????????????????????????????????????????????????????????????
Tudingan, cacian, baik secara langsung ataupun itu pembicaraan di balik layar, sampai saat ini masih terus gencar diserangkan ke Cia. Tidak banyak dari mereka yang bahkan mulai menjaga jarak dengan Cia. Yang melakukan itu ya memang para gengnya ibu-ibu rempong, dengan leluhur Mbak Wena dan Mbak Sita. Alih-alih kebencian mereka terhadap hubungan Cia dan Gifi yang entah berstatus apa saat ini adalah sebenarnya soal ketidakrelaan mereka terkait pengganti posisi Naya yang dinilai kurang cocok. Mereka tidak membenci Cia dalam artian sebenarnya, mereka hanya menyayangkan mengapa Cia harus membuat Gifi ketergantungan oleh suatu rasa nyaman yang tidak pasti. Sebenarnya mereka yaa bisa jadi mendukung hubungan Cia dan Gifi kalau saja Cia lebih tegas soal kejelasan ikatannya dengan Abang yang selalu digadang-gadang itu.
Sementara Ayesha, kini, lebih berusaha menata hatinya kembali. Tidak banyak yang bisa ia lakukan. Upaya untuk mendekat, yang mungkin beberapa kali disarankan oleh Cia, atau hanya inisiatifnya semata, tidak menunjukkan adanya timbal balik yang berarti.
Menjalani rutinitas kantor seperti biasa, mungkin itulah yang Ayesha lakukan saat ini.
Kegaduhan kantor DCA siang itu cukup membuat dahi Ayesha berkerut.
Ada apa?
Suara orang saling berteriak kencang terdengar sampai kubikelnya. Teman-teman kubikel samping pun mendengar hal yang sama. Mereka saling beradu pandang penuh tanya. Yang satu mengedikkan bahu, satu lainnya sudah menunjuk ke arah luar. Praktis, mereka semua bangkit dan mendekat ke sumber suara.
"Bentar deh Mbak gue mau tanya. Salah gue sebenarnya tuh apa sih sampai lo fitnah gue segininya? Gue ganggu hidup lo? Gue ngerugiin lo? Hah?????" Ternyata, suara itu milik Cia yang kini sedang menyembur ke Mbak Wena.
Sementara Mbak Wena hanya diam saja sambil bermain ponsel.
"Gue mau nyungsep, mau ngesot, atau mau ngejogrok di wc apa perlu lo tahu? Dan apa perlu lo sebarin ke semua orang? Eh Cia lo baru aja boker, gila yaa bokernya keluar emas, bla bla bla. Harus gitu, Mbak?"
"Lo kurang asupan nenen sampai harus nyinyir begini begitu? Gue dosa apa sih sama lo? Gue jalan sama Gifi kenapa lo yang kebakaran jenggot? Bukan suami orang juga kan? Gue bukan pelakor!"
"Oh! Atau jangan-jangan lo demen sama Gifi? Sampai lo segini bencinya lihat gue sama Gifi. Iya?"
"Heh! Lo punya mulut jaga ya! Dasar per*k!"
"Eh apa kabar mulut lo nyai?! Sama-sama busuk gausah teriak. Tolong, gue kagak bakal ngebacot kalau lo nggak mulai duluan."
"Gila, gue videoin ah, kali aja viral. Ini Jedun mah kalah."
"AW sakit bego! Lepasin, nggak?"
Mereka jambak-jambakan.
"Cia! Mbak Wena, Stop!"
"Ci, udah Ci. Pak Dami sore ini ngantor."
Cia begitu berang untuk tidak meladeni Mbak Wena saat ini. Amarahnya sudah naik sampai ubun-ubun. Sudah lewat kesabarannya dicibir begini begitu oleh mereka hanya karena pertemenannya dengan Gifi yang dianggap sudah kelewatan.
Menurut Cia, bukannya yang kelewatan mereka? Nyinyir sepuasnya nggak pakai mikir. Ya, nggak mikir kalau yang dinyinyirin bisa sakit hati segininya.
Drama jambak-jambakan di antara mereka akhirnya bisa dilerai oleh Gifi setelah sebelumnya Cia diseret paksa Gifi untuk keluar dari ring tinju.
"Apa-apaan sih, Ci? Kenapa harus pakai begitu?" Gifi menengahi keduanya.
"Gue nggak bisa diam mulu, Gif. Gue juga manusia yang empet denger semua itu." Cia masih brutal, ia masih tidak terima dengan segala tuduhan yang simpang siur terdengar di telinganya.
"Kan udah gue bilang kalau mereka semua di sini gitu. Gue kira lo udah cukup paham soal ini." Gifi meenggandeng tangan Cia membawanya keluar dari arena.
Cia menepis pegangan Gifi. "Nggak bisa, sssh..."
"Kenapa?" Gifi berhenti, menengok ke arah Cia yang masih di belakangnya.
"Sshh, gila! Cengkeraman tangannya si Wena kayak hulk tau, nggak? Badan boleh kecil sih, tapi jangan sampai aja tulang gue retak gara-gara dia. Ssh..."
"Beneran sakit?"
"Ya elah, Gif. Lo kira gue cuma akting?" Merasa dirinya tidak dipercaya oleh Gifi, Cia kembali beringas.
"Sini coba lihat mana yang sakit?" Sedikit panik, Gifi mengecek pergelangan tangan Cia yang diduga pusat rasa sakit tersebut.
Di sudut yang lain, tidak ada yang tahu bahwa Ayesha diam-diam memerhatikan obrolan mereka dari jauh.
Ayesha bukan kepo seperti temannya yang lain. Ia tadi ingin mendekati Cia untuk menenangkan, rencananya. Namun, harus urung karena menurutnya bukan ia yang dibutuhkan oleh Cia saat ini. Ada yang lebih bisa menenangkan Cia, Ayesha pikir setidaknya Gifi lebih kompatibel ketimbang dirinya.
Lagipula, ia juga bingung, ketika berdua dengan Cia, entah kata pembuka yang bagaimana yang akan ia ucapkan untuk memulai obrolan. Hubungannya dengan Cia mau tidak mau juga terkena imbas akibat terpaan badai gosip yang begitu highlight beberapa waktu ini. Ayesha tidak memungkiri bahwa hatinya juga sakit. Namun, ia selalu mengembalikan kepada pertanyaan, 'untuk apa?'
Ayesha hanya tersenyum sarkas ketika mereka geng ember bocor ikut menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.
"Lo kan sahabatnya, Ye? Lo nggak bisa apa bilangin tuh cewek biar nggak kegatelan? Serius gue risih tau, nggak!"
Kalau sudah seperti itu, yang Ayesha lakukan hanya diam, tersenyum, "itu bukan kapasitas gue, Mbak." Kemudian pergi dan tak ingin mendengarkan ocehan mereka lagi.
Sudah tidak terkira kata yang Ayesha lantunkan ketika bersama Cia. Namun, tanggapan Cia juga seperti itu kan? Ia ngotot membantah semua tuduhan itu. Dan, yang membuat Ayesha jengkel adalah, ketika Cia bersikeras mempertahankan kelakuannya yang Cia kira masih wajar-wajar saja.
"Lo nggak usah ikut-ikutan mereka buat nasihatin gue, Ye! Cukup lo percaya gue, apa nggak bisa? Lo tau gue nggak gitu, kan? Dan, kalau lo emang mau bantu gue secara nyata, ya udah, lo tunjukin kalau lo yang suka sama Gifi. Bukan seolah-olah gue yang ngebet banget!"
Ayesha mundur teratur. Perlahan, perkataan Cia begitu nyelekit di hati Ayesha. Apa maksud Cia?
Ayesha sudah sadar sejak dulu. Inti permasalahan ini sebenarnya bukan tentang rasanya ke Gifi. Bukan. Sama sekali bukan.
Ini hanya soal keselahpahaman yang membuat hatinya pengap karena ternyata saat ini Cia lebih bisa mendekati Gifi daripadanya.
Salah siapa?
Salah Ayesha sendiri yang tidak gerak cepat meneruskan sinyal yang Cia lempar kemarin-kemarin itu.
Ketika Cia sudah berusaha membukaan jalan, sementara Ayesha tidak menyambutnya dengan tangan terbuka, maka percumalah semua itu. Cia tidak akan tega membiarkan Gifi kemudian terus berjalan tanpa pendamping. Jadilah ia yang mendampingi Gifi. Lalu, sepanjang perjalanan itu, terciptalah rasa karena pemahaman yang sama.
Cia bisa memahami Gifi. Begitu pula Gifi, ia bisa mengademkan hati Cia yang sedang sepi karena kekasih jauhnya itu. Sebenarnya pematik kedekatan Cia dan Gifi adalah kejadian malam yang hujan di apartemen Gifi kala itu. Di mana semua cerita mengalir tentang Cia dan hubungan jarak jauhnya. Ada celah yang membuat Gifi ingin masuk. Tepat sekali bukan? Gifi juga butuh seseorang yang bisa menggantikan tempat kosong di hatinya pasca kepergian Naya. Lalu, sah-sah saja jika percikan rasa itu bisa tumbuh dengan mudah.
Sementara Ayesha hanya berada di lini luar, dengan hatinya yang derap pengap menyaksikan keduanya berjalan di altar.
Bukan altar pelaminan, hah! Ayesha belum sanggup untuk menyaksikan itu.
Sekalipun begitu, tawa, canda, dengan anggun terseling di keduanya. Tampak begitu serasi, lagi-lagi. Dan, Ayesha iri akan hal itu.
Ia tidak bisa menjadi sosok Cia yang begitu dibutuhkan Gifi.
Kasihan sekali.
????????????????
Satu pesan WhatsApp masuk ke ponsel Ayesha ketika ia menikmati Sabtu paginya dengan bergelung selimut di kamar.
Sempat mengernyitkan dahi sejenak.
Pasalnya Ayesha tidak menduga bahwa si pengirim pesan tersebut entah ada angin apa atau untuk urusan apa, mengirimkan sebuah ajakan.
Hanggifi Prama
Ye, ntar malem kosong?
Ayesha masih diam mencerna. Pertanyaan seperti ini, bukan ia tidak tahu ke mana selanjutnya topik bermuara.
Kosong. Kenapa, Gif?
Harap-harap cemas ia menunggu Gifi mengetik balasan.
Hanggifi Prama
Nonton, mau?
Sudah Ayesha duga. Dugaan yang membuatnya justru perlu berpikir ekstra.
Sama Cia? Ya nggak pa-pa sih. Tapi Cia belum ngabarin gue. Ke mana dia?
Tentu saja, ia tidak ingin terlalu percaya diri mengangungkan bahwa tadi ajakan kencan hanya berdua. Ayesha bahkan sudah hapal bahwa tidak mungkin tidak ada Gifi kalau tidak ada Cia. Begitu sebaliknya. Mereka sudah ikonik, tercipta untuk sepasang seperti sandal swallo. Kalau hilang satu, satunya tidak berarti lagi. Sepasang yang tak menyatu.
Hanggifi Prama
Gue tunggu di kokas. Kita ketemu di sana.
Ayesha sebenarnya malas. Ia sedang tidak ingin berkonfrontasi dengan dua makhluk itu. Kalau mereka bertemu kemudian Ayesha banyak dianggurkannya, atau hanya dijadikan obat nyamuk, ya buat apa? Makan hati, tolong! Ia tidak ingin kolesterol karena kebanyakan makan hati.
Namun, selalu ada antitesis di pergolakan batinnya. Gifi mengajak lebih dahulu, adalah suatu kondisi tidak biasa dan bisa dibilang langka. Usut punya usut, apakah ada suatu hal penting yang akan Gifi sampaikan? Terlepas dari ada Cia atau tidak, rasanya Ayesha ingin mencoba.
Jadi, batinnya berubah haluan, putar balik segera mengiyakan ajakan Gifi.
Oke, see there.
Singkat saja, tidak perlu balasan yang begitu meriah.
Ayesha bangkit dari singgasananya. Turun ke ruang bawah untuk meminta jatah sarapan di Sabtu pagi. Yang tidak ia sangka, rumahnya sudah ramai saja oleh geng bayi-bayi yang begitu rusuh. Ketiga adiknya, entah ada acara apa sudah lengkap berkumpul di ruang keluarga dengan pakaian yang begitu rapi.
"Ngapain lo pada?" tanya Ayesha heran.
Pasalnya tidak biasa saja ketiganya berkumpul sepagi ini dalam kondisi lengkap dan adem ayem tanpa pertikaian. Pasti mau ada sesuatu, begitu pikir Ayesha.
"Yeeee, suka-suka gue dongs. Rumah juga punya tante gue. Napa mbak-mbak satu ini sewot sih?" balas Juwi dengan gaya khasnya yang menjengkelkan.
"Eh, tante lo itu nyokap gue, kalau-kalau lo lupa gue kasih tau dah." Ayesha tidak terima, bantal sofa di depannya ia lemparkan ke arah Juwi, menimbulkan keramaian tersendiri tersendiri di Sabtu pagi.
"Mesti deh. Kalau nggak berantem dikit apa gatel-gatel?" Rayyan, yang juga berada di situ, hanya geleng-geleng melihat kelakuan dua saudara perempuannya.
"Kayak lo kagak pernah berantem aja sama nih bocah?" balas Ayesha sewot.
"Eh kagak yee. Gue sama Abang kan so sweet? Ya kan, Bang?" sahut Juwi tak ingin kalah. Dasar Juwi, ia malah mengerlingkan matanya ke arah Rayyan membuat Ayesha memutar mata jengah.
Rayyan sih cuek saja, sambil menyemil sumpia yang ia ambil dari dapur tantenya, ia membalas godaan Juwi dengan tetap tenang. "Ngghh... Iya aja deh, Mbul. Biar cepet."
"Ih... Abang maah!" Juwi gregetan, ia menimpuk Rayyan dengan bantal sofa yang ia temukan persis di samping duduknya.
Ayesha ke meja makan untuk mengambil sarapan. Pukul sepuluh, Papi dan Maminya sudah pasti telah sarapan. Tadi malam sih mereka pamit ada acara di rumah sakit semacam gathering atau apalah Ayesha juga tak begitu paham, dan Maminya jelas turut serta setia menemani sang Papi.
"Ikut yuk, Kak," ajak Izzy begitu Kakaknya kembali ke ruang tengah membawa piring.
"Eh, mau ke mana sih?" tanya Ayesha mulai menyantap nasi goreng sosisnya.
"Jalan aja sih. Mau nonton Syncronized Festival di Gambir Expo situ aja," jelas Izzy.
"Mmm, gue ada acara sih," jawab Ayesha sambil tetap menyendokkan sarapannya.
"Bisaan lo. Ada acara apa? Jangan bilang jadi obat nyamuk si Kak Cia sama Bang Gifi lagi." Juwi yang sudah pernah kenal dengan Gifi dan Cia, menebak dengan pasti acara apa yang Ayesha maksud.
Ayesha hampir saja tersedak mendengar ledekan Juwi. "Anjir! Mbul, bisa diem, nggak? Gue sumpel juga lo."
"Lah, iya bener kan?"
Bener, sih. Tapi itu terlalu nyelekit, Wi! Ayesha mendadak tidak mood dengan sarapannya. Alhasil, nasi gorengnya hanya diaduk-aduk sambil gondok gitu.
"Siape tuh?" tanya Izzy memicingkan mata.
"Tuh, sahabat kantornya Kak Aye," jawab Juwi menunjuk ke arah Ayesha dengan dagu.
"Beneran Kak lo jadi obat nyamuk? Mau-mauan sih?" Rayyan juga gitu, yang tadinya anteng jadi ikutan tanya.
Namun, pertanyaan Rayyan jatuhnya malah sindiran sih. Ayesha semakin kesel dengan adik-adiknya.
"Kagak! Si Wiwi gimbal lo dengerin. Udeh ah, gue mau bobok lagi."
Dengan langkah yang dihentak-hentakan, Ayesha pergi dari mereka bertiga. Sementara Juwi bisa ketawa puas menggoda kakaknya. Lah, biasanya dia yang menjadi objek bullying sepupunya, sekarang ia cukup cekikikan lah lihat respons kakaknya itu.
????????????????
Pukul empat sore, Ayesha menepati janjinya untuk datang ke Kota Kasablanka seperti kesepakatannya dengan Gifi. Tidak ada komunikasi lagi setelah dirinya mengiyakan pagi tadi. Ia juga tidak berniat menghubungi Cia walau sekadar berbasa-basi. Saat ini Ayesha cenderung tak acuh saja dengan semua kondisi yang terjadi. Let it flow.
Ia sudah berada di depan Kasablanka Premiere, sengaja langsung menuju tempat janjian karena Ayesha terlalu malas untuk keliling.
Ayesha membuka ponselnya. Mengetikkan sejumlah kalimat kepada Gifi yang mengabarkan bahwa dirinya telah sampai.
Tidak begitu lama. Sepuluh menit cukuplah ia menunggu sang empunya datang.
"Hai, Ye. Sorry ya lama?" sapa Gifi sedikit berlari dari arah kanan dirinya.
Ayesha yang mulanya bermain ponsel, sedikit tergagap akan kedatangan Gifi. "Eh, nghhh... santai. Barusan juga, kok."
Namun, ada yang membuat Ayesha membantin sejenak.
"Cia mana?" tanya Ayesha sambil celingukan ke belakang Gifi.
"Cia?"
"Iya. Cia? Lo sama Cia, kan?"
"Emang tadi gue ada bilang ngajak Cia, Ye?"
"Lah? Emang kagak? Terus...?" Ayesha merasa aneh saja. Tidak biasanya jiga kan Gifi mengajak dirinya sendiri, tanpa ada Cia.
"Belok kanan, Ye. Kalau terus nabrak tong sampah noh." Gifi sedikit mendorong Ayesha untuk segera masuk ke theatre.
Ayesha terbengong saat itu juga. Jadi, untuk kali pertama, bisa dikatakan ini sebuah kencan 'berdua' dengan Gifi dalam kondisi mungkin saja akan lama karena tidak ada batasan waktu seperti makan siang pas istirahat kantor kemarin itu.
Gifi membawa dirinya masuk dalam antrean tiket. Ayesha yang belum begitu percaya sepenuhnya hanya mampu terpaku sambil memandangi Gifi. Tampak serius saat Gifi sedang melihat-lihat sekilas poster film yang sedang on-going.
"Mau nonton apa, Ye?"
Ayesha masih diam di tempat. Ia seolah mimpi. Oke, mungkin ini berlebihan sih, tapi serius, ia bingung saja dengan sikap Gifi yang berubah-ubah seperti bunglon.
"Ye?"
"Hah?" Ayesha mengerjap, mengusir segala pikirannya.
"Mau nonton apa?"
"Ada apa aja?" tanya Ayesha ikutan melihat poster film yang terpajang di dinding.
"Horor ada. Keluarga Tak Kasat Mata, mau?" tawar Gifi.
"No, no, no. Yang lain aja?" Ayesha menggeleng cepat, ia paling tidak suka menonton film bergenre horor.
Menurut Ayesha, menonton film adalah salah satu kegiatan rileksasi paling bisa dinikmati. Lalu, apalah artinya rileksasi kalau adrenalinnya terus terpacu selama menonton film tersebut. Bagi Ayesha, hal seperti itu sangat ia hindari.
"Justice League? Coco?" tawar Gifi lagi.
"Disney ya? Coco aja deh, kayaknya bagus."
"Oke."
Lalu, setelah mereka memilih tempat duduk di deretan tengah nomor dua dari atas, mereka menempati kursi tunggu yang masih tersisa. Gifi sedang antre beli popcorn dan kentang goreng. Ayesha membiarkannya saja.
Ayesha memilih berselancar di dunia maya sembari menunggu Gifi. Dan, satu hal yang membuatnya tercengang sekaligus pikirannya teraduk-aduk.
Di deretan feed instagramnya, ada postingan Cia yang menempati urutan teratas.
? RudyDarmawan, Agamuzer, WigunaWig, and 1782 others.
CiaGaitsa i get way to much happines from good food and him. Hei you, sering-sering pulang napa?
View all comments
Marcopolobolobolo terima kasih, selalu sabar atas apapun :)
Kemudian, Ayesha menyimpulkan sendiri berbagai asumsinya. Apakah dirinya sedang dijadikan pelarian oleh Gifi saat Cia kembali ke jalan yang benar? Kenyamanan semu yang dijanjikan Cia kini sudah habis masanya? Lalu, Gifi beralih kepada Ayesha dengan semena-mena?
Ada perasaan sakit yang begitu menghantam dadanya tiba-tiba. Gifi datang, sudah selesai dengan snack yang dipesannya.
"Ye?" Gifi menyerahkan bouquet popcorn dan satu cup pepsi dengan senyum yang selalu Ayesha dambakan. Tidak ada lesung di pipi Gifi memang. Namun, hanya senyum segaris saja, rasanya pesona Gifi meningkat beratus kali lipat dari sebelumnya. Ayesha, selalu suka hal itu.
Itu kemarin-kemarin. Saat ini, Ayesha justru mendadak tidak selera untuk menikmati waktu berduaannya dengan Gifi.
Pikirannya terus bergumul dengan berbagai praduga buruk tentang Gifi. Pelarian, pelarian, dan pelarian. Begitu bodoh dirinya jika itu terjadi.
"Ya?"
"Gue mau ngomong sama lo." Nada Gifi berubah serius.
Persetan dengan obrolan apa yang akan Gifi sampaikan. Ayesha muak. Ia tidak jadi senang dengan agenda kencan yang sempat melambungkan hatinya sesaat tadi.
"Lo tau kan bagaimana orang-orang di kantor ngomongin Cia dan gue sebegitunya?"
Baru saja Ayesha akan menyemil kentangnya, Gifi menghentikan dengan pertanyaan tersebut.
"Hmmm?" Ayesha berdeham sambil mengerutkan keningnya.
"Iya kan, Ye?"
"Maksud lo?" sangkal Ayesha langsung.
"Lo tau semua ini nggak benar. Tapi kenapa lo diam aja seolah membenarkan dan ada di pihak mereka?"
"Hah?" Ayesha belum bisa menangkap penuh maksud pertanyaan Gifi.
"Nggak usah pura-pura polos, Ci. Harusnya, di saat sahabat lo ditempa fitnah, dan lo tau kebenarannya seperti apa, bantu klarifikasi aja, itu udah cukup, Ye."
Ah, rasanya Ayesha tahu. Gifi sedang membahas persoalan Ayesha dengan Mbak Wena kemarin.
"Jadi salah gue?"
"Setidaknya, lo ikut andil dalam semua ini. Lo tahu? Cia begitu stres karena omongan orang-orang yang pada nggak bener itu. Dia males ngantor. Klien-kliennya banyak yang nggak digubris. Makan pun nggak selera. Ya karena mereka."
Ayesha tidak habis pikir. Ia benar-benar terbengong dengan ucapan Gifi.
"Terus? Kenapa lo nyerang gue?" tanya Ayesha dengan lirih.
"Which is lo sahabatnya, yang tau kebenarannya seperti apa, dan seharusnya lo bilang ke mulut-mulut mereka bahwa semua ini nggak bener."
Ayesha jadi berpikir, kenapa scene yang sudah ia bayangkan sebelumnya jauh sekali dengan kenyataan yang terpampang di depannya saat ini.
Gifi mengajaknya kencan--oh ralat, Gifi mengajaknya nonton bioskop hanya untuk mengobrol hal beginian?
Sangat penting sekali!
"Tapi Gif, gue juga sangsi kalau semua yang mereka katakan nggak bener sih. Justru gue jadi yakin, kalau yang gue dengar dari Cia lah yang nggak bener."
"Apa?"
"Apa yang gue dengar dari cerita Cia, dan apa yang gue lihat sendiri, itu nggak sinkron. Dan apa yang gue lihat sendiri, dengan mata gue sendiri, itu hampir sama dengan versi mereka, mulut-mulut yang lo maksud tadi. Jadi, bagian mana yang mengharuskan gue untuk menyanggah bahwa semua itu salah sementara gue pun nggak yakin dengan sanggahan gue."
Gifi meraup mukanya dengan kasar. "Tapi Cia begitu tertekan karena peristiwa kemarin, Ye. Lo tau sendiri besoknya dia nggak masuk. Dan gue juga nggak bisa hubungi dia selama itu."
"Terus kenapa gue yang lo salahin, Gif?" tanya Ayesha penuh penekanan yang begitu lembut.
"Gue kira, lo orang yang paling tahu soal Cia," jawab Gifi sekenanya.
"Jadi, maksud lo ngajak ke sini hanya untuk nyerang gue karena sekarang gue nggak sepihak dengan Cia?" Ayesha memandang serius raut wajah Gifi.
"Gue pengin Cia kembali ceria kayak dulu. Nggak uring-uringan seperti belakangan ini," jelas Gifi.
"Apa nggak ada sedikitpun rasa bersalah di hati lo? Apa lo nggak nyadar kalau lo justru ambil bagian terbesar dari stres yang dihadapi Cia sekarang seperti kata lo tadi?"
"Apa, Ye?"
"Lo tau Cia udah punya pacar. Kenapa lo manfaatin kerenggangan hubungan mereka dengan lo coba masuk di dalamnya? Lo menciptakan rasa nyaman yang menjadi kebiasaan. Kemudian candu dan lo udah kadung nggak bisa lepas. Semua itu lo bilang nggak sama dengan kata mereka. Ya mungkin nggak sama. Karena versi kalian siapa yang tahu kalau lebih dari itu. Iya, Gif?"
"Ayesha? Lo?" Gifi pun tidak menyangka bahwa Ayesha yang ia kenal bisa speak up sepanjang ini. Tadinya, ia hanya sekadar tanya, tidak berniat membahas sampai sedalam ini.
"Gue tau, Gif. Dan, sekarang, gue curiga. Jangan-jangan lo yang sedang desperate karena Cia kembali ke pacarnya. Lo dicampakkan. Lalu lari ke gue. Karena lo tau gue pasti bisa nerima lo. Karena gue punya rasa sama lo. Iya????" Ayesha menaikkan nadanya, bahkan beberapa orang di sekitar mereka mulai memerhatikan.
"Apa?" tanya Gifi pelan.
"Iya, gue suka sama lo."
Entah Gifi pura-pura tidak tahu, atau Gifi memang tidak tahu sebelumnya. Namun, raut yang ditunjukkan Gifi begitu kaget mendengar pernyataan Ayesha barusan.
"Ta... tapi, gimana bisa? Ye?"
"Bullshit kalau lo nggak tahu, Gif. Itu terlalu muna." Ayesha sudah kalap, ia hendak beranjak tapi satu tangan Gifi menahannya.
"Ye, maafin gue."
Ayesha mengambil napas dalam. "Nggak pa-pa. Karena semua rasa itu udah selesai. Udah habis, beberapa detik yang lalu."
"Ayesha."
"Sorry, kalau lo kira gue terlibat dalam stresnya Cia. Gue minta maaf belum bisa jadi sahabat yang baik buat Cia. Sahabat yang selalu menjadi pendukung dan pembela nomor satu di setiap kondisi sahabatnya, sekalipun kondisi tersebut salah. Tapi lo harus tahu, itu bukan sahabat, Gif. Itu fans fanatik namanya. Gue..., bukan fans fanatik Cia!"
Gifi mendadak diam. Hening sejenak menyelimuti mereka berdua. Bahkan, mereka tidak peduli ketika theatre telah dibuka dan ada pemberitahuan bahwa lima menit lagi film dimulai.
"Gue pikir, sepertinya lo yang sedang nggak sehat, Gif. Pulanglah. Istirahat, lo perlu waktu sendiri untuk menangkan pikiran dan hati lo."
"Ye?" lirih Gifi.
"Gue cabut." Ayesha bangkit, menyerahkan
"Ayesha."
Ayesha berlari serabutan tak tentu arah. Ia bahkan tidah tahu lobby utama Kokas ada di mana. Air matanya sudah mengucur deras tak tahu diri. Rasanya begitu sesak. Ayesha kelimpungan sendiri. Ia terus berjalan sambil menyeka matanya yang sudah basah hampir sembab. Tak peduli bagaimana orang-orang memandang aneh dirinya.
Sampai, keseimbangannya goyah. Ia tidak melihat jalan dengan pasti. Ayesha hanya mengikuti langkah kaki menuntunnya.
Suara kedebug terdengar saat Ayesha dengan keras menabrak seseorang hingga kresek belanjaan orang tersebut jatuh berserakan di lantai.
"Maa... Maaf," sesal Ayesha sambil memunguti barang-barang yang berserakan jatuh.
"Nggak pa-pa, Mbak. Lain kali hati-hati saja," balas seseorang ikut membantu. "Ayesha?" sapa seseorang itu tiba-tiba.
"Mas... Mas Dior?" Ayesha tercengang. Ia tidak menyangkan ketemu Dior di sini.
"Ayesha, apa kabar?" Binar Dior begitu antusias begitu meyakini betul bahwa yang di hadapannya memang Ayesha.
Buru-buru Ayesha beranjak sambil merapikan diri. "Aku pergi dulu, mas."
"Kamu tampak kacau Ayesha. Ada apa?" Satu tangan Dior mencekal lengang Ayesha.
"Nggak ada apa-apa. Maaf, permisi," pamit Ayesha sambil menepis pegangan Dior dan berlalu begitu saja.
"Ayesha, tunggu. Biarkan saya mengantarmu."
Ayesha tidak menggubris, ia berjalan cepat ke sembarang arah.
Dior, lelaki yang datang dari masa lalunya. Lelaki yang beberapa kali sempat ia lihat jalan bersama wanita yang Ayesha yakini sebagai istri Dior. Lelaki yang dua tahun lalu mematahkan hati Ayesha lalu meremuknya hingga hanya menyisakan serpihan-serpihan rasa yang sudah tak berarti. Lelaki yang membuat Ayesha sempat tak percaya adanya cinta. Dan, lelaki itu yang hampir saja menyesatkannya.
????????????????
Ayesha pergi sendiri. Ia memberhentikan taksi yang lewat sembarang. Ia mengarahkan supir taksi tersebut ke sebuah tempat yang sebelumnya belum pernah sama sekali ia kunjungi. Ada perasaan takut ketika taksinya sudah sampai. Ayesha urung melangkahkan kakinya ke dalam tempat tersebut. Namun, ia juga berpikir, tempat ini adalah yang paling tepat untuk menenangkan diri, menurutnya.
Jadi, dengan langkah takut-takut, ia memasuki tempat tersebut. Hawa dingin, suasana temaram, dan deguban disko langsung menyambutnya ketika melangkahkan kaki di pintu masuk. Kepalanya mendadak pusing. Entah itu efek lampu yang berkedip-kedip atau bau alkohol yang begitu menyengat, Ayesha tidak yakin. Namun kalau hanya bau alkohol saja, bukankah ia sudah familier sejak kecil? Ah, ini beda dengan alkohol medis yang menjadi teman keseharian Papinya. Beer, liquor, champagne, vodka, atau wishkey, bahkan Ayesha tak tahu perbedaan di antaranya.
Masuk ke markas penyamun, lalu disambut sedemikian rupa oleh sekawanan gigolo kelas kakap.
Astaga! Dosa apa hingga Ayesha nekat masuk ke tempat terkutuk seperti sekarang ini.
"Hai, cantik? Mau pesan apa? Kita semua ada untukmu?" Satu laki-laki hidung belang sudah menyambut Ayesha dengan tangan terbuka.
"Oh, tidak. Maaf, saya salah tempat. Saya permisi." Ayesha hendak kabur, tapi mereka sudah telanjur menemukan mangsa terbaiknya. Jadi, tidak akan mereka menyia-nyiakan hidangan makan malam yang begitu jelas terpampang di depannya.
"Hei, hei, mau ke mana cantik? Jangan buru-buru dong. Ngopi-ngopi aja dulu." Dua orang mendekati Ayesha dengan seriangain penuh nafsu.
"Tidak, terima kasih." Ayesha beringsut mundur perlahan. Naas, mereka lebih dahulu mengepung Ayesha. Satu di antara mereka bahkan mulai menggoda Ayesha. Satu lelaki brengsek memainkan rambut Ayesha sambil menoel pipi Ayesha. Kemudian, satu lainnya sudah tersenyum penuh kemenangan.
"Lepaskan, tolong, saya mau pergi." Ayesha sudah tak karuan takutnya. Ia merasa bodoh berani-beraninya menginjakkan kaki di tempat haram ini. Terkutuk!
"Tidak semudah itu, cantik. Kamu sendiri yang masuk rumah kami. Jadi, kamu harus menurut, sayang."
Ayesha menghela napas panjang. Ia memilih tenang dalam kondisi seperti ini. Ia pura-pura menurut, megikuti alur permainan yang ia buat sendiri. Namun, tidak ada yang tahu bahwa diam-diam Ayesha mengetikkan satu pesan WhatsApp ke adiknya saat pria-pria kucing garong itu sedang lengah. Ayesha memilih Rayyan dari ketiga adiknya tanpa sadar.
Bang, please, tolong gue. Dragonfly, sekarang.
Yang Ayesha harapkan sekarang hanya... keajaiban Rayyan segera datang menjemputnya. Karena, sampai lima menit berselang, WhatsApp adiknya itu hanya centang satu tanpa ada tanda-tanda terbaca.
Ayesha butuh bantuan!
___________
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta