Wajah pemuda itu seakan dipahat oleh seorang seniman yang mencintai kesederhanaan, namun mampu menjadikan kesederhanaan itu membentuk sebuah kesempurnaan; garis wajahnya yang tak begitu tegas, dagunya yang turun dengan porsi sedang, bibirnya yang tebal namun mungil, hidungnya yang lancip, mata cokelat terangnya nan tajam, dan alis tebalnya yang agak polos. Semua yang hampir terbilang pas-pasan itu, saat dikolaborasikan dan disusun secara tepat malah menjadi seimbang.
Pemuda itu melangkah, menuju ke arahku. Ia mengusap tengkuknya dengan gaya kikuk. Rambutnya yang basah jatuh ke dahi sehingga menutupi satu alisnya.
Senyumnya yang lugu masih tak mau luntur, membuat sesuatu di dalam dadaku berdesir.
“H-hei…” Ia membuka suara.
Sadarlah aku bahwa aku sudah terlalu lama menatap wajahnya, sampai-sampai aku lupa akan peraturan pertama pada toko ini bila mendapati seorang pengunjung: menyapa pengunjung dengan tersenyum lebar.
Aku mencoba menarik sudut bibir, tetapi rasanya agak berat. Belum sempat aku mengucapkan kalimat, “Selamat datang di toko kami, apa yang Anda cari?”, pemuda itu sudah lebih dulu berucap.
“Kalian menjual piringan hitam dengan karya-karya milik Chick Corea?”
Kepalaku yang mendadak kosong, menoleh ke belakang, menyapu sekitar rak-rak berisi banyak CD dengan keadaan linglung. Sekejap kemudian, barulah kuingat bahwa toko ini tak menjual piringan hitam.
“Maaf, kami tak menjual piringan hitam.” Jawabku. Meski mata cokelat terangnya tampak indah, semakin dalam kutatap malah membuat pernapasanku terputus-putus.
Pemuda itu menghela napas seraya berkacak pinggang, wajahnya diliputi kekecewaan.
Seakan tak ingin melihat wajah sempurnanya perlahan luntur hanya karena kekecewaan, aku pun kembali membuka suara.
“Tapi kami menjual CD dengan karya-karya milik Chick Corea.”
Ia menatapku dengan rasa ingin tahu, kekecewaannya telah pergi. Aku pun menuntunnya ke lorong rak yang berisi CD musik jazz. Kami berhenti tepat di depan CD dengan sampul berwajah Chick Corea. Pemuda itu seketika semringah seraya mengulur tangan ke salah satu CD tersebut, ditatapnya CD itu dengan mata berbinar. Sementara aku kembali terbelenggu menatap wajah menyampingnya.
“Oke, aku akan beli ini.”
Mendadak kesadaranku kembali. Ia mengangkat CD milik Chick Corea ke depan wajahku. Sesaat kemudian kami sudah sampai di meja kasir. Aku menghitung belanjaannya, sementara ia mengeluarkan dompet dari dalam tas punggungnya.
Saat aku akan memberikan kantong belanjaannya kepadanya, tatapannya tak beralih dariku. Sadar kalau ia telah ketahuan sedang memperhatikanku, ia cengar-cengir bersama pipinya yang bersemu, lalu menerima kantong belanjaan dariku.
Usai ia membayar dan aku mengembalikan uang sisanya, ia melangkah keluar toko.
Melalui jendela toko, hujan masih setia menggempur bumi. Tampak dari luar sana pemuda itu baru saja membelah kerumunan orang-orang yang takut akan titik-titik hujan. Bersama bantuan tas punggungnya yang melindungi atas kepalanya, ia berlari di bawah tumpahan air hujan.
Wajahnya kian basah karena digempur hujan.
Tanpa sadar aku terbahak. Aku tahu, melihat seorang pemuda berlarian di bawah titik-titik hujan bukanlah hal yang konyol, terlebih patut ditertawakan. Tapi aku merasa senang melihatnya.
Saat itu aku berharap, aku dapat bertemu dengannya lagi.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]