Ranu Kumbolo belum terlihat. Tapi mereka tau, sebentar lagi, mereka akan sampai.
"May, kenapa? Mau gue bantu bawa tas lo?" tanya Juang, setelah melihat ekspresi lelah Maya.
Maya mengangguk. "Iya, tolongin gue, dong..."
"Tumben nggak gengsi?" ledek Juang.
"Gue tendang lo, ya," balas Maya, sebal.
"Ampun, ampunnn. Hahahaha. Sini tas lo." Juang menghampiri Maya dan membantu Maya melepas tasnya, kemudian ia menyampirkan tas Maya di pundak kirinya. "Berat juga, ya," ucap Juang.
"Lo nggak apa-apa bawa dua tas?" Maya khawatir, kalau-kalau pundak Juang encok hanya karena membantu membawakan tas Maya.
"Santai. Gue kuat, kok."
Jarak total dari Ranu Pane Menuju Landengan Dowo adalah 3,5 KM atau rata-rata Waktu 1,5 hingga 2 jam untuk pendakian santai, dengan kondisi jalan masih berbentuk paving. Setelahnya, dari Landengan Dowo menuju Watu Rejeng, pendakian sudah mulai memasuki kawasan hutan. Butuh waktu yang sama untuk tiba di Watu Rejeng. Meski mulai merasakan suasana hutan, jalurnya masih bisa dikategorikan sebagai jalur mudah. Jadi, perjalanan dari Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, totalnya adalah empat jam.
"Masih jauh nggak?" tanya Caca.
"Kenapa? Capek?" Boy mencoba memastikan kondisi Caca.
Maya menatap Caca khawatir. "Jangan gengsi, Ca. Kalau capek bilang."
"Iya, Maya aja bilang pas tasnya berat. Tumben kan, seorang Maya nggak sok kuat," ledek Juang.
Maya melirik sinis. "Awas lo! Kalau besok-besok lo naksir gue, awas, ya, gue tolak mati-matian!"
"Ngarep lo!" Juang menjulurkan lidahnya. "Gue kan udah punya Vinanta!"
"Yakin? Gue denger, Vinanta lagi berantem hebat sama lo?" balas Maya, tak mau kalah.
"Kok lo tau? Lo kepo sama hubungan gue, ya? Diem-diem, lo naksir gue, kan?"
Boy dan Caca yang melihat pertengkaran mereka, hanya bisa tertawa. Suasana persahabatan mereka kali ini hangat. Padahal, udara disini benar-benar membuat badan mereka menggigil, seolah tak ada celah bagi mereka tuk menemukan kehangatan. Namun, persahabatan mereka berhasil menghangatkannya.
Terlintas ide di benak Boy. "Guys, gue punya ide!"
"Apa?"
"Ide apa?"
Boy tersenyum penuh arti. "Sepulang dari Ranu Kumbolo, kita harus sudah bersih, ya. Tidak boleh ada dendam lagi diantara kita."
"Maksudnya gimana?" Ketiga teman lainnya bingung.
"Begitu sampai Ranu Kumbolo, kita harus cerita semuanya. Kalau ada unek-unek satu sama lain, ceritakan."
Maya dan Caca bertatapan. Kemudian, Juang dan Cacapun bertatapan. Mereka masih menyimpan rahasia satu sama lain, yang membuat perasaan mereka masih tertahan dan belum lepas. Mereka masih dihantui luka masa lalu, yang terkadang membuat perasaan mereka tidak tenang.
"Jadi, itu waktu untuk kita semua jujur?" tanya Maya.
Boy mengangguk. "Betul. Gimana?"
Beberapa detik dalam keheningan, hingga akhirnya, Juang mengawali dengan sebuah anggukan. "Boleh. Kayaknya seru."
"Maya, Caca, gimana?" tanya Boy.
Kedua srikandi itu bertatapan sejenak, kemudian mengangguk serempak. "Oke," balas keduanya.
Tak sabar untuk sampai Ranu Kumbolo, agar semua permasalahan yang mereka simpan masing-masing, bisa tersalurkan. Karena pada dasarnya, mereka masing-masing punya rahasia, yang harus diungkapkan.
**
Pinggul dan pundak mereka sudah nyut-nyutan menahan beban. Mereka hanya butuh waktu tuk membiasakan nafas mereka, agar teratur, sebelum memutuskan istirahat lagi di jarak tertentu. Mereka sedikit menyesal, seandainya mereka lebih rajin olahraga tuk mempersiapkan pendakian--paling tidak dari satu bulan sebelumnya--pasti nafas merka lebih teratur dan tubuh terasa lebih ringan.
"Penyesalan emang gitu, belakangan," ucap Maya.
"Kalau di awal namanya pendaftaran, kan?" Juang menimpali.
"Garing lo!" balas Maya.
Boy meringis. "Gue sama Caca aja jogging satu minggu, tapi masih ngos-ngosan. Nyesel gue, harusnya kita nggak menyepelekan tenaga kita."
"Di pendakian selanjutnya, kita harus fit, oke?" kata Juang, memberi semangat.
"Tapi gue nggak yakin, bakal naik gunung lagi." Caca meringis. Jujur, dirinya sedikit kapok. "Gue nggak kuat dinginnya. Bukan capeknya."
Malam menjelang perjalanan masih jauh. Mereka harus hati-hati dan waspada jika ada lubang, jalur yang menyempit, akar pohon, dan lainnya dapat membahayakan.
Berulang kali mereka berkata, "Hati-hati", atau "Awas ada lubang!". atau bahkan "Sini pegangan, gue takut lo jatoh!".
Saat sudah merasa capek, mereka mencoba menyemangati diri sendiri, dan tak lupa memberi semangat pada rekan di sekelilingnya. Selangkah demi selangkah, mereka lakukan.
Suasana makin gelap. Hanya ada mereka saja di jalur sekitar sini. Memang kali ini jalur pendakian cukup sepi, mengingat bukan libur panjang. Jadi, suasana makin mencekam saja.
"Gue takut. Mana dingin, lagi," ucap Caca.
"Sssst! Jangan bilang takut. Santai aja, baca doa," balas Maya, mencoba menenangkan.
"Sejujurnya, gue juga rada... Takut," kata Juang, setengah berbisik. "Jam berapa sih ini?"
"Jam delapan."
Juang mencetuskan sebuah ide. "Gandengan, yuk. Gue gandeng Maya, Boy gandeng Caca. Biar lebih aman dan terjaga, gitu.." Buru-buru, Juang menambahkan lagi, "Ini bukan modus, please."
Namun perjalanan mereka terhenti, ketika dari atas terdengar suara banyak orang yang sedang turun. Merekapun menduga-duga, jika itu tim evakuasi yang sedang membawa korban. Dan benar, beberapa saat kemudian, ternyata ada 4 orang yang sedang menandu korban dan 4 orang lainnya yang saling membantu melewati medan turun yang sangat curam. Dan yang paling menegangkan, mereka terdiam serempak karena melihat sesosok jenazah yang tengah dievakuasi, melewat tepat didepan mata mereka.
“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un," ucap keempat manusia tersebut bersamaan.
Setelah Boy bertanya sekilas, ternyata jenazah tersebut adalah korban hipotermia di atas. Astaga, mereka--terlebih dua wanita tersebut--makin takut saja.
Caca dan Maya sampai berpelukan, dan mengucap istighfar berulang kali, mencoba mencari ketenangan dengan mengingat sang Pencipta alam semesta.
Boy dan Juang meyakinkan, bahwa mereka akan baik-baik saja.
"Hidup dan mati di tangan Pencipta. Jangan takut, sekalipun takdir kita berkata kalau kita akan mati di sini," kata Juang.
Seiring waktu berjalan, suasana semakin hening. Mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa, meskipun sebenarnya mereka merasa takut yang luar biasa.
Gerimis turun di tengah hutan yang tengah mereka lewati. Anginpun bertiup kencang, membuat suasana yang dingin menjadi semakin dingin, dan suasa mencekampun semakin mencekam saja. Badan mereka mulai menggigil, dan perutpun mulai lapar. Mereka memberi asupan cemilan--seperti cokelat dan biskuit--sebagai pengganjal sementara perut mereka.
Ketakutan hadir lagi. Langkah mereka terhenti karena ada satu rombongan yang berisi sekitar enam orang, dan salah satunya terdapat gadis yang tengah berteriak histeris, bahkan diselingi dengan tertawa-tawa misterius.
Caca dan Maya berpelukan kali ini. Tanpa ditanya, merekapun tau kalau gadis yang tengah berteriak histeris itu adalah gadis yang tengah kesurupan.
Boy berbisik pada dua srikandi yang tengah berpegangan tangan, "Kaiian harus saling jaga, ya. Jangan sampai pikiran kosong."
"Lo mau kemana?" tanya Maya cepat.
"Bantuin mereka," balas Boy.
Boy dan Juang dengan gentle bergabung ke rombongan tersebut, membantu menolong dengan membacakan doa serta memegang kaki wanita tersebut. Dan beruntung, tak butuh waktu lama, gadis itu mulai sembuh dan mulai tenang.
"Astaghfirullah..." kata Caca, masih memeluk Maya.
Maya mengatur nafasnya, mencoba menenangkan diri, sambil ber-istighfar seperti sahabatnya.
Setelah semua selesai, Boy dan Juang kembali pada Maya dan Caca. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan.
Juang bercerita, "Perempuan tadi tuh kesurupan, karena di tengah perjalanan, dia tiba-tiba haid. Terus, dia buang sampah pembalut sembarangan."
"Mungkin itu penyebabnya. Wallahu A'lam.." Boy merenung sekilas. "Jaga kebersihan dan jaga kesopanan. Bagaimanapun, kita tidak tinggal sendirian di alam ini. Kita berdampingan juga dengan makhluk lain."
Dan tanpa sadar, kata-kata Boy yang membuat mereka makin ngeri, di sisi lain juga menyadarkan bahwa menjaga kesopanan dan etika adalah dasar dari segala perilaku; bahkan di gunung sekalipun.
"Masih lama nggak sampainya?" tanya Maya.
Juang menggeleng. "Sebentar lagi."
Mereka berjalan dalam hening. Sesekali mereka mencoba memecah keheningan di tengah lelah yang mereka rasakan, tuk memastikan bahwa mereka masih ada di alam sadar.
Dua kejadian tadi--hipotermia dan kerasukan--membuat mereka sadar, bahwa pendakian bukan hal sepele, melainkan bisa menjadi hal yang penuh dengan resiko.
Tepat pukulsepuluh malam--sudah sekitar lima setengah jam mereka berjalan--akhirnya mereka menemukan titik terang. Ranu Kumbolo mulai terlihat.
"Masya Allah, Subhanallah," ucap Juang.
"Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?" sambung Boy.
Caca dan Maya berpelukan. Akhirnya, setelah takut dan lelah bercampur menjadi satu, tujuan utama mereka, tercapai.
Setelah sempat pesimis dan dihantui ketakutan bertubi, akhirnya empat manusia tersebut sampai di ‘desa’ para pendaki Mahameru. Warna-warni tenda menghiasi pinggir danau ini. Danau dengan ketinggian 2500 meter diatas permukaan laut ini memang menjadi tempat favorit para pendaki di area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Inilah Ranu Kumbolo, surga-nya Mahameru. Tempat peristirahatan para pendaki yang akan, atau baru saja turun, dari Mahameru – puncak para dewa, tanah tertinggi di dataran Jawa. Dan inilah Ranu Kumbolo, yang akan jadi cerita milik mereka, kisah yang mereka ciptakan sendiri dengan rasa dan warna.
*bersambung*
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D