Pandanganku beralih pada Ahn Tae Young. Sudut bibirnya sedikit tertarik, membuat wajahnya menawan berkali-kali lipat. Sekonyong-konyongnya dadaku terasa nyeri, akibat sesuatu yang menerjang-nerjang dari dalam hatiku.
Pipiku menghangat, berikut detak jantungku yang bisa kudengar sendiri.
Apa Ahn Tae Young memang memiliki pikiran yang sama denganku? Atau sebenarnya ia tahu bahwa aku sedang memikirkannya, lalu ia turut mencandaiku dengan berpura-pura sepemikiran denganku? Barangkali ia sedang menggodaku, kan.
Tapi, dari tampangnya, ia sama sekali tak sedang menggodaku. Senyumnya amat tulus.
“Apa kalian ini pluviophile?” canda kakeknya sembari menatap kami berdua secara bergantian. Ia terkekeh.
“Saat hujan merupakan waktu terbaik untuk mengenang seseorang.” Ujar Ahn Tae Young.
Sewaktu pemuda itu mengatakan mengenang seseorang, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri dengan perasaan kecewa; siapa seseorang itu?
“Kakek juga pasti tak akan bertemu Nenek bila hari itu hujan tak turun deras, sehingga membuat Kakek harus terjebak di kafe itu.” Lanjut Ahn Tae Young. “Memangnya saat melihat hujan, kenangan itu tak terlintas begitu saja di pikiran Kakek?”
Kakeknya memutar bola mata, berpura-pura sedang berpikir. Kemudian ia tersenyum, “Hanya melihat piringan hitam milik Chick Corea saja aku bisa mengingat nenekmu.”
Ahn Tae Young mendengus sebal. Aku pun tak tahu kenapa ia mendadak merasa sebal hanya karena kakeknya tak pernah mengingat neneknya ketika hujan turun.
“Oh, Tae Young-ah, mumpung Yuna-ssi masih berada di sini, bukankah kau harus menunjukan kebolehanmu memainkan piano. Agar Yuna-ssi tahu kalau kau tak hanya jago mengingat perpolitikan di seluruh dunia ini.” Kata kakeknya tiba-tiba.
“Mengapa Kakek mendadak memintaku memainkan piano?”
Aku telah berhasil meminimalisir degup jantungku, lalu kembali menolehnya. Ia balas menolehku. Aku pun juga penasaran akan keahliannya yang satu itu.
“Ayolah,” rayu kakeknya. “Kau akan menyesal bila tak memamerkannya di depan Yuna-ssi.”
“Ya ampun, Kakek. Aku sedang tak mau menyombongkan diri.”
Namun pemuda itu beranjak dari duduknya, bergerak menuju piano. Ia pun menarik kursi dari dalam piano, lalu duduk di sana. Kakeknya pun ikut bergerak, menghentikan suara dari phonograph.
“Mainkan lagu My One & Only Love, ya.” Pinta kakeknya.
Ahn Tae Young pun menuruti ucapan kakeknya. Alunan nada yang disebabkan oleh jari-jari Ahn Tae Young pada tuts piano pun kini dengan lembut membubung ke udara. Sementara aku menikmati lantunan melodi dari piano sembari menatap punggung Ahn Tae Young, pria tua itu kembali duduk di tempatnya.
“Dia padahal bisa masuk ke jurusan seni tanpa mengikuti tes apa pun. Bakat neneknya turun kepadanya dan ia seringkali menjuarai banyak perlombaan piano semasa kecil di Gumpo.” Celoteh pria tua itu. “Sayang sekali, ia lebih senang mengurusi perpolitikan dunia ketimbang melanjuti bakat bermusiknya.”
Aku tersenyum mendengarnya.
Kini, ada satu hal lagi yang aku tahu tentang dirinya; kepiawaiannya dalam memainkan piano. Lantunan melodi itu terus merayapi udara di sekitar ruangan ini, lalu melambai lembut ke telingaku. Di luar, hujan masih merintik.
“Oh, kuingat Yuna-ssi belum memperkenalkan diri secara lengkap padaku.” Ujar pria tua itu dengan antusias. “Ceritakanlah kisah hidupmu padaku.”
Tanpa ragu-ragu, aku pun menceritakannya.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]