Mikana melangkah cepat menyusuri koridor. Sesekali melirik jam tangan sambil mengumpati kecerobohannya. Bisa-bisanya dia lupa kalau ada tugas Kimia yang harus dikumpul hari ini, padahal kemarin, Anika—sahabatnya sejak dia masih suka meperin ingus ke orang hingga dia beralih meperin upil—ngingatin dia sampai kupingnya panas.
“Misi misi misi. Ada diva pop mau lewat!” Mikana berseru saat langkahnya ke kelas terhalang oleh gerombolan siswa. Dia bisa menduga apa yang terjadi. Pasti peristiwa “Penembakan Tak Berdarah Tapi Sakit” lagi.
“Sorry, lo terlalu biasa buat jadi cewek gue.”
Bola mata Mikana bergulir ke atas saat si cowok yang jadi korban ‘penembakan’ mengucapkan kalimat membosankan itu. Serius, Mikana udah bosan banget dengar alasan penolakan itu. Sorry, lo terlalu biasa buat jadi cewek gue. Kayak enggak ada alasan lain aja. Hidung lo kurang mancung, misalnya. Atau kulit lo terlalu putih. Atau rambut lo enggak keriting. Atau lo bukan anak pejabat. Atau alasan-alasan lain yang bisa diterima akal sehat.
Mikana benar-benar enggak habis pikir dengan alur berpikir cowok itu. Udah ratusan cewek, kali, yang dia tolak sejak dua tahun lebih jadi siswa SMA Garuda. Lucunya, alasannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, sama aja. Lo terlalu biasa.
Trus lo mau cewek yang kayak gimana, Jack Frost? Mau yang matanya tiga bibirnya dua? Atau kulitnya seputih awan, rambutnya panjang, dan punggungnya bolong? Mikana nyerocos dalam hati.
“Misi! Ngalangin jalan aja!” Mikana mendegkus kesal sambil menerobos kerumunan. Tatapannya sempat bersibobok dengan tatapan datar cowok yang-enggak-suka-cewek-terlalu-biasa itu.
“Cowok yang enggak tercipta dari tanah kek gitu apa bagusnya sih?” Sambil meletakkan tasnya di meja, Mikana mendumel lagi.
“Pagi-pagi udah ngomel aja, Ka? Rejeki entar kabur loh,” tegur Anika, sahabat Mikana.
“Noh di luar rame banget. Udah tau si orang-orangan salju enggak jelas tipe ceweknya kek gimana, masih aja ada yang nembak.”
“Hush. Orangnya masuk kelas noh,” ucap Anika sembari menunjuk cowok yang baru saja masuk kelas dengan dagu.
“BIARIN KALAU DIA DENGER! COWOK JELMAAN BONEKA SALJU YANG DIIMPOR DARI KUTUB UTARA KEK GITU APA MENARIKNYA SIH?”
Si cowok ‘salju’ yang mendengar ucapan Mikana hanya menoleh sesaat sebelum mengalihkan muka. Jelas banget kalau dia enggak peduli pada ucapan Mikana.
Decakan keras keluar dari bibir Mikana tepat setelah cowok itu duduk di bangkunya. Matanya menatap tanpa canggung ke arah sana. Mencari tau apa menariknya sih cowok titisan manusia salju kayak gitu hingga cewek-cewek di sekolahnya pada nguber dia? Sampai bikin fans club segala. Lebay banget!
Padahal menurut Mikana, enggak ada apa pun yang menarik sama cowok itu, kecuali namanya yang mirip aktor favorite Mami.
Nicholas Saputra.
Kalian enggak salah baca. Namanya benar-benar Nicholas Saputra. Mungkin pas ibunya hamil, dia ngidam liat muka Nicholas Saputra, pemeran Rangga di film “Ada Apa Dengan Cinta”. Makanya pas anaknya lahir, anaknya jadi secakep Nicholas Saputra. Lebih cakep malahan.
Lihat aja wajahnya yang enggak kayak orang Indo asli. Lihat alisnya yang hitam dan tebal kayak ulat bulu. Lihat hidungnya yang mancung dan runcing minta ditarik kalau gemas. Lihat tulang wajahnya yang melekuk sempurna. Tapi jangan lihat sikapnya dalam memperlakukan cewek. Kamu akan muntah sehari semalam. Bukan muntah karena perlakuannya yang super duper buruk itu, tapi muntah karena udah tau dia enggak berperi-cewekan, kamu tetap aja muja-muji dia.
“Anak Koding dapat penghargaan lagi dari sekolah. Minggu lalu kan baru menang lomba KIR.” Fira, salah seorang anggota eskul Mading menghela sembari mengempaskan bokongnya di salah satu kursi yang ada di sekret. “Gue takut eskul kita makin tenggelam dan sisba-sisba enggak ada yang mau ikutan eskul Mading karena enggak populer.”
“Pembaca kita juga udah mulai ilang. Gue heran, sejak kapan anak zaman now lebih suka baca KIR dibanding sastra sama gossip?” Anton, anggota eskul Mading yang lain menimpali.
“Sejak ketuanya Agatha,” ucap Mikana sambil 'memainkan' mouse. Sejak tadi dia sibuk 'menghitung' likers fanspage Eskul Mading. Jumlah orang yang like postingan terakhir kurang dari lima orang. Ini baru di dunia maya. Di dunia nyata lebih parah lagi. Enggak ada satu pun siswa yang berhenti di depan mading buat baca puisi-puisi kece ataupun cerpen baper di sana. Miris. Padahal buatnya susah loh. Butuh imajinasi.
“Gue nyadari sih, mading kita kebanyakan gosip. Mungkin harus ada semacam opini atau apa kali, ya,” ucap Anton lagi.
“Dari awal konsep kita emang konteks yang ringan aja kayak puisi, cerpen, gossip … anak-anak juga seneng kok. Bisa dongkrak popularitas mereka.”
“Tapi kan—”
“Kalau kita tiba-tiba bikin opini juga, entar anak koding pada gede kepala, ngira kita nyuri ide mereka.” Mikana menyela ucapan Anton.
“Inget, kita bikin eskul ini buat seru-seruan, bukan serius-seriusan. Kita kan mau nunjukin opini kalau masa remaja mah sans ae. Kudu dinikmati. Jangan kayak anak koding, matanya pada minus gegara serius."
Jeda sejenak. Mikana menarik napas panjang dan menghela dalam. “Pokoknya, kita harus cari cara biar anak-anak SMA Garuda kembali respek ke kita. Kita harus dongkrak popularitas.”
“Kalau mau dongkrak popularitas, mending bikin gosip tentang Nicho. Yakin deh, anak-anak satu sekolahan bakal gempar,” tanggap Sandra yang dari tadi nyimak.
“Gempar bullying gue maksud lo?” Mikana ketawa. Tapi boleh juga tuh, munculin gosip tentang Nicho. Itu cowok kan sepi gossip. Tapi gossip apaan? Gosip kalau alasan Nicho tega nolak cewek yang nembak: karena dia hombreng? Liat aja noh di kelas, temannya cuma satu. Si Vando, playboy cap kuda yang kelebihannya cuma dua: cakep sama tajir doang.
Tapi, kalau Mikana bikin gossip kek gitu, kira-kira, dia bakal diapain sama cewek-cewek satu sekolahan, ya?
Enggak ah! Dia belum mau mati!
Insyaallah, Ukhti Gustin. Aku mau nulis di Tinlit juga???? Sebar tulisan. Insyaallah, doakan semoga nulisnya lancar, Ukh. Jazakillah khoir sudah mampir ^^
Comment on chapter TIGA