Sherin tercengang melihat motor Vario hitam beserta dua buah helm yang sudah nangkring mesra di parkiran hostel. Sementara, Angga langsung memposisikan diri naik ke atas motor sebagai sang pengemudi, dan menepuk jok bagian belakang sembari menatap Sherin. "Ayo, naik," katanya.
"Ini motor siapa?" tanya Sherin.
"Gue nyewa."
"Kapan?" Sherin mengerutkan keningnya.
Angga tersenyum. "Baru aja. Begitu sampai hostel, gue langsung hubungi temen gue yang kebetulan tau tempat penyewaan motor. Ya udah, deh, nggak lama, motornya sudah langsung diantar."
Sherin diam sejenak. Sesungguhnya, gadis ini terharu akan segala sesuatu yang Angga lakukan. Begitu cekatan dan cepat, namun memiliki tujuan.
"Kenapa, Sher? Nggak berkenan naik motor? Atau mau gue sewain mobil?" tanya Angga, mulai khawatir.
Sherin menggeleng cepat. "Jangan, jangan! Gue suka kok naik motor."
"Terus, kenapa ngelamun?"
"Lagi mikir aja... Lo baik banget. Bahkan gue nggak kepikiran kita mau jalan-jalan naik apa.. Eh, ternyata lo udah nyewa motor aja.. Thanks, Ngga!"
Angga menghembuskan nafas lega. "Santai aja, Sher. Nggak mungkin, lah, gue ngebiarin perjalanan kita dihantui kebingungan tentang akomodasi."
Detik selanjutnya, Sherin segera mematuhi perintah Angga tuk duduk di jok belakang.
"Siap?" tanya Angga.
"Let's go!" jawab Sherin, penuh semangat.
Dan Angga tersenyum penuh kemenangan. Ini memang bukan kali pertama ia duduk berdua dengan Sherin di satu motor yang sama. Namun yang Angga banggakan, akhirnya ia bisa berdua di motor bersama Sherin, untuk berkelana.
"Ngga," panggil Sherin.
"Kenapa, Sher?"
Sherin tersenyum, dan senyuman itu bisa Angga lihat dari pantulan spion. "Kok gue seneng, ya?"
"Seneng kenapa?"
"Ya... Seneng aja... Karena lo. Lo selalu berhasil bikin gue bahagia, dengan segala cara." Sherin menepuk bahu Angga. "Sekalipun dengan cara yang sederhana."
Karena itu tujuan gue, Sher, batin Angga.
"Ibaratnya... Naik motor berdua sama lo, gue udah bahagia. Dan itu bikin gue sadar, kalau bahagia, nggak butuh materi."
Angga setuju. "Kenyamanan jauh lebih penting. Bahagia itu, ya, nyaman."
Angin sepoi-sepoi membelai rambut Sherin yang bahkan sudah tertutupi oleh helm. Bahkan kadang Angga salah fokus; ia ingin menjadi helm pribadi milik Sherin, agar bisa membelai dan mencium aroma rambut Sherin yang selalu menenangkannya.
"Jadi, kita mau kemana, nih?" tanya Angga.
"Katanya destinasi pertama mau ke toko es krim? Kebetulan, gue pengen es krim."
Apapun yang Sherin inginkan, pasti Angga akan berusaha tuk sanggupi. Menunggu Sherin yang hingga kini masih dengan Marcell saja, Angga sanggup; apalagi jika hanya sekedar pergi ke toko es krim? Sudah pasti, Angga bersedia, bahkan sangat bersedia.
*
Mereka tiba di toko es krim legendaris di Malang, yaitu toko Oen. Usai memarkirkan kendaraan, Sherin dan Angga segera memasuki tempat tersebut.
Begitu memasuki bangunan, suasana jadul khas kolonial mulai menyeruak. Spanduk putih dengan tulisan merah berbahasa Belanda menyambut setiap pengunjung yang baru datang, “Selamat datang di Malang, Toko Oen yang sejak tahun 1930 telah memberikan kenyamanan bagi para tamu.” Empat kursi rotan pendek berwarna biru langit dan putih gading diatur mengelilingi meja-meja berbentuk bulat. Foto-foto kota Malang tempo dulu yang tampak menghiasi dinding ruangan semakin membawa pengunjungnya ke suasana masa lalu. Tidak heran jika banyak juga pengunjung wisatawan asing yang mampir ke sini.
Sebagai sebuah restoran jadul, Toko Oen bisa dibilang menyajikan kuliner khas Belanda yang lengkap. Di sebuah counter berbentuk persegi panjang di depan pintu masuk terdapat berbagai jenis roti dan kue kering khas Belanda seperti speculaas, havermout, dan kaastengel. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kue-kue basah khas Indonesia turut ditawarkan di etalase yang sama dengan roti-roti.
Sherin dan Angga duduk berhadapan di sudut dekat jendela.
"Gue suka tempat ini," kata Sherin. "Nanti kita foto-foto di sini, ya."
Angga mengacungkan jempol. "Oke."
"Arsitekturnya bagus. Suasana kuno-nya, kena banget! Penataan ruangannya juga pas!" Sherin berdecak kagum.
Interior restoran Oen ini memang bergaya klasik. Dengan kursi rotan, meja dan taplak klasik, piano tua di sudut ruangan membuat kita dibawa ke masa lalu. Apalagi ditambah foto-foto yang dipajang di seluruh ruangan, mulai dari foto kota Malang pada masa lampau hingga foto Presiden Soekarno.
Dalam hati, Angga bangga, akhirnya, ia tak salah pilih tempat destinasi pertama.
"Toko Oen, tuh, legendaris banget," kata Angga buka suara.
"Oh, ya? Seberapa banyak lo tau tentang toko ini?"
Angga memutar otaknya, mulai bercerita. "Gue udah ke tempat ini beberapa kali. Yang gue tau, toko Oen pertama kali dibuka pada tahun 1922 oleh seorang pengusaha Tionghoa keturunan Belanda, namanya Nyonya Liem Goe Nio. Tapi, cabang yang pertama justru dibuka di kota Jogja, baru merambah ke kota-kota lain, seperti Jakarta, Semarang, dan di Malang. "
"Eh, serius? Kok keren?" Sherin mulai antusias.
Angga melanjutkan ceritanya lagi. "Sayangnya seiring dengan perjalanan waktu, cabang Toko Oen di Jakarta dan Jogja pun tutup. Sisanya, kedai Oen di Malang dijual ke pemilik baru nya dan cabang Semarang dipertahankan oleh keturunan Oma Oen. "
Mereka kembali bercerita, dan kali ini mereka bercerita sembari melihat menu makanan.
"Banyak juga, ya, menunya?" gumam Sherin. "Gue kira, cuma es krim aja."
"Banyak yang lainnya, kok." Angga menunjuk salah satu nama makanan dalam menu tersebut. "Katanya, sih, nasi goreng sama nasi semur lidahnya enak. Tapi gue juga belum pernah coba."
"Coba, yuk?" ajak Sherin.
"Bentar, jangan terburu-buru. Ayo lihat menu lainnya."
Tidak hanya es krim, daftar menu Toko Oen menampilkan berbagai menu makanan seperti makanan pembuka, sup, masakan oriental, burger dan sandwich, salad, steak, dan tentu saja tak ketinggalan menu khas Indonesia.
"Gue mau es krim Oen's Special ," kata Sherin. "Makanannya... Nggak usah, deh."
"Kenapa?"
"Kan nanti kita mau kulineran di alun-alun batu.. Takut kekenyangan."
Angga berpikir, benar juga kata-kata Sherin. "Gue mau Corn Ice Cream."
Sembari menunggu pesanan, keduanya berbincang lagi. Mereka membicarakan sebuah bangunan gereja besar dan megah yang berada tepat di seberang Toko Oen.
"Namanya Gereja Hati Kudus Yesus yang dikenal juga dengan nama Gereja Kayu Tangan. Gereja yang dibangun pada tahun 1905 ini bahkan lebih tua dibandingkan dengan Gereja Katedral Ijen. Arsiteknya mendesain gereja ini dalam gaya neogotik yang sedang digandrung di Eropa pada abad 19." Angga menjelaskan lagi.
"Oh gitu.. Nanti foto disitu yuk, Ngga?" ajak Sherin.
"Boleh.."
Pesanan mereka datang. Es krim yang Sherin pesan adalah Oen’s Special yang disajikan dalam mangkuk kaca bening berkaki satu. Isinya ada tiga scoop es krim berbeda rasa dengan tambahan hiasan wafer batang, wafer rol, dengan whipped cream dan potongan buah ceri di atasnya. Es krim kuno memiliki tekstur yang khas dan sedikit kasar, tidak lembutseperti es krim yang banyak dijual saat ini. Selain itu, rasanya pun tidak terlalu manis sehingga pas di lidah. Sementara es krim pesanan Angga juga tak kalah nikmat. Dua scoop es krim jagung dengan krim jagung yang nikmat, benar-benar menggoyang lidah dan membangkitkan selera. Luar biasa.
Sherin tersenyum senang. "Gue seneng, Ngga."
"Karena es krimnya enak?" tebak Angga.
"Salah satunya itu. Tapi masih ada yang lain."
"Apa?" Angga mengerutkan keningnya.
"Baru destinasi pertama aja, lo udah bikin gue bahagia... Nggak sabar untuk menanti destinasi-destinasi selanjutnya sama lo. Gue yakin, perjalanan ini semakin bahagia dan istimewa," kata Sherin antusias.
Angga memaksakan senyumnya. Bukan, bukan berarti ia tak bahagia; justru kali ini Angga sangat bahagia. Tapi lagi-lagi ia sadar. Untuk apa rasa bahagia ini dijaga bila hanya tuk sementara?
"Setelah ini, kita kemana? Jadi ke alun-alun Batu, kan?" tanya Sherin, tidak sabar.
Angga mengangguk mantap. Menyembunyikan segala rasa gundah yang ia pendam dan sempat timbul sesaat. Karena Angga sadar, sebaik-baiknya ia berbuat, mustahil untuk menggantikan posisi Marcell di hati seorang Sherin.
**bersambung**
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D