Hari ini adalah hari di mana Navi tidak lagi menjadi pengendara motor untuk ke sekolah, tapi menjadi penumpang. Karena adiknya yang sudah genap berusia empat belas tahun diperbolehkan mengendarai motor oleh ayah. Navi senang? Senang sekali malah, dia tidak perlu capek mengendarai motor dan bergulat dengan debu-debu jalanan. Sekarang dia tinggal duduk manis, ada Nafis yang akan membawanya sampai ke sekolah dengan selamat.
Nafis menurunkan Navi tepat di depan gerbang sekolah tercinta. "Kamu hati-hati loh, Fis," kata Navi sebelum Nafis kembali melajukan motornya.
Sekolah Navi dan Nafis hanya berbeda beberapa kilometer saja. "Siap, Kak! Nanti aku jemput lagi, Kakak tunggu di depan sini, ya?"
Navi hanya mengacungkan jempolnya, lalu Nafis kembali melajukan motornya menuju sekolah. Enak juga rasanya diboncengi. Kenapa nggak dari kemarin saja Nafis dibolehkan bawa motor? Navi bersyukur dengan hari ini. Paling tidak karena dia nggak harus sibuk membenahi seragam sebelum upacara dimulai. Seminggu yang lalu, Navi harus sibuk dulu membenahi seragamnya yang berantakan sebelum upacara. Sekarang lumayan lebih rapi walaupun nggak rapi-rapi banget. Navi masih harus sibuk menyemprot minyak wangi ke seragamnya.
=Untuk Navi=
Upacara hari ini lumayan lama karena pembinanya adalah kepala sekolah mereka yang hobinya berpidato panjang kali lebar padahal intinya cuma satu. Beberapa siswa sudah hafal hingga diam menjadi pilihan yang baik daripada harus ditarik guru PKN, sebagian yang lain malah bergurau dengan temannya untuk menghapus rasa bosan yang kemudian berhasil menjadi sasaran empuk guru PKN.
Sekarang kantin ramai sekali. Banyak siswa yang ngantre beli minuman, salah satunya Dara. Kalau harus desak-desakan, Navi mending minum air putih saja di kelas. Dan jadilah dia di sini, di depan fotocopyan yang sepi pengunjung untuk menunggu Dara keluar dari kerumunan itu.
"Nih, buat lo."
Navi dengar suara itu, jelas sekali malah ucapannya. Tapi, Navi malah tidak menanggapi, berpura-pura tidak dengar. Bukannya gimana-gimana, Navi hanya tidak mau malu saja. Takutnya kan bukan dia yang diajak bicara mengingat kantin ramai banget seperti ini.
Tangan kekar khas laki-laki mengulurkan satu botol mineral ke arah Navi. Dia yang sejak tadi mengibas-ibaskan tangan demi menghilangnya gerah, langsung menghentikan kegiatannya. Alisnya bertemu. Navi bingung kenapa laki-laki itu memberinya air minum?
"Buat gue?" tanya Navi.
Laki-laki yang kini posisinya lebih tinggi dari Navi, karena dia berdiri dan Navi duduk sungguh membuat Navi sedikit tersiksa karena harus mendongak demi melihat wajah asing itu. Iya, sangat asing. Navi tidak pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Kalau melihat badge yang dikenakan sih, Navi yakin sekali kalau dia adalah siswa SMA Angkasa juga.
"Iya, buat lo," katanya. Botol mineral itu diletakkan di samping Navi duduk, karena Navi tidak meraih botol itu membuatnya pegal juga bertahan mengulurkan.
Navi terkekeh, dia tidak mengerti kenapa bisa laki-laki itu memberinya air mineral? "Tapi kan gue gak beli atau minta air itu. Buat lo ajalah, kan lo yang beli. Masa gue yang minum," tukasnya.
"Gue tau lo gerah, lo juga haus kan?"
Tidak ada yang menyuruh laki-laki itu untuk duduk, tapi kemudian dia sudah berada tepat di samping Navi. Tangannya memegang minuman berwarna, lalu menenggaknya. Membuat Navi yang melihat spontan menelan ludahnya susah payah.
"Lo kalau haus minum aja airnya. Nggak ada racunnya kok."
Detik kemudian Navi tertawa sumbang. "Eh, gue aja nggak kenal ya lo siapa. Lagian kenapa sok kenal banget, sih? Pake segala kasih air. Lo kira gue bisa disogok pake air buat kenalan?"
Sekarang giliran laki-laki itu yang tertawa. Ternyata niat baiknya disalah artikan oleh Navi.
Tangan kekar itu lagi-lagi terulur ke arah Navi. Namun bukan untuk memberikan air berwarna miliknya, melainkan mengajak Navi bersalaman. Apesnya, Navi hanya melirik tangan tersebut tanpa ada rasa ingin bersalaman. Sadar jika uluran tangannya tidak disambut dengan baik, laki-laki itu menurunkan tangannya.
"Nama gue Raga, lo Navi kan?"
Navi melirik Raga sekilas. "Halah, lo pasti liat badge name gue kan makanya lo tau nama gue?"
Raga mengusap wajahnya kasar. Kenapa sih Navi susah sekali diajak berkenalan dengan cara baik-baik? Raga geregetan sendiri jadinya. Tapi mengingat bahwa Navi-lah yang menjadi tujuannya pindah sekolah, Raga mampu sabar untuk itu.
Iya, Raga adalah siswa baru. Hari ini adalah hari pertamanya resmi menjadi siswa SMA Angkasa. Pantas saja Navi belum pernah melihatnya.
Perkataan Navi tidak dibalas lagi oleh Raga. Laki-laki itu malah terlihat biasa saja. Navi jadi penasaran akhirnya kenapa Raga mau kenalan dengan dia di saat banyak sekali siswa cantik yang berkeliaran di kantin. Kalau dibandingin sama geng-nya Tari, Navi mah nggak ada apa-apanya.
Dara lama banget sih, batinnya meronta. Navi ingin cepat-cepat menjauhi Raga. Lama kelamaan Navi jadi jengah didekati laki-laki ini.
"Diminum aja dulu airnya, temen lo masih lama," kata Raga.
"Berisik lo," sengit Navi. Kemudian Navi berdiri berniat meninggalkan Raga. Tapi, Raga menahan tangan Navi hingga cewek itu menoleh dengan tatapan bertanya.
Raga meraih botol air mineral yang belum disentuh oleh Navi. "Nih ambil. Gue beli di warung itu, nggak diracunin kok santai aja. Kalau nggak lo ambil, mubazir nih," ucap Raga panjang lebar.
Navi akhirnya pasrah saja. Tapi dia sempat bilang, "Makasih."
Selepas kepergian Navi dari dekatnya, Raga hanya bisa tersenyum kecil memerhatikan kelakuan cewek itu.
=Untuk Navi=
Jam pulang sekolah sudah tiba. Navi sibuk membenahi peralatan sekolahnya. Memasukkan semua buku dan alat tulis, jangan sampai ada yang tertinggal. Dara sudah keluar kelas sejak tadi, katanya mau kumpul untuk rapat OSIS. Navi sudah paham betul kalau kerjaan Dara di sekolah cuma rapat, rapat, dan rapat.
Navi sudah mengirimkan pesan kepada Nafis kalau dia segera keluar. Di perjalanan menuju gerbang sekolah, Navi tidak sengaja melihat kakak kelasnya yang memakai kacamata dengan dada bidang berada di koridor seberang lapangan. Langkah kakinya terdiam sebentar, memerhatikan Danial berjalan bersama teman-temannya. Entah sejak kapan, Navi suka sekali melihat Danial. Di dalam pengelihatan Navi, Danial itu bagaikan pangeran yang selama ini dia nanti-nantikan kehadirannya.
Navi menyunggingkan senyum tipis saat kilat matahari sore tak sengaja menerpa kacamata yang Danial pakai. Sorotan itu tampak sempurna dan melelehkan. Andai saja Navi bisa lebih dekat dengan Danial, surga dunia sekali bukan?
Navi jadi membayangkan di setiap hari Kamis dia rutin ke gedung di mana toak besar dipasang hanya untuk mendengarkan Danial siaran. Iya, laki-laki itu adalah ketua dari organisasi radio sekolah. Suaranya kalau lagi siaran suka buat jantung Navi berdesir. Navi jadi bergidik sendiri.
"Woi!"
Seruan itu membuat Navi memejamkan matanya sesaat, kemudian mengelus dada. Jelas Navi kaget, dia tadi sedang membayangkan Danial sampai tidak sadar kalau kakak kelasnya itu sudah hilang ditelah tikungan sejak tadi.
Di samping Navi ada Raga yang tertawa meledek. Navi mencebikkan bibirnya tanda kesal. "Lo ngapain, sih? Ganggu aja," ketus Navi.
Navi kemudian meninggalkan Raga, namun laki-laki itu mengekori Navi. Merasa diikuti, Navi berhenti berjalan. Dia menoleh ke belakang dengan tangan yang sudah bersidekap di depan dada.
"Airnya udah diminum?" tanya Raga.
Merasa emosinya sudah terpancing karena tingkah konyol Raga, Navi cukup menarik napas dan enggan memaki-maki orang mengingat waktu sudah sore dan dia mulai lapar.
"Udah." Hanya itu yang keluar dari mulut Navi.
Raga tersenyum menampilkan dua lesung pipi yang sangat dalam. Dia puas karena Navi sudah meminum air yang dia berikan. Hanya sebatas meminum, dan Raga merasa dihargai. Paling tidak untuk pertemuan pertama kali.
Tangan Raga terulur ke arahnya persis seperti di kantin tadi. Navi hanya melihatnya sesaat, kemudian kembali berjalan meninggalkan koridor yang mulai sepi.
Di belakang Navi, lagi dan lagi Raga harus menatap miris uluran tangannya. Oke, mungkin bukan hari ini. Pikir Raga. Semoga saja ada hari yang lebih cerah di keesokan hari untuk berkenalan dengan Navi.