Read More >>"> How Precious You're in My Life (Kelulusan SMP) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - How Precious You're in My Life
MENU
About Us  

Tak lama setelah UN, barulah prom night dimulai. Aku tak sabar untuk melihatmu di album foto. Jika hari biasa saja kegantenganmu sudah maksimal, apalagi ketika prom. Mungkin kelewat batas, haha. Karena scrapbook sudah jadi, aku tidak memasukkan foto-foto prom-mu. Lebih baik aku makan pie susu yang kemarin aku beli, hehe. Tiduran di rumah dan menunggu foto-foto yang akan dikirim adalah hal yang menyenangkan. Akan aku tunggu sampai besok pagi.

Paginya, aku tak mendapatkan satu foto pun. Tak ada yang membagikan foto di album. Mungkin besoknya lagi? Namun, ternyata tak ada juga. Tak ada satu pun foto. Ya, setidaknya sambil menunggu foto resminya, aku bisa screenshot foto-foto yang ada di Instagram atau avatar Line. Sampai seminggu, ternyata aku tak juga mendapat foto. Aku meminta Eca, Nene, Naila, dan teman-teman yang ikut lainnya, tetapi mereka bilang belum dibagikan, bahkan Rudi juga bilang seperti itu. Dan... sampai sekarang aku tak pernah mendapatkan foto itu. Kurasa tidak mungkin acara seresmi itu tidak dapat foto. Pasti seseorang menyimpan dan memberikannya. Kalau tidak ada foto yang dibagikan, tidak mungkin mereka bisa share foto di Instagram atau dijadikan avatar Line. Sepertinya ancaman mereka tentang sampai kapanpun aku takkan mendapatkan fotomu itu benar. Tolong, siapapun, mengapa aku tidak boleh mendapatkan fotomu? It’s just a photo. Ya kalau karena aku tidak ikut, terus kenapa? Ada apa? Memang kalau aku ikut ada apa? Mengapa sampai seserius ini? Bahkan teman-temanku juga tidak memberikannya, padahal biasanya kalau menemukan fotomu langsung dikirim padaku. Just... why? Namun, aku menyatakan kalau kalian berhasil. Kalian berhasil membuatku menyesal. Kini aku sangat menyesal tidak ikut prom. Aku terlalu negative thinking tentang apa yang terjadi di sana, tanpa aku pikir lagi bagaimana jika itu benar-benar pertemuan terakhirku denganmu. Mungkin kita masih bisa bertemu ketika wisuda nanti. Semoga. Aku menyesal. Semua, maafkan aku yang dulu egois padahal kalian sudah membujukku setengah mati memakai berbagai alasan, bahkan sampai menelpon mamaku untuk meminta izin padahal mereka mengizinkanku, aku saja yang tidak mau. Maaf.

Setelah prom night, tibalah saatnya dag dig dug der untuk memberikan scrapbook padamu dan Aca. Semalaman aku menangis dan tidak bisa tidur HAHA. Ya iyalah, bagaimana reaksimu nanti coba. Orang yang selama ini diam-diam menyukaimua (ya gak diam-diam juga sih kalo sampe satu angkatan tau), tiba-tiba memberikan kamu sesuatu yang orang itu sendiri aja jijik bacanya. Sayang sekali kalau aku tidak jadi memberikan ini pada kalian, tetapi aku tau pasti urat maluku akan putus setelah ini. Aku takkan mau bertemu kalian lagi. Lagipula ini juga terakhir sih. Ya udahlah ‘terakhir, terakhir, terakhir” itu kata yang selalu aku ucapkan jika mulai ada keraguan dalam diriku. Semua sudah terbungkus rapih dalam paper bag yang aku masukkan lagi ke dalam tasku. Because of you, I’m afraid.

Pada tanggal 21 Mei 2015. Sehabis pulang mengembalikan buku, aku ditemani Kania menuju gym kamu terlebih dulu. Masih menggunakan seragam batik sekolah karena ini Hari Kamis, jam 10 pagi, ke tempat gym yang dipenuhi pria-pria berbadan kekar dan kami masih bocah kecil polos. Yang aku takutkan adalah kamu sedang berada di gym ini, tetapi tidak mungkin sih. Di depan gym, aku berjongkok, memegang kepalaku dengan erat, wajahku benar-benar memerah, emosiku tak stabil, aaah hancur lah sudah!

“Ayo, masuk aja, Mi. Bismillah.”

“Pulang lagi yuk, Kan. Gak usah ngasih.” ujarku pasrah.

“HIIH! Enggaklah! Enggak boleh! Lo udah capek-capek juga. Enggak, gak mau. Pokoknya harus ngasih. Tinggal selangkah lagi, Mi! Ayo, semangat! Terakhir!” Ia menggeret-geretku yang sedang berjongkok.

Sial, dia mengetahui kata kelamahanku, ‘terakhir’. Ya sudahlah, bismillah.

          Akupun masuk bersama Kania ke dalam gym sambil menenteng-menenteng paper bag. Untungnya, penjaga gym itu cewek, namanya Ka Rizna. Hmm, namanya sama dengan cewek yang menyebalkan itu.

          “Mau gym, Dek?”

EEH, dia gak liat kali ya. Mana ada bocah SMP gym pakai baju seragam. Haduh, ngaco.

          “Ahm, ehm. ini... ehm... aku mau nitip ini buat Araz. Ini gym punya papanya Araz kan?” Sebentar lagi jantungku meledak.

          “Oh, untuk Araz? Boleh. Nanti aku anter ke rumahnya aja.” Untungnya ia berbaik hati.

          “Iya, makasih, Ka. Kalo dia nanya dari siapa, bilang aja gak tau ya, lupa ciri-cirinya.”

          “Iya, kamu suka sama Araz ya?”

Yah, pake ditanya lagi. Enggak, aku gak suka sama Araz. Aku sayang.

          “Ehm, ya gitu, Ka. Boleh minta nomor atau apa gitu gak? Biar nanti bisa kontekan.”

          “Oh boleh.”

Ia pun memberikan ID Line padaku. Setelah itu, aku memberikan berapa ya, aku lupa. Tadinya, aku mau memberikan rokok, untung tidak jadi karena rokok banyak jenisnya dan aku tidak tau apa saja. Pokoknya setelah keluar dari sana, tepat di depan gym-nya aku loncat-loncatan dengan sangat bahagia sambil teriak-teriak sendiri. Padahal masih ada punya Aca. HHUUUH!! YES! Finally! Araz!!! I did it!

          Karena jaraknya tidak jauh, aku dan Kania berjalan dari gym Araz ke rumah Aca. Kalau Aca, aku agak tenang karena kebetulan ia sedang naik gunung bersama beberapa temannya. Jadi aku tidak perlu takut kalau kamu tiba-tiba ada di rumah. Lagipula, aku juga sudah janjian dengan Ka Zasa dari jauh-jauh hari, aku juga sudah sedikit bercerita padanya. Jadi, ini akan menjadi sesuatu yang asik. Sebelumnya, Ka Zasa sempat bertanya apakah aku orang yang selalu bertanya di Ask.fm dia tentang Aca. Aku jawab enggak karena aku juga baru tau Ask.fm dia tepat ketika aku add Line dia. Namun, ia bilang Aca selalu menuduhku kalau aku lah yang sering bertanya tentang dia. HIH, PEDE BANGET LO, HAHA. Ka Zasa juga bercerita tentang Aca yang gebetannya diambil olehmu, HAHA. Ka Zasa juga bilang kamu itu ganteng dan baik, pantas saja Devi lebih memilihmu ketimbang adiknya yang sangat dingin dan hanya bermodal wajah ganteng kayak bule. Aku tidak cerita kalau aku juga menyukaimu, WKWK. Nanti dia mikir aneh-aneh lagi. Aku membelikannya cokelat yang cukup besar.

          Sesampainya di sana, ternyata Ka Zasa ketiduran dan membuatku dan Kania menunggu kira-kira 15 menit. Ya, gak papa sih, jadi lebih menenangkan hati dan menyiapkan mental. Lalu ia menelponku dan meminta maaf karena ketiduran. Dan... inilah saatnya. Yang biasanya aku hanya lewat-lewat di rumahnya sambil tersenyum-senyum sendiri, sekarang aku dibukakan pintu gerbang bahkan disuruh masuk, haha.

          “Sini masuk dulu aja, yuk. Acanya lagi naik gunung.” tawarannya penuh keramahan.

          “Enggak usah, Ka. Iya aku tau, hehe.”

