....
Rasa itu tumbuh begitu saja
Menjadi orang ketiga dalam suatu hubungan persahabatan
Tersimpan enggan terucapkan
Demi berlanjutnya catatan kisah yang sejak lama tertorehkan
....
Malam hadir begitu cepat, meninggalkan hingar-bingar yang sempat melanda kota ini. Meski sebenarnya malam tak sepenuhnya sepi. Ada teriakan kesedihan yang memecah gendang keperkasaannya. Atau isakan tangis di balik tembok yang tersudutkan.
Azalea duduk bersandar di bangku taman yang mulai sepi. Sejak satu jam yang lalu ia duduk melamun tanpa melakukan pergerakan sedikitpun. Jejak air mata itu masih membekas membasahi wajahnya. Hingga sebuah suara menginterupsinya memaksa lepas dari dunia bawah sadarnya.
“Gue capek, Sa. Selalu saja seperti ini. Kapan gue bisa bahagia menjadi bagian di tengah-tengah kehidupan mereka?”
“Gue selalu ada buat lo, Le. Jangan sedih lagi.”
Azalea mendekap erat tubuh di hadapannya itu. Dia adalah Fiersa, satu-satunya tempat bagi Azalea untuk berbagi. Satu-satunya orang yang dapat mengerti sosok Azalea.
“Sudah malam, ayo gue antar lo pulang!”
“Gue masih pengen disini. Tiga puluh menit lagi, please!”
Fiersa mengangguk tanpa melepas rangkulan tangannya di bahu Azalea. Selalu nyaman, itu yang dirasakan Azalea. Lelaki itu selalu saja mampu membuatnya merasa betah ada di sampingnya.
Keduanya larut dalam keheningan malam. Menatap bintang yang gencar menunjukkan pesonanya untuk menarik perhatian si raja angkasa. Kadang, diam adalah cara paling tepat untuk menetralisir perasaan yang mendesak perih ingin diluapkan.
“Lo tau kan, bintang diciptain untuk selalu menemani bulan agar tidak kesepian menjalankan perannya menerangi bumi. Mereka kayak kita ya, Le.”
Azalea diam sejenak, meredam gejolak rasa yang ingin bebas mengudara.
“Meskipun mereka selalu bersama, pada kenyataannya mereka tidak akan pernah bisa bersatu,” Azalea menerawang ke angkasa. Menikmati setiap detik yang melintas dengan begitu syahdu.
“Buat apa bersatu jika kebersamaan jauh lebih menyenangkan. Yang terpenting bagi gue, adalah lo selalu ada di samping gue. Sampai akhirnya masing-masing diantara kita menemukan tempat pulang yang sesungguhnya.”
Sungguh tawaran yang begitu menggiurkan, tapi tidak untuk Azalea. Setitik air mata itu jatuh tanpa diminta. Mungkin seperti ini jauh lebih baik. Fiersa menatap wajah Azalea begitu lekat. Ia pun merangkum wajah Azalea sambil merapikan anak-anak rambut yang berjatuhan mengenai mata gadis itu.
“Udah ah, kenapa jadi melow gini sih. Gue antar lo pulang sekarang!”
@@@
Fiersa tersenyum memandang sosok yang sedang membelakanginya itu duduk di bangku paling pojok dalam ruang perpustakaan ini.
“Hai,” Fiersa tersenyum dan duduk di samping gadis itu, Lily.
Senyuman manis terbit di wajah Lily, yang selalu membuat getaran hebat di jantung Fiersa.
“Cerita baru lagi?”
“Iya.”
“Hmmm... masa lalu dan kenangan.”
Fiersa menatap lekat sosok Lily yang begitu tenggelam dalam cerita yang ditulisnya itu.
“Masa lalu itu kejam ya, Sa. Dia pergi setelah memberikan luka. Tak memberi ruang bagi kita untuk bernapas lega setelah kepergiannya. Padahal, detik-detik itu adalah masa terindah yang pernah ada. Kenapa harus berubah? Tidak bisakah tetap indah seperti sedia kala?”
“Layaknya pepatah, hidup berjalan pada dua sisi yang akan selalu dihampiri manusia. Hitam dan putih. Jika bahagia mampu tercipta, maka luka pun bisa ada.”
Hening.
Fiersa tak henti-hentinya menatap kagum sosok yang dengan lihainya mengetik tiap barisan kata pada notebook yang ada di hadapannya itu. sungguh ia tak akan pernah bosan memandang wajah polos Lily. Senyumnya, Fiersa sangat menyukai itu.
“Ya udah gue ke kelas dulu ya,” Lily mengangguk sambil melempar senyum, membuat jantung Fiersa bergetar tak karuan.
Setelah di luar pintu perpustakaan, Fiersa melompat-lompat kegirangan sambil tersenyum. Sungguh ia sangat bahagia. Senyum Lily adalah penyemangat sebelum berperang dengan pelajaran matematika yang begitu memusingkan.
Setibanya di kelas, ia menghampiri Azalea yang sedang tiduran di bangkunya. Telinga gadis itu ia sumpal dengan earphone. Kebiasaannya kala tidur.
Fiersa mencolek pelan bahu Azalea, berniat membangunkan. Namun gadis itu tak menunjukkan pergerakannya sama sekali. Sekali lagi Fiersa mencoba, tetap sama.
“Woy banguunnnn.... Pak Rudi datang,” Teriak Fiersa tepat di telinga Azalea setelah melepas earphone yang dipakai gadis itu.
“Ma hmmpppp....”
Hening
Fiersa melotot kaget begitupun Azalea. Tanpa sengaja, pergerakan tiba-tiba dari Azalea itu mampu menyentuh sudut bibir Fiersa yang begitu dekat dengannya. Segera Azalea memundurkan kepalanya begitu ia sadar. Fiersa pun begitu.
“Ehem, sorry Le.”
Dengan canggung Fiersa duduk di bangku sebelah Azalea. Tak taukah ia bahwa kini perasaan Azalea tengah ribut tak karuan. Jantungnya serasa mau lepas. Keringat dingin mengucur di sepanjang dahinya.
“Lo sih kaya Kebo, susah banget dibangunin,” gerutu Fiersa mencairkan suasana.
Azalea mencebik tak terima dengan perkataan Fiersa.
“Bulan depan gue mau hiking, lo mau ikut?”
“Serius? Pasti dong. Hal kayak gini mana mungkin gue lewati,” jawab Azalea dengan semangat.
Fiersa tersenyum sambil mengacak pelan rambut Azalea. Ia sungguh menyayangi gadis itu. Tak pernah sedikitpun di benaknya memiliki niatan untuk meninggalkan gadis yang selama belasan tahun bersamanya itu. Namun Fiersa seolah lupa dengan sebuah fakta bahwa kemungkinan Azalea memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat akan timbul menghiasi kisah persahabatannya itu.
Ia seolah lupa, bagaimanapun Azalea adalah seorang perempuan normal yang beranjak dewasa. Saat dimana rasa tertarik kepada lawan jenis timbul dengan gencar menguasai dirinya.
Fiersa terlalu menikmati perannya sebagai sahabat. Yang justru membuat perasaan Azalea semakin terhimpit. Senyumnya, perhatian, serta bagaimana tingkah cowok itu yang selalu menghiasi hari-harinya.
Nyatanya mencintai sahabat sendiri tidaklah semudah mencintai orang lain. Sahabat ibarat mutlak tercipta untuk menemani kita bersama, seolah tak mengijinkan melangkah ke dalam satu tingkatan, yaitu bersatu.
Isi ceritanya bagus kak indah , kak indah semangat terus untuk berkarya ya , jgn pernah takut untuk mencoba hal baru dan jgn pernah berhenti dan menyerah untuk menjadi lebih baik lagi . Good job kak indah ๐๐ป ku tunggu karya selanjut nya๐
Comment on chapter PROLOG