Seorang gadis cantik bergaun putih tersenyum memandangi wanita yang tengah berlutut menyamakan tinggi dengannya. Dia terlihat begitu polos. Wajahnya masih saja tersenyum walau wanita yang dipanggilnya ‘ibu’ itu kini memandangnya sedih. Hazel hanya mampu merasakan kehadiran wanita itu dan tak memperdulikan tempat dimana dia berpijak sekarang. Tak perduli dengan derasnya air hujan, gema petir yang memekakkan telinga, dan juga deru kendaraan ditengah gelapnya malam.
“Hazel, ibu punya sesuatu untukmu,” ujar wanita yang mengaku sebagai ibu dari gadis bernama Hazel.
Hazel tersenyum sambil memamerkan gummy smile miliknya. “Benarkah?”
Wanita itu mengangguk. “Pejamkan matamu!”
Disaat Hazel memejamkan matanya, tepat saat itu pula air mata sang ibu jatuh. Mencoba menyembunyikan isak tangis dengan cara menggigit bibir bawahnya. Tak membiarkan sang putri mendengar tangis kencangnya, walau sesekali dia hilang kendali dan mengeluarkan sesenggukan kecil. Dadanya terlalu sesak untuk tidak melampiaskan emosi berupa tangis. Pelupuk matanya terlalu penuh dan tak bisa membendung air mata lebih banyak lagi.
Wanita itu kembali mengusap sepasang pipi gembul Hazel dengan tangan gemetar. “Jangan buka matamu sebelum hitungan ke-20. Bisa lakukan itu untuk ibu?”
Hazel mengangguk mengerti.
Wanita berparas cantik itu memalingkan wajahnya kearah lain, tak kuasa melihat bibir Hazel yang masih tersenyum tanpa ada yang meminta. Kedua tangannya bergerak menggapai tangan Hazel, kemudian menaruh sebungkus cokelat ditangan kanan dan payung hitam ditangan kirinya. “Maafkan ibu,” gumamnya hampir tanpa suara.
Pada awalnya, gadis cantik itu terus saja tersenyum, tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya setelah mendapatkan hadiah untuk yang pertama kalinya dari sang ibu. Namun beberapa saat kemudian, kedua tangan yang kini sibuk menggenggam dua benda itu mulai gemetar. Hazel mendengar suara jejak kaki yang bergerak semakin menjauh, kemudian hilang ditelan malam. Sepasang telinganya tak lagi mendengar suara, isak tangis, atau bahkan deru nafas sang ibu seperti sebelumnya.
“Satu ….”
“Dua ….”
“Ti-tiga ….”
Bibir mungil itu terus bergerak, menghitung angka demi angka sesuai janjinya pada sang ibu.
Saat itu Hazel mulai menyadari keadaannya yang masih terus berdiri mematung, meski tahu bahwa sang ibu baru saja pergi meninggalkannya. Dia tetap memenuhi janjinya untuk tidak membuka mata sebelum hitungan ke-20. Namun, setelah tahu bahwa sang ibu baru saja meninggalkannya, seketika lututnya lemas dan jatuh bertumpu ditanah.
Gadis kecil itu melemparkan payungnya sambil menangis pilu. Melangkahkan kakinya menyeberangi jalan raya dengan tatapan jauh kedepan. Hazel sama sekali tak memperdulikan teriakan orang-orang yang memintanya untuk menjauh dari sana. Seperti tuli, kedua telinganya sama sekali tak mendengar bunyi klakson bersautan tanpa henti.
“Apa yang sedang mereka lakukan?” gumam Hazel. Melihat seorang wanita dewasa memeluk anak perempuan diatas bebatuan diujung tebing.
Mereka berpelukan, tersenyum, dan saling memberikan pancaran cintanya satu sama lain. “Sayang, mari kita bertemu ayah.” Ujar wanita dewasa sambil mendekap erat putrinya.
“Pejamkan matamu, jika apa yang kamu lihat bisa membuatmu takut dan menangis.” Seseorang berkata dibalik punggung Hazel. Suara anak laki-laki dengan logat bule yang sangat kental.
Byurrr ....
Hazel merdengar suara benda berat jatuh ke dasar laut. “Apakah mereka jatuh atau menjatuhkan diri?”
Hazel tak bisa melihat apa yang terjadi sebenarnya. Pandangannya tiba-tiba berubah gelap. Seseorang menutup kedua matanya dengan telapak tangan yang lebih besar. Tapi, itu bukan tangan orang dewasa. Tubuhnya bahkan tidak begitu besar. Telapak tangannya juga tidak terlalu lebar seperti orang dewasa pada umumnya. Bisa dipastikan sosok itu memiliki usia diatas Hazel. Atau bisa dikatakan tubuhnya sedikit lebih tinggi dari anak perempuan yang jatuh bersama ibunya barusan.
“Hiks.” Hazel menangis. Membasahi telapak tangan itu dengan air matanya.
Sosok itu mulai menjauhkan telapak tangannya dari wajah Hazel. Kemudian menyentuh kedua bahu sempit Hazel dan memutar tubuh mungil itu hingga berhadapan dengannya. Kedua mata Hazel hanya mampu melihat dadanya yang telah basah karena air hujan. Laki-laki itu menarik lengan Hazel, membawa tubuh itu kedalam pelukannya. Tangannya pun bergerak, melepas jacket tebal ditubuhnya, dan memindahkannya keatas kepala mereka berdua.
“Siapa namanu?” tanyanya dengan logat bicara yang terdengar berbeda dan sangat khas.
“Hazel,” jawabnya tanpa ragu.
Masih berusaha keras mengangkat dagu untuk melihat wajah dan kedua matanya lebih jelas lagi. Dan Hazel melihatnya. Menangkap pemandangan wajahnya yang penuh memar dan juga darah kental yang telah mengering ditulang pipi hingga juga ujung bibirnya. Hanya tiga detik dia membiarkan mata Hazel untuk melihat wajahnya. Cokelat hazel adalah warna matanya. Sama seperti nama gadis kecil yang kini termangu melihat keindahan didepannya.
Belum puas memandangi visual sempurna didepannya, Hazel harus pasrah saat laki-laki itu kembali menutup matanya. Kali ini bukan dengan telapak tangannya, melainkan ujung jacketnya. “Apakah kamu malaikat? Biarkan aku melihatmu!” pinta Hazel penuh harap.
Hazel memintanya dengan sangat, namun laki-laki itu menggeleng, meminta sang gadis untuk kembali memejamkan mata. Dia juga melepas beanie putih dikepalanya, memakaikan benda itu diatas kepala sampai menutupi kedua mata Hazel. Setelah itu ia membawa Hazel berteduh, menuntun langkah kecil Hazel dengan penuh kesabaran.
Laki-laki itu berdiri tepat didepan gadis yang lebih pendek darinya. Dia juga melindungi tubuh Hazel dari cipratan air hujan yang semakin deras terasa. Karena membelakangi tetesan air dibelakangnya, alhasil belakang tubuhnya basah kuyup. Laki-laki itu membiarkan tubuhnya menggigil kedinginan, demi melindungi anak perempuan yang baru ditemuinya.
“Tetap disini, jangan kemana-mana sebelum aku kembali.” Pinta remaja laki-laki itu sambil mengguncang kedua bahu sempit Hazel.
Laki-laki itu tersenyum puas setelah mendapat respon berupa anggukan cepat dari Hazel. Kemudian dia berbalik dan berlari ketempat dimana orang-orang mengerumbungi tempat yang menjadi saksi bisu seorang ibu membawa pergi nyawa anak perempuannya. Tubuh tingginya berlari menerjang keramian. Kerutan senyum diwajahnya seketika berubah menjadi kerutan pilu. Dia menangis dengan air mata yang semakin membanjiri wajah tampannya.
“Mommy ... Abriana,” lirihnya dengan air mata mulai mengalir deras. Berlutut diujung tebing sambil memeluk kaki pria tua dengan sepasang bibir bergetar menahan tangis.
Wah, bagus nih. Serasa baca novel thiller Amerika. Kalo difilmkan ini keren, baru setengah jalan padahal, gak sabar kelanjutan ceritanya.