Tiba-tiba ada mobil yang mau masuk. Ka Zasa membukakan gerbangnya. Itu adalah seorang ibu-ibu yang mungkin... ibunya Aca? Ka Zasa salim padanya, aku dan Kania juga ikutan salim. Sebelum ibunya bertanya lebih lanjut, lebih baik aku pamit, haha.

          Aku pulang ke rumah Azari, sedangkan Kania pulang ke rumahnya naik angkot. Di sana, aku hanya tiduran di kamar Azari sambil bermain ponsel. Aku masih chattingan sama Ka Rizna dan Ka Zasa. Tiba-tiba Ka Zasa sedikit berubah.

“Dek.”

“Iya, Ka?”

“Kayaknya kamu harus move on deh dari Aca.”

“Kenapa emangnya, Ka?”

“Pokoknya udh kamu lupain aja. Dia gak baik buat kamu. Klo logikanya aja ya, kamu berjuang ini itu buat Acaa, tp dia ga ngapa2in buat kamu? Ngapain banget buang-buang waktu, Dek.”

“Kamu ngasih kayak gitu ke Aca sebenernya buang-buang waktu banget.”

“Suka sama orang yang salah cuma bikin hidup setres.”

Even, his sister knows that he is a wrong person to be loved.

“Iya, Ka. Aku cuma sekali kok. Ini buat yang terakhir karena mau lulus aja.”

“Ya pokoknya lupain dia ya, hehe.”

Sekarang dugaanku benar. Benar-benar pesimis. Aku langsung mengirim pesan pada Ka Rizna untuk membuang scrapbooknya.

“Ka, udah dikasih belom bingkisannya? Itu di dalemnya ada buku yang cover jeans, tolong dibuang aja, Ka. Sisanya kasih Araz juga gak papa.”

“Udah aku kasih, Dek.”

WHATTT??!! OMG! I’M LATE! AH, I DON’T WANT TO KNOW YOUR REACTION. PLEASE. IF YOUR REACTION IS SAME AS KA ZASA’S REACTION, DON’T EVER CONTACT ME.

“Terus dia bilang apa, Ka?”

“Dia nanya dari siapa. Aku bilang aja dari penganggum rahasia mungkin? Hehe.”

“Terus gimana?”

“Iya. Dia bilang, ‘oh dari kelas sebelah’ gitu.”

Shit, shit, shit. You must know who I am.

“Abis itu gimana lagi gak?”

“Diterima sama dia terus main handphone.”

Tiba-tiba, ada notifikasi Line dari... ARAZ! WOY HAHAHHAHAHA.

“Mir.”

GOD, TELL ME THIS IS NOT A DREAM. FOR THE FIRST TIME HE SENT ME A MESSAGE. INI GAK DIBAJAK LAGI KAN? GAK MUNGKIN LAH YA?!

          “ZAARRRR! ARAZ LINE GUE!” teriakku tak sadar tiba-tiba aku menangis.

          “Eh, bagus dong. Kenapa nangis?”

          “Takut.”

          “Kenapa?”

          “Takut aja.” Karena aku tau apa saja yang ada di dalam sana.

Pesan itu aku diamkan selama setengah jam karena aku tak sanggup membukanya. Aku masih menangis gulingan-gulingan di kasur Azari, HAHA. Hingga akhirnya aku jawab pesanmu.

“Ya?”

“Lu yang ngasih kann?”

Pura-pura gak tau. Jangan agresif. Tenang.

“Ngasih apa?”

Scrapbook.”

“Bukan yaa?”

“Emang kenapa? Maaf ya.”

Minta maaf lagi sebelum melakukan apapun karena aku selalu salah.

“Gapapa, gua suka aja.”

“Makasih yaa bajunya.”

WOWWWW! ARAZ! INI BUKAN KAMU YA?! Berbeda sekali! Biasanya jawab singkat-singkat, ini hurufnya dobel-dobel. Gak late reply juga! Baru semenit bales, semenit bales!

“Iya sama-sama.”

Kita lanjut chat sampai malam. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Kamu tau? Terakhir kali kita seperti ini ketika awal MOS! Lalu sekarang kita sudah UN, tinggal nunggu kelulusan! Itu artinya kamu adalah awalan yang indah, serta akhiran yang indah juga. Chat kita terlalu awkward. Aku gak bohong, sambil menulis ini, aku sembari membaca chat kita tentang scrapbook. TOLONG AKU! SIAPAPUN! WHY I DID THAT. Aduh, niat sok asik malah malu-maluin diri sendiri. Ini beberapa awkward chat yang benar-benar membuat diriku terlihat sangat bodoh. Istighfar, Emira. Istighfar. Semoga kamu lupa ya kalau kita pernah chatting seperti ini.

“CD itu isinya foto2 ya?”

 “Hah? Kok lu tau?”

“Kan lu jelasin di scrapbooknya yee.”

HAHAHAHA (1).

“Tau darimana gua suka Liverpool?”

“Gue kan stalker HAHA.”

HAHAHAHA (2).

Selain chat tentang kebodohanku, aku malah curhat denganmu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, HAHA. Curhat dengan seseorang yang dicurhatin, hmm. Benar kata Rudi dan Sasyi. Satu angkatan sudah tau jika aku menyukaimu sejak kelas awal kelas 8. Tak cuma satu orang, tetapi banyak yang memberitahumu tentang ini. “Lo tau dari mana kalo gue suka sama lo?” HAHA, Ternekat 2015. Terjujur 2015.

          Tak jarang juga kamu selalu menyelipkan kata ‘makasih’ di setiap chat kita. Kamu juga memuji hasil karya pertamaku tentang seni ini. Asal kamu tau, pujianmu itu sangat berpengaruh untukku. Dari awal sampai akhir selalu aku screenshot, Raz. Aku tau ini akan menjadi barang langka yang aku pajang di museum karena saking jarangnya terjadi.

“Makasih ya bajunyaa.”

“Keren2 scrapbook.”

“Makasih banyak ya.”

“Makasih banget yak.”

“Iyaaa makasih bgt yak.”

“Haha keren2 sumpah.”

“Sipsipp makasih yak.”

Yang paling aku suka adalah bagian ini. Malam-malam sunyi dan tenang tiba-tiba terdengar suara notifikasi Line dari kamu yang sebenarnya dari sore sudah berakhir percakapan kita.

“Eh gua minta maaf ya atas semuanya. Makasih yaa scrapbooknya baju Liverpool sama binder. Gila lu niat banget sampe kayak gitu.”

“Ini serius lu ngasih semuanya?”

“Makasih banget yak.”

“Yang penting kita temenan aja dah. Semoga lu bisa move on ya.”

“Semoga novelnya laku.”

Lalu kamu juga memohon untuk memberikan username Ask.fm yang aku buat tentang persoalan remaja dan kamu sumber inspirasinya, tetapi aku tak ingin memberitahunya padamu. Berbicara soal novel, iya, memang 8 novelku ketika SMP itu hanya berlandaskan inspirasiku tentangmu dan keresahan yang aku miliki untuk dijadikan masalah bagi pemeran utama. Namun, kali ini novelnya benar-benar berlandaskan kamu. K A M U. Arazzio Septian, seseorang yang sangat berharga di hidupku.

          Karena banyak menyangkut Devi dan Aca, aku juga meminta maaf soal itu. Kamu bilang itu gak ada masalah. Hanya saja, kamu memverifikasi kalau kamu dan Aca tidak pernah berantem soal Devi. Baiklah, maaf. Meskipun bukan satu orang yang berbicara seperti itu padaku. Setidaknya, pujian yang kamu berikan padaku benar-benar membuatku lega. Unexpected, really. Yang aku bayangkan ketika aku memberikan semua ini padamu adalah... semuanya tetap berjalan normal. Kenyataannya tidak. Mungkin ini jawaban dari doa-doaku, siapa yang memang baik untukku, maka pertahankanlah. Siapa yang jahat padaku, maka jauhkanlah. Aku menyesal telah menyebut-nyebut nama Aca di dalam scrapbook dan CD yang aku berikan padamu. Aku pikir, respon kalian akan sama, ternyata berbeda. J A U H.

          3 hari kemudian, aku masih sedikit-sedikit chattingan denganmu, namun hari ini adalah hari yang aku tunggu karena Aca sudah pulang dari naik gunung. Aku chat Ka Zasa ketika sore menjelang malam. Aku bertanya tentangnya padahal kala itu aku masih pesimis tentang jawabannya. Aku tak ingin hari-hari bahagiaku karenamu dirusak olehnya. Namun, aku tidak bisa menolak keinginanku untuk tau itu meskipun pasti sakit.

“Ka, Aca udah liat?”

“Udah kok.”

Kok gak ngabarin? Alamat pasti negatif.

“Dia gimana, Ka?”

“Biasa aja.”

Kan.

“Dia gak bilang apa gitu?”

“Gak bilang apa-apa. Cuma ditaro di meja doang.”

“Dia tau siapa yang ngasih?”

“Entahlah hehe.”

“Tau kayaknya.”

“Bilang aku minta maaf ya Ka.”

“Udah Dek.”

“Dia beneran gak bilang apa-apa?”

Masih kucecer.

“Enggak.”

“Udah deh, move on aja.”

“Responnya negatif banget.”

“Gimana ka responya?”

“Gak papa kasih tau aja.”

“Hahaha, apasih. Ini gak penting loh.”

“Ku kasih tau ya, gak semua cowok suka dikejar-kejar, Dek.”

“Kalo emg respon dr Aca jelek ke lo ya udah gak usah dilanjutin.”

Eh? Kok dia ngegas?

“Ya udah, Ka. Iya.”

“Cuma ‘dih apaan nih, gak jelas.’”

“Oke, Ka. Makasih.”

“Mending kamu gausah tau sm sekali apa yg dia blg drpd lo nyesek.”

Jadi, kamu atau lo, sih? Gak usah tau sama sekali, tapi di atasnya dia kasih tau. Aneh.

Lalu malam harinya, aku berniat minta maaf langsung pada Aca. Sebenarnya aku sudah diblok, tetapi temanku meminjam ponselnya dan meng-unblock Line aku.

“Ca.”

5 menit gak dibales, 10 menit, 20 menit, 30 menit, sejam. Aku cek profilnya.

          “Tidak ada waktu kebersamaan, belum.”

SHIT! DIBLOK LAGI!

“Cuma mau minta maaf.”

“Maaf.”

“Maaf banget.”

“Yah, udah diblok.”

Ketahuan siapa yang jahat sekarang. Allah sudah menjauhkan yang jahat untukku.

          Ada kabar dari Rudi dan teman-teman yang lain soal Aca yang ketempelan setelah pulang dari gunung. Di situ aku masih khawatir dong. Yang aku takutkan adalah yang melihat scrapbook itu ternyata bukan dia, HAHA. Aku meminta tolong omku yang indigo untuk melihat benar atau tidaknya. Omku meminta foto dia secara langsung. Aku memberanikan diri untuk bertanya lagi dengan Ka Zasa. Itu salah sih. Itu salah banget. Namun, karena kesalahan itu aku tau siapa dia. Aku tau apa yang dibilang teman-temannya itu semuanya benar. Ini sifat aslinya. Sama seperti adiknya. Mulai saat itu juga. Aku takkan pernah berhubungan lagi dengan Aca atau apapun yang berhubungan dengannya. Jika saja dia membaca bukunya, dia juga tau kalau buku itu bukan permohonanku untuk menjadi pacarnya. Kamu sudah baca buku itu kan? Apakah ada satu patah kata yang merujuk ke sana? Enggak kan? Emang dasarnya hewan berkaki empat tidak suka membaca. Ia hanya suka menggonggong kepada sesuatu yang belum tentu salah. Tak perlu berpikir apapun tentangnya. Jika dia tidak suka, apapun yang dilakukan pasti salah. I’m done with this shit. I hate him, I really hate him. Semoga dia takkan pernah muncul lagi di kehidupanku yang sudah tenang ini. Hope you live in peace, bro because you already hurt someone’s feeling so deep. Karma berlaku. Ingat itu.

          Lupakan soal Aca, sekarang kembali padamu lagi. Kali ini, baru aku benar-benar bahagia telah menyukaimu. 3 tahun menyukaimu, 2 tahun 9 bulan sengsara, 3 bulan bahagia. Ya itu di saat-saat seperti ini. Aku sangat ingat ketika Histi tiba-tiba mengirim pesan padaku tentangmu.

“Miii.”

“Pada tau ege kalo lu kasi sesuatu ke Araz.”

“Kata Ferdi ‘Araz terharu bangte pas bacanya.”

Awwww. Sebenarnya aku sudah ingin marah-marah pada bubble text yang kedua, tetapi dipadamkan begitu saja pada bubble text ketiga.

“WOW.”

“Pada tau darimanaaa?!”

“Terharu gimana? Wkaka.”

“Gatau tu wkwk. Kata Ferdi tadi gitu.”

“Tanya ah. Wkwk.”

Sepertinya aku tidak bertanya karena tak ada screenshot­an apa-apa, haha.

Lain dengan Histi, lain juga dengan Shidqi, teman kelasku yang satu eksul denganmu, ia mengirim pesan padaku.

“Mi. Tadi Araz latihan pake jersey yang lu kasih.”

Antara bahagia dan bingung. Bahagia karena kamu memakai jerseynya, tetapi bingung bagaimana Shidqi bisa tau?

“DEMI APA?! ADA FOTONYA GAK?”

“EH KOK LO TAU SIH?”

“Enggak ada.”

“Iya, tadi tumben kan dia pake jersey gitu, anak-anak belom pernah liat. Terus gua nanya, itu beli? Terus dia jawab dikasih sama Emira.”

OMG! HEI, DIRIKU DI MASA LALU. If you can see this, so see this. Di mana letak ‘tidak menghargai’nya? Terharu banget sih, parah. Araz, kamu baik banget! Aku kira jerseynya hanya akan ditaruh di lemarimu.

“Tapi tadi angkanya copot.”

“SERIUS? YAAAH TERUS GIMANA?”

“Ya udah, dia bilang nanti di rumah ditempel lagi.”

AAAA! Noal kenapa bajunya bisa gitu sih!! Huaa, kan kalo gak rusak nanti bisa kamu pake terus, huuuuu. Dengan segera aku bertanya pada Noal tentang hal ini. Ia menjawab tinggal disetrika, tetapi dilapisi kertas di atas setrikanya,

Aku segera mengabarimu soal ini.

“Araz, tadi kata Shidqi angkanya copot ya?”

“Haha, iya.”

*send picture of Noal’s chat*”

“Maaf ya, Raz. Gue gak tau. Jadi gak enak.”

“Et, santaaii aja gua kan dikasih.”

Oh my God, how cute you are. Mengapa tidak dari dulu seperti ini, hehehhe. Banyak mau ya aku.

          Lain dengan Histi dan Shidqi, lain juga dengan Lita. Tiba-tiba Lita mengirim pesan padaku yang cukup membuatku berpikir ini benar-benar serius.

“MIII.”

What what?”

“Kan mama gue deket sama papanya Araz kan Pak Fendi. Nah, karena mama gue komite kelas 95 dan dia ketua komite, jadinya sering ngobrol. Terus tiba-tiba kemaren Pak Fendi ngomongin tentang cewek yang suka sama Araz. Ciri-cirinya itu lo, Mi. Kayaknya dia liat di CCTV gym deh.”

ASTAGA! Mengapa aku bisa lupa soal CCTV. IH?! Aku kan loncat-loncat terus jongkok-jongkok dan diseret-seret Kania di sana. YA AMPUN! Pasti dia ilfeel banget liat aku kayak gitu HAHA. ADUH MALUUU.

“WOY ANJIR. DIA BILANG APA?!”

“Dia bilang katanya si cewek itu kayaknya bener-bener sayang sama anak dia. Dia tau anaknya ganteng, tapi belom pernah ada yang kayak gitu sama anaknya. Dia malah lebih dukung lo sama anaknya karena dia sendiri gak yakin kalo si Araz beneran serius sama Devi, itukan mamanya yang mau serius. Kalo dia sendiri kurang setuju Araz sama Devi. Ya pokoknya dia cerita kalo dia ikut terharu liat lo gitu, Mi. Dia yakin lo bener-bener sayang sama dia.”

“Wow.... I can’t say a word.”

Congrats udah dapet lampu ijo!”

“HAHAH sialan loo.”

Pak Fendi adalah satu-satunya orang di pihakmu yang mengerti tentangku. Aku tidak tau dari mana ia tau kalau aku benar-benar menyayangimu padahal dia hanya liat CCTV. Atau mungkin Ka Rizna bilang padanya? Entahlah. Mau nanya juga kontak Ka Rizna sudah hilang entah kemana.

          Di luar dugaanku (yang positif), tetapi tepat dengan ketakutanku (yang negatif), lagi-lagi, satu angkatan tau tentang ini. Fino, tiba-tiba muncul di grup kelasku dan bilang kalau ia menemukan jersey berwarna hitam dengan nomor punggung 23. Aku tau ia pasti sengaja memancingku karena tak mungkin ia tidak tau, di situ kan ada namanya. Yang waktu itu copot kan angka bukan namanya, haha. Namun, itu memang memancingku untuk bertanya padanya. Hahaha, lucu memang. Ia berusaha sok polos padahal aku tau pasti ia tau.

          Singkat cerita, sekarang saatnya wisuda! Aku bertemu lagi denganmu! Aku takut... takut awkward setelah kamu mengetahui semuanya. Untuk pertama kalinya aku membawa DLSR ke sekolah untuk berfoto. Berfoto dengan siapa? Denganmu? HAHA. Tidak ada yang mau membantuku untuk meminta foto denganmu hanya karena kemarin aku tidak ikut prom, huh.

          Satu persatu nama dipanggil untuk dikalungi medali. Aku memotretmu secara terang-terangan. Apa itu secret admirer? HAHA. Semua orang sudah tau dan aku tak bisa mengelak lagi. Lebih baik aku memanfaatkan momen ini. Masih ada sedikit perasaan dengan Aca waktu itu. Ya, bagaimana ya. Hampir 2 tahun pasti tidak bisa dilupakan begitu saja meskipun kelakuannya sudah seperti hewan. Setelah kelas 94 dan 95, kelas kalian berdua, aku meminta Histi memfoto kalian berdua. Benar-benar hanya berdua. Tadinya, kalian berdua mau. Aku sudah teriak-teriak histeris dari kejauhan, namun tiba-tiba Histi bilang tidak jadi karena Aca tau ini kameraku dan ia menyuruhmu untuk tidak jadi berfoto. HUAA MEMANG DASARNYA JAHAT YA SEPERTI INI. Emangnya ada apa kalau berfoto di kameraku? Emangnya bakal aku santet? Ya, mungkin. Aku benci.

          Karena aku tau aku takkan bisa berfoto dengan kalian, aku berfoto dengan cowok-cowok ganteng di kelasku, haha. Aku juga berfoto dengan Harid, yey! Lalu ketika aku sedang makan, si dia berdiri di depanku dan memanas-manasiku dengan cara mengajak temannya berfoto,

“Ayo dong, foto sama gua. Gua mau foto nih.” Suaranya sengaja dikeraskan.

“Anjir.” Aku membawa kotak makanku dan pergi dari sini ke kelas Tata dan Natia.

I hate him so much, oh my God. Mengapa orang seperti dia bisa Engkau ciptakan, Ya Allah.

          Selesai wisuda, aku berniat berganti baju di kamar mandi bersama Natia dan Kania. Tiba-tiba kamu dan Arrandy lewat di depan kami. Natia dan Tata saling bertatapan.

          “Gue ajakin foto Araz, ya?” tawaran Natia dengan nada yang tidak meyakinkan sama sekali.

          “Iya, mumpung lagi sama anak kelasannya tuh, bukan sama anak KX.”

          “Sana kalo berani.” tantangku.

Akupun masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu. Baru berganti celana jeans, perasaanku mulai tak enak. Aku keluar lagi dari kamar mandi, lalu bertemu dengan Pipin.

          “Pin, Natia sama Kania mana?”

          “Eh, tadi lagi di aula. Lagi ngobrol sama Araz deh kayaknya.”

          “HAH? ARAZ?!”

Sontak aku langsung keluar dari kamar mandi untuk menghampiri mereka. Tiba-tiba tepat di depanku ada mereka berdua dan ada kamu juga. ENGGAK ENGGAK ENGGAK. Lebih baik aku masuk ke dalam kamar mandi lagi.

          “Eh! Mau kemana! Katanya mau foto.” halang Natia sambil mengenggam tanganku.

          “Enggak, enggak mau.” tolakku meskipun rasanya sangat ingin.

          “Eh, inget loh seminggu kemaren lo ngomong apa sama gue? Ayolah. Terakhir, Mi. Belom tentu lo ketemu lagi sama dia. Daripada lo nyesel.”

          “Iya, Mi. Udah kita panggilin nih. Dianya udah mau malah udah nyamperin.”

Aku bersandar sebentar di balik tembok untuk menenangkan pikiranku dan tidak terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Ternyata, kita bersandar di satu sisi tembok yang sama. Kamu menungguku sampai aku mau foto. Terima kasih, Araz.

Akhirnya aku foto, tetapi aku ingin memastikan bahwa fotonya tidak blur. Maka dari itu aku mengatur fokus di kamera yang sedang dipegang Kania. Terlihat di layar kamera itu wajahmu yang tampan ini. Duh, aku tak bisa menahan untuk memencet tombol foto. DAN TIBA-TIBA... ADA FLASHNYA! SHIT! Sampai sekarang aku ada fotomu yang sedang membuang muka karena ketahuan aku foto, HAHHAHA BODOH SEKALI.

          “Yah, Kania! Kepencet kan!” alasanku menyalahkan Kania, Kania hanya bengong atas ulahku, HAHAHA, maaf Kaniii.

Akhirnya kita berdua bisa berfoto dengan tenang.

          “Makasih, Raz.” ucapku untuk pertama kalinya langsung padamu setelah sekian lama terkunci.

          “Iya, sama-sama.” Lalu kamu pergi.

HAHAHA, ARAZ! Editan fotoku selama ini akhirnya terkabul juga!! Araz, 7 harapan besarku yang aku tulis ketika kelas 7, sekarang terkabul semua. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ini ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan, Raz. 3 tahun disakiti olehmu benar-benar tiada berarti bagiku sekarang. Otakku telah memberikan sugesti bahwa 3 tahun menyukaimu hanya kebahagiaan yang aku dapatkan hanya karena 3 bulan ini, Raz. Foto ini, yang baru saja terjadi, aku sudah berjanji untuk mencetaknya dan aku taruh di bingkai kamarku. Hingga saat ini, Raz. Aku masih menggantungkan fotomu di kamarku jika kamu ingin melihatnya. Ya, untuk apa juga sih kamu ke kamarku, HAHA. Lewat di sampingmu saja aku tidak berani, tetapi sekarang aku foto di sampingmu. Keajaiban datang padaku, Raz. Ini benar-benar keajaiban!

          Setelah aku pindahkan fotonya, aku mengganti display picture BBM-ku dengan foto barusan. Banyak sekali chat yang masuk dan menanyakan siapa dirimu. Karena BBM hanya ada beberapa teman dan sisanya keluarga, ya aku hanya bilang kamu itu artis, jadi aku foto denganmu, HAHA. Kalau teman-teman, semuanya heboh. Padahal aku yang foto ya, tetapi yang heboh mereka. Apalagi ketika aku share di Instagram. Foto-fotonya aku jadikan collage, foto denganmu aku taruh di kotak kecil sudut kanan bawah, tetapi semua yang ada di komen salah fokus ke fotomu. Mereka semua tak percaya aku bisa foto denganmu, ya iyalah, aku sendiri saja tidak percaya HAHA.  Tak lupa juga satu akun yang tak pernah kupakai lagi, yaotu Facebook. Aku menjadikan foto kita sebagai profile picture yang sampai sekarang belum aku ganti. Padahal, aku tidak jarang membuka Facebook walaupun hanya untuk mencari foto-foto jaman dulu, tetapi aku tak pernah menyentuh foto profilku yang masih bersamamu. Entah kapan aku ganti lagi atau bahkan aku biarkan begitu saja agar ia tau kamu masih ada di sini, di titik tertinggi dalam hati.

          Ketika bulan-bulan ini sedang bahagia karenamu, tiba-tiba ada satu hal yang aku lupakan tentangmu. Apa kamu jadi ke Amerika? Daripada aku bertanya pada teman-temanmu yang jawabannya selalu ngaco, mending aku tanya langsung ke kamu.

“Raz, lo jadi ke Amerika?”

“Jadi.”

...

Ya Tuhan.

Tolong.

Ibarat aku baru saja mendapatkan sesuatu yang diingin-inginkan, lalu aku harus melepasnya lagi. Selama 3 tahun ini jiwa kita berjauhan, Raz, ditambah lagi sekarang raga kita yang berjauhan. Sangat jauh. Araz, mengapa Amerika? Mengapa tidak di sini? Kita baru banget dekat 3 bulan ini. Aku mau terus seperti ini. Atau setidaknya aku melihatmu, Raz. Lebih baik aku melihatmu berpacaran daripada tidak melihatmu sama sekali.

Aku lanjut bertanya pada Fino dan Ferdi tanggal berapa kamu berangkat. Mereka mengatakan kalau kamu akan berangkat besok. Fino akan mengantarkannya ke Amerika sampai surat-suratnya selesai, baru ia kembali dan kamu tetap di sana. Di situ, aku panik. Ya, aku bodoh aku percaya dengan mereka yang sudah bekerja sama untuk mengerjaiku. Mana bisa pergi ke sana kalau surat-suratnya belum lengkap? Memangnya ke Amerika itu seperti ke Bogor. Emira aneh. Lalu aku akhirnya bertanya lagi padamu agar informasi yang aku dapatkan lebih valid.

“Berangkat kapan, Raz?”

“23 Juli.”

Sebulan lagi....

Nanti dulu sedih-sedihannya, aku mau marah-marah pada Fino dan Ferdi.

“YEEE KOCAK AMAT. Orang si Araz bilang tanggal 23 Juli.”

“WKWK. Tau dari mana lu?”

“Dari orangnya lah.”

“Tumben ngechat, biasanya gak berani haha.”

“KURANG AJAR!”

Sudah, cukup. Jangan pernah menanyakan apapun lagi pada mereka.

          Sekarang, saatnya mencari tau tentang Amerika. Duh, bahkan tadinya aku kira bendera Amerika itu adalah bendera Inggris, Ibu kota Amerika itu New York, Amsterdam ada di Amerika karena sama-sama memiliki awalan am. HAHA. Pengetahuan umumku 0 sekali. Namun, aku akan berusaha untuk mencari tau apa itu Amerika. Rasanya ingin sekali setiap hari aku bertemu denganmu untuk menghabiskan waktu-waktu terakhir kamu di sini. Mungkin ini alasannya mengapa waktu itu Lita sering bilang kamu tidak masuk. Kamu mengurus surat-surat ya? Bodoh sekali aku mempersiapkan kehilanganmu hanya dalam waktu sebulan. Padahal, rumor itu sudah ada semenjak kelas 9 semester 2. Apa susahnya aku percaya coba. Bila itu hoax, pasti aku lebih bahagia. Araz, aku baru saja bahagia, namun kamu pergi dan membuatku sedih lagi. Apakah aku menyukaimu memang harus seperti ini ya? Atau mungkin kamu menjauh karena sebenarnya kamu bukan orang yang baik untukku? Makanya Allah menjauhkanku darimu, tetapi kamu baik padaku. Salah siapa?

          Aku menunggu-nunggu untuk diadakannya buka bersama. Aku tak peduli itu acara yang hanya didatangkan oleh anak-anak basis. Pokoknya, aku harus ikut. Apapun yang terjadi di sana nanti, yang penting aku bisa melihatmu. Angkatan sudah menentukan makrab tanggal 10 Juli 2015. Sekarang, masih seminggu lagi. Entahlah, tiap malam aku menangis. Rasanya sangat tidak tenang. Bahkan ketika sholat tarawih pun aku juga menangis. Tidak ada sebab. Yang jelas, aku merindukanmu, takut. Sangat takut untuk merindukanmu. Sehari saja kamu gak masuk dan tak ada kabar dari Lita, aku khawatir, apalagi ini. 3 tahun kamu di Amerika. Aku seperti menunggu lulus SMA padahal aku baru saja lulus SMP. Ya Allah, semoga di hari terakhir kita bertemu, itu akan menjadi suatu malam yang berharga dan berkenang untukku, Raz.

          10 Juli 2015, aku terakhir bertemu denganmu. 17 Juli 2015, genap 3 tahun aku menyukaimu, 23 Juli 2015, kamu meninggalkanku dan orang-orang di sekitarmu dalam waktu yang lama, entah kapan akan kembali. Semua hanya berjarak 7-8 hari. Seminggu, Raz. Apa aku bisa melewati ini semua dengan lapang dada? Rasanya aku tak sanggup. Rasa ini begitu dalam, tetapi kamu pergi begitu jauh. Jika tau ujungnya seperti ini, mungkin aku sudah mengungkapkan kepadamu dari awal aku suka agar tak ada rasa sakit yang semenyakitkan ini. Masalahnya, aku tau, aku takkan bisa berkomunikasi lagi denganmu. Tak pernah melihatmu lagi. 3 tahun ini aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan, tetapi sekarang lebih jauh lagi, sampai-sampai aku tak bisa melihatmu lagi. Apakah Allah menjauhkanmu dariku agar aku mengerti bahwa cinta memang penuh dengan ujian. Ujian pertama sudah kulewati, sekarang adalah ujian keduanya. Mungkin aku diuji, apakah ketika kamu menjauh, cintaku semakin besar, atau malah semakin pudar. Mungkin juga ini jalannya agar aku mencari pintu lain yang terbuka untukku, bukan berdiam diri di pintu yang tertutup.

          10 Juli 2015. Sebelumnya, aku selalu chat dengan Natia kalau aku desperate untuk foto bersamamu ‘lagi’ dan Aca sih, tetapi Aca sudah menolak dari awal Histi minta, hee. Memang dasarnya jahat, ya mau gimana lagi. Bukber kali ini, mamaku tak mengizinkanku pergi. Papaku juga tidak memberikanku uang. Tak ada teman yang ikut. Tak ada yang bisa mengantar dan menjemput ke rumah Aan yang ada di dekat sekolah. Aku minta izin dengan teramat memohon. Aku hanya membawa uang 20 ribu dari sisa bukber-bukber kemarin. Aku juga meminta kakak sepupuku yang mengantar jemput ke rumah Aan. Sesampainya di sana, aku benar-benar sendirian berkumpul dengan anak-anak basis yang selama ini ikut menyakitiku. Entahlah, tak ada kepedulian sedikit pun untuk mereka. Aku bingung, mengapa aku bisa seberani ini ya? Lewat di depan mereka saja aku takut, sekarang aku duduk bersama mereka. Hubungan kami belum membaik loh. Hanya hubunganku dan Araz saja yang sudah membaik. Cukup aneh. Di sini, temanku hanyalah ponsel yang sedang kupegang. Aku merasakan menjadi anak basis selama 1 hari ini. Pantas saja mereka semua dengan mudahnya tau kalau aku suka denganmu. Ternyata semudah ini toh menyebarkan informasi yang bahkan belum memiliki kepastian. Siapa saja dibicarakan oleh mereka.

Tiba-tiba, Ferdi menghampiriku.

          “Apa kabar, Mi?”

          “Baik, Fer.”

          “Soal Aca, gua sama temen-temen gua juga jadi kurang suka sama dia.”

          “Loh, kenapa? Kan bukan urusan kalian juga.”

          “Iya, tapi dia jahat banget, Mi. Gua gak mau punya temen yang gak bisa ngehargain perasaan cewek.”

Oh my God, Ferdi. You touch me in my heart. I like your words.

          “Kemaren gua bilang sama Araz. Dia cerita banyak banget sama gua. Dia merasa bersalah banget sama lu. Gua bilang aja ke dia, kalo gua jadi lu, gak bakal gua sia-siain tuh cewek. Gua ajak jalan, gua ajak makan, jadian jadian dah.”

          “Dia masih sama Devi, Fer. Kayak kemaren aja itu gue udah bahagia banget kok.”

          “Sayang banget lu ya, Mi?”

          “Udah, gak usah nanya itu.”

Tiba-tiba kamu datang bersama satu teman kelasanmu. Lalu kamu hanya memakai sandal jepit Swalow, haha.

          “Eh, Raz! Ada yang nyariin nih!” teriak Ferdi menunjuk padaku.

Kamu menoleh padaku sejenak.

          “Gua mau ganti sendal dulu.”

          “Lagian ganteng-ganteng pake Swalow, gimana sih lu, Raz.” ledek Ferdi, HAHA.

Mungkin aku bisa sedikit akrab dengan teman-temanmu dan menjalin hubungan yang lebih baik, tidak seperti yang telah lalu. Lagipula, kita saja sudah baik-baik saja kan? Masa sama mereka masih ada masalah.

          Kami ngabuburit di depan sekolah Misguided, tempat mereka nongkrong. Di sana aku melihat Aca. Tidak ada tatapan sayang lagi padanya, yang ada malah tatapan benci sebenci-bencinya. Bukan hanya padanya, tetapi juga kakaknya. Banyak sih yang ajak ngobrol, apalagi Rizna, tetapi aku memilih diam karena diam lebih berarti daripada harus mengobrol sesuatu yang ‘percuma’, salah-salah, nanti aku kena masalah lagi. Lewat jam 5, barulah kami ke rumah Aan. Jalan beberapa langkah sudah sampai di rumah Aan. Buka puasa dengan yang manis. Yah, berarti dari tadi aku sudah buka dong ya, gara-gara lihat kamu, hehe. Untung Eca ikut, walaupun datangnya terlambat sampai-sampai aku sendirian dari tadi. Takkan kulepas Eca agar selalu di sisiku saat ini. Sehabis buka, kami sholat maghrib berjmaah. Sholat terakhirku bersamamu. Lalu, tak lama selesai sholat maghrib, Eca pamit pulang. Aku panik dong, kalau tidak ada Eca, aku sama siapa? Kalau aku pulang sekarang, aku belom foto bersamamu... lagi. Di situ aku labil parah. Rasanya mau nangis. Tiba-tiba Histi dan Fia datang, lalu aku mulai tenang. Kan ada mereka. Ya sudah, akhirnya Eca pulang dan aku tetap di sini.

          Anak-anak cowok di luar rumah semua, sedangkan anak cewek di dalam semua. Semua ada di sini, ada Tika, Arinda, Rizna, Sasyi, Iday, Kariza, Histi, Afi, Afril, Risan, and many more. Karena Eca tidak ada dan Histi juga Fia sibuk dengan temannya sendiri, ya aku sendiri lagi. Hanya ponsel yang menemaniku. Aku chatting dengan Natia dan memberitahu semua keadaan di sini. Namun, tiba-tiba saja mereka duduk berpindah di depanku. Aku kaget, tetapi aku berusaha santai. Aku takkan dibunuh kan?

          “Mi, mau nanya dong.” Awal pembicaraan dibuka oleh Rizna.

          “Kenapa?” Firasatku tak enak.

          “Kenapa lo bisa suka sama Araz?” Siapapun dia, aku tak ingat. Aku hanya mendengar pertanyaannya dan tidak fokus mendengar suara siapa itu.

Panik, deg-degan, bingung, gelisah. Mengapa aku ditanya seperti ini? Aku seperti diinterogasi!

          “Gak tau.”

          “Dia ganteng ya?”

          “Iya, tapi gue suka sebelum dia seganteng sekarang.”

          “Emang lo suka sama dia kapan sih?”

          “Awal MOS hari kedua.”

Mereka terdiam sejenak.

          “Gara-gara dia anak basis?”

          “Ya enggaklah.”

          “Dia anak ketua komite?”

          “Apasih, ya enggaklah. Gue gak tau kenapa suka sama dia. Namanya aja gue baru tau nama panggilanya. Boro-boro tau latar belakangnya.”

          “Terus gara-gara apa? Gak mungkin tanpa sebab.”

          “Selera lo tinggi banget dah. Araz anjir, haha. Gue aja gak berani suka sama dia yang setinggi itu.” sahut Milea, yang aku ingat hanya dia.

“Enggak tau. Sumpah. Gue gak tau.” jawabku pasrah, terserah percaya atau enggak karena sampai sekarang aku juga gak tau kenapa bisa suka sama kamu.

Tiba-tiba, Tika, si ratu galau ikut membelaku.

          “Kalo beneran sayang gak ada alesan ege. Makanya dia gak tau.”

Aku hanya menunduk. Mereka semua terdiam, lalu tiba-tiba mereka meminta maaf padaku.

          “Maafin kita ya, Mi. Kita cuma kepo aja kok sama lo, gak niat macem-macem.”

          “Iya, maaf yaa. Kita semua minta maaf.”

          “Iya, cuma salah paham aja kok.”

AAHHHH, I want to cry!!! Oh my God, why are you all so kind. Semua ini memang hanya kesalahpahaman yang berakibat fatal. Maafkan aku juga yang selalu berpikiran negatif pada kalian.

          Setelah bermaaf-maafan, mereka mengajak keluar dan bercengkrama dengan anak-anak cowok di luar. Ada kamu, Aca, Rudi, Tyo, Rama, dan masih banyak lagi. Tiba-tiba, Histi bilang kalau ia dan Fia akan membeli Makaroni Ngehe, lalu aku di sini sendirian lagi! Kamu tau aku ngobrol sama siapa selama ditinggal mereka? Aku mengobrol dengan Afi dan Afril, iya mantan-mantanmu, HAHA. Mereka masih penasaran denganku. Mereka juga bertanya waktu kamu sedang berpacaran dengan mereka, bagaimana reaksiku. Aku jawab, aku biasa saja. Ya, aku harus apa lagi? Aku tidak pernah membenci mereka kok (WHEHEH BULLSHIT), enggak deng. Benci ya enggak pernah lah. Gak pernah benci sama orang, HEHE. Bukan membenci, mungkin hanya kurang menyukai. Untung Lia gak dateng kali ini, HAHA. Tiba-tiba, Tika menghampiriku menarik-narik tanganku.

          “Araz, ada yang mau foto.” teriaknya sangat keras sehingga semua mata memandang kami.

TIKA?! What are you doing? Hell, no. Bagaimana caranya berfoto jika di tengah keramaian seperti ini? Jadi pusat perhatian? BIG NO. Aku menolaknya, ia tetap memaksa, lalu aku bilang nanti saja jika sudah sepi. Akhirnya ia menurutiku. Akupun masuk ke dalam rumah karena tidak ingin canggung berada di sini.

Di dalam rumah, aku bingung mau apa. Sedikit penyesalan aku menolaknya, HAHA. Belum tentu habis ini aku benar-benar foto denganmu. Aku spamming pada Histi, kalau ia pulang, langsung ajak Araz ke dalam rumah untuk foto. Mamaku sudah menelpon, tetapi aku selalu bilang sebentar lagi. Sudah jam setengah sembilan, Histi lama banget sih. Aku kan gak tenang. Seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Namun, jika aku pulang sekarang, aku akan menangis sampai sahur karena tidak ada foto denganmu, haha. Hanya bermain ponsel dan berharap Histi cepat pulang dan menemaniku yang sangat canggung di dalam sini.

Pada jam 9, akhirnya Histi datang juga. Aku langsung berlari menghampirinya di ruang tamu dengan wajah yang sangat bahagia.

“HISTI!! SI ARAZ MA—“

Tepat di belakang Histi adalah kamu. Ah, bodoh sekali. Aku berbalik badan dengan wajah yang malu. Tiba-tiba semua cewek yang berada di luar ikut masuk ke dalam rumah, termasuk Tika.

          “Nah, ini yang ditunggu-tunggu dari tadi!” ujar Tika pada Araz.

          “Gua mau pamit, mau balik. Abis ini mau ke Surabaya.”

Umm, kita benar-benar takkan bertemu lagi ya?

          “Ayo, foto dulu ya, Raz.”

Lalu banyak anak cewe yang sudah menyiapkan diri foto dengan Araz.

          “Eh, tardulu. Emi dulu. Dari tadi udah nunggu, ya kan, Mi?” ledek Tika.

          “Ha? Enggak apa sih, haha.” Duh, malu sekali.

Semua cewek-cewek yang ada di sampingmu bubar semua lalu mempersilakanku untuk berdiri di sampingmu. HUAA, 2x ya, Raz. Duh.

          “Rangkul dong rangkul!” pinta Rizna.

Tanganmu sudah ingin merangkul, tetapi aku menolaknya. MUNAFIK.

          “Gak usah.”

          “Hih, ya udah deh. Pegangan tangan aja.” pinta Rizna sekali lagi.

          “Enggak, ih. Biasa aja.” penolakanku lagi. MUNAFIK (2).

          “Kenapa sih, Mi?” tanya Tika.

          “Gak enak sama Devi.” jawabku sangat polos.

          “OH MY GOD EMIRA. Devi gak ada di sini! Dia kan adek kelas!”

          “Enggak usah. Biasa aja.”

Kamu tersenyum padaku atas jawabanku yang barusan. Akhirnya kita hanya berfoto berdekatan. Ponselku dipegang oleh Arinda untuk memfoto kita. Ternyata, sangat banyak ponsel yang memfoto kita, lebih dari 5. Entahlah aku tidak menghitung, aku tidak melihat apapun kecuali keindahan seperti di surga, HAHA. Setelah itu, lagi-lagi aku bilang makasih padamu. Semua anak cewek meneriakkan ‘CIE’ padaku. Malahan seseorang berteriak wajahku merah seperti kepiting rebus dan kamu hanya tersenyum melihatku, YA TAMBAH MERAH HAHA.

          “Wayoloo Arazz. Merah banget tuh.” ledek seseorang.

          “Haha.” Kamu hanya tertawa sambil terus melihat ke arahku.

          “JANGAN DILIAT!” teriakku sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Akan sangat menyesal bila tadi aku ikut Eca pulang.

Mereka berganti-gantian foto dengan Araz. Namun, sebelum mereka foto, mereka izin denganku terlebih dahulu. He, memang aku siapa.

          “Emira, izin foto sama Araz ya.” izin Afi padaku.

You are his ex-girlfriend, okay? I’m just a public admirer (not secret admirer anymore) HAHA.

          “Ih, kenapa izin sama gue. Sama Devi lah. Haha.”

          “Kenapa Devi mulu sih?” tanya Tika risih.

          “Ya emang dia pacarnya.”

Kamu masih tersenyum atas jawabanku. Selama kamu berfoto, aku hanya tersenyum memandangmu. Sesekali kamu melihat ke arahku. Mungkin di dalam hatimu bertanya “Nih anak nangis gak ya gua foto sama cewek-cewek?” HAHA.

Setelah foto, tiba-tiba ada Aan lewat di depanku. Tiba-tiba dia bilang, “Cie, jadi bikin buku lagi nih.” ASTAGAA. Jadi dia tau yang di scrapbook?! Siapa saja yang tau? Dari mana mereka tau?

Aku langsung meminta kakak sepupuku menjemputku. Tak lupa, aku meminta Tika mengirim foto-fotonya. Semua fotomu yang ada di ponselnya, bukan hanya denganku, HAHA. Lalu, ketika Tika mengirim foto-fotonya, ternyata kita selalu melihat ke arah kamera yang sama, entah itu kanan, kiri, atau manapun. Wow, so amazing, haha. Aku langsung ganti display picture BBM ku lagi dengan foto collage ini. Mulai dari situ, keluargaku tak ada lagi yang percaya kalau aku foto dengan ‘artis’, HAHA. Aku diantar Histi dan Rizna ke depan tempat kami berkumpul tadi. Aku pamit pada semua anak cewek yang ada di situ. Mereka semua sangat baik. Ini baru yang dinamakan makrab. Benar-benar malam ini membuatku akrab dengan semua orang. Tadinya Rizna juga menyuruhku berpamitan dengan anak-anak cowok, tetapi karena di sana ada Aca, aku jadi malas.

          Di perjalanan menuju rumah, aku menangis bahagia, haha. Kamu sudah membuatku menangis bahagia 3x, ya walaupun menangis sedihnya itu tak terhitung sih. Namun, ini sudah sangat membalas semua kesedihanku 3 tahun ini. Tak sangka, ini hari terakhir kita bertemu. Kamu benar-benar memberikan kenangan yang indah di hari terakhir kita bertemu. Seperti lagu Adelle - All I ask. Untungnya lagu itu keluar jauh setelah hari ini. Coba saja lagunya keluar sebelum hari ini, pastinya aku akan nangis mulu, haha.

I will leave my heart at the door
I won't say a word
They've all been said before you know
So why don't we just play pretend
Like we're not scared of what's coming next
Or scared of having nothing left

Look, don't get me wrong
I know there is no tomorrow
All I ask is

If this is my last night with you
Hold me like I'm more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
'Cause what if I never love again?

I don't need your honesty
It's already in your eyes
And I'm sure my eyes, they speak for me
No one knows me like you do
And since you're the only one that matters
Tell me who do I run to?

Look, don't get me wrong
I know there is no tomorrow
All I ask is

If this is my last night with you
Hold me like I'm more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
'Cause what if I never love again?

 

Bahkan sekarang kalo denger lagu itu suka nangis sendiri, hehe. Maaf ya, Araz. Aku emang cengeng banget.

          Keesokan harinya, aku Line kamu dan menanyakan tentang scrapbook kemarin. Lalu kamu bilang memang kamu memberitahu anak-anak cowok. Oyyy, padahalkan aku udah bilang jangan bilang siapa-siapa L. Terus kamu minta maaf. Ya, mau bagaimana lagi. Tak mungkin aku tidak memaafkan orang yang aku sayang. Beda dengan kamu yang memberitahu isi scrapbook, Sasyi masih penasaran soal jawabanku yang kemarin. Ia mengirim pesan panjang padaku dan seperti menyuruhku untuk segera mundur.

“Mi, dia di mana sih?”

“Los Angeles.”

Btw, Devi ikut?”

“Ke airport? Pastilah. Yakelee, calon bini gak ikut.”

“Araz kan udah serius sama Devi.”

“Iya.”

Iya. Satu kata yang netral. Padahal mah... okey, serius. Semoga sampai nikah ya.

“Lagian kenapa sih lo gak bisa move on dari Araz? Emang sih Araz ganteng. Banget. Kalo gue lo, gue hopeless. Semua juga pasti pernah suka sama dia. Termasuk gue, HAHA. Tapi ya itu, ‘dia gak bisa gue milikin’. Terlalu susah.”

Lagi-lagi soal kepemilikan. Cinta itu benar-benar harus memiliki ya? Ya sudah, aku jawab lebih panjang lagi.

“Suka dari sebelum dia punya mantan di SMP. Sebelum dia jadi anak basis. Sebelum dia jadi bandel. Jadi tuh rasanya.... Ya udahlah, bukan gue yang mau kan. Nyesel banget sebenernya udah sayang sama dia, tapi nyesel kenapa? Emangnya gue yang mau? Emangnya gue yang atur? Kan gue tinggal jalanin aja yang ada. Move on? Udah gak bisa diitung, Syi, udah berapa kali coba dan berapa kali gagal. Emang harus banget kalo suka itu milikin ya?”

“...”

“Maaf ya.”

Bingung sendiri kan mau jawab apa? Udahlah. Sampai sekarang aja aku gak tau kok kenapa bisa suka sama kami, kenapa ditanyain terus? Itu cuma nyakitin tau gak sih.

          Oh iya, aku baru tau kalau kamu punya Instagram, baru buat. Sebelum aku mengikutimu, aku memposting foto kita kemarin malam. Aku lupa caption yang pertama aku bikin itu apa karena terlalu sering mengganti caption, haha. Sekarang, fotonya aku archive, tidak aku hapus di Instagram, suatu saat akan kumunculkan lagi. Banyak sekali komen yang ikut bahagia dengan capslock yang jebol haha. Seketika saja followersku menambah 10 orang gara-gara memposting foto itu. Anak-anak basis cewek yang tidak mengikutiku dan tidak diikuti olehku juga ikut menyukai foto tersebut, mungkin ada di explore. Aku mengikutimu, tiba-tiba saat pagi hari, aku mendapat 2 notifikasi sekaligus. Yang pertama adalah notifikasi kalau kamu mengikutiku, sedangkan yang kedua adalah notifikasi kamu menyukai fotoku. KAGET! WOW! Kamu like foto yang mana?! Saat aku buka, ternyata fotoku yang paling awal aku post, tetapi tak ada nama kamu di daftar likers. HAHAHA, CIE STALKING TERUS KEPENCET YAA??? HAHA.

          2 minggu sebelum kamu berangkat ke Amerika, 2 minggu pula aku bermimpi buruk. Setiap bangun tidur pasti nangis. Khawatir, takut, gelisah, sedih, semuanya bercampur menjadi satu sampai-sampai terbawa mimpi. Bahkan aku sempat beberapa malam bergadang karena tak kuat dengan mimpi-mimpi yang benar-benar terasa nyata. Bayangkan bagaimana rasanya bangun-bangun tiba-tiba air mata menetes padahal tak ada sebab? Mimpi-mimpi ini membuatku terinspirasi untuk membuat satu cerita yang berjudul “16 Days Before You’re Gone”. Aku menuangkan semua yang aku impikan di sana, ya meskipun ceritanya tidak sama persis, tetapi tentang mimpi-mimpinya, itu sama persis dengan yang aku alami.

          17 Juli 2015, lebaran Idul Fitri 1436 H, genap 3 tahun aku menyukaimu. Setiap tahun, aku selalu ‘merayakan’ tahunanku menyukaimu. Aku meminta pendapat orang-orang yang selama ini dekat denganku tentang perasaanku ke kamu. Semenjak tahun kedua karena tahun pertama aku masih berpikir menyukaimu hanya sebentar, ternyata selama ini. Setiap tahun aku seperti ini. Tahun pertama tidak ada. Tahun kedua hanya meminta pendapat. Tahun ketiga meminta pendapat lalu mencetaknya dan membuatnya menjadi video stop motion. Tahun keempat aku juga meminta pendapat dan membuat suatu video singkat dari awal bertemu sampai tahun keempat. Tahun kelima tetap meminta pendapat lalu mencetaknya dan aku pasang di tumblr light di kamarku untuk aku rekam lalu aku lepas lagi dan membuat suatu video experimental tentang analogi seberapa pentingnya ‘pemeran utama’ dalam kehidupan. Video itu menampilkan establish atau pengambilan gambar yang estetik secara acak tanpa adanya pemeran utama dalam video tersebut. Pertama-tama memang bagus dan enak dilihat, tetapi lama-kelamaan akan bosan karena tidak mempunyai sesuatu yang dapat mengubah alur. Pemeran utama memang penting dalam suatu film atau drama agar berjalan dengan baik. Perannya sangat berpengaruh dalam keseluruhan hidup yang dianalogikan sebagai film. Lalu tahun keenam, aku membuat novel ini, mungkin aku tidak meminta pendapat lagi karena teman-temanku pasti bosen, hehe. Aku harap, sudah cukup sampai tahun keenam saja. Aku tak ingin ada tahun-tahun berikutnya dan merangkai cerita kembali.  Walaupun sejak tahun kedua aku selalu berkata seperti ini. Ya, apa boleh buat. Sudah berusaha dan berdoa, jika masih seperti ini lalu aku harus apa? Aku ingin cerita baru dengan orang baru, bila memang alurnya masih seperti ini.

          Seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya, aku selalu mengirim pesan mohon maaf padamu... dan anak itu. Dari tahun ke tahun, sebenarnya sudah ada perbedaan, aku saja yang tidak peka. Waktu lebaran sebelumnya, kamu membalasnya dengan pesan “Maafin gua jg.”, meksipun sesingkat itu, tetapi kamu menyadari kalau kamu ada salah, sedangkan anak itu? Hanya menjawab “Sip.” Serasa gak punya dosa kali ya. Kali ini, untuk yang benar-benar terakhir kalinya, aku juga mengirim pesan padanya memakai akun Line yang lain yang ada di tab.

“Baca dulu yaa. Cuma mau minta maaf kok. Maaf banget kalo udah sering bikin lo risih, gak nyaman, dan berpikir kalo gue ngejar lo banget. Kalo lo baca buku yang gue kasih kemaren, lo bakal tau itu semua cuma permintaan maaf gak lebih. Terserah lo sih ya mau maafin atau enggak. Makasih. Kalo mau block, block  lagi aja.”

Entah, langsung aku hapus chatnya. Tak peduli. Lalu selanjutnya kamu pake akun Line utamaku.

“Raz, maafin ya kalo banyak salaah. Terus kalo lo mikir gue ngejar banget, tapi sebenernya gue gak pernah ada niatan buat ngejar atau apalah itu. Sukses ya di Amerikanya. Makasih 3 tahunnyaaaa *emot* (gak tau emot apa karena cuma kotak)”

“Iyaa, mohon maaf lahir dan batin jugaa.”

“Amin amin makasihh yaa.”

BERBEDA SEKALI. Kamu benar-benar berbeda sekarang, Araz. Parah. Scrapbook itu memang keajaiban bagiku ya. Alhamdulillah, meskipun raga kita menjauh, setidaknya hubungan kita mendekat, sebagai teman, like what you’ve said J.

          Hingga akhirnya, tiba waktunya untuk melepasmu. Melepasmu yang bukan milikku. Jika biasanya aku merelakanmu untuk orang lain, sekarang aku harus merelakanmu pergi ke negara lain dan masih dengan orang lain, hehe. Malamnya, Rizna mengajakku untuk ikut ke bandara besok. Sayangnya, aku terlalu takut. Devi ikut, pastinya. Aku tak ingin membuat masalah. Aku sudah lebih dari cukup bahagia sejak 2 minggu yang lalu. Akupun menolak untuk ikut, meksipun Rizna sedikit memaksa dan mengatakan aku lebay tidak mau ikut karena ada Devi, tetapi aku tetap tidak ingin ikut. Tak ada teman yang bisa menjadi sandaranku karena pasti aku menangis di setiap perjalan menuju bandara dan pulang dari bandara. Aku tak ingin mereka melihatku menangis karenamu, apalagi Devi. Tadinya, aku mau minta video call aja sama seseorang yang ada di situ, nanti aku beliin kuota, tetapi tidak ada yang dekat denganku, Rudi tidak ikut. Jika saja waktu diulang, keputusanku untuk tidak ikut masih sama. Ya, ada sih penyesalan mengapa aku tak ikut saja ke bandara, tetapi mungkin yang terbaik adalah aku tidak ikut. Meskipun 2 minggu berturut-turut aku selalu bermimpi buruk dan menangis setiap bangun tidur karenamu, di hari H ini aku tidur nyenyak, tak bermimpi apapun. Aku juga tidak di rumah, aku di rumah Azari. Persiapan jika sewaktu-waktu aku kesurupan HAHA. Namun, sampai kamu berangkat pun aku baik-baik saja. Sepertinya ia sudah menerima kenyataan ini, jadi, tidak ada air mata untuk sekarang. (( untuk sekarang )) entah beberapa hari kemudian. 23 Juli 2015, 14:00, kamu berangkat meninggalkan Indonesia dalam waktu yang lama, entah apakah kuliah kamu pulang atau tidak. Devi sangat terlihat sedih, ya pasti lah ya, calon istri. Hmm... calon istri. Ya sudahlah, cinta memang tidak harus memiliki kan? Kalau sudah ada yang memiliki, kenapa masih cinta? Aku dan Devi cinta mati sama kamu. Devinya cinta, akunya mati. Huft. Aku hanya mendoakan apapun yang terbaik untukmu. Semoga kamu sukses di sana. Semoga aku juga sukses di sini. Selamat menempuh masa-masa kehidupan baru tanpa saling bertemu!

          Setelah kepergianmu yang aku persiapkan hanya sebulan, kini aku harus bangkit dari kesedihan itu. Meskipun aku baru bahagia, sekarang sudah menangis lagi. Aku langsung mencari-cari tentang beasiswa ke Amerika. Aku belajar bahasa Inggris dengan giat. Mencari tiket, hotel, pembuatan visa, dan segala yang dibutuhkan untuk pergi ke sana. Untuk menyemangati, aku membuat satu kotak yang berisi foto-fotomu yang aku cetak untuk scrapbook, tetapi tidak jadi kupakai, lalu kutempelkan kertas di ujung-ujung kotak tersebut. Jadi, ketika aku membuka kotak tersebut, akan ada pop up tulisan yang muncul, “Gak mau nunggu Araz pulang. Maunya nyusul. Semangat nyusul Araz!” sampai sekarang aku masih menyimpannya. Aku juga mempunyai tabungan sendiri. Sadar diri sampai kapanpun aku tak bisa menabung untuk pergi ke Amrik, so, aku menabung untuk mengirim sesuatu ke sana, yaitu paket ketika kamu ulang tahun ke-15 nanti. SMA, aku ingin berubah, tak lagi ada cowok yang boleh menyakitiku. Oh iya, aku juga mencetak sebuah kertas yang bertuliskan “Kam, 23 Juli 2015” untuk aku streplesin setiap hari. Gunanya untuk menghitung sudah berapa hari kamu di sana. Niat? Iya. Aku sampai membuat 3 kertas karena 1 tahun itu 1 kertas. Berarti, sekarang sudah 3 tahun aku menjalani ‘perhitungan hari’ padamu. Aku juga mencetak foto kita dan aku taruh di selipan binder catatan pelajaran untuk menyemangati hari-hariku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
DUA PULUH MENIT TERAKHIR
382      269     0     
Short Story
Setiap waktu sangat berarti. Selagi ada, jangan terlambat untuk mengatakan yang sesungguhnya. Karena kita tak tahu kapan waktu akan merenggutnya.
Phi
1892      707     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
Ghea
427      275     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
494      344     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya
Archery Lovers
3659      1772     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
Altitude : 2.958 AMSL
679      461     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Surat Kaleng Thalea
3671      1036     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Rindu
371      268     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Broken Wings
1064      648     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
My Doctor My Soulmate
69      62     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...