Setelah turun dari bus, aku bergegas menuju toko kopi—tempat janjianku dengan Ahn Tae Young.
Langit sedari tadi menggantungkan awan kelabu, dan benar kata berita ramalan cuaca di televisi tadi bahwa hujan akan turun pagi ini. Aku pun berlari, sembari melindungi kepala—terutama wajah—dengan tas selempangku dari rintikan hujan. Beruntung sekali hujan mendadak deras sewaktu kakiku telah menapaki halaman depan toko tersebut, jadi dandananku pun tak luntur akibat gempuran air hujan.
Sekilas kuintip keadaan dalam toko dari luar jendela, cepat sekali mataku menangkap sosok pemuda itu. Ia duduk di tempat duduk untuk dua orang, yang mana tempat duduk itu berada di samping rak buku yang menempel di dinding. Di sana, pemuda itu sibuk membaca isi buku saku yang terbentang di atas meja.
Aku pun masuk ke dalam. Sejenak menghampiri konter, memesan caffè macchiato dengan penjaga kasir, lalu menghampiri pemuda itu usai mendapatkan pesananku dan membayarnya.
Sadar aku mendekatinya, dan belum kusapa, pemuda itu telah lebih dulu mengangkat pandangan ke arahku. Ia tersenyum. Sebuah lagu yang menguasai udara di dalam kafe, kini berganti dengan lagu Caffé Latte milik Urban Zakapa.
“Apa aku terlambat?” tanyaku. Aku melirik jam tangan, tepat pukul sepuluh. Kupikir pemuda itu akan datang lebih telat dariku.
“Kau datang tepat waktu kok.” Ucapnya, ia masih tersenyum. “Hanya aku saja yang datangnya terlalu awal.”
Aku duduk di seberangnya.
“Sebenarnya aku merasa agak bersalah padamu.” Katanya kemudian.
Aku menaikkan sebelah alis.
“Seharusnya aku tak meminjam payungmu. Bukankah kau terkena hujan tadi?”
Aku menggeleng, kini giliranku yang merasa bersalah. “Tak apa. Lagi pula tadi hanya gerimis kok dan beruntungnya hujan mendadak deras setelah aku sampai di sini.” Lalu, aku pun merentangkan tangan. “Lihat! Aku tak basah, kan?”
Sebelum aku menyadari tingkah konyolku, ia tertawa. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tak gatal seraya mengalihkan pandangan, mencoba mengenyahkan rasa malu.
Usai tawanya reda, ia menutup buku yang ia baca, lalu menyesap caffè latte-nya yang sebelumnya masih utuh. Aku pun ikut-ikutan menyesap caffè macchiato-ku.
“Agaknya, hujan akan lama reda.” Ia membuka suara, pandangannya terlontar keluar jendela toko, memperhatikan tirai-tirai hujan.
Aku menjauhkan gelas kertas dari bibirku. “Ya.”
“Bagaimana kalau kita tunggu saja hujannya sampai berhenti, setelah itu baru pergi ke Itaewon-dong?”
Sesaat aku melirik tirai-tirai hujan yang tampak jelas di luar sana. Hujan masih deras.
“Ya, aku tak masalah.” Sahutku sembari mengangkat bahu.
Ia tersenyum, lalu kembali menyesap caffè latte-nya.
Hening merayapi kami, sesaat aku menundukkan kepala, membenarkan letak jam tanganku di pergelangan tangan kiri yang berada di pangkuanku. Perasaan gugup semakin menggelayutiku. Sebenarnya, perasaan gugup ini telah kurasakan sejak semalam. Aku bahkan perlu berkali-kali mengganti pakaian sebelum menemuinya, takut-takut pakaian yang kukenakan tak sedap dipandang olehnya. Pada akhirnya keputusanku jatuh pada pakaian yang biasa kukenakan; one piece dengan warna yang tak begitu mencolok.
“Ini canggung sekali.” Katanya, di balik cangkir kertas.
Memang ini canggung sekali.
Ia pun menurunkan cangkir kertasnya. “Bagaimana kalau kita membicarakan sesuatu?” usulnya.
“Membicarakan apa?”
Ia mengangkat bahu sembari tersenyum padaku. “Tentang kau.”[]
i love rain too
Comment on chapter [2]