakta bergabung dengan ekskul mereka, sementara Kak Tessa menyambangi kelasku, supaya kami bersama-sama pulang ke asrama. Anak-anak Adikala segera mengerumuninya begitu dia muncul untuk memperkenalkan diri.
“Kak Tesis!”
“Bang Tesis!”
Meski masih kelas X, anak-anak Adikala itu sudah kelihatan bakat rambonya, jadi pemandnagan Kak Tessa dikerubuni mereka nampak agak mengkhawatirkan.
“Sekalian aja panggil gue Skripsi,” keluhnya begitu kami berjalan menuju taman belakang—menuju jalan pintasku. “Dan lo jangan bilang ‘salah sendiri’. Gue nggak minta dinamain Antitesis. Protes sama bokap gue yang lagi ngaso di liang kuburnya.”
“Beliau juga namanya Om Alegori,” kataku, mengabaikan cara Kak Tessa menyebutkan perihal ayahnya dengan kurang ajar. “Mungkin pernah diledek Lego atau Gori.”
“Hah, tebakan lo terlalu benign,” cibir Kak Tessa. “Bokap diledek Adikulus gorilaeus. Karena badannya gede dan dadanya berbulu.”
Meski jahat, tapi hinaan level intelek begitu hanya terdengar kocak-kocak-garing bagiku.
“Tapi bukannya gorila justru dadanya nggak berbulu?”
“Mana gue tau. Gue nggak pernah jadi gorila.”
…
Kak Tessa ditempatkan di satu-satunya kamar asrama yang hanya dihuni satu orang: kamarku. Begitu masuk, dia langsung protes karena langit-langitnya yang rendah. Selama ini buatku tidak masalah karena aku pendek. Tapi Kak Tessa tingginya 187 senti. Kepalanya lebih mudah terantuk langit-langit tempat tidurku yang miring karena di bawah tangga. Sudah menumpang, bikin inferiority complex-ku kambuh lagi. Lengkap sudah.
“Kak,” panggilku, sementara Kak Tessa mengeluarkan isi ranselnya—yang cuma seuprit, cuma sepasang piama, satu kaus dan satu celana pendek, satu celana dalam, handuk, dan sepasang sandal jepit—lalu menyusunnya dengan rapi di rak komikku.
“Apa?”
“Jangan taro kolor di atas komik!”
“Oh, sori, nggak sengaja.”
…
Asrama memberi kamar kami satu matras lepek. Karena aku merasa tidak enak, maka kuberikan tempat tidurku untuk digunakan Kak Tessa, sementara aku pindah ke matras. Lepeknya benar-benar keterlaluan. Rasanya sama saja dengan tidak pakai alas. Dasar sekolah pelit. Kalau aku sudah lulus dan kaya raya, aku mau menyumbang besar-besaran untuk memperbaiki fasilitas bobrok ini. Dan generasi Pemuda baru pun akan berterima kasih padaku. Kemudian mereka akan menjadikanku panutan. Dan mereka akan menuruti apa yang kuperintahkan. Lalu mereka menjadi pasukan setiaku. Lihat saja nanti.
“Jadi, lo mau nanya apa?” ujar Kak Tessa.
“Sesuatu yang private banget, boleh?”
“Kalau bukan soal apa yang Mia dan Meta taro di kolong kasur gue, boleh.”
Memangnya duo mengerikan itu menyimpan apa di kolong kasur Kak Tessa?
Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya.
“Kakak pernah berpikir bakal ada di posisi Kakak sekarang, nggak?”
Kak Tessa meraih gitarku dan mulai memetik nada secara asal, menyetemnya. Dia melakukan pemanasan ringan dengan chromatic scale, disusul memainkan melodi yang rasanya tak asing. Tak berapa lama, jari-jarinya menari dengan lincah di atas fretboard, memainkan solo berbasis melodi yang tadi, diselingi dengan bend up, slide, tapping, ditutup dengan improvisasi menggunakan kord yang kembali pada melodi yang dimainkan di awal.
Seandainya Gawain ada di sini saat ini, dia pasti sudah bersujud memohon-mohon pada Kak Tessa supaya diajari.
