Pertama-tama buatlah dia mengagumimu.
***
“Rencana lo selanjutnya apa?” Tania melipat kedua tangan di atas meja, ia sengaja berbalik untuk bisa berhadapan dengan Allen dan Elsa yang duduk di bangku belakangnya.
Tania adalah teman kedua yang dikenal Allen selain Elsa saat pertama masuk sekolah. Perempuan itu memiliki tubuh tinggi dan perawakan yang ideal. Rambutnya yang pendek dan kulit agak sawo matang itu menambah daya tarik tersendiri. Dan yang menjadi ciri khas Tania adalah setitik tahi lalat yang terlukis di atas bibir. Hal itu langsung meningkatkan kemenarikan wajah Tania. Meski banyak pria yang mengagumi Tania, tetapi tidak pernah ada yang mau mendekatinya. Alasannya hanya satu ‘ragu’, entah ragu atau takut.
“Hm?”
“Rencana selanjutnya apa, Len?” Elsa mengulangi pertanyaan Tania.
Elsa, perempuan manis yang memiliki mata belo dan berkulit kuning langsat. Wajahnya bulat dan terlihat sangat cute. Rambut bergelombang tetapi tipis itu selalu diikat satu ke belakang. Satu hal yang menjadi ciri khas Elsa yaitu selalu memakai semua perlengkapan berwarna ungu. Mulai dari jam tangan, sepatu, sampai pensil pun dibungkus selotip warna ungu. Jadi tidak heran jika Elsa sering dipanggil ke ruang BK karena melanggar aturan. Misalnya sepatu, seharusnya berwarna hitam. Tetapi untungnya, sekarang Elsa sudah agak tobat. Ia sudah memakai sepatu berwarna hitam meski ada sedikit motif berwarna ungu.
“Hm?”
“Lo ditanya, malah hmhm-an, gue kesel jadinya.” Tania sudah memindahkan tangannya menjadi tumpuan dagu.
“Gue masih bingung. Nirgi memang susah didapetin, apalagi ada ABC lima dasar itu.” Allen mengangkat wajah, sebelah tangannya menggoreskan bolpoin di atas buku catatan bergaris. Kepalanya sedikit memutar beberapa derajat untuk melihat ke objek yang sedang dibicarakannya. Matanya menangkap Nirgi yang sedang terpaku pada sebuah layar 5,5 inci.
“Masih ada cowok lain, banyak tuh kakak kelas yang ngejar lo. Udah, lepasin aja Nirgi!” Elsa menatap Allen serius.
“Masalahnya dia cowok yang gue cari selama ini.”
“Nirgi tipe lo banget?” Tania memindahkan tangannya lagi ke tepian kursi.
“Hm.”
“Cari yang lain aja, yang tipenya sama kayak Nirgi. Yang spesifikasinya mirip banget.”
“Kalian ngomongin cowok kayak ngomongin ponsel aja.” Elsa tertawa dan langsung mendapat tatapan tajam dari kedua temannya. Sekian detik kemudian ia terdiam dan segera menunduk. Menatap meja yang kosong.
“Pagi, Mantan!”
Semua orang di kelas langsung tertuju pada daun pintu. Di sana sudah ada ABC lima dasar yang berdiri seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Mereka datang ke sekolah dengan style yang sama. Baju dikeluarkan sebelah, dua kancing seragam bagian atas dibiarkan terbuka, menyampirkan ransel di bahu kanan, jam hitam melingkar di lengan sebelah kiri, dan yang paling keren, entah memalukan, mereka memakai kaca mata hitam. Please, ini bukan pantai.
Perlahan ketiga lelaki itu berjalan dengan langkah seragam layaknya seorang aktor yang bediri di atas red carpet. Allen sampai menganga melihat ketiga orang itu, bukan hanya Allen, tetapi semua orang yang ada di kelas melakukan hal sama.
“Gila ... mereka bakalan nyamperin lo! ” Elsa menggoyangkan tangan Allen tanpa mengalihkan pandangan.
“Halo, Mantan!” Candra berada di paling depan, di belakangnya Aldi dan Brian. Entah mungkin karena Brian yang paling pendek, makanya berdiri di paling belakang.
“Selamat belajar. Semoga masuk ranking sepuluh umum!” Candra mengedipkan sebelah mata setelah berbicara. Lalu ia berjalan menuju bangkunya.
Candra memang menyemangati Allen, namun yang terdengar di telinga Allen hanyalah sebuah hinaan. Seketika wajahnya menjadi muram, tidak bersemangat dan sepertinya awan mendung sudah membubung di atas kepala Allen. Selain itu juga, jika divisualisasikan, di atas kepala Allen ada sepasang tanduk merah yang mencuat tajam. Allen cepat bergeleng untuk menormalkan kembali suasana hatinya.
Setelah Candra, kini giliran Aldi yang berdiri di hadapan Allen. Lelaki itu melipat kedua tangan dan menaikkan kaca mata hingga di atas kepala. “Gue cakep, kan? Sorry, gue gak ada niat buat balikan sama lo!”
“Ge-er banget jadi orang. Siapa juga yang mau balikan sama lo?” Allen berdiri, refleks mengepalkan kedua tangan di udara. Ingin meninju wajah Aldi, tetapi lelaki itu keburu melengos.
