Setelah sempat pesimis dan dihantui ketakutan bertubi, akhirnya empat manusia tersebut sampai di 'desa' para pendaki Mahameru. Warna-warni tenda menghiasi pinggir danau ini. Danau dengan ketinggian 2500 meter diatas permukaan laut ini memang menjadi tempat favorit para pendaki di area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Di Ranu Kumbolo terdapat sebuah danau alami yang sangat indah. Meski airnya sangat jernih, pengelola Taman Nasional Gunung Semeru tidak memperbolehkan siapapun untuk mandi di sana agar tidak mencemari airnya, terlepas dari dinginnya suhu tentunya.
Inilah Ranu Kumbolo, surga-nya Mahameru. Tempat peristirahatan para pendaki yang akan, atau baru saja turun, dari Mahameru – puncak para dewa, tanah tertinggi di dataran Jawa. Dan inilah Ranu Kumbolo, yang akan jadi cerita milik mereka, kisah yang mereka ciptakan sendiri dengan rasa dan warna.
"Gue nggak nyesel sih capek-capek kesini. Meskipun udah ketiga kalinya, tapi bagi gue, Ranu Kumbolo selalu istimewa. Gue selalu dibuat jatuh cinta lagi dan lagi." Boy bersedekap, mencurahkan isi hatinya.
Caca mengangguk. "Menurut gue, Ranu Kumbolo tuh memang Subhanallah banget! Gue akui, dari foto, Ranu Kumbolo sangat indah. Tapi jauh lebih indah kalau dilihat secara langsung."
"Nggak kapok?" Boy setengah meledek.
"Kapok sih. Gue trauma lihat jenazah dibawa turun ke bawah, dan orang kesurupan di tengah hutan. Nggak lagi-lagi, deh." Caca terkekeh. Memang, ia mengakui kalau dirinya tak sepemberani gadis-gadis pada umumnya. Ia penakut.
"Berarti, besok-besok nggak mau kesini lagi?"
Caca mengangkat bahu. "Mau sih. Cuma..."
"Ya udah, besok kita ganti destinasi lain aja, ya. Yang penting, kita harus terus liburan sama-sama." Terutama, aku dan kamu, batin Boy.
Mereka diam sejenak menikmati angin malam Ranu Kumbolo. Tenda warna-warni menjadi saksi yang menyambut kedatangan mereka kemari.
"Boy!" teriak Juang dari arah sepuluh meter di depan mereka. "Ayo bikin tenda!"
Boy mendesah malas. "Baru juga sampai," kata Boy pelan.
Caca tersenyum. "Udah nggak apa-apa. Cepat bangun tenda kan nggak masalah, biar kita juga cepat istirahat."
"Udah ngantuk?"
"Lumayan."
Pria manis berlesung pipi itu mengangguk. "Gue bikin tenda, ya. Lo sama Maya, gih. Jangan sendirian disini."
"Oke," balas Caca senang.
**
Kedua lelaki gagah--yang adalah Boy dan Juang--tengah sibuk mendirikan tenda. Mereka mendirikan tenda di tengah puluhan tenda pendaki lainnya. Keindahan di sekitar danau Ranu Kumbolo membuat siapapun akan takjub. Inilah yang terjadi pada kami semua ketika itu.
Sementara dua srikandi yang mereka banggakan, juga tengah menyiapkan kompor dan segala peralatannya--beserta spirtusnya, tentunya--tuk memasak air serta merebus ubi.
Nikmat, kan, menikmati malam di tepi danau Ranu Kumbolo? Siapa yang tidak iri dan tidak ingin?
"Woy!" teriak Juang, mengejutkan dua srikandi yang tengah merebus ubi ungu yang menjadi perbekalan mereka.
Maya melihat ke arah Juang dengan ganas. "Nggak kaget!"
"Apaan sih, orang gue nyapa Caca, kok!"
"Alesan lo! Bilang aja lo caper ke gue!"
Boy berjalan kearah mereka, dan menggeleng mengetahui Juang dan Maya yang akhir-akhir ini bertengkar terus. "Kalian sejak kapan sih beratem melulu? Kayaknya biasanya baik-baik aja."
