Sebelum terpejam, Sherin melirik kea rah ponselnya yang terus bergetar. Terlihat panggilan tidak terjawab sebanyak dua puluh kali, dan pesan masuk dari Marcell. Sheein meraih ponselnya, dan segera member kabar untuk yang disana.
Marcell:
Kamu kemana? Aku hubungin kamu berkali-kali dan nggak ada jawaban.
Sherin:
Sorry, aku baru aktifin HP.
Marcell:
Kamu baik-baik aja?
Sherin:
Iya, aku baik-baik aja.
Marcell:
Belum tidur? Hari ini kemana aja?
Sherin:
Belum. Jalan-jalan keliling Malang.. Kamu belum tidur?
Marcell:
Aku nunggu kamu.
Sherin:
Ayo sekarang tidur. Maaf buat kamu nunggu.
Marcell:
Nggak bisa tidur.
Nggak tau kenapa akhir2 ini aku khawatir sama kamu.
Sherin:
Dan ga tau kenapa akhir2 ini aku aneh sama sikap kamu yang super perhatian.
Marcell:
Keganggu ya?
Sherin:
Gak sih. Harusnya aku seneng. Tapi malah kerasa aneh, ya. Hmm
Marcell:
Mungkin karena aku gak pernah memperhatikan kamu sebelumnya?
Sherin:
Entahlah. Hmm.
Marcell:
Kamu ke Malang sama teman-teman kamu, kan? Ada Caca?
Sherin:
Iya. Ada kok. Kenapa?
Sherin mengerutkan keningnya. Mengapa tiba-tiba Marcell menanyakan hal itu? Padahal biasanya, Marcell tak pernah peduli, mau kemana Sherin pergi dan dengan siapa Sherin pergi. Apa Marcell sudah sadar? Apa Marcell sudah mulai memperhatikannya? Ah, Sherin benci saat dimana pikirannya berkecamuk seperti ini. Ia seperti gadis yang dikekang namun hilang arah.
Marcell:
Kalau main, harus ada perempuannya. Jangan sendirian, apalagi berdua sama laki-laki lain.
Sherin:
Kenapa? Tumben bilang gitu.
Marcell:
Nurut aja. Udah, ya, aku tidur dulu. Sleepwell, sayang.
Sherin:
Oke. :)
Kantuk yang menyerang, tiba-tiba hilang karena rasa penasarannya akan perubahan sikap yang terjadi pada Marcell.
Sherin mengurungkan niatnya untuk tidur. Menyadari rambutnya kusut dan gatal, akhirnya Sherin memilih ke kamar mandi dan keramas, ketimbang hanya memikirkan ada apa di balik semuanya.
**
Matahari kota Malang baru saja menyembul namun belum sempurna, begitupun dengan mata indah milik Sherin yang belum terbuka sepenuhnya. Sudah pagi, rupanya. Jam menunjukkan pukul setengah lima, dan Sherin masih sangat mengantuk. Ia sadar, ia baru tidur kurang lebih tiga jam.
Ponsel Sherin bergetar. Drrrt.
Angga:
Udah bangun? Sholat subuh jangan lupa, Sher.
Hatinya hangat lagi. Tiap kali pria ini mengingatkannya ibadah, Sherin makin yakin bahwa siapapun yang jadi isteri Angga di masa depan, adalah wanita yang paling bahagia.
Sherin segera mengambil wudhu, kemudian menjalankan salah satu rangkaian sholat lima waktunya, di pagi hari. Begitu tenang dan khusyuk rasanya.
Usai sholat, Sherin mengirim balasan pesan untuk Angga.
Sherin:
Gue udah sholat.. Lo udah?
Dan dengan cepat, mereka sudah saling berkirim pesan.
Angga:
Udah.. Ayo, keluar.
Sherin:
Belum juga jam 5.
Angga:
Nggak apa-apa. Ayo siap2. Set 6 aku tunggu di loby, pakai baju hangat, ya!
Baju hangat? Kemana Angga akan mengajak Sherin pergi?
Sherin:
Kita mau kemana?
Angga:
Kan aku udah bilang, mau tunjukin kamu bagaimana indahnya dunia. Give me last chance.
Bersiap-siap kilat, cukup memakai celana jeans dan jaket parka berwarna krem miliknya; kini Sherin sudah siap berpetualang.
Sherin keluar dari kamarnya, meninggalkan Shinta yang masih tidur pulas, tanpa pamit. Dan di depan kamarnya, ternyata sudah ada sosok Angga yang menunggunya.
Dan Sherin sadar, ia menemukan kebahagiaan, ketika sadar bahwa yang dilihatnya pertama kali usai bangun tidur adalah Angga.
"Kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Angga.
Sherin memukul bahu Angga pelan. "Seneng lihat lo."
"Tandanya lo ada rasa sama gue, Sher," ledek Angga.
Sherin hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman. Kali ini ia mau berserah pada Sang Pencipta, tentang bagaimana kelanjutan hubungannya dengan seorang Angga.
**
Disinilah mereka berada.
Gunung Bromo merupakan destinasi terakhir dari itinerary wisata Malang yang mereka lalui ini. Sensasi yang ditawarkan bisa dikatakan tiada duanya, dan akan meninggalkan kesan mendalam bagi semua insan yang mengunjungi Bromo.
"Gila... Lo mau ajak gue keliling Bromo?" Sherin terbelalak. Dia terlalu senang.
"Iya. Disinilah kita. Tapi maaf nggak bisa ajak lo lihat matahari terbit." Angga menyesal. "Padahal itu bagus banget. Cuma, kita kurang pagi.."
"Nggak apa-apa. Masih ada lain waktu."
"Lain waktu?" tanya Angga. "Bukannya, ini yang terakhir?"
Sherin mengangkat bahunya. "Udah, ah, yuk jalan."
Tour Bromo mereka lakukan dengan menggunakan jeep. Destinasi pertama mereka adalah Pasir Berbisik.
"Katanya, kalau lo memiliki pendengaran yang cukup baik, lo akan bisa mendengar bisikan pasir saat angin bertiup dan kendaraan berjalan. Itulah istimewa Pasir Berbisik," kata Angga.
Sherin menggaruk kepalanya. "Pendengaran gue nggak terlalu tajem. Gue aja sering diejek karena rada budeg, kalau kata orang.."
Angga terkekeh. "Nggak apa-apa. Kalau nggak denger apa-apa, lo tetap akan menikmati pemandangan yang istimewa di lautan pasir Bromo dan juga Gunung Batok."
"Oh ya?"
Dan mereka membuktikannya. Pasir Berbisik dan Gunung Batok luar biasa indahnya.
"Ayo beraksi," ajak Sherin.
"Ngapain? Foto-foto?" Angga mencoba menebak.
"Iya! Ayo!" balas Sherin antusias.
Mereka mengambil foto dari bermacam sudut. Tak lupa juga, mereka selalu menyempatkan diri tuk berfoto berdua--dan meminta pengunjung lain tuk mengambil gambar mereka--seperti kebiasaan mereka.
Setelah puas memandangi rasa indahnya karya Tuhan Semesta Alam dari ketinggian, mereka memulai perjalanan lagi. Beruntung, lautan pasir yang kami lalui tidak terlalu berdebu karena gerimis yang terjadi kemarin. Dan yang membuat mereka lebih beruntung hari ini adalah cerahnya suasana tanpa mega mendung yang menyapa selama perjalanan.
Dan setelah perjalanan panjang membelah lautan pasir, mereka akhirnya sampai di Blok Savana. Bukit Savana adalah hamparan pasir yang amat luas dan indah. Ada beberapa warung kopi dan indomie dengan tenda-tenda sederhana dan ada juga orang-orang yang menawarkan layanan untuk Bukit Teletubbies. Kedua manusia itu pun langsung sibuk berfoto-foto di Blok Savana yang keren, dengan spot foto yang Instagramworthy.
"Keren, sumpah! Kayak di Mesir," ucap Angga bahagia.
Sherin tertawa puas melihat foto mereka berdua. Angga dan Sherin berdiri bersebelahan, saling merangkul sembari memamerkan senyum terbahagia yang mereka punya.
"Cocok buat pre-wedding, nih," ucap Angga.
"Sama gue?" Sherin menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, lah! Kan fotonya sama lo!" tukas Angga. "Misalnya jodoh gue bukan lo, ya gampang, tinggal gue edit aja mukanya!"
"Kejam, ih!"
Keduanya tertawa lagi. Meski layaknya padang pasir, suasana disini sama sekali tidak panas. Benar-benar istimewa, rasanya.
Mereka meninggalkan lokasi tersebut, dan Jeep yang mereka sewa membawa mereka menuju destinasi terakhir.
Kawah Bromo adalah destinasi terakhir yang akan mereka kunjungi. Dibutuhkan sedikit waktu untuk trekking sebelum sampai ke puncak Bromo.
"Dari atas kawahnya, lo bisa mendengar dapur magma Bromo bergejolak dan menunjukkan asap putih yang keluar terus menerus." Angga bercerita.
"Oh, ya? Gue jadi penasaran, Ngga!"
Dari sini saja, kedahsyatan Bromo sudah tidak diragukan lagi. Mereka menahan dahaga, hingga tiba di anak tangga menuju kawah. Mereka berusaha memupuk semangat yang mereka punya, agar tidak kendor hingga sampai puncak. Dan akhirnya, pada pukul 10.00 pagi, mereka berdua sampai.
"Capek?" tanya Angga, memastikan. Kemudian, Angga menyodorkan satu botol air mineral dari dalam tasnya, ke arah Sherin. "Minum, Sher."
"Makasih," balas Sherin, sembari meneguk minuman yang Angga berikan. Merekapun beristiwahat sejenak.
Setelah menormalkan nafas sejenak, mereka mengabadikan momen di destinasi terakhir yang luar biasa indahnya ini.
"Subhanallah..." Angga berdecak pelan. "Allah baik banget sama gue. Dalam satu waktu, gue ngelihat dua karunia terindah Allah. Yaitu bromo... Dan lo."
Deg. "Gue?"
"Iya. Lo indah... Sayangnya, lo memilih untuk menyudahi semuanya sama gue. Setelah ini, kesempatan gue habis, Sher.. Gue nggak mau minta lo untuk kasih kesempatan lagi ke gue.. Sama aja gue menghambat niat baik lo untuk setia, kan?"
Sherin menunduk. "Kok gue sedih, ya?"
"Kenapa? Atau lo mau sama gue?"
"Nggak gitu... Gue... Nggak tau." Sherin bingung. Ia hampir tak bisa berkata-kata.
"Kayaknya benar... Kita butuh jarak. Supaya lo tau, siapa dan apa yang lo pengen." Angga mengusap puncak kepala Sherin. "Karena lo masih labil..."
"Terus, kalau gue udah tau siapa dan apa yang gue mau, gimana?" tanya Sherin.
"Kalau lo udah tau siapa dan apa tujuan lo, pasti lo tau apa yang harus lo lakukan. Lo harus 'perjuangkan'. Siapapun dan apapun itu, kejar."
"Berapa jangka waktu supaya gue tau siapa dan apa yang gue mau?" Sherin bertanya lagi.
Angga menghela nafas. "Nggak ada yang bisa memastikan. Bisa cepat atau lambat. Tapi yang jelas, hati lo pasti akan kasih jawaban. Tunggu aja."
Mereka menikmati siang itu, dengan berbincang dan mengabadikan momen--yang mungkin menjadi yang terakhir--milik mereka berdua, hingga tanpa sadar, jam menunjukkan pukul 12.00. Keduanya memutuskan untuk kembali ke penginapan, dan mengakhiri apa yang telah mereka lakukan hari ini. Bisa jadi, merekapun mengakhiri kisah mereka, usai kembali dari tempat ini.
Bromo, menjadi saksi kisah mereka hari ini. Dan Bromo pula, yang berhasil membuka mata mereka, bahwa sebenarnya, kedua insan ini memiliki rasa yang sama.
"Kalau kata Fiersa Besari, kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah," ucap Angga pada Sherin, di perjalanan pulang.
***
Mereka sudah sampai di Malang kota, lagi, usai perjalanan mereka ke Bromo dengan Jeep yang mereka sewa.
"Laper nggak?" tanya Angga.
"Banget. Makan, yuk?" Sherin meringis, memegang perutnya.
"Boleh. Mau makan apa?"
"Ada bubur ayam nggak disini?"
Angga mengangguk. "Ada. Mau?"
"Ayo!"
Melaju dengan kecepatan sedang, akhirnya motor yang mereka tumpangi sampai di Kedai Bubur Ayam Agus. Kedai ini buka hampir dua puluh empat jam. Maka tak heran, jam berapapun, bubur ini selalu ramai pengunjung.
"Lo duduk dulu aja. Gue yang pesen," kata Angga memberi perintah.
"Oke!"
"Eh, mau sate gak? Minumnya apa?"
Sherin menoleh kilas. "Samain aja kayak lo." Dan kemudian ia segera berlari menuju kursi yang masih kosong, sebelum diambil oleh orang lain.
Iseng mencari di internet, Sherin menemukan banyak review tentang kedai bubur ini. Tentunya sudah tak diragukan lagi kenikmatannya, buktinya, banyak sekali orang yang datang dan pergi silih berganti.
"Ngapain, Sher?"
Sherin menoleh ke depan. Rupanya Angga sudah duduk di hadapannya. "Lihat review bubur ini di internet. Terkenal ternyata."
"Emang! Makanya, selalu ramai, kan? Termasuk hitz nih kedai bubur." Angga menjelaskan sekilas tentang keberadaan kedai bubur ini, terletak dimana saja, dan informasi singkat lainnya tentang bubur ayam Agus yang super mendunia di kalangan masyarakat Malang.
Meski ramai, tapi pelayanannya cukup cepat. Nyatanya sang pelayan sudah mengantarkan dua mangkuk pesanan milik Sherin dan Angga, beserta minuman. Nyam. Lidah Sherin sudah tak sabar mencicipi citarasa karunia Tuhan ini, begitupun dengan perut Sherin, sedaritadi sudah membunyikan genderangnya.
"Selamat makan!" teriak Sherin senang.
Bubur ayamnya benar-benar nikmat. Layaknya bubur ayam pada umumnya, kedai bubur ayam ini juga berisi potongan ayam, cakwe, seledri, kerupuk udang, dan emping. Kemudian kuah kuningnya sangat-amat menggoyang lidah. Cita rasa yang sungguh tiada tara!
"Enak?" tanya Angga, memastikan gadis di depannya suka atau tidak.
Sherin mengacungkan jempolnya, susah menjawab karena mulutnya masih penuh bubur dan sate yang menjadi satu.
"Kesini lagi mau dong?"
Usai menelan, Sherin mengangguk mantap. "Mau! Serius!"
"Kapan ya tapi?"
"Nah.. Nggak tau, deh.."
Angga berdiri dari bangkunya, "Gue mau ambil sate lagi. Lo mau?"
"Boleh.."
"Oke, tunggu ya!"
Baru sebentar ditinggal Angga, ponsel Angga yang tergeletak di meja bergetar. Sepertinya ada pesan masuk penting. Sherin melirik layar ponsel Angga dan membaca sekilas pesan masuk tersebut, yang ternyata dari Ayah Angga.
Ayah:
Nak, jangan lupa, lusa ada tes.. Datang ya. Bapak tunggu kamu menjadi sosok hebat berseragam!
Berseragam? Tes?
Membiarkan dirinya berpikir beberapa detik, kemudian saat ia tersadar, suara di sekeliling membuatnya menoleh cepat.
"Minggir!"
"Kenapa? Lo takut? Tolonglah, jangan jadi pengecut!"
"Lebih baik jadi pengecut daripada perebut pacar orang!"
"Gue sama sekali gak merebut. Gue hanya mau menyelamatkan dia. Gue tau masalah lo! Dan cukup satu korbannya. Tapi Sherin jangan!"
Deg.
Jantung Sherin nyaris berhenti. Dua suara pemicu keramaian itu, adalah suara yang tak asing baginya.
Sherin amat terkejut, hingga ia nyaris tak bisa bernafas saat mengetahui siapa sosok kedua sumber suara. "Angga? Marcell?"
Tanpa menunggu, Sherin langsung berlari ke arah Angga dan Marcell yang masih sibuk beradu mulut.
"Lagian nih..." Angga menatap rivalnya penuh dendam. "Memangnya dia bakal menikah sama lo ketika dia ta—"
"Brengsek!" BUGH! Marcell melayangkan tinjunya ke pipi Angga. "Omongan lo benar-benar rendah!"
Angga memegang pipinya, meringis. "Lebih rendah kelakuan lo yang a—"
"STOOOP!" teriak Sherin, maju dan menempatkan diri di tengah keduanya. Sherin panik, tak mengerti apa yang terjadi. "Kalian apa-apaan, sih?!"
"Kamu apa-apaan! Ngapain dekat-dekat sama dia?! Ngapain bilang kalau pergi bareng-bareng tapi nyatanya pergi berdua?!" teriak Marcell.
"Aku..." Sherin tergagap.
"Murahan lo!" teriak Marcell. PLAK! Dan Marcell menampar pipi kiri Sherin, hingga Sherin menangis dan berteriak kencang.
"Nggak usah nangis lo! Lo pembohong, cewek gatel!" PLAK! Dan Marcell menampar Sherin di pipi kirinya, tuk kedua kalinya.
Angga menarik Sherin, mencoba menyelamatkan.
Namun apa daya, tenaga Marcell lebih kuat. Marcell menarik Sherin, dengan kasar. "Masuk mobil! Kemasi barang-barang lo, terus pulang sama gue!"
"Angga!" teriak Sherin, dengan urai air matanya.
Dan bagian paling menyedihkan adalah, saat Angga melihat Sherin dibentak dan ditampar lagi, kemudian di dorong paksa tuk masuk ke dalam mobil.
Sherin membuka kaca mobil, sembari memanggil-manggil nama Angga. Mobil melaju kencang. Seberapa kencang Angga mengejar, ia tak akan bisa menyamai kecepatan mobil tersebut.
Hingga Angga putus asa. Ia segera kembali ke kedai bubur, membayar segala menu yang bahkan belum habis disantap, kemudian memacu motor sewaannya dengan kecepatan kencang, mencoba mengejar sesuatu yang berharga dan harus menjadi miliknya.
**
Sampai di penginapan, yang Angga lihat hanyalah Shinta, teman sekamar Sherin. Shinta dengan mata sembapnya, menghampiri Angga yang terlihat lesu dan sudah berfirasat buruk.
"Sherin udah pulang, Ngga," kata Shinta lemas. "Pacarnya paksa dia.. Bahkan pipi Sherin udah biru-biru tadi.. Astaga.. Gue nggak tega.."
Angga memukul dahinya sendiri. "Gue terlambat... Sialan.. Gue nggak berguna..."
Shinta menyodorkan secarik kertas putih. "Dari Sherin, buat lo."
Menyingkir dari jangkauan Shinta, Angga membuka kertas tersebut dan membacanya.
Hai Angga.. Maaf gue nggak pamit.. Gue kesakitan, Ngga.. Marcell siksa gue lagi..
Angga, terimakasih untuk segalanya. Maaf untuk kata-kata gue yang mungkin bikin lo sakit...
Sekarang gue tau, apa dan siapa yang gue mau.
Gue nyaman sama lo.. Gue terharu tiap kali lo ingetin gue sholat, karena lo cowok pertama yang ingetin gue soal ibadah..
Gue mau lo ada di hidup gue, Angga.
Sampai jumpa di Jakarta. Semoga kita bisa melanjutkan semua cerita.
Salam,
Sherin.
Keringatnya mengalir deras, dan jantungnya berdegup kencang. Pesan tersebut... Menggores hatinya.
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D