“Gue memikirkannya sepanjang waktu,” kata Kak Tessa. Dia memainkan salah satu lagu yang pernah kugubah dalam tempo lambat. Itu lagu pertamaku yang selesai, dan aku cukup bangga soal itu meski sebenarnya lagunya tidak bagus-bagus amat.
“Ohya? Karena Kakak pede sama kekuatan Kakak sendiri? Atau karena Om Ale juga dulunya anggota keluarga tengah?”
“Papa nggak ada kaitannya dengan itu. Dan gue nggak sepede itu dengan kekuatan gue. Tapi Perisai itu… rapuh. Mereka akan bergantung pada siapapun yang cukup kuat untuk tetap berdiri tegak di tengah-tengah goncangan.”
“Katanya, Reksaraga menjadikan siapapun yang bisa menjinakkan Kamitua sebagai pemimpin. Dan Adikala memilih siapapun dengan api yang kuat.”
“Itu bullshit,” tandas Kak Tessa. “Pada akhirnya, orang yang bisa berpikir cepat untuk memastikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya survive yang akan dipilih.”
“Tapi nyatanya—“
“Menurut lo, gue lebih kuat daripada Om Rangga?”
Aku menimbang sebentar. “M-mungkin?”
“Mungkin. Gue juga nggak tahu.”
“Ehhh…”
“Lo nggak liat itu bisepnya kayak ombak tsunami? Sekali pukul bisa ko’it gue!”
Similenya membuatku tertawa. Yaa memang, kalau membicarakan duel yang tipe begitu.
“Gen, lo tau kan, kalau gue ngunjungin keluarga Mama setahun dua kali? Mama memang nggak punya Pamong, dan itu membuatnya nggak punya tempat dalam Perisai, tapi keluarga Mama selalu mengawasi gue dari jauh. Keluarga Mama itu keluarga cabang Reksaraga yang jauh, jauh, jauuuuh banget di pinggir. Keluarga level tiga-T[1]. Tapi bukan berarti mereka nggak mengharapkan keturunan mereka bisa naik derajatnya. Papa meninggalkan Adikala nggak lama setelah Om Fabel pergi, lama sebelum ketemu Mama. Posisinya udah digantikan orang lain, namanya udah dicoret, dan sosoknya udah dilupakan. Mama bilang, keluarganya nggak setuju sama pernikahan mereka, dengan alasan Mama menikahi pengkhianat Perisai. Tapi Gen, gue tahu yang sebenarnya.
“Mereka ingin Mama, gue, kami semua merasa berhutang sama mereka. Mereka mengasingkan Mama, tapi mereka tetep ngasih support ekonomi, ngirimin paket kebutuhan, terutama setelah Papa nggak ada. Mereka bertaruh pada kemungkinan gue mewarisi api Papa, dan ingin menggunakan itu untuk meningkatkan posisi mereka sendiri.”
Kak Tessa berhenti memainkan laguku, entah karena lupa lanjutannya, entah karena sudah tidak mood. Dia mengembalikan gitarku ke tempatnya.
“Jadi, setiap gue menghadap, mereka akan ngetes sebesar apa kekuatan gue. Awalnya gue pingin berpura-pura nggak bisa apa-apa, tapi waktu kecil gue nggak punya kontrol sama sekali, dan akhirnya ketauan juga. Tapi gue pikir, nggak masalah mereka tau gue punya api, yang penting mereka nggak tau kalau gue kuat. Cuman dasar si Getigeni kampret, rencana gue buyar semua. Sekarang gue nggak bisa kabur lagi.”
Aku menunduk, tak enak hati.
“Sori, Kak.”
“Hei, bukan salah lo. Mereka duluan yang ngacau. Dan kalau lo nggak nyusulin gue ke sana, mungkin gue bakal kehilangan Meta.”
Aku tidak melakukannya untuk menyelamatkan Meta, pikirku, tapi ini tidak penting. Hanya semantik.
“Malah kayaknya lo punya masalah yang lebih besar dari gue.”
“Aku bukan kandidat kepala keluarga seperti Kakak, aku cuma rakyat jelata.”
“Intinya bukan soal jabatan apa yang lo pegang, tapi seberapa penting keberadaan lo. Setelah tau apa yang bisa lo lakuin, Perisai nggak bakal ngebiarin lo gitu aja.”
Kata-kata Kak Tessa benar, dan karena itulah hatiku seperti digantungi logam berat.
