Loading...
Logo TinLit
Read Story - Alice : The Circle Blood
MENU
About Us  

Chapter 1

```

Belt yang terdapat di pinggang Alice telah kendur. Pocket watch yang tergantung membuat belt itu tidak lagi kencang. Jari-jemari Alice tak pernah lelah menarik ulung belt itu seperti semula. Ketika belt itu sudah cukup kencang, dia kembali melangkahkan kakinya serirama di antara koridor yang ramai.

Alice menyisir rambut hitamnya hingga membentuk ekor kuda. Perempuan itu langsung menarik pintu lokernya dan sesekali menaruh barang-barang yang tak dibutuhkannya.

Dia bersandar pada pintu loker dan mengamati sebingkai foto bergambar dirinya dengan sosok wanita dewasa. Buku-buku jemari Alice mengusap-usap kaca dari figura itu. Ada perasaan rindu mengalir dalam dirinya. Sudah hampir setengah hidup dia merindukan sosok wanita di dalam figura itu. Dia masih ingat saat bersama wanita itu dan kenangan itu juga yang menjadi kenangan terakhir dirinya dan wanita itu. Ibunya.

Alice adalah setengah manusia dan juga setengah penyihir. Dia menjadi satu-satunya yang berbeda di Munnart University. Sekolah bagi makhluk mitologi di bumi. Munnart University berada di dunia lain kota London. Sekolah itu terlihat seperti gereja tua jika mata manusia normal melihatnya. Bangunan tua serta ornamen-ornamen lama membuat manusia tak lagi ingin mengenakan gereja itu.

Pendengaran Alice teralihkan saat mendengar keramaian yang tak jauh dari tempatnya. Kerumunan sudah penuh mengelilingi siapapun di tengah-tengah lingkaran itu. “Jangan pernah ikut campur urusanku, Hooper!” teriakan itu membuat Alice segera bergulir mendekati kerumunan itu.

Alice terhenyak. Tepat di tengah kerumunan, mata abu perempuan itu menemukan dua laki-laki tengah saling adu pukul. Sorak ramai di sekitarnya masih riuh menimbang-nimbang siapa yang akan memenangkan adu pukul kali ini. Namun, hal itu segera berakhir saat kedua lengan Alice menarik laki-laki bermata abu sepertinya menjauh.

“Dasar brengsek!”

Kecemasan Alice langsung melanda. Dia melihat darah merah membanjiri wajah laki-laki yang terbaring di hadapannya. Kerumunan itu pun ikut menjerit seolah sudah menemukan siapa pemenang di antara kedua laki-laki itu. “Jaster, berhenti! Aku mohon!”

Pandangan Jaster pun teralihkan hingga menatap sosok Alice di sampingnya. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya, menahan kejolak emosi yang tengah melandanya. Alice mengerut dalam saat matanya tak sengaja bertemu tatap dengan Archon, laki-laki yang menjadi korban pukulan Jaster.

“Jangan pernah berharap lebih atas apa yang saat ini kau pikirkan. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi jika kau masih berusaha untuk mendekatinya. Satu langkah kau maju, maka satu langkah pula kau langsung berhadapan denganku!” suara geraman Jaster kepada Archon.

Sambil mengambil tasnya, Jaster menarik Alice menjauh keluar dari kerumunan dengan kaki sedikit terseret. Alice lalu menarik tas Jaster dalam genggamannya dan membiarkan laki-laki itu membawanya ke suatu tempat. Jaster sesekali memegangi rahang kirinya yang sudah berubah warna menjadi biru gelap. Persendian Alice terasa mengilu saat merasakan aura kemarahan Jaster saat ini. Perempuan itu tahu, bahwa laki-laki itu sedang dalam tahap puncak kemarahannya dan dia tidak ingin menjadi salah satu korban atas kemarahannya.

Di pintu terakhir koridor itu, Jaster membuka lebar. Tertera papan nama dari kelas itu yaitu Sejarah. Di kursi tengah, Jaster mendaratkan bokongnya dan menyuruh Alice untuk duduk di sampingnya. Beberapa mata lain sibuk mengamati kedatangan keduanya. Yang di mana mereka adalah teman-teman Alice dan Jaster.

Jari-jemari Alice terasa panas saat terlepas dari genggaman tangan Jaster. Itu sudah menjadi kebiasaan laki-laki itu jika sedang marah. Mencengkeramnya kuat.

“Dan pertunjukkan pun dimenangkan oleh Jaster Matthew Smith!” suara dari arah depan.

Laki-laki berwajah Asia itu bertepuk tangan dengan nyaringnya mendekati Jaster. Alice tersentak, kepalanya berbalik dan menemukan mata hitam milik Omen mendekatinya. Tatapan marah Jaster masih terpancar terlebih saat mendengar perkataan yang baru saja Omen katakan.

“Ada apa dengan wajah marahmu itu? Bisakah kau berhenti untuk tidak melakukan hal bodoh seperti itu lagi?” Alice menggubris kehadiran Omen dan mulai menanyakan sebab apa Jaster bertindak liar seperti tadi.

Awalnya perempuan itu ragu ingin melontarkan pertanyaan itu. Namun, dia tidak bisa diam begitu saja. Hal itu sudah terjadi beberapa kali dalam minggu ini dan Jaster tak cukup mengerti untuk berhenti.

Mata abu laki-laki itu menatap mata abu lain milik Alice. Dengan hembusan napas tak teratur, retina mata laki-laki itu tampak berpindah-pindah mencari pandangan yang lebih nyaman untuk dilihat dibandingkan dengan kedua manik mata Alice. Alice merasa kecewa saat melihat tingkah Jaster tidak seperti biasanya. Perempuan itu tahu, laki-laki itu cepat emosi dan egois, tetapi kali ini tidak seperti biasanya. Dan Alice, tidak cukup mengerti bila dia bisa membaca pikiran laki-laki itu.

“Maafkan aku, Alice,” suara itu begitu lirih hampir tidak terdengar di telinga Alice.

Alice berdiri dengan tiba-tiba dari kursinya, kepalanya berbalik menghadap Victoria di sampingnya. Sambil berbalik kedua tangannya menarik pergelangan tangan perempuan itu.

Victoria adalah salah satu sahabatnya. Victoria seutuhnya Elf, tidak seperti Alice yang merupakan Half Witch. Victoria memiliki sifat yang aktif, penuh ide dan cepat mengerti, sifat itu sangat bertolak belakang dengan Alice yang suka bimbang dan penuh keraguan. Namun, dalam tampak fisik, Victoria tidaklah lebih dari Alice. Alice memiliki pesona yang kuat dari dalam dirinya.

“Kenapa kau harus meminta maaf, Vic?” tanya Alice.

Alice mengangkat kedua alisnya yang penasaran. Dia menunggu jawaban Victoria sambil memainkan cincin batu permata hijau lumut milik perempuan itu.

“Aku yang membuat Jaster bertingkah bodoh pagi ini. Aku tidak sengaja membaca pikiran Archon dan memberitahu Jaster apa yang laki-laki itu pikirkan tentangmu,” kata Victoria. “Maafkan aku, Alice.”

Mata Alice bergulir menatap Jaster yang terdiam di kursinya. Luka kecil di sisi matanya membuat Alice meringis saat laki-laki itu juga ikut meringis.

“Apakah aku pernah melarangmu melakukan hal itu? Itu adalah berkatmu, membaca pikiran dan kau tidak seharusnya meminta maaf karena itu semua bukan salahmu,” kata Alice meyakinkan Victoria.

Perasaan Alice bimbang. Tidak sanggup untuk menghakimi sahabatnya itu atas apa yang telah dilakukannya.

Dengan pelan, Alice berdiri dari duduknya dan menarik pergelangan tangan Jaster. Jaster tersentak dan hendak menahan tarikan Alice, namun dia urungkan. Alice menghentikan langkahnya saat mereka sudah berada di luar kelas. Dan untungnya kondisi saat itu sepi.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Alice.

Jaster mendekati tubuhnya ke depan, menipiskan jarak di antara keduanya. Mata abunya sibuk menatap wajah Alice dengan rasa kasih sayang. Alice merasa khawatir. Perempuan itu memperhatikan ketika Jaster merubah raut wajah menjadi senduh.

“Kau melakukannya lagi, Jaster.” Alice mengingatkan.

“Aku hanya ingin melindungimu, Alice. Dia laki-laki brengsek yang dengan mudahnya mengamatimu dan memikirkan bercinta denganmu.”

Perempuan itu mengangguk. “Aku tahu—” Alice menggigit bibirnya.

“Tidak. Kau tidak seharusnya tahu. Ini adalah urusanku, Alice. Kau adalah mate-ku, dan sudah tugasku untuk menjauhi makhluk-makhluk bodoh seperti Hooper itu dari pandanganmu.”

Untuk beberapa waktu yang singkat, Alice tampak memutar pocket watch-nya hingga salah satu jarum di dalamnya berpindah satu garis ke depan. Perempuan itu melambatkan waktu di sekitarnya. Tangan lembut Alice meraih rahang tegas Jaster. “Rasanya sakit,” katanya. “Tapi  aku berusaha untuk menahannya.”

Sadar akan maksud Alice. Jaster bergerak cepat untuk memeluk perempuannya itu. Dia tidak berpikir tentang Alice saat pukulan-pukulan yang Archon berikan kepadanya tadi berdampak pula kepada  Alice.

“Maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud melukaimu, Alice. Tak sekali pun.”

“Tidak apa.”

Jaster memiringkan kepalanya sambil menatap orang-orang di kejauhan yang terlihat bergerak lambat. “Kau memutar pocket watch-mu?”

Alice tertawa canggung. “Sedikit.”

Jaster ikut tertawa. Suara tawanya menjadi akhir perputaran waktu yang dilakukan Alice. Saat waktu telah kembali normal, retina Alice melirik pocket watch miliknya sudah kembali berputar seperti biasanya.

Alice mengangkat kepalanya. Sebuah ciuman dalam milik Jaster menempel pada bibir tipisnya. Dia hendak memukul pundak laki-laki itu, sebelum tangan kekar Jaster menangkapnya.

Tangan nakal Jaster berusaha untuk memutar asal pocket watch milik Alice. Namun, hal itu di urungkan oleh kehadiran Marion, guru pembimbing mereka, yang berdeham dibalik tubuh Jaster.

Marion berdiri di sisi pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. “Sepertinya tanganmu tidak pandai memainkan barang milik orang lain, Mr. Smith,” komentarnya mengamati tangan Jaster yang berada di belt Alice.

Mata Alice dan Jaster bertemu. Sesaat, Jaster terlihat malu oleh komentar Marion yang terang-terangan. Kemudian, laki-laki itu menunduk sambil menarik Alice memasuki ruang kelas.

Marion tersenyum dengan gigi terkatup, dan ikut masuk ke dalam kelas. Suara sepatu hak tinggi dari Marion terdengar nyaring di dalam ruangan itu. Di dalam kelas itu hanya ada Alice, Jaster, Omen, Victoria dan Ivy serta Marion.

Jam pelajaran Marion akan berlangsung 30 menit lagi. Tak ada satu pun yang protes kehadiran wanita itu karena mereka sudah begitu dekat satu sama lain dengan Marion.

“Aku ingin memberikan sedikit pengumuman kepada kalian,” katanya berdiri dengan anggunnya di depan kelas.

Marion adalah Vampire. Hal itu sudah terlihat jelas dari kulit dan aura yang keluar dari diri wanita itu. Marion memiliki berkat memikat, dan berkatnya itu berfungsi kepada siapapun. Dari mulai manusia hingga raksasa sekali pun.

“Di mana Rage?” tanyanya.

Perempuan berwajah Asia menjawab. “Ia dalam perjalanan kemari.”

“Terima kasih, Ivy.”

Tidak lama setelah itu, seorang laki-laki datang. Rambut pirangnya bertiup saat hembusan angin menerpa setiap helaiannya. Langkah laki-laki itu berhenti saat beradu tatap dengan Marion di depan kelas.

“Cukup, Rage. Duduklah. Ada yang ingin aku sampaikan,” kata Marion.

“Kau bisa memulainya, Marion,” kata Jaster, bersandar pada punggung kursinya dengan santai.

“Jadi, bagaimana menurut kalian jika kalian mendapatkan anggota baru?”

“Aku tidak pernah memikirkan hal itu.”

“Apa yang terjadi?”

“Tidak.”

“Aku pikir tidak akan ada masalah.” Semua mata tertuju kepada Alice. Saat semuanya mempertanyakan dan berusaha menolak, hanya Alice yang seolah menerima dengan mudah. “Sebelumnya kami perlu tahu apa alasan dibalik penambahan anggota ini?”

Marion tersenyum senang. “Percaya atau tidak, Kepala Munnart University mendapatkan perintah langsung dari Kementerian Myth. Ada perubahan dalam pemilihan murid spesial tahun ini.”

Jaster tersentak. “Kau bercanda?”

Marion menggeleng. “Sayangnya sekarang aku tidak bercanda, Jaster. Kepala Sekolah akan mengumumkannya segera dan aku harap kalian menerima siapa saja yang akan menjadi teman satu kelompok kalian nanti.”

“Ada berapa yang akan ditambah?” tanya Victoria, melemparkan tatapan waspada ke arah Marion dan berharap tidak akan mendengar jumlah yang banyak.

“Dua atau tiga di setiap kelompoknya,” jawab Marion. “Hal itu ditentukan dari unsur alam kalian. Dan aku rasa kalian akan mendapatkan dua tambahan dari unsur Tanah dan Air sebagai penyempurna dari setiap unsur yang saat ini kalian miliki.”

“Memasangkan setiap unsur tanpa melihat jenis dan kekuatan yang dimiliki setiap makhluk,” kata Victoria, menyimpulkan isi pikiran Marion.

“Tepat sekali.”

“Seperti sepasang kekasih, huh,” komentar Omen, melirik Alice dan Jaster.

Alice menggeleng, tidak peduli. “Bagaimana pendapatmu tentang perubahan ini?”

Senyum Marion menghilang. “Tak ada yang dapat menyimpulkan. Pihak Kementerian tidak memberikan alasan lebih atas perubahan sistem pemilihan ini. Awalnya aku berpikir mereka sedang membuat sebuah penelitian baru karena tidak terfokus dari berkat yang kalian miliki. Namun, saat unsur alam yang menjadi pilihan utama mereka, maka aku menyimpulkan bahwa unsur darah juga menjadi inti dari semuanya.”

“Darah? Bukankah setiap makhluk memiliki perbedaan golongan darah? Bagaimana dengan Bangsa Vampire, sepertimu?” tanya Rage menyilangkan sebelah kakinya hingga menumpu ke kaki lainnya.

“Pertanyaan yang bagus. Vampire tidak memiliki darah. Namun, mereka memiliki berkat yang berbeda-beda.” Marion menuntaskan pertanyaan itu dengan mudahnya.

“Lalu apa hubungannya dengan darah? Jika pada akhirnya yang mereka cari berdasarkan unsur alam?”

Rage menghentakkan sebelah kakinya ke lantai.

“Ada. Setiap makhluk memiliki unsur alam masing-masing. Dan begitu pula Bangsa Vampire dan yang sejenisnya. Setiap elemen memiliki kekuatan dari mulai Api, Air, Udara dan Tanah. Jika semua elemen telah disempurnakan maka jalan terakhir yang sangat dibutuhkan adalah darah.” Ivy menegakkan tubuhnya, matanya terpaku di satu titik.

Marion mengangguk, setuju atas pemikiran cepat dari Ivy. Seolah sudah biasa melihat tingkah perempuan itu.

“Apa kau telah mempertimbangkan siapa yang akan menjadi anggota?” tanya Victoria.

“Ada beberapa. Dan aku tidak ingin menebak-nebak,” jawab Marion.

Tiba-tiba sebuah teriakan memenuhi ruangan. Semua mata tertuju ke arah luar kelas. Alice bergidik, takut. Teriakan keras itu membuat semua yang berada di dalam kelas keluar dan mencari tahu asal dari suara itu. Marion melangkahkan kakinya pertama keluar dari ruang kelas dan disusul oleh yang lainnya.

Koridor itu sudah ramai. Di depan salah satu loker seorang perempuan berdiri dengan kepala tertunduk ke dalam lokernya. Marion berdiri terpaku, menunggu pergerakan selanjutnya dari perempuan itu. Jaster, Rage dan Omen berdiri berdampingan dengan Marion. Sedangkan, Alice dan Victoria berdiri di belakang mereka. Ivy tak terlihat di mana-mana.

“Apa yang dilakukannya?” kata Omen.

“Bukankah itu Adriana White!” seru Rage menyikut lengan Jaster.

“Entahlah.”

Alice memelesat ke sisi Marion. “Itu Adriana.”

“Aku akan memastikannya,” gumam Jaster melangkahkan kakinya maju.

Alice tersentak.

“Tidak. Kita lihat saja dulu apa yang sedang terjadi padanya,” peringat Marion mengangkat sebelah tangannya menahan Jaster.

Tak ada yang terjadi pada Adriana hingga lima menit kemudian. Perempuan itu masih diam tak bergeming di tempatnya. Marion sudah maju dengan perlahan mencoba mendekat. Alice menjepitkan sebelah tangannya ke Jaster, sambil memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Wajah kepanikan melanda area itu ketika beberapa guru serta Kepala Sekolah bergabung dalam keramaian. Marion masih berdiri mencari tahu penyebab yang membuat Adriana bertingkah aneh. Sampai pada akhirnya, Marion berbalik dan menunjukkan sebuah alat seperti jarum suntik yang tadinya tertancap pada leher Adriana.

“Darah perak!” teriak Marion.

Kepanikan terlihat jelas dari wajah cantiknya. Kepala Sekolah beserta guru-guru pun ikut bergabung melingkupi Marion dan Adriana. Keringat dingin menjalar di kulit Alice. Jaster masih mendekapnya dengan begitu kencang.

“Kembali ke kelas, anak-anak!” suara Prof Steve, Kepala Sekolah Munnart, tegas langsung membuat kerumunan itu bubar dengan cepat.

Jaster, Alice, Rage, Victoria dan Omen pun ikut berbalik bersamaan dengan rasa penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi kepada Adriana. Tak lama dari arah belakang, Ivy datang bersama dengan seorang pria. Pria itu memiliki kulit sedikit coklat dengan mata berwarna coklat pula.

Senyum Alice terpancar.

“Finnick!”

Pria itu tersenyum membalas seruan Alice, lalu uluran tangan kekarnya seolah menyuruh ke enam orang itu menjauh dari koridor.

“Kita kembali ke kelas. Akan aku jelaskan apa yang terjadi pada Adriana,” kata Finnick. Dia melompat ke samping Alice dan membuat Jaster bergeser ke samping. Suara bisik-bisik dari arah belakang masih terdengar di telinga mereka.

Meskipun begitu, Alice berusaha untuk tidak berbalik dan melihat apa yang terjadi di sana. Dia berharap tidak ada masalah besar yang akan terjadi nantinya.[]

 

```

Happy Read!

Tags: twm18 twm

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    wow fresh story. ditunggu kelanjutannya :)

    Comment on chapter Pengenalan Karakter
Similar Tags
Flying Without Wings
1011      541     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
Rumah Tanpa Dede
135      84     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Dalam Satu Ruang
144      96     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
ARMY or ENEMY?
14709      4169     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
Contract Lover
12569      2669     56     
Romance
Antoni Tetsuya, pemuda mahasiswa kedokteran tanpa pengalaman romansa berusia 20 tahun yang sekaligus merangkap menjadi seorang penulis megabestseller fantasy komedi. Kehidupannya berubah seketika ketika ia diminta oleh editor serta fansnya untuk menambahkan kisah percintaan di dalam novelnya tersebut sehingga ia harus setengah memaksa Saika Amanda, seorang model terkenal yang namanya sudah tak as...
Premium
Cinta si Kembar Ganteng
12236      1182     0     
Romance
Teuku Rafky Kurniawan belum ingin menikah di usia 27 tahun. Ika Rizkya Keumala memaksa segera melamarnya karena teman-teman sudah menikah. Keumala pun punya sebuah nazar bersama teman-temannya untuk menikah di usia 27 tahun. Nazar itu terucap begitu saja saat awal masuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Rafky belum terpikirkan menikah karena sedang mengejar karir sebagai pengusaha sukses, dan sudah men...
Today, I Come Back!
3966      1370     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Cinta untuk Yasmine
2324      1004     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
AROMA MERDU KELABU
2689      973     3     
Romance
Rasa yang Membisu?
2229      1007     4     
Romance
Menceritakan 4 orang sahabatnya yang memiliki karakter yang beda. Kisah cerita mereka terus terukir di dalam benak mereka walaupun mereka mengalami permasalahan satu sama lain. Terutama kisah cerita dimana salah satu dari mereka memiliki perasaan terhadap temannya yang membuat dirinya menjadi lebih baik dan bangga menjadi dirinya sendiri. Pertemanan menjadikan alasan Ayu untuk ragu apakah pera...