Langkahku langsung terhenti begitu mendapati Rafa muncul dari tikungan koridor ruang guru. Kalau berbalik dan memilih lewat tangga kelas sepuluh, sudah bisa dipastikan aku akan terlambat masuk kelas. Asal tahu saja, bel sudah berbunyi dari tiga menit lalu saat aku lari dari halte ke gerbang yang sudah setengah tertutup. Dan sebentar lagi bel tanda dimulainya pelajaran bisa dipastikan berbunyi.
Duh. Ya sudahlah. Pura-pura nggak melihat daripada terlambat dan kena omel Bu Farah. Itu guru kan kalau ngomel panjang banget. Bisa-bisa satu jam pelajaran hanya digunakan untuk mengomeliku. Belum lagi malunya sama anak satu kelas.
Baiklah. Pandangan lurus ke depan. Tetap cool walau jalan harus ngebut buat ngejar waktu. Pura-pura nggak lihat Rafa. Tangga nggak jauh, kok.
“Tara?”
Sial. Kenapa Rafa pakai manggil segala sih? Nggak tahu apa kalau hatiku ini masih belum bisa menerima berakhirnya hubungan kami? Dan terpaksa aku menoleh.
“Eh, Raf. Duluan, ya. Udah telat, nih.”
Hebat. Darimana sih, aku dapat sikap dingin kayak begitu? Dan tanpa mempedulikan Rafa, aku langsung bergegas menuju tangga.
Benar saja. Baru menginjak tangga ketiga, bel berbunyi. Aku langsung lari. Beberapa kali menabrak anak yang lalu-lalang di koridor.
“Aduh! Aaa... ” Aku hampir terjungkal gara-gara tanpa sengaja menginjak kaleng bekas minuman soda.
Apa kurang jelas sih tulisan gede-gede di mading sekolah. BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA. Maka dengan kesadaranku akan kebersihan, aku memungut kaleng minuman tersebut dan dari tempatku berdiri yang berjarak kurang lebih dua meter dari tempat sampah, aku melempar kaleng tersebut dengan gaya memasukkan bola ke ring basket. Saat itu juga ada seorang cowok yang baru keluar dari kelas sebelas IPA 2. Dan kaleng tersebut mengenai bagian belakang kepalanya.
“Aduh!” Cowok itu memekik. Aku menghampirinya dengan perasan was-was.
“Sori… sori. Gue nggak sengaja.” kataku hati-hati. Cowok itu dengan masih memegangi bagian belakang kepalanya membalikkan badan. ASTAGA. Bukankah cowok ini adalah Arda? Si kapten sepakbola sekolah yang lagi digilai cewek satu sekolahan itu?
Wajahnya yang sempat terlihat berang tiba-tiba berubah ramah setelah melihatku. “It’s okay.” Aku mendengar cowok itu berkata.
Suaranya berat. Semakin menambah kesan maskulinnya sebagai cowok. Tapi aku nggak menyahut. Melainkan hanya bengong menatap si Tailor Lautner versiku ini dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ehmm… tinggi. Bahkan saat berjarak dekat seperti ini aku harus menegadahkan kepala demi menatapnya. Rambutnya berwarna dark brown, dipotong cepak. Alisnya hitam tebal. Bola matanya berwarna coklat. Penampilan agak sedikit urakan dengan kemeja yang nggak dimasukkan, aku juga bisa melihat kaos dalamnya berwarna abu-abu. Aku pasti nggak salah lihat kalau otot-otot di balik kemeja putihnya itu terbentuk sempurna. Warna kulitnya kecoklatan khas Indonesia. Dan itu semakin menegaskan maskulinnya sebagai cowok. Aku menelan ludah saat menyadari itu.
“Haloo? Lo nggak mau masuk kelas?” Cowok itu berkata lagi. Aku sedikit tersentak. Wajahku terasa panas.
“Oh… iya. Sori, ya.” Kataku terbata. Kemudian aku langsung berbalik dan berlari menuju kelasku. Sedikit pun aku tidak berani menoleh ke arah cowok itu. Malah semakin mempercepat lariku untuk menuju kelas.
“Alhamdulillah.” Seruku begitu tiba di pintu kelas. Semua menatap ke arahku dengan tatapan terganggu. Aku hanya meringis kemudian berjalan menuju bangku.
“Abis ngapain lo? Lomba lari dulu sebelum ke sekolah?” Lyana menatapku yang lagi ngos-ngosan.
“Mobil bokap di bengkel. Terus, mobil gue tuh dipakek bokap. Satunya dibawa Mama ke butiknya. Hasilnya gue naik bus deh. Tau sendiri kan, bus tuh pasti penuuuh banget kalo pagi begini. Dan....” Aku menghentikan ocehanku begitu kulihat Bu Farah masuk kelas.
----
“TARAA… TARA…”
Lyana gila! Hampir saja aku tersedak Soto gara-gara teriakan Lyana itu. Mana ini kantin penuh lagi. Semuanya kan jadi menatap ke arahku.
“Apa sih lo? Teriak-teriak. Kayak Tarzan tau, nggak?” Protesku begitu Lyana duduk di depanku. Dia nyengir sebelum menjawab.
“Lo tau Arda, kan? Yang kapten bola sekolah kita itu?” Seru Lyana dengan excited. Refleks ingatanku langsung flashback ke kejadian tabrakan tadi pagi. Ya nggak mungkinlah aku lupa sama Arda.
“Yang cool banget itu? Yang nggak cakep-cakep banget tapi berkharisma itu? Yang gue bilang mirip Tailor Lautner itu, kan?” Aku menjawab dengan excited juga. Tapi sedetik kemudian aku mengubah nada suaraku menjadi dingin. “Kenapa emang?”
Lyana nggak terganggu dengan perubahan sikapku. Yang ada dia malah melanjutkan ceritanya dengan mata berbinar. “Dia nanyain lo ke gue!”
Lah? Aku jadi berpikir, yang ditanyain kan aku, kenapa jadi Lyana yang kegirangan?
“Hah? Serius lo?” Asli. Aku kaget. Nggak percaya.
Seorang Arda, gitu. Kapten tim sepakbola sekolah tanya-tanya soal aku? Apa jangan-jangan dia masih kesal padaku gara-gara aku menabraknya tadi pagi? Ah, nggak segitunya lah.
“Kenapa emang? Yang tadi pagi gue beneran nggak sengaja, lho.” Kataku polos. Lyana memandangku dengan curiga.
“Tadi pagi?”
“Iya. Lo tau kan, gue telat tadi. Terus gue lari-larian deh ke kelasnya. Terus, nggak sengaja nabrak dia. Tapi tadi mukanya biasa aja tuh. Nggak ada marahnya sama sekali.” Aku menyerocos tanpa mempedulikan dahi Lyana yang semakin berkerut.
“Masa dia marahnya sekarang, Yan? Gimana dong?” Aku mengguncang-guncang bahu Lyana.
“Tara. Dia bukan mau marahin lo. Dia nyari lo itu karena dia suka sama elooo.” Seru Lyana dengan gemas.
“Hwahahaa…. Bercanda lo keterlaluan.” Aku menepuk pelan pundak Lyana. Lyana balas menepuk pundakku dengan keras sampai aku mengaduh.
“Serius, Ra. Tadi gue ketemu dia di depan kantin.” Seru Lyana menahan jengkel.
Eh? Ini seriusan?
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Lyana, “Serius lo?” Tanyaku dengan suara pelan.
“Iya, Ra. Sumpah deh.” Lyana menjawab plus anggukan kuat.
Tanpa bisa kucegah, bibirku tertarik ke atas menyunggingkan senyum. Ya, iyalah. Arda gitu, lho. Cowok yang diincar hampir seluruh cewek se-Nusa Bangsa setelah Julius si kapten basket itu.
“Eh… ehh… lihat tuh mantan lo. Masiiih aja pamer kemesraan didepan umum gitu. Nggak malu apa dihujat sana-sini?” Wajah sumringah Lyana berubah jadi kecut.
Aku mengikuti arah pandangan Lyana. Dua meja disamping kami. Ya. Lagi-lagi aku melihat Ralin menggamit mesra lengan Rafa. Padahal Rafa itu lagi makan, lho. Perasaan aku dulu nggak sampai segitunya.
Eh, eh? Si Ralin kayaknya sengaja banget tuh memperlihatkan kemesraan mereka didepanku. Buktinya dia curi-curi pandang ke arahku berkali-kali. Dikiranya aku bakal cemburu, apa? Ya memang aku cemburu sih (nepuk jidat sendiri).
Duh. Ada yang punya palu nggak sih? Buat pukul kepala Ralin biar dia jadi bonsai. Atau paling nggak kepalanya jadi pesok deh. Dengan begitu kan nggak akan ada cowok yang melirik ke arahnya.
“Yan?”
“Hm..”
“Mau ikut gue?” Aku mengalihkan tatapanku kembali ke Lyana.
“Ke mana?” Lyana mengerutkan dahi.
“Ke Asgard.”
“Hah? Tempat apaan, tuh? Mau ngapain emang?” Dahi Lyana semakin berkerut.
“Mau pinjem palu Mjolnir punya Thor. Buat pukul kepala si Ralin, tuh. Biar melesek. Dengan begitu dia nggak bakal ada daya tarik lagi.” aku berkata dengan berapi-api.
Lyana melongo menatapku. Kemudian terbahak sampai beberapa anak yang ada di kantin menoleh ke arah kami.
“Sialan lo! Gue kirain ngomong serius.” Lyana berbicara ditengah tawanya. Mau tidak mau aku jadi ikut tertawa juga.
Sekilas aku menoleh ke arah Rafa setelah tawaku reda. Jadi pengen tertawa lagi setelah melihat Ralin yang buru-buru memeluk lengan Rafa begitu matanya beradu pandang denganku. Childish banget tuh orang.
“Ya udahlah, ya. Jangan dilihatin terus. Entar ke ge-eran mereka.” Lyana berkata.
“Lah? Bukannya elo tadi yang nunjukin ke gue?”
“Ya Tuhan… Ya Tuhan… Tara?” Lyana berkata dengan heboh sambil menggoyang-goyang tubuhku.
“Lo apaan sih? Ngeliat Rafa-Ralin kayak ngeliat Tailor Lautner aja. Biasa aja, kali.”
“Ini emang Tailor Lautner, Ra.” Seru Lyana.
Hah?
Aku menoleh ke samping. Mengikuti arah tatapan Lyana.
“Hai, Tara?” Suara berat itu menyapaku. Tahu namaku dari mana coba?
Aku baru ngeh siapa yang dimaksud Lyana dengan Tailor Lautner. Arda. Sekarang berdiri menjulang di depanku dengan senyum hangatnya.
“Ha-hai,” aku menjawab tergagap. Mengangkat tangan kanan dengan kikuk.
“Udah tau gue, kan?” Arda sekarang duduk di depanku. Pas disamping Lyana. Dan kulihat Lyana jadi belingsatan salah tingkah.
Aku beralih menatap mata Arda yang terarah padaku. “Arda, kan? Ya, kalo nggak salah inget. Foto sama profil lo kan pernah nongol di mading.” Memang pertama kali aku tahu Arda ya dari profilnya yang dipajang di mading. Waktu itu dia berhasil membawa tim bola sekolah menjadi juara tingkat SMA se-Indonesia. Keren, kan?
“Terus, elo tau nama gue dari mana?” Aku ganti bertanya.
“Tanya deh, satu sekolah ini siapa yang nggak tau Tara, pacarnya Rafa.”
“Mantan.” Ralatku seketika.
“Itu maksudnya.” Arda diam sejenak kemudian berkata, “Emm… sepulang sekolah ada acara, nggak?”
“Gue?” Aku menunjuk diriku sendiri. Mencoba meyakinkan.
“Iya. Siapa lagi emang.” Arda menjawab dengan mata masih menatap mataku. Membuatku jadi salah tingkah.
“Tara?” Lyana menyikut pelan lenganku.
“Eh.. iya. Nggak ada kok. Kenapa emang?” Sebelum Arda menjawab aku menambahi, “Lo nggak mau minta pertanggungjawaban soal tabrakan tadi pagi, kan? Bahu lo nggak keseleo atau apa gitu, kan?” Aku menatap khawatir.
Arda tertawa pelan sebelum menjawab. Dan auranya semakin terlihat saat tertawa seperti ini. Jadi suka. Eh.. eh?
“Ya enggaklah. Gue mau ngajak lo pulang bareng.” Arda berkata dengan santai.
“Hah?” Aku melongo. Aku yakin saat ini pasti tampangku terlihat bodoh. Di depan Arda. Ini gila. Dan aku semakin malu saat melihat Arda tersenyum.
“Ya udah. Sampai ketemu nanti, ya.” Arda bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke luar kantin tanpa menunggu jawabanku.
Aku baru sadar kalau selama beberapa menit kami menjadi tontonan orang satu kantin. Ya, iyalah. Seorang Arda. Cowok populer yang jadi incaran cewek satu sekolah menghampiri seorang Tara yang bukan siapa-siapa. Dunia benar-benar terbalik.
Aku bisa melihat tatapan iri mereka, tatapan kagum, bahkan beberapa ada yang menatap sinis. Merasa kalah saingan mungkin. Dan, surprise, Rafa menatapku dengan tatapan nggak suka. Ah, bukan urusanku.
“Ya ampun, Ra. Sumpah lo keren banget. Putus dari Rafa dapetnya Arda. Ibaratnya ngelepas emas dapetnya berlian. Keren.” Lyana berkata dengan, yahh, biasalah drama queen.
Lyana itu kalau cerita selalu ditambahi dengan ekspresi hiperbolanya. Jadi, cerita yang tadinya biasa-biasa saja, bisa jadi WOW kalau Lyana yang cerita. Ibarat kata, cerita kucing yang kakinya kejepit pintu pun bisa membuat orang menangis kalau Lyana yang cerita. Lho, kok jadi aku yang drama?
----
Betapa kagetnya aku saat mendapati Arda berdiri di balik pintu kelasku. Aku pikir dia bercanda mengajakku pulang bersama.
“Hai?” Dia menyapaku dengan senyum hangatnya.
“Hai.” Aku menjawab dengan canggung. Dan lagi-lagi mata-mata di sekitar kami menatap dengan iri, kagum dan nggak suka.
“Pulang sekarang?” Arda bertanya minta persetujuan.
Boleh juga, sih. Hari ini kan Pak Danang absen antar-jemput aku ke sekolah karena cuti istrinya melahirkan anak kelimanya. Daripada naik bus lagi.
“Boleh.” Jawabku akhirnya. “Eh, tapi nggak pa-pa nih?” Aku buru-buru menambahi.
“Enggaklah.”
“Nggak bakal ada yang ngeroyok aku kan, gara-gara cowoknya nganter aku pulang?” Sekali lagi aku meyakinkan.
Arda tersenyum. “Nggak ada, Tara. Yuk, ah.” Kemudian Arda berbalik dan berjalan ke arah tangga. Aku mengikuti. Mencoba menjajari langkah-langkah panjangnya itu.
Kami berjalan menuju tempat parkir masih diiringi tatapan-tatapan aneh teman satu sekolahku. Senang juga melihat Ralin yang menatap, entah iri atau jealous nggak tahulah. Yang jelas dia menatapku dengan tatapan ‘nggak suka’.
“Kita makan dulu, gimana?” Arda bertanya saat mobilnya mulai meninggalkan halaman parkir sekolah.
“Boleh. Laper juga kebetulan.”
Dan disinilah kami. Duduk berhadapan di sebuah restoran Italian food. Kalau biasanya anak SMA seumuran kami makan di café, Arda ini lain. Mana cukup coba, uang saku anak SMA buat makan di restoran mewah begini. Bisa kutebak kalau harga makanan di sini nggak mungkin murah.
Ya nggak tahu juga, sih. Mungkin saja uang saku Arda itu diatas rata-rata anak seumuran kami. Secara mobilnya saja Mercedes, gitu. Dari gosip yang beredar sih, Papa Arda itu seorang pengusaha timah sukses di pulau Bangka sana.
“Kamu mau makan apa, Ra?” Arda bertanya sambil membolak-balik buku menu. Dia bilang apa tadi? Kamu? Secepat ini? Baiklah.
“Emm…” Aku meraih buku menu di depanku. Langsung menentukan pilihan setelah melihat halaman pertama. “Lasagna Bolognese, sama minumnya… Orange Float.”
“Samain aja, Mbak.” Arda membeo pesananku.
“Loh?” Aku menatap Arda bingung.
“Kalo kamu milih itu, berarti rasanya enak.” Arda tertawa. Aku ikut tertawa mendengar jawabannya.
Hening sejenak.
“So, nggak mungkin kan, kamu ngajakin aku pulang bareng cuma gara-gara aku nggak sengaja nabrak kamu tadi?” Aku memberanikan untuk bertanya atas rasa penasaranku.
“Nggak juga sih. Kamu lupa kita pernah sama-sama telat dan kena omel Pak Udin?”
“Masa sih? Aku inget sih, pernah telat pas guru piketnya Pak Udin. Sering malah. Tapi nggak inget ada kamu,” jawabku jujur.
“Ya, iyalah. Waktu itu kan, kamu sibuk sama Rafa.” Ada perubahan di raut wajah Arda. Entahlah.
“Dulu kaliii.”
Hening.
“Kamu beneran udah putus sama Rafa? Entar aku ditonjokin lagi sama dia gara-gara ngajak ceweknya jalan.”
“Aduh. Ketinggalan gosip banget ya, kamu. Orang satu sekolah juga udah pada tau, kali. ‘Tara diputusin Rafa karena Ralin’.” Masih ada sedikit perih saaat mengatakan itu.
Jangan bilang kalau aku bodoh karena masih saja nggak bisa move on dari Rafa. Kalian lupa kalau aku pacaran sama Rafa itu nggak sebentar? Dua tahun, lho. DUA TAHUN. Jadi wajar saja kan, kalau aku belum bisa move on juga setelah dua Minggu lebih putus dari Rafa? Mohon dimaklumi.
“Ya, siapa sih yang nggak tau gimana mesranya Rafa dan Tara? Kemana-mana selalu berdua.”
“Dulu.” Aku tersenyum getir.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU