“Maaf, apa yang ingin Anda pesan?”
Pandanganku pun seketika lurus ke depan. Seorang pelayan wanita dari balik mesin kasir sedang menantiku menyebutkan pesanan. Nyatanya, bukanlah kopi maupun kue yang kuinginkan sekarang ini. Aku pun datang kemari bukan karena ingin mengisi perut seperti biasanya. Aku hanya ingin memenuhi janjiku dengan Ahn Tae Young.
“Capuccino.” Sahutku. Pelayan itu pun mulai mengetik sesuatu di mesin kasir.
“Ada yang lain lagi?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak. Sebelum akhirnya berkata, “Caffe latte.”
Sembari tersenyum, pelayan itu kembali mengetik sesuatu di mesin kasir. Usai aku membayar dan ia mengembalikan sisa uang, segera ia mendekati mesin kopi, membuatkan pesananku. Saat pesananku telah jadi dan aku akan membawanya, pelayan wanita tersebut menghentikanku.
“Kau sangat basah.” Katanya. “Kami punya handuk… Oh, tenang saja, handuknya masih baru. Kau mau?”
Belum sempat aku menolak, pelayan wanita itu segera meninggalkanku dan menghilang usai melewati pintu di wilayah konter. Tak lama, ia kembali bersama sebungkus handuk berwarna putih di tangannya. Di sodorkannya benda itu padaku. Pada akhirnya aku pun menerima benda tersebut. Sebelum aku memilih tempat duduk, aku berterima kasih padanya. Sekilas aku melihat papan nama yang melekat di kemeja cokelatnya, namanya: Sowon.
Aku duduk di tempat duduk yang sama dengan tempat duduk pilihan Ahn Tae Young tadi malam. Kupindahkan kedua cangkir yang berisi cairan berkafein itu dari nampan ke atas meja. Secangkir cappuccino kuletakkan di depanku, sementara secangkir caffe latte kuletakkan di seberangku duduk. Aku menatap kursi kosong di seberangku sembari mengeringkan rambut dengan handuk yang diberi oleh pelayan wanita yang bernama Sowon tadi.
Ahn Tae Young tak pernah mengingkari janjinya. Pasti sedang ada masalah sekarang sehingga ia belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ia pasti akan datang. Percayalah.
Kuletakkan telapak tanganku di sisi cangkir cappuccino-ku yang mengepulkan uap ke atas agar kehangatan dari minuman tersebut dapat meminimalisir rasa sejuk pada telapak tanganku. Kedua telapak tanganku yang sebelumnya tampak memucat akibat air hujan, kini telah memiliki warna pada kulitnya.
Perlahan, gempuran hujan pada bumi kian menyusut. Para pengunjung di toko kopi ini pun telah berkali-kali berganti. Cappucino-ku, maupun caffe latte yang terbelenggu di seberangku itu sudah ditakluki oleh udara sekitar yang menyebabkan mereka tak lagi hangat. Pakaianku, serta rambutku pun sudah agak mengering.
Sekarang sudah pukul dua siang. Puluhan pesan singkat yang kukirim, tak dibalasnya. Puluhan telepon dariku, tak tersambungkan. Pemuda itu sama sekali tak datang. Pada akhirnya aku menyerah sewaktu jarum pendek di dalam benda melingkar yang menempel di dinding toko itu menunjuk ke angka tiga.
Aku mengangkat pinggang dari kursi. Meninggalkan cappuccino dan caffe latte yang tak berubah volumenya. Kukembalikan handuk tersebut kepada Sowon saat ia sedang mencatat pesanan sepasang pengunjung di konter. Lalu, keluar dari toko itu dengan perasaan yang mungkin tak perlu lagi kujelaskan.
Sepulang dari toko kopi itu, aku menyadari bahwa aku dan Ahn Tae Young telah terputus koneksi.
***
Sekecewa apa pun aku terhadap Ahn Tae Young, bukan berarti aku tak memikirkannya. Sepanjang malam, aku terus mencoba menghubunginya melalui telepon, begitu pula dengan mengiriminya pesan singkat. Sayangnya, nomor pemuda itu tak bisa dihubungi. Selama perasaan putus asa bersarang di dalam diriku, aku tetap memaksakan diri membangun asa di sana. Kucoba menerka-nerka ke mana perginya Ahn Tae Young sehingga kencan hari itu batal tanpa pemberitahuan. Namun, aku tak bisa menerka hal semacam itu. Bagiku, ini semua terlalu mendadak dan tak di sangka. Rasa gundah pun kian merasukiku.
“Eonni…” Panggil Minju. Aku pun berpaling dari jjajangmyeon yang sedari tadi kutatap. “Kau dengar, tidak?”
“Apa?” tanyaku. Sesungguhnya aku malas meladeni Minju hari ini.
“Kemarin pagi, ada kecelakaan di sekitar sini.” Ucap Minju padaku, dan aku sudah duluan malas mendengarkan ceritanya. Aku kembali menyumpit jjajangmyeon sembari memikirkan ke mana perginya Ahn Tae Young kemarin. Minju masih bercerita tentang kecelakan kemarin pagi.
Bukankah Ahn Tae Young terlalu aneh? Dia bilang bahwa ia hampir sampai di toko kopi dan akan kembali ke stasiun kereta bawah tanah hanya untuk menungguku. Apa ia sedang menjahiliku? Atau sebenarnya Ahn Tae Young ternyata pemuda brengsek yang senang membolak-balikkan perasaan gadis-gadis yang ingin ia permainkan? Biar bagaimanapun, aku baru satu bulan mengenalnya. Dia memang tampak baik… Ya Tuhan! Aku juga tak tega bila menerka-nerka hal semacam itu, tapi bagaimana dengan nomor teleponnya yang mendadak tak bisa dihubungi?
Bila terkaanku yang satu ini benar, aku mungkin bisa merasa kesal berkali-kali lipat. Ia bahkan sudah membuatku jatuh hati padanya. Terlebih saat malam itu, ketika ia mengajakku berkencan dan memberikan bbopgi… Oh, tak lupa juga ia penah memintaku untuk mendengarkan lagu Summer Night You and I agar aku mengingat kejadian malam itu, ketika kami sedang menatap tirai hujan dari dalam toko kopi.
“Agar kau ingat malam di musim panas ini memang istimewa. Hanya ada kau dan aku. Meskipun di lagu itu menyinggung tentang bintang yang menghiasi malam ini, kau bisa menggantinya dengan rintikan hujan yang menghiasi malam ini. Tapi, tentang matamu yang penuh bintang, itu benar.” Begitu, katanya.
Kupikir-pikir lagi, apakah aku harus membiarkan hubungan kami seperti ini saja; tanpa kejelasan. Tapi, entah mengapa ada secercah harapan yang membuatku yakin bahwa Ahn Tae Young tak sengaja melakukan hal ini. Bagaimana jika kutunggu saja ia, barangkali sepulang kerja hari ini ia menungguku di halte seperti biasanya. Ia pemuda yang baik, ia pasti mempertanggung jawabkan itu semua. Aku yakin akan hal itu.
Namun, sudah bermalam-malam aku menunggunya di halte tersebut, Ahn Tae Young sama sekali tak menunjukkan dirinya. Aku pun hampir setiap hari mendatangi toko kopi yang biasa kami kunjungi setiap jam istirahat kerja, dan aku memang tak melihatnya ada di antara para pengunjung.
Sore itu, aku duduk di dekat jendela goshiwon-ku. Aku mengembuskan napas pendek, sementara mata masih terpaku pada layar ponsel. Pesan singkat terakhir milik Ahn Tae Young masih terpampang di sana.
Si Tampan Dari Gunpo: Ya ampun, seharusnya aku mengembalikan payungmu tadi malam! Aku akan kembali ke stasiun untuk menunggumu.
Pesan itu sudah seminggu berlalu. Melihat namanya yang lucu di kontak ponselku, membuatku semakin merindukannya. Perasaan sesak kian menjalar di dalam dadaku bila kuingat kejadian hari itu, ditambah kerinduanku akan melihat senyumnya yang ringan. Ya ampun, aku tak pernah merindu berlebihan kepada seseorang. Mengapa sampai sekarang Ahn Tae Young tak menghubungiku?
Memikirkan kenyataan itu membuatku semakin gundah.
Selama kegundahan menguasai diriku, sekonyong-konyongnya sebuah ide terlintas di benakku. Bagaimana bila aku mendatangi rumah Ahn Tae Young saja? Setidaknya, aku hanya melewati depan rumahnya dan sedikit mengintip dari luar halamannya. Barangkali aku beruntung menemui pemuda itu di depan pintu rumahnya.
Jadi, dengan berpakaian dan dandanan sesederhana mungkin, aku bergegas meninggalkan goshiwon-ku menuju Sillim-dong. Kawasan tempat tinggal Ahn Tae Young tampak amat sepi, meskipun ada satu-dua orang yang melewati gang dengan langkah panjang-panjang. Sewaktu melewati rumah Ahn Tae Young, aku berhenti tak jauh dari sana. Kuamati rumah tersebut dari balik tiang listrik. Rumah sederhana tak bertingkat itu tampak tak hidup. Aku merasakan hal itu, seakan tahu bahwa rumah itu tak berpenghuni. Hal itu membuatku semakin penasaran akan isi rumah tersebut.
Namun, tak lama aku mengamati rumah tersebut. Aku langsung pergi begitu saja saat tahu ada seorang pria yang keluar dari sebuah gedung apartemen di depan rumah Ahn Tae Young memandangku dengan rasa curiga. Jadi, aku kembali ke goshiwon-ku.
Aku kembali melakukan kegiatan rutinku tatkala sampai di goshiwon, termasuk mengirimi pesan singkat dan menelepon Ahn Tae Young. Percuma saja. Berhari-hari telah berlalu, berhari-hari pula kucoba menghubungi ia, tak pernah ada balasan. Berbulan-bulan pula aku melewati depan rumah Ahn Tae Young, berbulan-bulan pula rumah itu tak pernah membuka pintu depannya. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa perbuatanku selama ini agak kurang ajar. Aku malah terlihat seperti seorang penguntit, dan aku menyesali semua ini.
Seorang pria yang pernah ketemui beberapa bulan yang lalu, kini kembali keluar dari gedung apartemennya. Ia menolehku sesaat, tatapannya sama seperti waktu itu, agak curiga. Sebelum pria itu beralih, secepatnya aku mendekatinya.
“Hei,” panggilku.
Pria berbadan jangkung itu berhenti melangkah. Aku pun mendekatinya saat sebelah alisnya yang tebal terangkat.
“Maaf mengganggu, bolehkah aku bertanya?” ujarku, sudah berdiri di hadapannya.
Pria itu tampak ragu, sebelum akhirnya ia mengangguk sembari menarik sedikit sudut bibirnya.
“Pernahkah kau melihat orang di rumah itu akhir-akhir ini? Atau sebenarnya mereka memang tidak tinggal di rumah itu lagi?” tanyaku seraya menunjuk rumah Ahn Tae Young.
Mendadak jantungku berdegup kencang, ujung-ujung jemariku pun terasa sejuk. Aku sedikit merasa menyesal karena telah menanyakan hal itu. Barangkali pria itu benar-benar mencurigaiku, lalu ia langsung berlari ke kantor polisi sebelum menjawab pertanyaanku hanya untuk melaporkan kelakuanku ini. Pria itu pun tampak memperhatikan rumah Ahn Tae Young dengan kening berkedut.
“Aku tidak tahu juga.” Katanya. “Tapi, selama yang kuingat mereka sudah lama tak terlihat… Mungkin sudah tiga bulanan ini. Oh, ya, kurasa mereka juga tidak begitu akrab dengan orang-orang di komplek ini. Jadi, jika kau bertanya lebih jauh tentang mereka, aku sungguh tak tahu. Begitu pula dengan tetangga-tetangga di komplek ini.”
Aku hanya terdiam sembari menatap rumah berpintu kayu yang dicat putih itu.
“Hei, Nona.” Pria itu memanggilku. Jadi, aku mengalihkan pandangan dari rumah itu kepadanya. Ia menatapku dari balik hodie-nya.
“Berhentilah berdiri di belakang tiang listrik hanya untuk menatap rumah itu.” Ujarnya.
Jantungku semakin berdegup kencang dibuatnya. Perasaan takut mendadak merasuki tubuhku. Ya ampun, apa dia benar-benar ingin melaporkanku ke kantor polisi? Aku sendiri bahkan sudah terlanjur takut untuk menanyakan alasan ia atas ujarannya itu.
Ia mengangkat bahu. “Aku hanya kasihan denganmu kok. Kau seperti sedang menunggu sesuatu yang tak pasti.” Katanya. Lalu ia berbalik badan dan berjalan meninggalkanku.
Aku sendiri masih menatap punggungnya yang berbaluti sweater hitam. Punggung itu semakin mengecil dipenglihatanku. Setelah mendengar perkataannya tadi, aku pun menyadari arti dari semua yang kulakukan ini.
Aku sedang menunggu sesuatu yang tak pasti.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]