Kabar darinya masih tak kudapat. Bahkan setelah jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, aku tak tahu ke mana ia pergi. Aku tak tahu seperti apa rupanya sekarang. Aku hampir lupa dengan warna suaranya. Semua kenangan tentang dirinya perlahan memudar diingatanku. Dan kupikir dia yang pernah mengisi kekosongan pada diriku hanyalah ilusi semata.
Pemuda yang pernah bersenda-gurau di jalanan Myeong-dong bersamaku sekaligus di bawah tirai hujan hanyalah imajinasiku saja.
Meski aku tak pernah memiliki niat untuk melupakannya, semua itu mendadak buram bila kuingat. Entah barangkali ini karena pengaruh patah hati. Tapi, aku tak bisa memaksakan diri. Semuanya, tentang dirinya, benar-benar tak nyata. Pada akhirnya tanpa kusadari aku telah melupakannya.
Sekarang pukul lima sore, tanggal lima, di awal bulan Juli. Seakan tak sanggup menahan sedih, langit sekejap menumpahkan tetesan air laut. Tak ayal orang-orang yang sedang berjalan santai di sekitar Myeong-dong segera berlarian mencari tempat perlindungan dari gempuran air hujan.
Aku menghela napas, memandang tirai hujan dan orang-orang yang kini berdiri di balik jendela toko. Hal yang terlalu biasa kupandang sehingga membuatku muak. Terlebih bila satu atau dua dari orang-orang itu kini masuk ke dalam toko hanya untuk menunggu hujan reda dengan berseliweran di sekitar rak-rak CD. Oh, dan kuberitahu sekali lagi, mereka hanya melihat-melihat, tidak membeli.
“Eonni,” panggil Minju.
Aku yang sedang merapikan CD-CD milik Chick Corea di rak khusus musik jazz langsung menoleh. Minju berada di seberangku, bibirnya memberengut, dan dagunya sengaja ia letakkan di atas ganggang pengepel. Aku hanya bisa terkekeh, aku tahu ia sedang kesal karena harus membersihkan jejak sepatu di lantai berkali-kali. Kalau ini bukan karena pemilik toko akan segera datang, Minju pasti tak akan melakukan pekerjaan yang mengulang-ngulang ini.
“Apa aku harus mengepel dari awal lagi?” tanyanya kepadaku, yang terdengar seperti mengeluh.
Aku mengangkat bahu. “Ya, sebelum kau diomeli Pak Lee Jae Wan.”
Setelah aku berkata demikian, aku pikir gadis berwajah bulat itu akan memutarkan bola matanya sebelum ia pergi ke tempat pertama kali ia mengepel lantai hari ini. Namun, gadis itu malah mendekatiku, matanya memicing.
“Boleh tidak sih aku mengusir orang-orang ini?” ucapanya pelan. Matanya terarah ke seorang pria kantoran yang barangkali berusia empat puluhan, sedang melihat-lihat sampul CD di lorong Minju berdiri. Pria itulah penyebab Minju kesal.
“Boleh saja kalau kau ingin dipecat Pak Lee Jae Wan.” Jawabku, sembari tersenyum.
Rupanya jawabanku membuat Minju semakin kesal. Tanpa berkata-kata lagi ia kembali mengepel lantai di tempat semula. Aku hanya bisa tertawa kecil menyaksikan tingkahnya.
Aku baru saja selesai merapikan CD-CD di rak dan telah keluar dari lorong rak khusus musik jazz, suara pintu dibanting seseorang membuat langkahku terhenti. Pandanganku secepatnya terarah ke sepasang pintu kaca yang kini salah satu pintu itu terbuka lebar. Sehingga menampilkan sosok jangkung dengan tubuh yang agak basah.
Pemuda itu tampak terengah-engah, barangkali sehabis berlari. Sembari menutup kembali pintu, rambut kecokelatannya yang basah ia sugar. Tak lupa ia menyeka wajahnya yang basah akibat tempias hujan.
Sewaktu mata tajamnya menyapu sekitar dan berhenti tepat ke mataku, sekejap saja waktu seakan mundur ke belakang. Kenangan-kenangan yang kukatakan pernah memburam kini berputar jelas di kepalaku. Pemuda itu, yang membuatku terlalu lama menunggunya. Membuatku patah hati. Dan membuatku mengingatnya kembali.
Tatkala pemuda itu tersenyum ke arahku, perlahan sesuatu yang dongkol di dalam hatiku luntur. Ia mendekatiku dengan lugu, senyumnya pun begitu.
Ia terlebih dahulu mengusap tengkuknya sebelum berkata, “H-hei…”
Aku tak peduli lagi tentang peraturan pertama pada toko ini bila mendapati seorang pengunjung: menyapa pengunjung dengan tersenyum lebar. Aku tetap menunggu perkataan selanjutnya dengan jantung yang berdentum-dentum.
“Kalian menjual piringan hitam dengan karya-karya milik Chick Corea?”
Jantungku mencelus. Aku pun tak tahu mengapa aku hanya diam saja. Seharusnya aku marah padanya karena ia mendadak muncul di depanku. Namun, pada akhirnya aku berkata, “Maaf, kami tak menjual piringan hitam.” Rasanya ada sesuatu yang pahit telah lolos di kerongkonganku. Namun, aku secepatnya berkata, “Tapi kami menjual CD dengan karya-karya milik Chick Corea,” agar wajah sempurnya tak diselimuti oleh kekecewaan. Aku tahu itu.
Kini ia menampilkan wajah penasarannya. Entah apa maksudnya… maksudku, mengapa ia tak menyadari bahwa karyawati yang sedang diajaknya bicara ini adalah aku. Apakah ia tak menyadari sesuatu yang terlupakan? Dan mengapa pula ia masih menanyakan piringan hitam di toko ini sementara ia tahu bahwa toko ini tak pernah menjual piringan hitam?
Tapi, kusimpan rapat-rapat pertanyaan itu di dalam relung hatiku. Aku menuntunnya ke lorong rak khusus musik jazz dan berhenti tepat di depan CD-CD milik Chick Corea. Ujung-ujung jemariku terasa sejuk. Sementara pemuda di sampingku ini semringah sembari mengulurkan tangan ke salah satu CD tersebut. Ia memperhatikan sampul CD tersebut, dan aku sendiri berdiam diri dengan perasaan yang terus bergelut di dalam diri.
Apa waktu baru saja berputar kembali? Kembali ke pertemuan pertama kami? Semua kejadian ini, hujan, dan pakaian yang dikenakan pemuda itu, sama persis dengan hari itu. Tapi, aku yakin kejadian itu sudah setahun berlalu. Dan aku yakin hari ini adalah satu tahun setelah kejadian itu. Aku telah melihat tanggal di kalender yang tertempel di dinding kasir.
Lalu, mengapa ia seakan-akan tak mengenalku?
“Oke, aku akan beli ini.”
Kesadaranku segera tertarik. Ia mengangkat CD milik Chick Corea ke depan wajahku. Sembari menuju kasir bersamanya, jantungku berdetak tak karuan, begitu pula saat tanganku mendadak gemetar mengambil CD tersebut dari tangannya sewaktu akan menghitung belanjaanya.
Sama seperti hari itu, tatapannya tak beralih dariku sewaktu aku memberikan kantong belanjaannya. Dan ia langsung cengar-cengir dengan pipi bersemu karena telah ketahuan memperhatikanku.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan pemuda itu selama setahun ini?
Usai ia membayar dan aku mengembalikan uang sisanya, ia melangkah keluar toko.
Melalui jendela toko, hujan masih setia menggempur bumi. Tampak dari luar sana pemuda itu baru saja membelah kerumunan orang-orang yang takut akan titik-titik hujan. Bersama bantuan tas punggungnya yang melindungi atas kepalanya, ia berlari di bawah tumpahan air hujan.
Sesuatu bisa saja terjadi padanya selama ia tak menemuiku.
Aku tak bisa menertawainya seperti hari di mana aku menertawainya ketika wajahnya kian basah karena gempuran hujan. Perasaanku amat gelisah sekaligus sedih bila kubiarkan ia pergi begitu saja.
Yang kupikirkan sekarang, aku takut tak bisa menemuinya lagi. Biar bagaimanapun aku harus mencari alasan agar bisa menemuinya. Jadi, aku secepatnya menuju ruang karyawan, mengambil payung lipat berwarna merahku di loker dan berlari keluar toko, membelahi kerumunan orang-orang. Aku mendengar Minju berteriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan.
Aku tak menemukannya. Namun aku tetap berlari di trotoar bersama guyuran hujan. Aku pernah membenci hujan, tetapi aku menyukai hujan karena pemuda itu.
Pandanganku menangkap punggung seorang laki-laki yang berbalut kemeja kotak-kotak berwarna merah-hitam. Lari pemuda itu tampak terhambat, entah karena tak sanggup di terpa rintikan hujan deras. Tas punggungnya masih setia di atas kepalanya. Begitu menemukannya, aku berhenti berlari.
“Ahn Tae Young!” pekikku.
Ia berhenti melangkah, segera mungkin menoleh ke belakang. Ia menatapku bingung dengan sebelah alis yang terangkat. Aku tak peduli akan reaksinya dan perlahan mendekatinya. Hujan masih setia mengguyur kami.
Sesampainya di depan ia, kusodorkan payung lipat berwarna merah itu kepadanya.
“Kau boleh meminjam payung ini.” Ujarku.
“Mengapa?” tanyanya, masih tampak bingung. Ia belum menyambut payung dari tanganku.
Ada perasaan sesak yang merasuki dadaku, namun aku tetap berucap, “Agar aku punya alasan bertemu denganmu di lain waktu.”[]
i love rain too
Comment on chapter [2]