Mohon maaf, if you find any typos here
????
????
????
Seiring bergantinya hari, perasaan Ayesha yang masih meragu itu belum juga menemukan kecerahan. Masih sama, gamang. Kemajuan hubungannya dengan Gifi pun tak kunjung mengarah ke situasi intens yang berarti. Ia masih berkomunikasi sebagai rekan kerja ketika di kantor, biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa. Justru, giliran Cia yang semakin menunjukkan eksistensinya bersama Gifi. Banyak orang yang sudah membicarakannya. Beberapa di antara itu, bahkan Ayesha mendengar sendiri.
"Heran gue, Cia kan udah punya cowok, kok ya segitunya sih sama Gifi." Salah satu desas-desus yang tak sengaja tertangkap indera pendengaran Ayesha sesaat setelah mendaratkan jempolnya di mesin finger print ketika absensi pagi.
"Kita cengin kapan hari itu lah kok malah diseriusin ya sama mereka? Niatnya sih biar mereka sungkan, eh makin ke sini kok makin diumbar. Gila, ya?" sahut yang satunya.
Mereka, Mbak Sita dan Mbak Wena, lagi-lagi, menjadi orang terdepan yang selalu update soal Gifi dan Cia. Bukan Ayesha ingin menyangkal semua yang mereka katakan, hanya saja beberapa kali pula Cia selalu mengklarifikasi terlebih dahulu sebelum Ayesha menanyakan hal ini. Cia selalu meyakinkannya bahwa dirinya tidak ada hubungan apapun dengan Gifi.
Seperti saat itu, Ayesha berpura-pura tidak tahu bahwa kemarin malam, Cia bilang akan lembur, gelagat Cia memang sudah kentara dari cara bicaranya yang sedikit tergagap. Namun, Ayesha masih tenang saja. Padahal, hatinya sudah nggak karuan ketika ia pulang dan melihat Gifi juga masih berada di kubikelnya.
Saat itu, memang hujan deras, Ayesha urung bertanya mengapa Gifi juga tak kunjung pulang. Padahal, Ayesha sudah termasuk yang paling terakhir berada di kantor karena harus mengecek running ads-nya. Pascakasus yang sempat membuat Pak Dami kebakaran jenggot itu, Ayesha memang lebih teliti soal ads yang ia pasang. Jadi, wajar saja Ayesha seringkali pulang telat hanya untuk memastikan berbagai ads-nya terpasang stabil.
Kecurigaan Ayesha tentang mereka berdua, yang entah itu kebetulan atau memang kesengajaan, selalu berusaha Ayesha enyahkan dari pikiran.
Ah, Cia memang lagi padat-padatnya melobby klien, mungkin memang ada yang dilemburkan.
Ah, Gifi memang lagi banter-banternya riset ini itu. Bikin berbagai plan A sampai Z untuk tender terbaru mereka.
Jadi, hanya kebetulan semata kalau mereka bisa lembur bareng gitu.
Itu, positive vibe yang selalu Ayesha tanamkan. Ia menyugesti dirinya sendiri perihal ini. Terkait Cia yang akhir-akhir ini juga jarang berbincang padanya, ia maklum atas itu.
Namun, semua harus terpatahkan ketika esok, lagi-lagi, netranya menangkap hal yang tidak ia inginkan. Cia turun dari mobil Gifi, masih mengenakan kemeja yang sama dengan kemeja kemarin. Wajahnya polos tanpa make up. Kakinya hanya beralaskan sandal jepit. Lalu, tidak ada yang membuat hati Ayesha pengap selain asumsi yang praktis bermunculan di kepala.
Apalagi, saat Ayesha dengan iseng bertanya pada Cia, "Tumben touch up di kantor, Ci?" Ayesha sengaja mengikuti Cia yang tampak mampir ke toilet sebelum masuk kantor.
Hahaha, kalau dipikir-pikir, untuk apa Ayesha berlagak seperti spionase yang mengintai Cia sebegininya? Hatinya menjadi penuh curiga terhadap sesorang yang selalu digadang-gadang menjadi sahabatnya itu.