Juang dan Maya saling tatap. "Sejak kapan, ya? Sejak tadi kayaknya, sejak gue lihat Maya akhirnya jadi sosok rapuh yang nggak kuat bawa carrier-nya." Juang asal ceplos.
"Sialan lo! Emang biasanya gue sok kuat?!"
Caca terkekeh. "Kayaknya, kita harus cepat buka forum deh."
"Ah, ya, forum buka-buka rahasia, ya?" Boy teringat akan ide yang ia cetuskan sendiri.
"Yap! Eh tapi kalian mau minum apa dulu, nih? Biar gue bikin.." Caca menawarkan. "Ada susu, kopi... Itu doang, sih."
"Gue kopi," kata Juang dan Maya bersamaan.
Boy dan Caca saling lirik. "Cieeee!"
"Berisik, ah, lo berdua!" Juang salah tingkah.
Caca terkekeh. "Lo mau apa, Boy?"
"Kembarin sama lo aja. Biar couple kayak mereka!"
Maya menimpali dengan cepat, "Gue bukan couple-nya dia, ah!"
"Gue juga nggak mau, kali!"
Detik selanjutnya, tawa meledak. Namun antara Juang dan Maya terkadang masih saling melempar ejekan satu sama lain, yang dikhawatirkan akan menumbuhkan rasa yang seharusnya tak hadir diantara mereka.
Suasana malam membuat syahdu. Pemandangan Ranu Kumbolo di malam hari, serta ubi rebus yang sudah matang--namun kurang sempurna, maklum, dengan peralatan masak seadanya--serta secangkir susu dan kopi panas menemanin mereka. Di sekeliling mereka, banyak pula rombongan pendaki yang juga melakukan hal yang sama di depan tenda mereka. Ah, suasana yang indah.
"Baru pertama loh gue mendaki berempat," kata Juang. "Bawa dua cewek, lagi. Ya meskipun yang satunya rada jadi-jadian."
"Maksud lo gue setengah laki, gitu?" Maya menyikut lengan Juang.
Boy mengangguk. "Sama. Gue juga baru pertama. Alhamdulillah, kita bisa sampai Ranu Kumbolo. Sebenarnya gue cuma pengen nunjukin keindahan Ranu Kumbolo ke kalian."
"And it's so amaze me! Pemandangannya bagus, gila!" tukas Maya.
"Berarti mau kesini lagi?" tanya Boy.
"Mau, sih. Mau banget!"
Caca nyengir. "Berarti cuma gue yang nyerah."
Bagi Caca, pengalaman kali ini adalah pengalaman yang sungguh luar biasa. Lelah, takut, dingin, bercampur jadi satu. Namun ketika bahagia datang, rasa puas yang didapat menjadi berlipat ganda rasanya.
Tapi meski begitu, Caca tak mau lagi. Cukup satu kali ia merasakan betapa susahnya mendaki gunung. "Naik gunung bukan passion gue, deh."
Boy mengangguk paham, "Nggak apa-apa. Yang penting udah pernah. Ya, kan?"
"Kalian cewek-cewek, mau lanjut sampai Puncak nggak? Perjalanan bakal lebih sulit, jadi gue kasih warning di sini." Juang mengingatkan.
Benar. Sebenarnya, perjalanan makin sulit setelah melewati Ranu Kumbolo. Jadi para pendaki diharapkan tak bersantai dan terlena dengan keadaan Ranu Kumbolo--jika mereka benar-benar ingin mencapai puncak--karena rintangan di depan semakin sulit.
Maya mengangguk. "Gue masih mau."
"Caca, gimana?"
"Lihat kondisi besok pagi, deh.. Gue nggak bisa janji.. Karena sebenarnya, tujuan gue kesini udah tercapai." Caca menghembuskan nafas lega.
"Tujuan?" tanya Boy, tak mengerti.
"Tujuan gue bukan puncak."
"Terus?"
Caca tersenyum. "Gue sengaja ikut pendakian ini. Karena gue mau bikin hubungan gue dan Maya balik lagi." Betul, itulah alasan utama Caca. Baginya, lain-lain selain hal pokok itu hanyalah bonus, termasuk Ranu Kumbolo ini.
"Kalian udah resmi baikan, nih?" tanya Boy, mencoba memastikan. "Maya, gimana? Atau cuma Caca doang yang anggep masalah kalian udah selesai?"
"Ini sidang atau gimana nih?" celoteh Maya.
"Jawab, May.." Juang mencoba meluruskan celotehan Maya yang keluar jalur.
Maya dan Caca bertatapan. Sejenak, keduanya merasakan kerinduan terdalam. Mereka sadar, jarak yang tercipta diantara mereka selama ini sudah terlalu jauh. Dan tanpa sadar, jarak tersebut membuat rindu hadir diam-diam, dan sekarang rindu itu sudah sampai pada puncaknya.
"Sebenarnya, ada apa, sih, diantara kalian?" tanya Juang.
Sesi curhat, dimulai. Mereka mempersiapkan diri, karena pasti, semua akan kena giliran.
"Sebenarnya nggak seharusnya gue marah ke Caca. Dia nggak salah.. Cuma, keadaan yang bikin gue egois. Dan satu-satunya yang bisa jadi umpan empuk adalah Caca, karena dia yang paling bersangkutan." Maya menunduk, "Padahal, ya, sebenarnya Caca juga korban."
Juang dan Boy masih bingung. "Maksudnya apa?"
Maya melanjutkan kata-katanya, "Padahal, Caca juga berhak marah ke gue, sebenarnya."
"Langsung ke inti, dong. Gue kepo," tandas Juang.
"Sebenarnya... Bokap gue nikah sama Nyokapnya Caca." Maya mengatakan hal tersebut, dalam satu tarikan nafas.
Deg. Kedua lelaki tersebut tercengang, sementara Caca ikut menunduk.
"Dan sekarang, gue dan Nyokap gue jadi korban. Gue harus lihat Nyokap gue sedih tiap hari, dengan penghasilan pas-pasan sebagai guru honorer.. Sementara Bokap gue? Dia bahagia sama Nyokapnya Caca, dengan gelimang harta," ucap Maya.
Boy menghela nafas. "Gue... Turut sedih, May."
"Gue juga..." tandas Juang. "Sekarang, kita beri waktu untuk Caca bercerita. Silakan, Ca," ujar Juang, persis seperti mediator diantara para tersangka dan korban. Padahal, kedua gadis ini adalah korban.
Caca menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara, hingga akhirnya ia benar-benar siap tuk bercerita. "Gue tau, pasti lo marah karena hal itu... Tapi yang gue heran, kenapa lo harus marah? Padahal, posisi kita sama-sama korban.."
"Nah, maafin gue, Ca. Itu karena ego gue.." Maya menggapai tangan Caca.
"Guepun sedih, May.. Nyokap gue nikah sama Bokap lo.. Akibatnya apa? Bokap gue sakit stroke, tapi alhamdulillah sekarang sudah pulih, sih... Dan karena Bokap gue sempat sakit stroke waktu itu, makanya Bokap memutuskan untuk pensiun dini. Dan sekarang? Gue sama Bokap hanya hidup dengan uang pesangon yang kantor Bokap gue kasih.. Bayangin, May.." Caca menatap hamparan langit gelap yang seolah ikut bersedih dengan kisah mereka. "Sementara, Nyokap gue, selalu hidup bahagia sama Bokap lo, tanpa pernah tau gimana kabar gue dan Bokap.."
"Sorry, Ca.." Maya mendesah pelan.
Boy mengangguk, mencoba mengambil kesimpulan. "Intinya, kalian berdua korban dari apa yang orang tua kalian lakukan. Dan posisi kalian, sekarang sama. Menjadi korban, dengan kehidupan yang serba terbatas."
Caca tersenyum. "Makanya, sekarang gue nggak pernah beli-beli barang mewah lagi. Karena gue sadar posisi gue dan Bokap sekarang. Selain itu, gue sadar, lifestyle gue jaman dulu, itu benar-benar buruk. Gue jadi manusia yang duniawi. Padahal, semua itu nggak akan gue bawa mati."
Deg.
Entah kenapa, kata-kata Caca begitu menyentuh ketiga temannya. Segala yang duniawi, memang tak akan dibawa mati.
"Semenjak Bokap gue stroke, gue jadi sadar, kalau gue harus lebih mendekatkan diri sama Allah. Makanya gue selalu sholat sekarang. Karena gue sadar, ibadah itu bukan kewajiban, tapi kebutuhan. Dan nyatanya, gue lebih tenang sekarang... Gue percaya, Allah bantu gue dan Bokap," kata Caca, mengakhiri pidatonya.
Tanpa terasa, genggaman tangan Maya dan Caca makin erat. Mereka saling menggandeng dengan penuh rasa rindu dan rasa sesal. Andai daridulu mereka penuh keterbukaan, pasti mereka tak akan saling diam dalam tanya.
"Ca... Sorry," ucap Maya.
Caca mengangguk. "Bahkan gue nggak pernah marah sama lo, May."
"Tapi gue salah.. Sorry..." Maya meneteskan air matanya.
Dengan satu gerakan, Caca menarik Maya dalam pelukannya. "Kita damai, ya.. Justru, karena kita bernasib sama, kita harus saling support.."
"Karena meskipun kita nggak setuju, tanpa sadar, kita udah jadi saudara tiri, kan?" balas Maya. "Pulang dari sini, gue main ke rumah lo, ya, Ca.. Pengen jenguk Bokap, lo..."
"Dengan senang hati, May.."
Mereka melepas pelukan satu sama lain. Dan mereka tersenyum, melihat diri mereka masing-masing yang sudah dipenuhi bulir air mata di pipi. Ternyata, rasa rindu yang terbalaskan, sebahagia ini.
"Makasih, Ca," ucap Maya.
"Makasih juga, May," balas Caca, dengan senyuman paling indah yang menghiasi malam-malam sebelumnya yang selalu dipenuhi kemuraman.
Boy dan Juang sama-sama tersenyum, saling merangkul, ikut merasakan haru dan bahagia karena damainya dua srikandi yang awalnya mendirikan benteng keras di tengah persahabatan yang mereka miliki. Semuanya, nyaris sempurna.
"Sekarang, gue mau tanya, dong.. Topik Maya dan Caca sudah selesai, kan?" tanya Boy.
Caca dan Maya mengangguk, sambil masih menautkan tangan mereka satu sama lain. "Ganti topik boleh, kok."
Boy tersenyum. "Gue mau tanya. Boleh?" tanya Boy, sembari menatap Juang.
"Gue?" tanya Juang, menunjuk dirinya sendiri.
"Iya."
"Ada apa? Kok gue deg-degan, ya." Juang nyengir sambil menggaruk kepalanya.
Boy menatap mata Juang, menelusuri dua bola mata milik Juang. "Kenapa lo putus sama Caca?"
Deg.
Raut wajah Caca berubah. "Harus dijawab?"
"Iya. Kan perjanjiannya gitu."
Juang menatap Caca, seolah meminta izin, apakah diperbolehkan menjawab, atau tidak. Caca mengangkat bahu, mempersilahkan keputusan sepenuhnya pada Juang.
"Oke, gue akan jawab," balas Juang. "Gue yang salah. Intinya, itu."
Caca menggigit bibirnya. Bukan apa-apa, Caca hanya malas mengungkit masa lalu yang sudah terlewati, dan bahkan kini baik Juang maupun Caca sudah baik-baik saja.
"Waktu dulu, Caca benar-benar baik sama gue. Dia sosok pacar idaman, yang kalian semua pasti paham. Caca baik, peduli, cantik lagi!" puji Juang, sambil menatap mantan pacarnya yang sedang tersenyum, sedikit salah tingkah. "Tapi, gue aja yang brengsek waktu itu. Gue malah memanfaatkan kebaikan Caca. Gue kecanduan main judi online waktu SMA."
Deg.
"Serius lo judi online?" Boy menatap Juang kaget.
Begitupun Maya, yang sontak langsung melempar sapu tangan miliknya kearah Juang. "Gila lo!"
Juang tersenyum. "Gue jaman SMA memang gitu. Dan karena gue kecanduan judi online, gue selalu bohongin Caca. Gue selalu minta uang ke Caca, dengan alasan, gue nggak dikasih sangu sama Nyokap. Padahal, duit yang Caca kasih ke gue, selalu gue pakai buat main lagi. Kira-kira, gue minta uang Caca udah sekitar dua jutaan. Sampai akhirnya, gue sendiri yang nggak tega.. Caca sebaik itu... Akhirnya, gue putusin Caca."
Hening menyelimuti mereka. Sesaat, mereka sama-sama terdiam dalam peluh emosi.
"Caca sosok pacar yang baik. Selalu ada buat gue. Selalu ingetin gue buat sholat dan nggak banyak merokok. Selalu bantuin gue kerjain tugas. Selalu bilang kalau dia nggak pernah capek buat gue jadi sosok lebih baik.." Juang masih menatap Caca. Pandangannya, belum teralihkan. "Bahkan, setelah putus, Caca nggak pernah sama sekali jelek-jelekin gue. Dia simpan aib gue sendiri. Dia jaga nama baik gue, disaat semua orang tuduh kalau Caca putus sama gue karena Caca selingkuh.. Soalnya, nggak lama setelah putus sama gue, Caca deket sama Bram, cowok kelas sebelah waktu itu."
"Gue sama Bram nggak pacaran," kata Caca, dengan cepat.
"Iya, gue tau, Ca.. Tapi pandangan orang-orang, kan, beda."
Waktu itu, hidup Caca rumit. Disamping masalah keluarga, ia pun digunjing sana-sini karena masalah asmaranya dengan Juang. Caca dituduh selingkuh dan menyia-nyiakan Juang yang notabene adalah pria idaman dan idola kala itu.
"Padahal, kalau Caca mau, dia bisa banget buka aib gue... Tapi Caca selalu tutup itu rapat-rapat." Juang menghela nafas. "Ca, terima kasih, telah menjadi pacar yang luar biasa baik di kala itu."
Caca mengangguk kikuk, sambil menyeduh susu putih panas--yang sudah hangat karena udara gunung--buatannya sendiri.
"Kalau ada waktu untuk mengulang... Gue nggak akan sakitin lo, Ca. Gue akan jaga lo, sebagaimana lo jaga gue dan tutup semua aib-aib gue." Juang melirik kearah Boy. "Tapi sekarang, gue yakin, lo bakal dapet laki-laki yang setara dan sama baiknya dengan lo. Dia, orangnya," kata Juang, menepuk bahu Boy.
Uhuk! Dalam hitungan detik, Boy tersedak ubi yang sedang ia nikmati. Kata-kata Juang, hampir saja membunuhnya. "Gue?" tanya Boy.
Juang mengangguk. "Sekarang giliran gue tanya... Lo ada rasa sama Caca?"
"Jawab, Boy. Kan lo yang bikin permainan ini," tandas Maya.
Boy mengatur nafasnya usai tersedak tadi. "Karena gue yang buat aturan, maka gue juga akan menepati apa yang sudah gue tetapkan. Gue akan jawab."
"Jadi? Jawabannya, apa?" tanya Juang.
"Gue...." Boy menggantung kalimatnya.
"Apa?"
Boy menatap Caca, yang saat ini terlihat makin cantik dengan jaket tebal yang menutupi kulitnya. "Ya. Gue sayang Caca."
Deg.
Hampir saja Caca melempar cangkir berisi susu hangat yang tengah ia nikmati. Caca, terkejut, setengah mati.
Boy masih tersenyum. Perpaduan antara wajah Caca yang sungguh manis, dengan indahnya Ranu Kumbolo di malam hari, menyadarkan Boy, bahwa perasaannya pada seorang Caca, memang tak pernah salah. Semesta mendukungnya. Semesta merestuinya.
*bersambung**
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D