Pandangan Allen lalu berhenti pada Brian yang tingginya sepantaran. Matanya menatap tajam, setajam silet, bahkan lebih tajam dari golok buat motong sapi tetangga. “Mau apa lo?”
Brian mundur satu langkah, ia menggeleng.
“Ngapain lo di sini? Balik sana ke bangku lo!”
“Gue cuma mau ngasih morning kiss ke lo, Allenia Mesriana. Muach!” Brian memonyongkan bibir. Ia mencium udara dan setelah itu berlari sebelum sepatu Allen terbang mengenai tubuhnya.
Allen langsung terduduk kasar. Pagi yang sangat buruk. Lama-lama Allen bisa terkena hipertensi. Andai saja ketiga mantan itu hilang ditelan bumi atau dimigrasikan ke Mars, mungkin Allen akan merasakan ketenangan dalam hidupnya.
Sebenarnya Allen memiliki banyak mantan di Bumi tercinta ini, hanya saja ABC lima dasarlah yang paling mengganggu dan mengusik. Jika dibandingkan, jumlah mantan dengan jumlah gigi yang dimiliki, maka yang paling banyak adalah jumlah mantan. Bagaimana tidak? Allen sudah mulai berpacaran sejak kelas 5 SD. Terlalu dini, memang. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Namun, satu hal yang tidak pernah dilakukan Allen saat pacaran, ia tidak pernah mendua.
“Gue rasa ketiga mantan lo pengen balikan!” Celetuk Tania.
“Balikan dari Hongkong?!”
“Dari Indonesia-lah, masa dari Hongkong.”
“Tan, lo bisa serius dikit?!”
“Lah, emang sekarang gue lagi serius.”
“Tau, ah. Gak mantan, gak temen, sama aja nyebelinnya.”
“Emang gue nyebelin gitu?”
“Tau, ah. Kesel gue.”
“Lo lagi PMS? Sensi banget jadi orang.”
“Lagian gak mungkin ABC lima dasar itu pengen balikan sama gue. Mereka cuma pengen liat gue menderita!” Allen tidak memedulikan pertanyaan Tania.
“Bisa jadi.” Tania mengangguk, lalu pandanganya beralih pada Elsa yang sedang menunduk sambil senyum-senyum tidak jelas.
“Sa, lo kesambet? Senyum-senyum sendiri.”
Elsa menegakkan kepala, membalas tatapan Tania dengan menggeleng.“Gue cuma lagi seneng aja.”
“Seneng kenapa?” Tania masih belum melepaskan pandangannya pada Elsa yang sedang mengulum bibir.
“Gue baru ketemu cowok ganteng.”
“Siapa?!” Tania dan Allen berbicara bersamaan.
Bukannya menjawab, Elsa malah senyum-senyum tidak jelas. Detik berikutnya langsung menenggelamkan wajah di atas meja.
Tania dan Allen langsung mengkerutkan kening, lalu bertatapan satu sama lain.
“Temen kita udah mulai kambuh.” Celetuk Tania.
“Gilanya.” Allen menambahi.
***
Sudah hampir satu bulan Allen menjomlo, mungkin bagi orang lain itu adalah waktu yang singkat, tetapi tidak untuk Allen. Mencintai dan dicintai adalah sebuah kebutuhan. Dengan mendapatkan kedua hal itu, Allen merasa hidupnya lebih sempurna. Tapi Allen masih ragu, selama berpacaran apakah ia mendapatkan kedua hal tersebut?
Sebenarnya Allen menginginkan sebuah hubungan yang langgeng. Setidaknya bisa bertahan lebih dari tiga puluh hari. Namun ternyata itu sangat susah. Allen mudah bosan dengan lelaki. Bahkan pernah dalam sebulan Allen sudah mendapatkan sepuluh mantan. Dua hari jadian langsung putus begitu saja, lalu jadian lagi dengan orang lain.
Allen bangkit dari ranjang, ia belum berganti sama sekali setelah pulang sekolah. Kakinya bergerak ke arah pintu, lalu berhenti. Allen berhadapan dengan sebuah foto yang dipasang di pintu. Seorang perempuan berkaca mata yang tersenyum memperlihatkan gigi kelinci seperti yang dimiliki Allen. Perempuan itu sedang duduk di sebuah ayunan dengan menggunakan seragam putih dan rok kotak-kotak berwarna merah.
“Gue gak tahu kenapa lo punya keinginan yang aneh, Nell?” Allen berbicara pada foto di hadapannya. Tentu saja, seberapa keras Allen berbicara, seberapa lama Allen menunggu, tidak akan pernah ada jawaban yang didapatkan.
Tangan Allen mengusap foto itu dengan pelan, “Gara-gara lo, gue gak bisa ....”
“Lupakan!” Allen menahan perkataannya, ia sudah tidak sanggup lagi. Pandangannya mengabur karena air mata yang sudah berkumpul di pelupuk. “Lo dulu masih kecil banget, tapi keinginan lo kayak orang dewasa aja. Tapi gue bakalan nepatin janji gue ke lo. Tinggal satu lagi, seperti yang lo katakan, setelah itu gue bisa bebas dan lo bahagia.”
Gue seneng bisa bantu lo, tapi gue juga punya hak buat bahagia.