“Jadi aku diinginkan cuma karena itu?”
Kak Tessa menatapku lurus-lurus. “It’s sad, but it’s true. Keluarga itu bukan soal anak, orang tua, dan semuanya itu. Keluarga itu soal siapa yang berarti buat lo, yang akan lo lindungi, dan balik melindungi lo. Keluarga itu soal apa yang bisa lo kasih, dan apa yang bisa lo dapet.”
“Aku…” kataku perlahan, tidak ingin salah ucap soal ini. “Aku nggak suka… definisi yang kayak gitu.”
Kak Tessa mengangkat bahu. Dia merebahkan diri.
“Apa Kakak bakal melakukan sesuatu soal Kak Adrian dan Kak Nirmala?”
“Memangnya ada apa sama mereka?”
Haruskah kuceritakan? Kalaupun tidak mendengarnya dariku, Kak Tessa bisa mendengarnya dari orang lain, jadi tak ada gunanya juga aku menahan-nahan diri. Lagipula, siapa tahu Kak Tessa bisa melakukan sesuatu dengan posisi yang dimilikinya sekarang.
“Hubungan mereka nggak bagus. Kak Adrian suka ngebuli Kak Nirmala tiap mereka ketemu. Dia bilang Kak Nirmala nggak berhak ada di sini, semacam itu. Menurutku Kak Adrian salah. Kak Nirmala kan masih keluarganya. Kenapa dia bisa membuang keluarga semudah itu?”
Kak Tessa berbaring miring agar bisa berhadap-hadapan denganku, bersandar ke lengannya.
“Hemmm… pertanyaan lo cukup sulit dijawab. Sepertinya nggak ada jawaban yang benar buat masalah itu.”
“Jawaban yang benar pasti ada dong! Kakak harus negur Kak Adrian!” kataku penuh semangat. Tapi, ekspresi Kak Tessa tidak berubah.
“Gue setuju bullying itu salah. Tapi lo nggak bisa menilai Adrian salah karena apa yang lo liat. Setiap orang pasti punya alasan kenapa dia melakukan sesuatu.”
Kata-katanya terasa déjà vu.
“Aku nggak ngerti logikanya deh. Orang yang melakukan hal yang salah, berarti otomatis salah kan?” kataku. Kepalaku mulai pusing memikirkannya.
“Gen, bayangin kayak gini. Lo terdampar di hutan. Lo butuh makanan. Lalu di depan lo ada burung langka. Apa salah kalau lo makan burung itu untuk bertahan hidup?”
Pertanyaannya yang benar-benar di luar topik membuatku agak kehilangan arah.
“Euh… aku… bisa makan daun?”
“Pilihan itu nggak ada di soal, Gen. Lo makan burung itu atau enggak, udah itu doang.”
“Asumsinya aku bisa nangkap, nyembelih, dan masak burung itu?”
Kak Tessa menghela napas. “Gue kasih contoh yang lebih real deh. Mitos disandera di markas Getigeni. Mereka pengen lo menyerahkan diri sebagai ganti Mitos. Apa yang akan lo lakukan?”
“Aku pasti datang ke sana!” kataku spontan.
“Untuk menghancurkan pasukan Getigeni yang ada di sana, atau untuk menyerahkan diri?”
“Kalau bisa… aku nggak mau menyerahkan diri…”
“Walaupun dengan melawan, lo akan membunuh puluhan, mungkin ratusan orang?”
Aku… tidak bisa menjawabnya.
“Lo nggak bisa mengontrol kekuatan lo. Lo bisa membuat Mitos terbunuh bersama dengan begundal-begundal itu. Lo akan tetap melawan?”
…
“Berarti… pilihanku cuma memastikan Mitos ada di tempat yang aman… baru aku melawan?”
“Tapi ada risiko kekuatan lo yang nggak stabil itu nggak cukup untuk melawan mereka, dan akhirnya mereka berhasil mendapatkan darah lo. Lalu bagaimana? Kemampuan lo jauh lebih destruktif daripada kemampuan Mitos. Perisai nggak bakal menukar lo untuk Mitos. Sebelum lo punya kesempatan untuk menyerahkan diri, lo bakal harus menghabisi pasukan Perisai dulu. Lebih banyak lagi korban yang berjatuhan. Sekarang, apa jawaban lo?”
Aku menelan ludah. “Apa Perisai menganggap aku punya nilai lebih besar daripada Mitos?”
Kak Tessa menegakkan diri.
“Lo nggak suka?”
“Udah jelas, kan?!” tukasku cepat.
“Lalu kenapa lo masih ada di sini, Gen? Kenapa lo nggak bawa Mitos dan Fakta jauh-jauh dari sini?”
Kenapa pertanyaan Kak Tessa begitu menohok?
“Aku… aku harus melindungi mereka…”
“Tapi apa lo yakin ini jawaban yang benar?”
Aku membenamkan wajah di antara lutut. Akhir dari prahara Getigeni kembali menyeruak di benakku.
Mitos, Fakta, dan aku menyembunyikan kesupranaturalan kami (aku tidak termasuk waktu itu) dari semua orang. Termasuk dari Ibu—meskipun Ibu tahu bahwa kami tidak normal, dan kami tidak tahu bahwa Ibu tahu. Itu adalah pesan dari Ayah sebelum dia pergi meninggalkan kami waktu kami masih SD. Kami yang masih kecil tidak mengerti sepenuhnya pesan Ayah itu—tetapi kami mengerti bahwa bahaya besar akan mengancam keselamatan kami jika kemampuan kami ketahuan.
Kemudian serangan Getigeni, yang sebenarnya ditujukan untuk Kak Tessa, datang, membuat kami terlibat dan jadi bersinggungan dengan Perisai. Mitos terluka parah. Meta dan Fakta diculik. Dan Kak Tessa menghilang. Perisai tidak ingin bergerak sebelum memastikan kondisinya memungkinkan, entah kriteria apa yang mereka gunakan. Akhirnya, aku dan Mia memutuskan untuk menyusul penculik Meta dan Fakta berdua saja.
Akhir dari kerusuhan itu sudah pernah kuceritakan.
Kak Shirleyn, sebagai perwakilan Perisai, lalu menawari kami untuk bergabung. Alasan kami menyetujuinya hanyalah karena aku memerlukan tempat untuk berlatih. Aku tidak akan bisa melindungi keluargaku jika aku tidak bisa menggunakan kekuatanku dengan benar.
Meski aku tahu, Perisai tidak membawaku masuk untuk itikad baik semata. Dan bahwa dengan bergabung dengan Perisai, mungkin kami akan menghadapi bahaya seperti yang sudah terjadi. Kami terpaksa memilih the lesser of two evils.
Meski, semakin banyak aku tahu tentang Perisai, aku semakin ragu yang mana pilihan yang tidak lebih buruk.
“Di tempat ini, lo nggak bisa melihat sesuatu dengan kacamata lo aja,” ujar Kak Tessa sambil melepas kacamatanya. Dia menyerahkan benda itu padaku, meski arah uluran tangannya meleset beberapa derajat karena dia tidak bisa melihat posisiku dengan jelas. Aku menerima sambil terheran-heran. “Coba lo pake.”
Aku menurut.
Dan mataku langsung sakit dibuatnya. Aku cepat-cepat melepaskannya, mengembalikannya ke telapak tangan Kak Tessa yang masih terbuka.
“Gimana, beda kan dengan yang biasanya lo liat?”
Aku mengangguk.
“Melihat dengan cara pandang orang lain bisa jadi menyakitkan buat lo, Gen. Tapi bukan berarti lo bisa menilai bahwa cara pandang itu salah. Karena setiap orang punya kemampuan melihat yang berbeda-beda.”
“Berarti… pandanganku yang terbatas ini nggak bisa dijadikan dasar untuk menilai apakah Kak Adrian salah atau enggak?” kataku, sedikit sarkastis.
“Yes.”
Jawaban yang lugas itu membuatku berjengit.
“Aku ngerasa Kakak cuma nggak pengen dengan gamblang bilang bahwa Kakak juga nggak punya niatan menganggap Kak Nirmala saudara.”
Mendengar hal itu, Kak Tessa tersenyum kecut. Dia kembali berbaring rata di punggungnya.
“Adikala itu empu geni. Ngerti maksud gue?”
[1] Daerah 3T: tertinggal, terdepan, terluar
@yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD
Comment on chapter I.