"Oh, nggak. Kesiangan gue tadi, nggak sempat mikir dandan juga."
Termasuk, nggak sempat ganti baju juga ya, Ci? Namun, yang ini hanya ia batin saja. Ayesha cuma manggut-manggut sambil berpura cuci tangan di wastafel dan mengeringkannya di hand dryer.
"Motoran?" tanya Ayesha, masih penuh prasangka.
"Kagak, lupa isi bensin gue. Nguber deh jadinya."
Oh, jadi Gifi juga daftar jadi Ojol sekarang? Oke, oke. Untuk kesekian kalinya, batinnya bergumul sendiri. Ayesha kemudian pamit untuk ke ruangan duluan.
Lalu, ketika Ayesha sudah berada di kubikelnya, entah seolah Ayesha ingin dibelalakkan sebuah fakta, Cia datang dengan pakaian yang sudah berbeda lagi. Kali ini, Ayesha tidak lagi bertanya. Ia cuma menyunggingkan satu senyum sarkas. Cukup tahu, dan yaa... tidak selamanya yang namanya sahabat benar-benar terbuka satu sama lain. Mungkin saja, ada hal-hal yang menjadi privasi Cia, yang Ayesha tidak perlu tahu.
Sejak itu, Ayesha memberikan ruang untuk kedekatannya dengan Cia. Ia tidak menjauh, nggak. Ayesha hanya...
...tidak ingin terlalu percaya, mungkin.
Berdasarkan pada apa yang telah Ayesha dengar, Ayesha lihat sendiri, ia tahu ada yang salah dengan sistem di sekelilingnya. Ia perlu meluruskan agar tidak semakin menjadi. Terkait harapannya yang masih membumbung tinggi terhadap Gifi. Terkait janji Cia untuk 'membantunya' dekat dengan Gifi.
Bullshit, Ci. Namun Ayesha tidak menyerapahkan langsung hal itu. Ia hanya perlu mengumpulkan beberapa fakta terlebih dahulu, menjadikannya kliping lalu menyerahkan langsung kepada Cia.
Ah, tidak sampai seperti itu pikir Ayesha. Memangnya kejahatan apa sih yang Cia lakukan? Tidak ada. Ia hanya salah posisi. Tidakkah semua itu patut ketika Cia begitu menggaungkan hubungannya dengan kekasih jarak jauhnya itu, masih berlanjut, bahkan akan melaju ke tahap yang lebih serius. Lalu di sini, dia semakin memperlihatkan kemesraannya bersama Gifi.
Desas-desus kian santer bersiar ketika semakin hari, mereka acap kali terlihat bersama. Cia yang menyadari dirinya menjadi perguncingan publik, lantas mendatangi Ayesha berniat memberikan penjelasan. Pada Jumat siang itu, di mana waktu istirahat setengah jam lebih banyak dari hari biasanya, Cia mengajak Ayesha untuk lunch di luar kantor. Tidak jauh, hanya di gang belakang tower, di warung prasmanan yang tersohor di kalangan para pekerja.
"Kenapa, Ci?" tanya Ayesha, merasa begitu diperhatikan oleh Cia.
"Ada kabar kabur apa di kantor yang gue nggak tahu?" Cia langsung menyembur dengan tatapan penuh intimidasi.
"Nggak ada sih." Seperti biasa, Ayesha menjawabnya dengan nada paling tak acuh.
Cia menggambil napas panjang lalu mengembuskannya kasar. "Nggak usah bohong, Ye. Gue paling nggak suka ada orang yang ngomongin gue di belakang. Apalagi mereka asal ngejeplak gitu. Kalau nggak tahu kenyataan itu mbok ya tanya langsung."
Lalu, apa kabar soal kebohongan lo ke gue, Ci?
"Bukannya emang udah biasa gitu, Ci? Di kantor kita kan tembok bisa ngomong. Eh nggak usah deh tembok, keset welcome aja lho bisa ikutan nimbrung." Ayesha menyereput es jeruk pesanannya.
"Gue lagi nggak pengin bercanda, Ye. Gue lagi kesel, males banget ada di kantor."
Ayesha mengatur posisi duduknya. Ia menatap Cia dengan serius. "Ini gue mau ngomong ya, Ci. Tapi lo jangan tersinggung dulu."
"Iya, apa?"
"Mereka ngomong pasti ada dasarnya kan? Nggak mungkin mereka ngarang gitu aja kan? Ngapain, kayak kurang kerjaan banget nggak, sih?" Satu oktaf nada dinaikkan oleh Ayesha.
"Jadi lo percaya mereka?"
"Bukan gitu. Dengerin gue dulu. Mereka bisa bilang gitu karena mungkin mereka pernah melihat sendiri, gimana lo sama Gifi makin ke sini makin deket. Ini gue sampaikan karena gue merasa harus ngomong hal ini ke lo, Ci. Gue, pernah juga, bahkan sering, ya maaf aja, lihat lo berduaan sama Gifi," kesal Ayesha sudah menggebu.
"Konteks berduaan tuh gimana sih, Ye? Please, we are social humanity, butuh orang lain untuk hidup. Jadi, nggak usah mereka pusing soal gue yang kelihatan jalan berdua sama Gifi. Mereka meramu itu jadi sebuah berita yang seolah-olah gue tuh dosa besar banget kalo jalan sama Gifi. Gila ya, tuh congor emang perlu disumpel kali." Cia tidak ingin kalah, ia ikutan kalap meluapkan rasa gondok di hatinya.
"Segitu emosinya, buk?"
"Gue gedeg, Ye. Gue nggak mau lo ikutan kemakan omongan mereka juga. Gue jelasin di sini, ya biar nggak ada lah kata-kata TMT di akhir nantinya."
Ayesha tertawa di tempatnya. "Lo ngerasa TMT? Hah, bahkan gue nggak ngerasa milikin Gifi, Ci. Jadi nggak akan ada gue bilang lo khianati atau apalah. Cuman ya itu tadi, sadar sama posisi lo kalo lo masih punya laki, sekalipun belum suami statusnya, tetep aja, dipandang nggak enak," jeda Ayesha sebentar sebelum melanjutkan. "Oh, atau gue salah? Lo udah putus sama Abang?"
Cia langsung menyangkalnya, "kagak! Amit-amit. Sampai sekarang, gue masih sama Abang. Cuma... Yaaa... Ada beberapa hal yang nggak bisa gue jelasin. Gue ada konflik sama Abang. Biasalah, LDR problems."
Mereka masih belum bergerak dari tempatnya ketika bahkan makan siang mereka sudah habis tak tersisa. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul satu kurang seperempat menit.
"Nah, harusnya lo batesin kedekatan lo sama Gifi. Gue bukan ngelarang gitu nggak. Serius, tapi emang lo udah di luar kata wajar sih. Itu juga sebagai bukti lo ngejaga hubungan lo juga, terlepas dari Abang lo tahu nggak tahu kelakuan lo di sini." Ayesha kembali menasihati Cia.
Bagaimana pun ia merasa masih perlu untuk mengingatkan Cia terkait hal-hal tabu yang sedang sahabatnya lakoni itu. Tidak tabu... jika status Cia dengan kekasih jauhnya itu sudah jelas. Jelas putus!
"Astaga, nggak wajar kayak gimana sih? Kapasitas gue ketika sama Gifi cuma sebagai teman. Gue nemenin dia ketika dia butuh. Lo tau dia baru aja bangkit dari keterpurukan kemarin, kan? Dia butuh teman, Ye. I think itu harusnya, lo! Lo ambil momen ini sebagai kesempatan buat gaet hatinya Gifi? Tapi apa?"
Ayesha terbungkam oleh penuturan Cia. Ada hening sejenak di antara mereka. Ayesha hanya mengaduk-aduk es jeruk yang tinggal satu seruput habis. Ia lebih memilih memainkan es cube sambil berbagai pikiran melayang di kepalanya.
Kesempatan untuk menggaet hatinya Gifi.
Kesempatan seperti apa yang Cia maksudkan, hah!
"Apa lo tau kalau Gifi sama sekali nggak nengok ke gue, Ci? Karena bukan gue yang dia butuhin. Gue nggak bisa mencapai kesepakatan ketika kami sedang bersama. Timbal balik itu nggak terjalin, Ci. Jadinya nyaman pun juga nggak ada," lirif Ayesha frustasi.
"Karena lo nggak berusaha mencoba terus, Ye."
"Ya maksud lo? Gue harus approach dia duluan gitu? Bukan malah klepek-klepek yang ada dia jijik sama gue. Dan, gue bukan tipe orang yang memulai, Ci." Ayesha berdiri dengan kasar, hingga membuat kursi plastik yang didudukinya berdecit keras hampir terjengkang ke belakang. Adegan tersebut bahkan sempat menjadi perhatian sekeliling mereka sesaat.
Sementara Cia memijit kepalanya pening. Ia tidak habis pikir bahwa hal yang menurutnya wajar justru dipandang berbeda oleh mereka. Kedekatannya dengan Gifi, sama sekali tidak ada niatan kesengajaan. Ia melakukan itu karena ada alasan. Gifi memang butuh sosok pengganti Naya untuk saat ini. Sedangkan Cia satu-satunya yang tersedia saat Gifi membutuhkan itu.
Cia sadar posisinya salah, Cia juga nggak ingin Gifi terus-terusan bergantung pada dirinya. Tapi Gifi...
ada sesuatu di antara mereka yang tidak ingin Cia jabarkan.
"Susah ya emang ngomong sama orang bebal ke lo, Ye," lirih Cia saat Ayesha kembali dari kasir untuk membayar makanan mereka.
Ayesha tak menanggapi banyak. Makan siang beberapa menit lalu sudah habis terkuras untuk beradu argumen dengan Cia.
*****
Obrolannya dengan Cia kemarin itu masih terngiang di pikiran Ayesha.
Saat mereka memutuskan untuk kembali ke tower, sepanjang perjalanan, banyak perbincangan terjadi di antara mereka.
Obrolan terjalin lebih adem. Cia berusaha menjelaskan setenang mungkin. Sebisa ia agar Ayesha dengan mudah paham maksudnya selama ini.
Memulai.
Sesuatu hal yang sebisa mungkin ia hindari. Pengecut? Biarlah, Ayesha nyaman dengan kondisi itu. Ia justru tidak bisa jika dipaksa 'memulai' seperti yang Cia maksudkan.
"Yes, this is how i am. Gue nggak bisa berubah tiba-tiba, drastis, tanpa ada landasan yang kuat. Kalo hanya untuk sebuah cinta, gue rasa nggak perlu bersusah payah ngelakuin apa yang lo mau tadi. At least, itu bukan gue banget."
Ayesha masih kekeh dengan prinsipnya yang berusaha Cia patahkan. Cia menginginkan Ayesha turut membantunya keluar dari kungkungan Gifi. Sama-sama untung. Toh, bukankah selama ini yang Ayesha inginkan hal itu?
"Oke, oke. Gini, aturannya kita ini sama-sama butuh, Ye. Jujur, gue juga nggak mau terjebak dalam situasi yang membuat gue sendiri sulit. Meskipun gue menyangkal kayak gimana, tapi sebagai cewek gue sadar situasi ini salah. Gifi menikmati semua ini, secara nggak langsung ya memang ini jadi ketergantungan buat Gifi. Dan gue nggak mau ini berlanjut.
Jadi, yang gue minta hanya, please... lo bantu gue, Ye. Dengan cara apa? Ambil hati Gifi, alihkan perhatiannya. Gue bakal bantu. Seperti yang gue bilang di awal dulu."
"Gue nggak yakin." Lagi-lagi, belum saja memulai, Ayesha sudah sudah pesimis di depan.
Hal yang membuat Cia gemes banget karena ya beginilah Ayesha. Kadang Cia berpikir, ya percuma saja, ia mau menjodohkan segimananya? Berusaha kasih berbagai advise ke Gifi, memaparkan segala keunggulan Ayesha ke Gifi, kalau...
...Ayesha sendiri tidak mengunggulkan dirinya di depan Gifi.
Tidak ada act apapun yang membuat Cia gregetan setengah mampus sama sahabatnya itu.
"Nah ini! Lo sendiri nggak niat, Ye. Gimana Gifi bisa percayakan hatinya buat lo?"
"Yaudah, gimana?" tanya Ayesha sedikit menyulut.
"Mulai dari hal kecil aja. Bikinin dia bekal buat lunch, contohnya."
"Anjir, gue aja kagak ngebekal."
Dari hal itulah, Ayesha mulai memikirkan kata-kata Cia dengan serius.
Dan sekarang, keesokan hari selepas subuh pukul lima pagi buta begini, Ayesha sudah menyatroni dapur rumahnya. Ia mengoprak bumbu-bumbu di rak dan kulkas.
"Ngapain, Non?" tanya Bik Jum, asisten rumah tangganya yang sudah mengabdi sepanjang usinya berada di dunia ini.
"Apapun dia suka sih cuma Gifi itu paling suka jamur krispi. Dia nggak punya alergi makanan kok, tenang." Satu resep terngiang dari Cia kemarin.
"Nganu, Bik. Ada jamur tiram, nggak?"
"Kagak ada atuh, Non. Musti belanja dulu si Bibi, mah."
"Kesiangan nggak ya, Bik?"
"Atuh si Non teh kalau mau dimasakin jamur kenapa nggak bilang dari kemarin?"
Ayesha menggaruk rambutnya sendiri. "Aye juga penginnya mendadak, Bik. Buat bekal makan siang sih."
"Yauda atuh, Bibik beliin di Kang sayur dulu, nyak. Semoga teh udah nongkrong di blok sebelah."
"Nah, betul, Bik."
"Non teh siapin bumbu celup sama bumbu tepungnya, nyak. Biar cepet nanti. Bisa kan?" pinta Bik Jum guna menghemat waktu. Lagi pula, salah Ayesha sendiri meminta dadakan, padahal tadi rencananya Bik Jum sudah akan memasakkan sarapan untuk orang tuanya. Kini, harus belanja lagi karena recokan dari anak majikannya itu.
"Beres, percayakan sama Aye, Bik."
Lalu, yang Ayesha lakukan selanjutnya adalah, meracik bumbu berpedoman tutorial Yutub. Ia mengambil tepung bumbu serbaguna yang ia temukan di toples khusus tepung. Lantas, Ayesha mengadoni tepung bumbu tersebut dengan telur yang ia ambil dari pintu kulkas. Step one has done! Tinggal meracik bumbu keringnya aja.
Menurut tutorial yang Ayesha lihat sih, tidak banyak yang perlu dilakukan untuk bumbu kering. Cukup menuangkan tepung ke mangkok lain, menambahkan sedikit merica, penyedap rasa, dan garam. Engh... tapi Ayesha tidak tahu takaran yang pas untuk itu. Jadi, berdasarkan insting ala mbak-mbak baru belajar masak, Ayesha berharap racikannya pas dan hasilnya yaaa... nggak muluk-muluk, layak makan saja, itu sudah membuat Ayesha kegirangan senang.
Namun, semua itu tidak setinggi ekspektasi yang Ayesha bayangkan. Begitu sampai kantor, Ayesha melancarkan aksinya. Berusaha semulus mungkin agar tidak kentara sebagai modus suap perut.
Cia sudah memberikan kode untuk memulai aksinya.
"Gif, ini plan ads dari gue, lo cek dulu, ya? Ada side plan-nya sekalian." Ayesha memulai dengan berpura konsultasi soal proposal pitching-nya.
Gifi menatapnya sejenak, "rajin amat lo, Ye."
Sementara Ayesha hanya tersenyum tipis. Baru dipuji rajin begini saja dia sudah melayang-layang lagi. Ingin rasanya Ayesha bilang, 'belum aja gue jadi bini lo, Gif. Bakal lebih rajin lagi gue.' Namun, hal itu jelas tidak akan pernah Ayesha sampaikan blak-blakan.
"Hahaha, kerasukan setan tanggal muda kali, ya. Percayalah rajinnya gue ini cuma bertahan paling lama lima hari kok."
"Aelah kayak anak kos-kosan lo, mewah tanggal 1 sampai 5 doang. Sisanya lemes lunglai nggak semangat sama sekali gegara cuma sarapan Oky Jelly siangnya makan promag," balas Gifi sebagai guyonan.
"Anjir! Kagak yeee! Lagian ini hari gue ngebekal kok." Nah, ada sela untuk Ayesha melakukan penetrasi.
"Tumben? Bawa bekal apa lo?"
Tanpa babibu lagi, Ayesha langsung menawari Gifi. "Aaah, iya. Gue bikin jamur krispi. Mau coba?"
Di sisi lain ada Cia yang memerhatikan mereka diam-diam. Sedikit terkikik dengan cara Ayesha membujuk Gifi.
"Ya boleh. Sok mana?" pinta Gifi mengiyakan tawaran Ayesha.
Ayesha kembali ke kubikelnya, mengambil kotak tapiwhere sambil tersenyum penuh semangat.
"Nih." Ayesha mengasongkan kotak tapiwhere ke Gifi.
Gifi menerimanya, ia membuka kotak makan tersebut dan mencomot satu jamur krispi. Harap-harap cemas Ayesha menanti jawaban Gifi. Ekspresi Gifi tidak menunjukkan apapun. Ia masih mengunyah dengan santai sambil menghayati ala-ala pembawa acara makan-makan di teve.
"Ngghh... Maaf nih, Ye. Serius, lo ngebet kawin banget?" ucap Gifi membuat Ayesha mengernyit sebentar.
"Hah?"
Ngapa lo tanya begituan, Gif? Lah kalau gue jawab iye, apa lo mau ngawinin gue sekarang?!
"Ini asin sih, Ye."
Tidak percaya dengan ucapan Gifi, Ayesha ikutan mengambil satu jamur krispi dan mencicipnya.
Hanya sedetik jamur itu bertahan di lidah Ayesha. Sedetik berikutnya, ia sudah melepehkan ke tissue dan membuangnya ke tempat sampah.
Gobloque bozzque!!!
"Iya, udah-udah, Gif, nggak usah dimakan kalau gitu."
Dan, Gifi hanya tertawa renyah begitu saja. Seolah Ayesha adalah lelucon yang membuatnya bisa terpingkal puas seperti ini.
"Ada apa sih?" Cia datang bak hero di siang melompong.
Gifi masih tertawa sambil memegangi perutnya, "ini, Ci, Aye bikin jamur asin banget. Serius temen lo kayaknya kebelet kawin deh."
Cia melirik Ayesha sekilas. Muka Ayesha sudah merah padam menahan malu juga kesal karena ditertawakan oleh Gifi.
Cia berinisiatif ikut mencomot jamur krispi buatan Ayesha. "Enghh, ini nggak asin sih Gif, cuma lebih cocok kalau makannya pakai nasi panas. Emang lo bikin buat apa, Ye? Bekel lunch?"
"Iya niatnya gitu."
"Nah! Salah sendiri dicemilin. Kagak cocok bege! Lagian ini enak kok. Gue ntar minta ya, Ye."
Ada luka menganga di hati Ayesha. Ngilu dan nyeri bisa bersamaan menerpanya. Oke, mungkin cukup sekali dirinya melakukan hal-hal konyol dalam hidupnya. Termasuk, mencoba mencuri hati Gifi dengan cara-cara yang disebutkan oleh Cia ataupun cara dari mbah Gugel pedomannya.
****
Setelah kejadian itu, hubungan Ayesha dan Gifi tidak banyak mengalami perubahan. Dekat nggak, jauh juga nggak. Datar, seperti talenan Bik Jum yang ia temui di dapur pas bikin jamur krispi kemarin.
Ah, jamur krispi lagi. Teringat bagaimana malunya ia.
Sabtu sore menjelang malam, adalah hal paling menjemukan, dan termasuk salah waktu yang Ayesha paling hindari setelah Senin pagi. Alasannya sederhana, hanya karena kedua waktu tersebut cukup membuatnya senewen sepanjang hari.
Namun, Sabtu sore ini berbeda. Mau tidak mau, Ayesha harus keluar rumah. Ada undangan pernikahan temen kantornya. Salah satu anak AE segengnya Cia, yang jarang sekali bahkan berada di kantor. Mas Buya yang menurut Cia kerjaannya ngider dari klien satu ke klien lainnya hanya untuk memperoleh nota kesepahaman berwujud goal tender.
Seluruh orang kantor sudah menyediakan diri untuk datang. Masak hanya karena Sabtu sore menjelang malam ia urung datang? Apa kata keset welcome di kantornya nanti? Nyinyiran demi nyinyiran sudah pasti Ayesha terima hanya karena nggak memenuhi undangan ini. Ia jamin itu.
Jadi, ia memutuskan untuk hadir. Berangkat diantar Izzy, adiknya yang malam Minggu begini anteng-anteng saja ngendon di depan teve tadi. Kebetulan sangat, Ayesha langsung menyabotase Izzy untuk menjadikannya supir pribadi.
Hal yang paling malas dari menghadiri undangan pernikahan seperti ini adalah stigma masyarakat untuk wajib membawa pasangan. Istilahnya, 'lo dateng sendiri, kiamat sudah idup lo!'
Bullying itu sudah menjadi tren. Tidak melulu terlantun kata kasar dan tindakan kejam. Justru olok-olokan yang nyelekit kena di hati, apalagi status jomlo yang kerap diperkarakan acap kali menjadi topik utama pembullyan.
Menghindari hal itu, Ayesha menyingkir dari para pasangan yang sudah mentereng. Ia bergabung bersama para kawanan jomlo sejawatnya. Ada Rudi, ada Agam yang juga tak terlihat membawa gandengan.
Sebenarnya ia ingin datang bersama Cia. Namun, ia tak yakin. Karena, belum sampai Ayesha membatin, dari arah pintu utama, Cia datang bersama Gifi.
Terlihat serasi, gaun yang dikenakan Cia berwarna senada dengan tuxedo yang Gifi pakai. Sentuhan shade coklat yang membalut keduanya menjadikan orang awam yang tak kenal mereka pasti mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih atau bahkan suami istri.
Apa mereka sengaja janjian? Agar terkesan couple? Oh, atau justru malam ini mereka akan mendeklarasikan sesuatu?
Berbagai pikiran berkecamuk di benak Ayesha. Selalu seperti itu.
"Hai gaess!" sapa Cia mendatangi gerombolan Ayesha, Rudi, dan Agam.
"Wih, lo berdua lama banget sih," teriak Agam kepada mereka.
"Iya, macet. Eh udah pada makan kalian?" tanya Cia sambil melihat kedai makanan di pojok gedung yang masih antre.
"Gue sama Rudi udah sih. Noh, temen lo belum. Baru datang juga dia." Agam menunjuk Ayesha dengan dagunya.
"Belum makan, Ye?" tanya Cia tanpa rasa sungkan sedikit pun.
Sungkan untuk apa?
Datang bersama Gifi bukanlah suatu masalah besar. Tidak perlu juga meminta izin Ayesha karena memang Ayesha bukan seseorangnya Gifi. Ayesha membatin sendiri hal tersebut.
"Belum. Masih antre juga," balas Ayesha.
"Yaelah sampai entar juga rame kali, Ye," sahut Cia lagi.
"Ya udah, makan sekarang aja," ajak Gifi sudah berjalan ke deretan stan makanan.
Mereka bertiga memutuskan untuk makan terlebih dahulu ketimbang menyalami mempelai di atas pelaminan. Kapasitas tamu hingga hampir ribuan memang menjadikan gedung ini terasa sesak. Apalagi acara yang hanya berlangsung dua jam. Semua sisi padat. Mereka, harus siap berjibaku untuk itu.
"Eh bentar yaa, gue ke toilet dulu. Seriusan ini kebelet. Titip tas, Gif," pamit sambil menyerahkan clutch-nya ke tangan Gifi.
Kemudian...
...tersisalah mereka berdua.
Awkward momen pada akhirnya menyelimuti mereka berdua.
Ayesha mau masuk antrean salah satu stand makanan, tapi Gifi belum juga menunjukkan keinginan yang sama. Ya masak ia makan sendiri?
"Duluan aja, Ye. Ntar gantian," kata Gifi memberikan isyarat bahwa dirinya masih rempong dengan clutch dan bawaan Cia lainnya.
"Oke, atau lo mau gue ambilin?" tawar Ayesha coba-coba.
"Boleh."
"Mau apa?"
"Apa aja."
Lalu Ayesha segera turut dalam barisan, mengantre di salah satu stand makanan. Ia memilih stand sate yang sedikit sepi pengunjung. Ia mengambil dua piring sate dan beberapa pontong lontong. Setelah dirasa pas, Ayesha kembali ke tempat di mana Gifi berdiri.
"Nih, Gif."
"Thanks, Ye."
Satu senyum sebagai balasan. Kali ini, ia tidak menaruh hati pada perbuatannya sesaat tadi. Hanya mengambilkan makanan untuk Gifi. Tidak ada yang istimewa. Serius.
Mereka mulai bersantap sambil menikmati alunan musik yang disediakan. Lagu-lagu ala pesta pernikahan dimainkan dengan apik oleh para pemusik. Ya sebut saja, Beautiful in White besutan Westlife, Endless Love milik Diana Ross, atau kalau di produk dalam negeri ada Menikahimu hits dari Kahitna, dan masih banyak lagi lagu-lagu yang mereka bawakan. Ayesha begitu menikmati hingga kelewat baper. Yaa... tidak munafik, perempuan mana yang tidak ingin segera berada dalam momen seperti itu, di saat usianya yang hampir memasuki masa perak.
"Ini sate apaan, Ye?" seru Gifi membuat Ayesha mengalihkan fokusnya.
Ayesha terkaget, bingung juga, adakah yang salah dari sate yang diambilnya? Sate yang ia makan enak-enak saja.
"Gatau deh, gue kira ayam. Tapi dari teksturnya gini keknya sate kambing. Iya nggak sih? Kenapa, Gif?" tanya Ayesha harap-harap cemas.
"Dan gue--"
Belum selesai Gifi berucap, Cia datang merebut piring Gifi. "Sini buat gue aja," serobot Cia langsung menandaskan satu tusuk sate di mulutnya. "Aelah, Gif. Enak bener lo diambilin. Ambil sendiri sana. Laki juga."
Gifi tidak banyak berkomentar, memilih melipir ke stand makanan dan mengambil sendiri. Sementara Ayesha, tentu saja bingung. Apa yang akan Gifi katakan tadi dan ada apa dengan sate di piring Gifi?
"Sorry ya, Ye. Gue lupa bilang. Gifi paling jengkel sama yang namanya daging kambing bukan alergi cuma dia nggak suka banget." Satu fakta tentang Gifi, lagi, yang Ayesha tidak ketahui.
Bodoh! Tentu saja lo bodoh, Ye. Ia ngedumal sendiri tentang dirinya.
"Jadi ini buat gue aja. Biarin deh dia ambil yang lain," tutur Cia santai, berusaha meredam Ayesha.
Satu lagi hal yang menohoknya.
Atau memang Tuhan semakin menunjukkan ketidakcocokannya dengan Gifi. Ayesha mendesah lelah.
_______Nantikan kelanjutannya_______
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta