Kucin Gila! Kucing Gila! Kucing Gila!
Mikana masih enggak bosan mengumpat, meskipun umpatannya lirih dan bisa dikategorikan menggumam. Pasalnya, sejak setengah jam lalu, ia sibuk mengepoi instagram Nicho, tapi enggak menemukan sesuatu yang bagus buat dijadikan bahan gossip sampai sekarang.
Instagram Nicho isinya gambar gitar dengan caption puisi ala-ala gitu. Mikana baru tau kalau Nicho aslinya puitis banget. Ya iyalah, dia kan vokalis band sekolah. Udah buat beberapa lagu pula. Pantaslah kalau bisa bikin puisi yang bikin Mikana meleleh kayak plastik yang dibakar.
Tapi kan, Mikana lagi enggak nyari kata-kata mutiara. Dia tuh lagi nyari bahan gojip, Maaak. Bahan gojip yang ajib!
Nyesel deh, bikin IG fake cuma buat stalk doang. Ngabisin kuota aja.
Sambil melenguh kesal, Mikana buka aplikasih lain. Facebook.
Lebih parah!
Facebook Nicho hampir kosong. Profilnya ‘zonk’. Foto profil cuma satu; gambar gitar putih dengan latar hitam, dan enggak pernah diganti sejak FB itu dibuat lima tahun lalu. Kayaknya semua postingan di-privasi deh. Sok misterius banget tuh cowok. Emang dia siapa sih? Anak pejabat? Anak presiden? Anak orang berpengaruh? Hingga-hingga semuanya harus di-privasi.
Bahkan, selama hampir tiga tahun sekolah di SMA Garuda, enggak ada yang tau tuh, rumah Nicho di mana. Yang anak-anak—termasuk Mikana—tau, bokap Nicho penyumbang terbesar di SMA Garuda.
“Pagi-pagi udah kepo.”
Sentakan keras terasa banget di rongga dada Mikana saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. Jantungnya sedang protes, Maaak. Lagi serius jugaaaaa, malah dikagetin.
“Buset dah! Untung jantung gue sehat.”
“Kamu ngapain stalk Jack Frost?” Mata Anika memicing curiga sambil menyebutkan ‘panggilan’ mereka buat Nicho. “Jangan-jangan kamu juga—”
“Kalau lo mikir gue tiba-tiba nge-fans sama dia, no way! Gue mana bisa khianati my bebeb Clark Kent,” potong Mikana sambil menyilangkan tangan dan mengeraskan wajah.
Anika tertawa sambil mengempaskan bokongnya di kursi samping Mikana.
“Lo tau kan, eskul Mading setahun belakangan ini udah kegeser pamornya gara-gara munculnya eskul Koding bikinan Agatha? Bentar lagi kita kan cabs dari nih sekolah. Gue enggak mau ninggalin eskul Mading dalam keterpurukan.” Elah, bahasamu, Ka.
“Gue lagi nyari cara buat balikin ke-famous-an eskul Mading nih.”
“Dengan bikin fanfiction tentang Jack Frost?” Alis Anika mengerut tak setuju. “Tobat napa sih, Ka. Tenar enggak harus dengan pansos or gossip, kan? Lagian, dosa gosipin orang.”
“Bukan fanfiction. Gue tuh mau bikin true story.”
Bola mata Anika memutar. Iya deh, Ka, iya, serah kamu.
“Mending serius belajar mulai sekarang buat persiapan UN. Banyakin tobat, biar UN lancar dan kamu bisa be-bas-tes masuk jurusan kedok kayak kakak-kakak kamu.”
Pusing deh Mikana kalau Anika ingatin dia hal itu. Mikana tuh mau masuk sastra, bukan kedokteran. Tapi apa daya, yang bakal dia pakai buat kuliah uang Papi, jadi Papi juga yang merasa punya hak penuh untuk menentukan jurusan Mikana. Kayaknya Papi mau ciptakan ‘tenaga kesehatan berantai’ dalam keluarganya. Buktinya, satu keluarga—kecuali Mikana—dokter semua. Papi itu spesialis penyakit dalam. Mami dokter bedah. Kakak pertama Mikana dokter gigi. Kakak kedua Mikana lagi koas. Enggak puas, Papi maunya Mikana jadi dokter jugaaa. Padahal, Mikana sama sekali enggak tertarik dengan apa pun yang berhubungan dengan IPA. Liat aja gaya hidupnya. Katjau! Liat makanannya. Junkfood semua!
Heran deh, kok cuma dia yang ‘lain’ dalam keluarganya? Kadang Mikana mikir, jangan-jangan dia anak pungut.
“Yeh, malah bengong!” Senggolan tangan Anika membuyarkan lamunan Mikana. Tak mau capek menggubris, Mikana malah menopang dagu dan nyengir.
“Entaranlah tobatnya. Kalau udah mau try out. Kan UN masih ada enam bulanan, Nik.”
“Tobat kok milih-milih. Nih ya, aku kasih analogi. Kamu tau Desti kan, anak kelas sebelah?”
“Tauk. Tapi enggak peduli sih. Kenal aja kagak. Senyum ke gue aja ogah. Songong tuh orang.”
“Nah, kalau misalnya dia tiba-tiba datang minta tolong ke kamu sedang enggak ada interaksi sebelumnya, gimana?”
“Kurang ajarlah. SKSD pas ada maunya doang.”
“Iya. Kurang ajar. Manusia yang SKSD ke Tuhan kalau ada maunya doang sama tuh.”
Woaaaah. Mikana kejebak. Mukanya berubah masam. Tapi, Anika ada benarnya sih.
Berharap ditolong lancar segala urusan tapi mendekat aja enggak pernah? Parah!
Ini bukan hanya soal lulus UN, tapi juga pembuktian ke Papi kalau Mikana tuh juga bisa banggain Papi kayak kakak-kakakknya. Selama ini dia selalu dibanding-bandingin dengan Leon dan Irgina, kedua kakaknya. Mikana sebagai anak bungsu dan satu-satunya yang enggak sukses merasa tersiksa. Dibandingin dengan anak tetangga aja sakit, apalagi dibandingin dengan saudara sendiri.
Dan Mikana sudah bertekad, pokoknya, NEM-nya harus tinggi setinggi-tingginya dan harus bisa masuk F. Kedok lewat jalur SNMPTN kayak kedua kakaknya.
Tapi apa daya, Mikana sadar, kemampuan tak sesuai gaya hidup. Dia benar-benar butuh keajaiban untuk memberikan pembuktian pada Papi kalau dia juga bisa diandalkan. And of course, cuma Tuhan yang bisa memberinya keajaiban seperti itu.
“Kalau gue tobat, ditolong enggak?” tanya Mikana tiba-tiba. Was-was juga, gimana kalau Tuhan marah ke dia karena pembangkangannya sebagai hamba selama ini?
“Insyaallah. Lurusin niat aja.”
Mikana mencibir. Jawaban Anika enggak muasin banget. Dia udah mau buka suara sebagai bentuk kejengkelan pada Anika, tapi matanya yang normal dan suka banget perhatikan sekeliling enggak sengaja bertubrukan dengan mata Nicho.
Tatapan mereka terkunci.
Ngapain Orang-Orangan Salju natap ke sini? Ini mata gue yang lagi melakukan manipulasi apa gimana?
Mata Mikana memicing untuk menajamkan penglihatan. Barulah dia tau kalau tatapan Nicho kosong. Beneran kosong, bukan datar kayak biasanya.
Thanks to Vando yang datang tiba-tiba dan menepuk pundak Nicho, hingga Mikana berhenti gede rasa. Karena sentakan yang ditimbulkan tubuh Nicho membuat Mikana sadar, kalau tadi cowok itu melamun, bukan natap dia. Selama ini tatapan Nicho emang rada-rada kosong sih. Makanya susah bedain kapan dia melamun kapan enggak.
Tapi, kenapa melamunnya harus sambil natap ke arah bangku Mikana? Liatin Mikana pula—kalau dia boleh ge-er lagi.
Eh enggak ding. Mikana meralat pikirannya. Dia tiba-tiba nyadar, ada Anika di sebelahnya, nutupin sebagian tubuhnya dari pandangan Nicho.
Jadi tadi Nicho … apa tadi dia liatin Anika?
Wah, kalau iya, itu cowok nyari gara-gara namanya!
Insyaallah, Ukhti Gustin. Aku mau nulis di Tinlit juga???? Sebar tulisan. Insyaallah, doakan semoga nulisnya lancar, Ukh. Jazakillah khoir sudah mampir ^^
Comment on chapter TIGA