"Kak Chaka!" teriakku sekuat tenaga ketika sampai di rumah bewarna hijau muda dengan pagar bewarna putih. "Kak Chaka, Kak Chaka!"
"Eh, berisik amat sih, Ngil. Malam-malam begini gangguin orang saja," kata Choki yang tiba-tiba membuka pagar rumahnya.
"Lho kok malah Kamu, sih? Kak Chaka mana?" tanyaku dengan nada sewot.
"Masuk, gih!" perintahnya pelan kepadaku.
Selepas pagar dibuka tanpa disuruh untuk kedua kali oleh Choki si Cokelat Buluk, aku sudah memasuki rumah mereka. Aku celangak-celinguk segera guna mencari Kak Chaka. Namun, ternyata Kak Chaka tidak ada, di mana pun.
"Lho, Luk Kak Chaka mana?" tanyaku.
"Memang aku bilang Kakak ada di rumah?" Choki malah balik bertanya dengan santainya.
"Lha tadi nyuruh aku masuk tuh, bukan karena Kak Chaka ada di rumah?" tanyaku dengan wajah sok polos.
"Tolol, aku nyuruh kamu masuk tuh, biar enggak dikira tuyul. Nanti kalau ada orang lewat, lihat kamu ada di depan rumahku. Mereka pasti akan berkata, ’pantesan ya kaya, orang memelihara tuyul, sih.’ Kan bisa repot. Bukan karena kakakku ada di rumah, kecuali kalau aku bilang kakak ada di rumah," jelas Choki panjang kali lebar.
Menyebalkan. Selalu saja Choki si Cokelat Buluk itu mengejekku. Sabar sabar Decha orang sabar jodohnya Kak Chaka, batinku mengucapkan mantra kesabaranku jika menghadapi iblis kecil tetanggaku ini.
Namaku Decha Liana Putri. Aku anak tunggal aku sering bermain ke rumah tetanggaku. Mereka kakak beradik. Chakandra Pambarep atau sering aku panggil Kak Chaka, dia lebih tua tujuh tahun dariku. Dia baik, ganteng, ramah, pinter pokoknya istimewa pakai dua telurlah, kalau di dunia ke-martabak-an. Ibarat kata Kak Chaka kayak pangeran berkuda putih buatku. Impianku sejak kecil ingin menikah dengan Kak Chaka. Dan, ini masih menjadi impianku hingga aku berusia tujuh belas tahun.
Adiknya sebaya denganku, dia bernama Choki Bagastara. Kebalikan dari Kak Chaka dia sungguh sangat menyebalkan kalau ada survei, pasti delapan dari sepuluh cewek akan mengatakan seorang Choki seperti setan level sembilan atau seperti gado-gado Bi Onah yang berkaret dua. Kalau dekat dengan dia bawaannya ingin baca Ayat Kursi atau minimal Basmalah biar hawa setannya jauh-jauh dari kita. Dia selalu memanggilku dengan panggilan Mungil. Memang tinggiku hanya 149 cm, sangat mungil bukan? Untuk gadis yang sudah berstatus siswa SMA. Ketika anak seusiaku bisa tumbuh tinggi dengan baik. Aku masih saja tertahan di badan anak SD.
"Eh, Ngil ngapain ke sini? Bawa apaan tuh?" tanya Choki sembari tangannya mengambil kotak kue yang kubawa.
"Jangan, ini buat Kak Chaka!" larangku. Aku masak sendiri, nih," lanjutku membanggakan diri.
"Sini! Aku cek dulu siapa tahu Kamu kasih pelet! Agar kakakku klepek-klepek sama kamu," kata Choki sambil membuka kotak kue dan mulai memakannya dengan lahap.
"Enak, saja bukan pelet tapi cinta. Aku membuatnya pakai cinta dan kekuatan bulan. Enggak perlu pakai pelet nanti Kak Chaka juga cinta sama aku."
"Jangan ngimpi, Ngil kalau jatuh sakit lho! Kakak mana mau sama Kamu. Lihat kamu aja mungil, tinggi cuma sedadaku kayak anak SD mana kerasa kalau digrepe-grepe! Yah mungkin kerasa sih kayak lagi megang guling yang sudah kempet."
Enak aja kalau ngomong dasar Buluk udah tadi ngatain tuyul sekarang ngatain guling yang sudah kempet, batinku. Dasar Choki-Choki si Cokelat Buluk bukan lagi cokelat asli enaknya sekali.
"Eh, mau ke mana, Ngil?"
"Mau pulang ngapain ke sini kalau Kak Chaka enggak di rumah," kataku bergegas menuju pintu keluar.
"Lain kali kuenya jangan asin ya, Ngil!" teriaknya yang masih dapat kudengar dari luar.
Ah, masa asin? batinku.
Aku pun bergegas ke rumah dan mengambil salah satu kue yang kubuat tadi untuk Kak Chaka. Benar rasanya asin tapi mengapa si Buluk tadi memakannya hingga habis ya? Itu anak lapar atau doyan yang asin? Supaya dapat membuat orang lain darah tinggi, Kali ya? Ah bodo amat, untung Kak Chaka tadi belum sempat memakan kue yang aku buat tadi, bisa dicoret nanti aku dari daftar calon pasangan Kak Chaka.
nice story ditunggu kelanjutannya
Comment on chapter Prolog