“Yuna-ssi?”
Perhatianku sepenuhnya terpusat padanya. Di balik mesin kasir, pemuda itu mengusap tengkuknya sebelum akhirnya berbicara.
“Aku datang ke sini tak bermaksud membeli CD.”
Sekonyong-konyongnya perutku terasa geli, saking tak sanggup ditahan, aku malah tertawa. Entah ini karena cara bicaranya yang begitu naif, atau karena perasaanku yang lega sekaligus gembira saat tahu ia datang kemari hanya ingin menemuiku… maksudku, datang kemari hanya ingin menanyai piringan hitam.
Selama aku tertawa, ia hanya semringah.
“Teman kerjaku bilang, toko yang menjual piringan hitam ada di sekitar Itaewon-dong,” ujarku, usai tawaku reda. “Oh, kupikir ada baiknya kalau aku mencatatkan alamatnya.”
Aku pun mengambil sebuah buku catatan di samping mesin kasir, membubuhkan alamat dengan pena berwarna hitam di salah satu kertasnya, lalu merobek kertas tersebut.
Kuserahkan kertas tersebut padanya, dan ia menerimanya. Ia terpekur menatap kertas itu, beberapa saat kemudian ia mengangkat pandangan ke arahku. Ia tersenyum—senyumnya sangat menawan.
“Terima kasih, Yuna-ssi.”
Aku mengangguk. “Aku senang dapat membantumu.”
Setelah ia memasukkan kertas itu ke dalam saku jinsnya, aku pikir ia akan segera pergi. Namun, alih-alih bergegas meninggalkan toko, ia masih berada di tempatnya. Menatapku agak lama. Aku pun berusaha menutupi rasa salah tingkahku.
Belum aku bertanya, “Ada perlu apa lagi?”, pemuda itu langsung berucap, “Kau mau menemaniku ke Itaewon-dong?”
Spontan aku mendelik.
Ia kembali mengusap tengkuknya, barangkali ia salah paham atas reaksiku. “Aku sebenarnya agak payah mencari alamat. Tapi aku tak memaksamu kok, kalau kau tak bisa… tak apa-apa.”
Karena tak ingin menyesal di kemudian hari, aku pun mengangguk.
Kini, giliran ia yang mendelik. “Sungguh?”
Sekali lagi aku mengangguk. “Kalau itu hari libur kerjaku, aku pasti bisa menemanimu.”
Ia tersenyum lebar. “Baiklah, kapan kau tidak bekerja?”
“Sabtu.”
“Kebetulan sekali aku tak berkuliah di hari itu, dan kebetulan sekali itu besok.”
Aku terkekeh. “Di mana kita akan bertemu?”
“Bagaimana kalau di toko kopi waktu itu?”
Aku mengangguk sembari tersenyum.
“Oke, tepat pukul sepuluh.” Katanya, ia pun melangkah mundur.
Sebelum ia menarik ganggang pintu, aku menyadari rintikan hujan masih berjatuhan di luar sana. Begitu, aku pun menghentikannya.
“Hei!” seruku.
Ia menoleh ke arahku. Tangannya masih memegang ganggang pintu.
“Kau membawa payung?”
Ia cengar-cengir, lalu menggeleng.
Aku pun menyuruhnya untuk tetap di tempat. Secepatnya aku melangkah menuju ruang karyawan, melewati Kai dan Minju yang sedang berbicara di balik salah satu rak CD. Lalu aku kembali ke depan konter bersama payung berwarna merah digenggamanku.
Di depan pemuda itu, kuserahkan payung itu. Ia menatap benda itu seakan ada sesuatu yang salah.
“Memangnya tak masalah jika aku memakainya?” tanyanya, “Bagaimana bila hujan terus berlanjut hingga kau pulang kerja?”
Aku menggeleng, “Tak apa. Aku bisa numpang berteduh di payung milik teman kerjaku.”
Ia pun menyambut payung itu sembari tersenyum, kemudian berterima kasih. Saat pemuda itu akan melewati sepasang pintu kaca, untuk kedua kalinya aku menghentikannya.
Ia menarik sebelah alisnya saat menatapku.
“Boleh aku tahu namamu? Kau tahu, kau tak pernah menyebutkan namamu.”
Ia tersenyum. “Ahn Tae Young.”[]
i love rain too
Comment on chapter [2]