Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah yang Kita Tahu
MENU
About Us  

“Kamu nggak punya jam ya?” kata-kata tajam itu menjadi sambutan selamat datangku.

Aku cuma berani berkata, “Maaf, Kak.”

“Maaf, maaf… enak banget ya jadi orang yang berpikir bakal dimaafin hanya dengan minta maaf.”

Terus aku harus ngapain dong? Kalau diam saja, bukannya lebih tidak tahu diri lagi ya?

Kak Fira mengedik ke arah jam dinding tinggi di atas kepalanya.

“Jam berapa sekarang?”

“T-tujuh lebih.”

“Lebih berapa menit?”

“Empat puluh.”

“Empat puluh satu. Jangan dikorting-korting.”

Aku menunduk saja.

Push up satu seri per menit telat.”

“Empat ratus sepuluh kali?!!”

“Kenapa, kurang? Mau pembulatan? Jadiin lima ratus.”

Yang benar saja!

“T-tunggu bentar,” aku mengangkat tanganku cepat-cepat. Keringat dingin mengucur di tengkukku. Ini sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk bersikap sok pintar, tapi aku bisa tewas kalau harus push up lima ratus kali sekaligus. Nanti bisa-bisa jotosku lebih pamungkas daripada Saitama[1]. “Hukuman ini nggak valid!”

“Nggak valid apanya?!”

“Kita kan belum bikin perjanjian! Harusnya kita buat perjanjian dulu. Baru kalau sudah ada perjanjiannya, aku bisa dihukum.”

Aku tahu Kak Fira sebal mendengarnya, tapi nampaknya ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya menyetujui ucapanku. Entah itu karena dia sendiri percaya pada yang namanya kitab hukum, sehingga orang tidak bisa dihukum jika hukumnya sendiri tidak ada, atau dia menganggap perlawananku sebagai sesuatu yang menarik.

“Oke. Sekarang kita diskusiin aturannya dulu. Jam delapan, baru latihan dimulai.”

“Oke.”

Maka selama dua puluh—ah, maksudnya sembilan belas menit, kami membicarakan peraturan yang harus dipatuhi bersama selama masa pelatihanku. Tak perlu dijelaskan lagi: aku sangat lega karena Kak Fira ternyata lebih rasional daripada bayanganku. Tadinya kukira dia itu jenis instruktur galak yang bakal main tempeleng kalau aku melakukan sesuatu yang tidak disukainya.

Di luar dugaan, Kak Fira bersedia menyetujui usulku untuk pemberian hukuman yang lebih ringan daripada usulannya. Dia berkata bahwa hukuman itu ada untuk dihindari, dan aku tidak akan menemui masalah andaikata aku tidak melanggar satu aturan pun, tetapi memangnya di dunia ini ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan? Aku juga kan inginnya tidak kena hukuman. Tapi hari-hari yang aku tiba-tiba mulas tepat sebelum meninggalkan asrama kan sangat mungkin muncul lagi di masa depan. Lebih baik menyiapkan payung sebelum kehujanan.

Selesai membuat peraturan, Kak Fira menyuruhku melakukan pemanasan sebagaimana yang biasa dilakukan sebelum pelajaran olahraga. Perintahnya itu agak membuatku deg-degan. Maksudnya… kalau aku harus pemanasan, apakah aku akan latihan fisik?

“Nggak usah bengong kayak orang oon. Sekarang ikut aku.”

“Kemana?”

“Lari.”

Tanpa banyak basa-basi lagi, Kak Fira melesat keluar dojo. Sedikit tersandung-sandung, aku mengikutinya.

 

#

 

Kalian ingat waktu aku bilang berlari serasa membuat hatiku bebas?

Oke, aku ralat.

Berlari ternyata membuat hatiku serasa diperas sampai kering.

Aku tak peduli lidahku terjulur ke tanah sementara napasku megap-megap tak karuan. Sejak dulu, aku memang bukan jenis manusia atletis. Aku ini tipe nyeni. Aku pandai bermain musik. Aku juga cukup jago menggambar dan membuat kerajinan tangan. Aku bahkan lebih jago memasak dibandingkan kakak-kakakku (tapi mereka tidak akan pernah mengakuinya pada siapapun kecuali Ibu).

Tapi fisikku ini lembut dan perlu perlakuan khusus. Bahkan kulitku ini bisa langsung iritasi hanya karena terjemur matahari saat upacara bendera. Aku serius.

Jadi kalau aku disuruh lari mendaki gunung menyusul seseorang yang sudah terbiasa melakukan simulasi-simulasi peperangan di tengah hutan, jelas aku tidak akan bisa bertahan lama.

Rasanya sudah berabad-abad sejak kami meninggalkan dojo di dalam komplek sekolah dan mendaki dengan kecepatan sprint,  tetapi Kak Fira tidak menunjukkan tanda-tanda mengurangi kecepatan. Sampai akhirnya aku kehilangan sosoknya di antara barisan pepohonan, dan hanya derak dedaunan dan ranting kering yang diinjaknya yang menuntunku, dan tak lama setelah itu aku pun kehabisan tenaga.

Aku langsung roboh.

Angin menyapu punggungku, membuatku menggigil karena kausku basah oleh keringat. Tapi aku pun bisa merasakan permukaan kulitku panas. Aku tak akan heran kalau badanku saat ini sedang menguarkan asap. Aku malah mengharapkannya. Siapa tahu seseorang akan melihat asap tubuhku itu dan menganggapnya sebagai sinyal SOS.

Aku tidak tahu ada dimana. Kupejamkan mataku, merasakan oksigen mengaliri seluruh nadiku. Aku tidak tahu kalau berlari bisa membuat seluruh tubuhku sakit. Kupikir hanya kaki.

Samar-samar, setalah jantungku sedikit lebih tenang, di kejauhan terdengar gemericik air sungai dan cicitan burung. Aku bahkan merasa mendengar kepakan sayap Kamitua.

Sepertinya enak juga ya jadi seorang Reksaraga.

Bakat mereka, menurutku, lebih kepada bawaan lahir daripada kemampuan. Aku tidak begitu mengerti teorinya, tapi kira-kira begini yang dijelaskan Mitos. Anak-anak Reksaraga memiliki napas yang unik. Napas mereka itulah yang dapat mengendalikan makhluk gaib. Menginjak umur tujuh tahun, anak-anak Reksaraga diberi sebuah peluit yang dapat mereka gunakan untuk memanggil Pamong mereka. Tidak semua anak bisa memanggil Pamong mereka begitu menggunakan peluit itu. Ada yang perlu bertahun-tahun hingga mereka bisa memanggil sesuatu. Namun, ada pula yang seperti Kak Daya, yang hanya dengan bicara saja dia didatangi sekompi makhluk gaib. Ketika mendapatkan peluit pusaka keluarga, dia bisa memanggil Kamitua tanpa susah payah.

Kalau aku punya napas seperti Reksaraga, mungkin aku tidak perlu latihan seperti ini. Ada Pamongku yang bisa melindungiku dan bertempur untukku. Tapi kalau aku jadi Reksaraga, makhluk macam apa ya yang akan jadi Pamongku? Kak Daya punya pegasus, Kak Saza punya semacam naga air, dan Pamong Kak Shirleyn berbentuk seperti kalkun yang bisa bernapas api. Sejauh ini aku cuma pernah melihat Pamong berbentuk hewan yang lumayan keren, tapi apakah ada yang Pamongnya ulat, atau keong, misalnya? Atau jangan-jangan ada yang punya kecoa?

Hiiiy…

Tiba-tiba sesuatu mencengkeram leher kausku dan menariknya sampai aku tercekik.

Panik, aku langsung berguling ke samping. Namun rupanya karena gerakanku sangat tiba-tiba, siapa pun itu tidak siap dan kakiku menyapu kakinya. Sosok itu tumbang…

…di atasku.

“Aduh!”

Sepasang tangan mendarat di kiri-kanan wajahku, menahan tubuhnya supaya tidak sampai jatuh menindihku. Aku mengerjap.

Dan bertemu pandang dengan Kak Nirmala, wajahnya hanya tiga senti dari wajahku. Rambutnya yang hitam menggelitik leherku.

Kak Nirmala cepat-cepat menyingkir, setengah melompat menjauhiku. Tapi sejurus kemudian dia jatuh berlutut, mendekap tangannya.

Segala lelahku terlupakan. Tiba-tiba aku jadi merasa tubuhku bau kecut dan penampilanku compang-camping. Pokoknya bukan penampakan yang pantas untuk bertemu orang lain. Dan suhu wajahku serasa meningkat, yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan olahraga. Aku mengelap wajahku dengan punggung tangan, menyingkirkan tanah, daun, lumut, dan entah benda apa lagi yang biasanya memenuhi lantai hutan.

Kak Nirmala diam sebentar dalam posisi berlutut, sebelum berdiri perlahan. Hari ini dia mengenakan kaus putih dan rok krem selutut, serta sandal selop. Kombinasi pakaian yang kurang cocok untuk menjelajahi gunung, menurut hematku. Tapi berhubung aku juga hanya mengenakan kaus, trening, dan sepatu kets biasa, aku tidak berhak berkomentar negatif.

“Maaf, Kak,” kataku, karena tidak tahu harus bilang apa lagi. “Ng… aku kaget.”

“Nggak apa-apa,” Kak Nirmala menjawab pelan. “Tadinya… kukira ada mayat…”

Mengira ada mayat, lalu disamperin? Kalau aku sih bakal kabur. Mungkin sambil teriak-teriak.

Melihat ekspresiku yang… ekspresiku seperti apa ya? Mungkin tidak karu-karuan, karena Kak Nirmala nampaknya menyesal sudah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

“Kakak lagi ada perlu apa?”

Kak Nirmala mengalihkan pandangannya. “Nggak perlu apa-apa. Kamu sendiri?”

“Aku lagi… latian…” entah mengapa suaraku memelan mengatakannya.

“Oh. Ok. Aku duluan.”

Kak Nirmala.

“Kak!” panggilku cepat-cepat.

Kak Nirmala berhenti dan menoleh. Matanya bertanya apa mauku, tapi aku malah mematung. Dengan bibir mangap yang siap mengatakan sesuatu, tapi malah tidak mengatakan apa-apa.

Otakku blank. Otakku hanya berupa hamparan putih seperti kertas HVS.

Tidak berkata apa-apa lagi, Kak Nirmala pun pergi. Kali ini aku tidak menahannya.

Sepeninggalnya, giliranku yang jatuh berlutut.

Gila, kaget sekali. Siapa juga yang mengira bakal bertemu dengannya di tempat seperti ini? Harusnya aku melakukan sesuatu. Tidak tahu apa, tapi aku merasa harus. Dan aku merasa bodoh karena tidak melakukan apapun. Aaa dasar aku memang begooooo…

“Heh, siapa yang nyuruh istirahat?” tegur satu suara di belakangku. Aku langsung terperanjat. Kak Fira sedang berjalan ke arahku sambil bersidekap, kelihatan sangat kesal. “Kirain kamu diterkam harimau. Aku udah lega aja weekend nggak usah capek-capek keluar kamar lagi.”

“Hah, memangnya hutan ini ada harimaunya?!” pekikku dengan suara melengking yang memalukan.

Kak Fira menyeringai.

“Kamu belum tahu?”

“Nggak ada yang bilang apa-apa soal itu!”

Kak Fira mengangkat bahu. “Cepetan, kalau udah siang nanti keburu panas.” Lalu dia berlari lagi.

“Waaa tungguuuu!!!”

 

#

 

Kalau melihat wajahnya, dia tahu apa yang sudah terjadi padaku seharian ini. Tapi paling tidak bauku membuatnya mengerutkan hidung, dan aku selalu menyambar kesempatan sekecil apapun untuk mengerjainya. Maka kukibas-kibaskan lenganku seolah-olah aku ini ayam jadi-jadian sedang meledek musuh bebuyutannya.

“Iiih bauu! Mandi sana!” kata Mitos sengau karena hidungnya dijepit dengan jempol dan telunjuknya.

“Salah sendiri jam segini udah kemari,” kataku. “Pak Romi kok aneh sih, akunya nggak ada tapi kalian bisa masuk-masuk aja.” Pak Romi adalah kepala asrama cowok. Orangnya tidak banyak bicara dan sebenarnya sangat baik… tapi kalau ada yang melanggar aturan, dia bisa langsung bertransformasi jadi iblis. Agak-agak seperti Kak Fira. Mungkin itu karakteristik Atmaspara.

Dan kalian tahu? Kami tadi berlari sampai ke sebuah lapangan tenis yang jauhnya kira-kira lima kilo dari sekolah. Kalian mungkin berpikir lari lima kilo itu biasa saja, tapi ini lima kilometer menanjak sodara-sodara. Siapa sih orang iseng yang bikin lapangan tenis di tempat seperti itu?

Di sana aku cuma disuruh meditasi—atau seharusnya meditasi, tapi aku begitu gelisah sehingga kakiku kram dan harus diurut. Sakitnya amit-amit. Begitu bayangan kami sudah cukup panjang dan perut keroncongan, kami pun pulang ke asrama masing-masing dengan berjalan kaki. Hanya saja, di depan gerbang asrama cowok, aku harus push up dulu sebagai hukuman karena datang telat pagi ini. Jelas aku langsung protes.

“Lho, kan aturannya baru dibuat setelah aku telat!”

“Kan kamu sendiri yang bilang, kamu bisa dihukum setelah ada perjanjiannya. Itu kata-katamu sendiri,” balas Kak Fira.

“Hukum tidak berlaku surut!”

“Nggak ada di perjanjiannya. Atau kamu jenis orang yang suka melanggar janji?”

Maka aku pun push up sebanyak 41 kali. Di depan gerbang asrama. Untung saat itu tidak ada yang lewat. Punya integritas itu oke-oke saja, tapi nggak usah begitu juga dong!

“Itu karena aku anak yang manis,” kata Mitos, menanggapi dumelanku soal Pak Romi. “Tampangmu ga usah kayak gitu juga.”

“Emangnya kamu mau dianggap anak manis sama Pak Romi?” tanyaku sambil menunjukkan wajah jijik.

“Kamu ga sopan tau. Pak Romi itu bukan bujang lapuk kayak kata orang-orang. Setahun setelah menikah, istrinya yang lagi hamil kecelakaan. Baik istri maupun anaknya nggak bisa diselamatkan.”

Aku jadi merasa sangat bersalah dihadapkan pada kisah tragis seperti itu. Orang macam apa yang menjadikan hal semacam itu sebagai lelucon?

“Makanya, ngomong itu dipikir dulu.”

Ugh…

Karena tidak bisa membalas kata-katanya, aku mengambil pakaian ganti dan pergi ke kamar mandi—hanya di seberang kamarku. Mitos melanjutkan membaca komik sementara Fakta melanjutkan belajar. Setelah aku selesai mandi, aku melihat pemandangan yang aneh. Mitos duduk di hadapan Fakta, buku teks dan buku tulis terbuka di depannya dan sebuah pensil berjungkat-jungkit di jari telunjuknya.

“Wah, kamu belajar?” kataku heran.

“Kamu pikir aku nggak pernah belajar ya?”

“Katanya tinggal nyontek Fakta aja.”

“Kalau materinya menarik, aku mau belajar.”

“Emangnya sekarang materinya apa?”

“Elektromagnetik.”

“Egghhhh…” aku langsung meleletkan lidah mendengarnya. Aku tidak pernah mengira kalau Mitos suka Fisika. Aku tidak pernah mengira Mitos suka pelajaran sains apapun, titik. Kukira selama ini dia cuma suka olahrag—siuuttt… pensil yang dipegang Mitos melesat ke arahku. Entah terbiasa atau beruntung, aku menghindar tepat waktu. Rasanya menyedihkan sekali kalau karena alasan yang pertama.

“Nggak sopan,” pelotot Mitos.

“Kamu lebih nggak sopan lagi. Bisa nggak sih si kepalamu itu nggak ngintipin kepala orang lain? Melanggar hak privasi, tau!”

“Anak bungsu nggak usah sok punya privasi.”

Eeeehh… mengguncang sekali mendengar perkataan yang tidak tahu malu itu keluar dari mulut kakakku. Tapi kalau dipikir-pikir, mestinya aku tidak perlu seheran itu. Mitos kan memang selalu seenaknya.

Aku duduk bersila di sebelah meja sambil membuka buku teksku.

“Jadi, tadi ngobrol apa sama Kak Nirmala?” tanya Mitos tanpa mengangkat wajah dari buku Fisikanya.

Aku tercenung sejenak. “Kalo kamu udah tau, ngapain nanya.”

“Aku nggak tau, makanya nanya.”

“Terus kamu tau darimana aku ketemu Kak Nirmala tadi?”

Mitos berhenti menekuri bukunya. Keningnya berkerut. “Aku cuma punya perasaan samar-samar kalau kamu ketemu Kak Nirmala. Dan ternyata kamu ngonfirm.”

“Hah, jadi kamu sebenernya nggak tau? Memangnya tadi siang aku pergi sejauh itu gitu?” kataku, lebih kepada diriku sendiri. Kemampuan Mitos itu terbatasi oleh jarak. Semakin jauh objek bacanya, pandangannya semakin samar. Tapi, aku sudah membuktikan sendiri, untuk orang-orang yang sangat dia kenal, batas jarak itu bisa meningkat sampai berkali-kali lipat. Hal itulah yang membuatnya bisa menyusulku ke markas Getigeni pada insiden lalu itu.

“Bukan soal itu,” Mitos menggeleng. “Tapi gara-gara Kak Fira. Dia bikin pandanganku kabur. Aku jadi pusing kalau lama-lama nge-scan daerah di dekat dia. Jangan-jangan selama ini aku sering dapet gangguan sinyal gara-gara dia, lagi.”

Benar juga. Kak Fira bisa mengacaukan gelombang komunikasi. Aku jadi teringat kata-katanya soal merusak otak dan seketika menjadi ngeri.

“Hati-hati Mit, kalau kamu merasa ada dia, jangan dipaksain. Kita nggak tau apa yang bakal terjadi sama kamu,” kataku.

Mitos memberiku senyuman hangat. Sesuatu yang cukup jarang, sehingga perasaanku jadi sangat ringan melihatnya. Tangannya mengacak rambutku yang masih basah.

“Nggak usah kuatir. Aku nggak seceroboh kamu, kok.”

Berterima kasihnya jangan pakai menghina juga dong, tukasku dalam hati.

“Apa aku sering-sering bareng Kak Fira aja ya?” celetuk Fakta tiba-tiba.

“Hah?” pelongoku.

“Serius?” kata Mitos.

“Biar kamu nggak seenaknya nyontek aku lagi!” jelas Fakta pendek.

Mitos langsung menggerung. “Huwaaaa jangan dong Fak! Kamu baik deh, jangan deket-deket Kak Fira ya, plis?”

Jadi sebenarnya Fakta keberatan disontekin? Berarti hanyalah kesabaran level tinggi yang membuatnya selalu membolehkan aku menyalin pekerjaannya. Respekku pada kakakku yang satu itu jadi bertambah besar. Sementara itu, Mitos malah—siutt… aku menghindar lagi, sementara sedetik kemudian sebuah pensil jatuh berkelotakan setelah menabrak pintu.

Sepertinya aku baru menemukan hal positif dari latihanku dengan Kak Fira.

 

#

 

“Apa?” seruku tak percaya.

“Apa, apa, kamu ini mau jadi manusia apa[2], hah?”

“T-tapi, aku kan masih kelas sepuluh,” kataku, mengatakan hal yang sudah jelas. Habis… apa lagi yang bisa kukatakan? Memang itu faktanya kok. Dan lagi, aku tidak punya argumen lain.

Kak Fira menyendok sepotong sotong dan meletakkannya ke piringku.

“Kenapa?”

“Nggak suka.”

“Terus ngapain ngambil nasi goreng seafood?!”

“Ada udangnya.”

“Tapi kenapa, Kak?” Fakta bertanya. Tentu saja, dia tidak menanyakan soal kenapa Kak Fira memberiku potongan sotong yang dicomotinya dengan seksama dari nasi gorengnya, melainkan bertanya mengenai kabar yang dibawa Kak Fira ke meja makan kami siang ini.

Meja makan kami. Terdengar keren ya?

Karena sekarang meja tengah ini sepertinya sudah eksklusif untuk digunakan oleh kami si Triplet Kisah (memang terdengar agak norak, tapi begitulah aku mendengar para staf sekolah jika menyebut kami si kembar tiga sebagai satu paket).

“Karena Pak Rangga kuatir berat,” kata Kak Fira tanpa ragu-ragu. “Dan karena seluruh sekolah kayaknya udah terlalu lama nggak bisa move on. Jadi menurut Pak Rangga sebaiknya Legenda mulai ikut kelas LS bareng kami.”

“Tapi bukannya itu berbahaya?” kata Mitos. Manakala ada Kak Fira, sekarang Mitos jadi tidak jadi dirinya yang biasanya: suka bercanda dan mempercandakanku, melainkan jadi Mitos yang serius dan bahkan menunjukkan perhatiannya pada kesejahteraanku secara terang-terangan. Kak Fira membuat Mitos merasa terancam, dan insting pertamanya saat merasa terancam adalah memastikan bahwa adik-adiknya dalam keadaan aman.

Sayangnya, kadang definisi aman versi Mitos itu agak cupat.

“Berbahaya buat siapa?” tanya Kak Fira geli.

“Buat Legenda, lah!”

“Kamu yakin Legenda yang harus kamu kuatirin?”

“Maksud Kakak apa?”

“Siapa yang bakal ko’it kalau adikmu ini yang lepas kontrol?”

“Legenda nggak berbahaya!”

“Oh ya? Terus apa pembelaanmu soal musibah Getigeni itu?”

“Nggak ada korban jiwa. Dan itu bukan salah dia!”

“Memangnya nggak ada korban jiwa itu karena adikmu bisa mengendalikan kekuatannya? Aku nggak berpikir kamu senaif itu, Mit. Kalau waktu itu nggak ada Kamitua, udah mampus kita semua sekarang.”

“Stop!” bentak Mitos keras. “Kakak jangan ngomong sembarangan ya!”

“Oh, marah ya sekarang? Karena kata-kataku bener?”

“Aku marah karena nggak bener!”

Wake up, Mit. Adikmu itu bom radioaktif. Dibiarkan atau enggak, dia tetap berbahaya. Udah saatnya kalian berhenti menutup mata dan mengakui hal itu.”

“Legenda nggak—“

“STOP!!!” Fakta tiba-tiba berteriak. Pada saat yang bersamaan, meja makan kami bergetar, sementara gelas dan piring terlempar ke lantai, menumpahkan makanan dan minuman kami yang belum habis. Kemudian, sementara Mitos dan Kak Fira menatapnya—Mitos dengan tercengang, sementara Kak Fira dengan alis terangkat—Fakta meraih tanganku. “Le. Ayo.”

Dia menarikku meninggalkan kantin, diiringi ratusan pasang mata yang membuatku merasa bak dikuliti.

Aku mengikuti Fakta tanpa memberontak, meski dalam hati aku bertanya-tanya mengapa dia membawaku pergi dari kantin. Maksudku, aku tahu mengapa, tapi aku tidak melihat urgensinya. Mitos dan Kak Fira kan tidak mempertengkarkan sesuatu yang baru. Aku monster. Bom radioaktif. Apapun istilahnya sama saja. Tidak ada yang tahu harus mengapakan diriku. Karena kekuatanku bukan tipe yang bisa dilatih begitu saja. Yang paling ideal adalah jika aku bisa menemukan seseorang yang kekuatan supranaturalnya adalah hidup abadi, atau bangkit dari kematian, seperti Ajin[3].

Jadi aku sudah tidak terlalu peduli, sejujurnya.

Ya, oke, itu bohong besar. Barangkali istilah yang lebih tepat adalah tidak ambil pusing. Aku masih merasa sedih dan depresi seperti sebelum-sebelumnya, tapi sekarang aku sudah bisa melihat alasan di balik semua itu. Mungkin soal romansa, aku masih di tahap denial seperti kata Mitos, tapi kalau soal ini aku sudah lulus tahap acceptance. Mau bagaimana lagi.

Ah, tiba-tiba jariku gatal ingin memetik gitar.

Aku kangen band-ku. Aku kangen Gawain si caper tingkat dunia-akhirat, kangen Trez yang pendiam tapi kalau sedang nyanyi jadi seperti orang kesurupan, Pria yang senang membangga-banggakan perut buncitnya, dan Andre yang basnya sering fals, tidak tahu kenapa.

Dimana lagi aku bisa menemukan kelompok sahabat seunik mereka?

Kami berjalan terus sampai ke perpustakaan. Tidak ada orang di dalam. Bahkan pustakawan pun tak ada. Tetapi pintunya terbuka lebar. Tetap saja, Fakta membawaku ke pojok, tempat dia bisa melihat seluruh ruang baca ini, sekaligus cukup jauh dari pendengaran orang yang lewat di luar.

Dia menuntunku sampai duduk di sofa panjang yang empuk dan nyaman, lengkap dengan meja kopi. Di atas meja itu ada keranjang berisi buku yang dibaca orang yang duduk di sini sebelumnya. Mungkin buku itu buru-buru ditinggalkan di dalam kotak itu begitu bel makan siang berbunyi. Tangannya masih menggenggam tanganku erat-erat, seolah-olah takut aku akan tiba-tiba berlari keluar dari sekolah seperti waktu itu.

“Kenapa sih, Fak, sampe ke sini segala? Kan sayang makanannya jadi kebuang-buang. Udah gitu nggak kamu beresin lagi!”

“Itu nggak penting sekarang,” kata Fakta lugas, membuatku mengerjap. Wah, Fakta yang punya rasa tanggung jawab dan kebersihan yang tinggi itu menganggap menumpahkan makanan yang baru habis tiga suap sebagai sesuatu yang tidak penting? “Kamu nggak apa-apa?”

Aku spontan mengangkat alis. Itu justru pertanyaanku. “Kenapa kamu nanya gitu? Soal apa kata Kak Fira?”

Fakta mengangguk.

Aku menghembuskan napas.

Aku tidak suka membicarakan hal ini. Mengingatkanku betapa tidak bergunanya aku. Aku bersyukur Mitos dan Fakta tidak pernah membahasnya dengan serius di depanku. Kupikir karena mereka juga woles-woles saja. Seperti yang sudah kubilang tadi: memangnya apa yang bisa dilakukan? Aku tidak seperti Kak Daya yang bisa membuktikan kecakapannya mengendalikan Kamitua. Aku, bagaimana caranya coba? Aku bahkan tidak pernah mencoba mengerahkan kekuatanku setelah satu malam yang penuh kengerian itu.

Selama lima belas tahun, aku hidup sebagai anak biasa. Bungsu dari kembar tiga, ya, tapi biasa-biasa. Tidak bisa membaca pikiran seperti Mitos, dan tidak bisa menggerakkan benda-benda dengan pikiran seperti Fakta. Ada satu masa aku benar-benar iri pada kekuatan mereka. Bahkan, aku pernah terpikir bahwa jangan-jangan aku bukan saudara kandung mereka, hanya kebetulan mirip saja. Ya, aku tahu ini konyol, tapi kalau dihadapkan dengan begitu banyak perbedaan, kurasa siapa pun akan

Bulan Juli tahun lalu, kekhawatiran kami hanyalah hasil ujian masuk SMA. Percaya atau tidak, kami sempat mendaftar ke Matra pada bulan Juni (ujian ke sekolah swasta beda jadwal dengan sekolah negeri) dan ditolak bahkan sebelum kami diundang untuk ujian. Maka, ujian ke Wira I adalah satu-satunya harapan kami untuk mengenyam bangku sekolah tanpa harus menganggur dulu satu tahun.

Hidup kami yang damai hancur begitu klan Getigeni menyerang, dan sebagai puncaknya menculik tetanggaku yang mereka anggap dapat mereka manfaatkan untuk mengalahkan Perisai. Oh, ya, klan Getigeni itu, menurut kebanyakan kaum Pemuda, adalah klan yang menjijikkan. Mereka dapat menguasai kekuatan supranatural orang yang mereka minum darahnya untuk sementara waktu. Semakin banyak dan semakin sering mereka meminum darah korbannya, kekuatan supranatural mereka akan berlangsung lebih lama.

Karena teror dari klan Getigeni, kami yang cuma warga sipil ini terseret ke dalam bahaya, hingga akhirnya kekuatanku muncul pada saat yang benar-benar tepat, saat dadaku nyaris bolong ditusuk tombak sebesar kaso-kaso. Sembilan puluh persen orang yang berada di bukit Getigeni waktu itu tumbang karena otak mereka berhenti bekerja, dan api para Adikala yang hendak dilontarkan kehilangan kendali pemiliknya sehingga hampir saja membumihanguskan bukit itu hingga rata serata-ratanya.

Untunglah Kak Daya dan Pamongnya menghentikanku sebelum korban-korbanku terbius terlalu lama. Mind anaesthesia, begitu kata Kak Shirleyn. Jika otak terlalu lama membeku, fungsi tubuh refleks akan mengambil alih, tapi hanya untuk durasi yang sangat terbatas.

Aku tidak pernah mengira kalau kekuatanku semengerikan itu.

Untung, tak ada korban jiwa. Korban terparah adalah Pak Rangga, yang sampai koma selama tiga bulan, dan harus menjalani rehabilitasi selama tiga bulan berikutnya. Jadi wajar kan kalau aku paling canggung berhadapan dengannya. Apalagi, para Adikala yang tidak ada di tempat kejadian dan hanya mendengar kabarnya saja, langsung menjadikanku musuh utama karena telah menumbangkan salah satu pimpinan keluarga yang sangat mereka sayangi itu.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah menggunakan kekuatanku lagi. Hari-hari kulalui dengan gelisah, takut satu saat, entahlah, aku akan mengamuk, mungkin. Dan karena tak terjadi satu hal pun selama setengah tahun ini, aku mulai waswas… jangan-jangan sebenarnya waktu itu kejadiannya sama sekali lain. Tahu kan, kadang orang seperti mendapatkan letupan kekuatan yang sangat besar dalam kondisi terjepit? Jadi bukan aku spesial atau apa, tetapi yang waktu itu terjadi karena aku sedang dalam tekanan mental yang sangat hebat.

Aku tidak pernah menceritakan kegelisahanku ini pada Mitos dan Fakta, karena aku tahu mereka akan menganggapku bodoh.

…dan aku takut mereka akan memandangku berbeda.

“Aku udah pasrah, Fak,” kataku. Bukan menyerah, hanya menerima dengan lapang dada. Tidak lapang-lapang banget sih, tapi paling tidak otakku tahu memang tidak ada jalan keluar selain bersabar. Mungkin kalau sudah lewat beberapa tahun tanpa aku menggunakan kekuatanku sama sekali, semua orang akan percaya kalau aku bukan Pemuda lagi.

Bertahun-tahun aku iri pada kakak-kakakku, dan sekarang aku malah berharap aku tidak pernah punya kekuatan apapun.

Lucu ya. Memang kadang sesuatu yang kita inginkan itu bukan yang terbaik untuk kita.

Fakta menelengkan kepala, memberiku pandangan menyelidik. Kadang, caranya Fakta menganalisis membuatku merasa seolah-olah tengkorakku ini transparan. Mitos mungkin membaca pikiran orang dengan bakatnya, tapi Fakta menggunakan brain power yang besar. Ibarat komputer, kalau Mitos itu komputer yang didesain khusus untuk suatu pekerjaan, sedangkan Fakta itu komputer general purpose dengan spek tinggi. Kadang, kemampuan membaca pikiran tidak begitu sespesial ketika disandingkan dengan kemampuan berpikir yang tinggi.

Jangan bilang-bilang Mitos ya. Bisa bengep aku nanti.

Tiba-tiba Fakta menekan keningku, satu titik di antara alisku, dengan telunjuknya.

Aku refleks menepis tangannya, tapi dia tak bergeming.

“Apaan sih Fak…”

Sesuatu di bola mata Fakta membuatku tercenung.

“Ini,” katanya. “Di bagian sini pasti ngerut kayak gini nih kalau kamu mau nangis.”

“Apaan…”

“Kamu nggak perlu kuatir bakal ada yang mergokin kamu nangis di sini sekarang. Lagian orang nggak bakal sampe masuk ke pojokan sini.”

Aku hendak menyanggah, tapi sebelum sempat kukatakan apa yang kumau, tiba-tiba air mataku menggenang, lalu meluap.

“Loh…”

Fakta menarikku, sampai kepalaku bersandar di pundaknya. Dia merengkuh punggungku sementara satu tangannya mengacak rambutku dengan lembut.

“Sejak awal aku nggak setuju,” kata Fakta. Kemudian dia melanjutkan, seolah-olah mengerti pertanyaan yang tidak kulontarkan, “nggak ngobrolin masalah ini sama kamu dari kemarin-kemarin. Ini kan bukan masalahmu aja.”

Aku… tidak tahu harus berkata apa, atau merasa bagaimana.

Ah, paling tidak aku tahu perasaanku tidak enak. Tidak enaknya bagaimana, aku tidak tahu persis.

“Mitos udah tau bakal begini jadinya kalau kita menerima tawaran Kak Shirleyn, tapi menurut dia kalau cuma kita bertiga, kita nggak bisa apa-apa. Awalnya aku juga mikir ini sesuatu di luar kemampuan kita. Kita butuh orang lain. Tapi bukannya dari awal kita memang cuma bertiga? Kenapa sekarang harus beda? Dan kalau pada akhirnya mereka bikin kamu sengsara, apa itu memang membantu?! Enggak kan?!”

Suara Fakta semakin lama semakin meninggi, sementara desah napasnya semakin keras dan dadanya naik turun dengan cepat. Dia memelukku semakin erat, sampai aku merasakan jari-jarinya mencakar punggungku.

Barangkali… dia sama membutuhkannya seperti aku. Butuh bicara, butuh mengeluarkan uneg-uneg. Bagaimana dengan Mitos ya, yang tidak hanya bergelut dengan pikiran-pikirannya sendiri, tapi juga dengan pikiran kami berdua? Aku tahu kok, meski tidak bisa mersakannya, dia selalu mengecek keadaan kami dari waktu ke waktu. Karena dia selalu datang pada saat kami benar-benar membutuhkannya. Mungkin dia juga akan membuntutiku akhir pekan lalu kalau tidak terhalang Kak Fira.

“Lagian, Kak Tessa juga bisa nggak sekolah di sini. Kenapa kita harus? Berarti ada pilihan kan?”

Kak Tessa adalah tetangga kami yang bisa mengendalikan api. Nama lengkapnya Antitesis Aldira, saat ini umurnya 18 tahun. Mungkin dalam waktu dekat nama belakangnya itu akan berubah menjadi Adikala. Kami tidak pernah tahu sampai bulan Juli lalu, padahal dia sudah seperti kakak kandung kami. Rupanya dia masih keturunan keluarga utama dengan elemen api yang sangat kuat. Saat ini dia dikandidatkan untuk menjadi kepala keluarga, dan seharusnya melanjutkan pendidikannya di Matra seperti Kak Daya, tapi entah negosiasi macam apa yang dilakukannya, Perisai bersedia membiarkannya tetap di luar.

Spekulasi yang beredar adalah Matra tidak akan sanggup menaungi dua kepala klan sekaligus di antara pilar-pilarnya yang sudah kuno. Memang seram membayangkan kalau-kalau suatu saat Kak Tessa dan Kak Daya bertengkar, meski aku yakin hal itu tidak akan pernah terjadi. Maksudnya, mereka berdua itu dua orang yang sangat kalem dan lebih mengedepankan logika praktis daripada otot, tidak seperti beberapa Adikala yang aku tahu. Yang lebih mungkin terjadi adalah mereka saling menyabet kekayaan masing-masing dan tidak akan berhenti sampai salah satu kubu jadi gelandangan di jalanan dengan perut lapar dan anak-anak yang menjerit-jerit meminta makan.

Tentu saja, ada spekulasi lain. Keluarga Adikala saat ini sedang terpecah belah, gara-gara ada begitu banyaknya Pemuda berelemen kuat di satu generasi. Dan kebanyakan dari mereka itu arogannya ampun-ampunan. Pergolakan politik mereka bisa lebih seru daripada pemilu (meski tidak diekspos media, berhubung yang menguasai media dan informasi itu orang-orang Reksaraga. Seram ya Perisai ini).

Aku balas memeluk Fakta, mendekapnya erat.

Dan aku menyadari sesuatu.

Rasanya Fakta lebih kecil daripada biasanya. Apakah tubuhnya menyusut karena tekanan batin selama setengah tahun ini? Atau aku yang mulai tumbuh?

Argh!!! Ngapain saja sih aku? Kenapa aku bisa tidak menyadari kalau kakak-kakakku tidak baik-baik saja.

Mereka juga berjuang melawan masalah mereka sendiri-sendiri.

Bahkan sempat-sempatnya mereka memikirkanku.

Dan ada dimana aku selama ini?

“Aku…” suaraku tercekat. Aku menelan ludah. Rasanya tenggorokanku sakit. Aku mecoba lagi. “Ak—”

Fakta menepuk kepalaku pelan.

“Aku tahu, Le.”

Tangisku pecah.

Tidak tahu. Aku tidak bisa mengontrolnya.

Fakta merengkuh bahuku, satu tangannya meraih ke belakang punggungku, sementara tangannya yang lain terbenam di antara rambutku. Aku membiarkan kepalaku bersandar ke pundaknya.

Tangisku sulit dihentikan. Rasanya seperti jatah menangis selama lima belas tahun tiba-tiba dibayar tunai pada satu waktu. Pada saat ini.

Fakta hanya diam, tidak mengucapkan apapun. Lagipula, aku tidak butuh dihibur. Mungkin aku sudah memendam frustrasiku terlalu lama. Dan sekarang saatnya mengeluarkan semuanya.

 

[1] Dalam manga berjudul One Punch Man, Saitama adalah seorang superhero yang melakukan 100 kali push up sehari.

[2] Menurut manga berjudul Yakitate! Japan, seseorang yang hebat tidak berteriak “APA?!” ketika menemukan sesuatu yang mengejutkan.

[3] Manusia dengan kemampuan regenerasi yang tinggi dalam manga berjudul Ajin: Demi Human.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • drei

    @yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Nama tokohnya juga anti mainstream :D.
    Klau berkenan kunjungi story ku juga ya. Trims

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Hai, aku suka dengan ceritamu. Unik dan bahasanya walau "marah" ttp enak dibaca. Aku bkalan lnjut baca

    Comment on chapter I.
Similar Tags
Konstelasi
896      469     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Purple Ink My Story
5939      1300     1     
Mystery
Berawal dari kado misterius dan diary yang dia temukan, dia berkeinginan untuk mencari tahu siapa pemiliknya dan mengungkap misteri yang terurai dalam buku tersebut. Namun terjadi suatu kecelakaan yang membuat Lusy mengalami koma. Rohnya masih bisa berkeliaran dengan bebas, dia menginginkan hidup kembali dan tidak sengaja berjanji tidak akan bangun dari koma jika belum berhasil menemukan jawaban ...
The life of a monkey
567      318     4     
Short Story
This is a story about a monkey named Koko.
When You Reach Me
7567      1991     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
School, Love, and Friends
19103      2959     6     
Romance
Ketika Athia dihadapkan pada pilihan yang sulit, manakah yang harus ia pilih? Sekolahnya, kehidupan cintanya, atau temannya?
She Never Leaves
5189      1518     4     
Inspirational
Dia selalu ada dan setia menemaniku, Menguatkanku dikala lemah, Menyemangatiku dikala lelah, dan .. Menuntunku dikala kehilangan arah.
Meja Makan dan Piring Kaca
57144      8411     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
No, not love but because of love
3514      775     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
Luka Adia
811      495     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Flower With(out) Butterfly
431      298     2     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati