DELAPAN BELAS
Menunggu hari ulang tahun terkadang sampai membuat susah tidur. Menunggu hari kelulusan juga membuat perasaan semacam itu. Pun, menunggu hari di mana menjadi seorang mahasiswa. Waktu berjalan dengan teramat lambat. Matanya tak percaya menatap langit, di atas sana biru membaur dengan putih, tak ada deretan awan mendung. Cerah bersama mentari yang baru beberapa waktu menyinsing. Runtutan kegiatan ospek sudah di depan mata. Kumpulan orang berpakaian hitam putih memenuhi ruas jalan. Pakaian yang sama dengan apa yang Majid kenakan sekarang. Saling berbondong, berbaris dengan rapi di setiap ruas jalan. Anak lelaki itu ikut mengantri dalam barisan. Mengekor menuju ruang seminar untuk memulai hari pertamanya, sebagai seorang calon mahasiswa baru.
Ternyata membosankan, pikirnya. Berbeda dengan rasa menunggu hari itu tiba, menggebu-gebu tak sabar. Ospek mahasiswa sepuluh kali lebih melelahkan dibanding kala SMA dulu. Lebih menjenuhkan dari upacara hari Senin. Majid sudah menguap untuk kesekian kalinya. Berharap kegiatan itu lekas berakhir. Pulang kembali ke kos, tidur sampai pagi. Dan kembali pada prosesi membosankan keesokan harinya. Majid menghela napas, berusaha menikmati suasana menjenuhkan dalam ruang seminar seperti yang dilakukan para calon mahasiswa baru lainnya. Dalam diam mendengarkan setiap perkataan orang di atas mimbar.
Selesai dengan satu prosesi, dirinya dan semua calon mahasiswa baru kembali digiring menuju lapangan luas untuk dijejali berbagai arahan baru yang menurutnya tidak kalah menjenuhkan. Seandainya saja bisa satu jurusan dengan Melissa, orang yang dia kenal, mungkin tidak akan semenjenuhkan ini. Paling tidak ada teman yang bisa dia ajak berkompromi atau sekedar berkeluh kesah. Sempat terlintas untuk membolos saja esok hari jika acara ini bukan acara wajib. Dengan ogah-ogahan dia berdiri mematung di tengah tanah lapang, sebelum akhirnya dia dan rombongannya kembali digiring ke ruang ospek kedua untuk pemberian materi umum tentang perkuliahan.
Kegiatan di dalam ruang ospek kedua tidak kalah menjenuhkannya dari pagi tadi. Aryo, seorang anak laki-laki di sebelah kanannya duduk juga mengeluh demikian. Beberapa waktu lalu Majid berkenalan dengan anak asal Jawa Timur itu tepat ketika duduk di bangkunya. Selain berkenalan nama dan asal daerah, mereka juga sangat sepakat jika sebenarnya hal yang berbau ospek tidak ada rasa bahagia di dalamnya. Hanya rasa lelah dan amarah ketika para senior membuat semacam hukuman dan bentakkan. Memang ospek belangsung selama tiga hari. Namun, rasanya hampir seperti tiga minggu. Begitu yang dikatakan Aryo padanya. Majid menggangguk sepakat.
Majid dan teman barunya, Aryo berjalan meninggalkan ruang seminar berbarengan dengan rombongan mahasiswa lain. Keduanya berdesakkan menuruni tangga, melalui jalanan kampus menuju arah yang sama dengan rombongan dari ruangannya. Berbagai runtutan kegiatan ospek hari pertama membuat perutnya keroncongan. Matanya berbinar melihat butiran es dalam gelas-gelas teh. Terlihat dingin dan menyegarkan. Terlebih kota Semarang terkenal panas seperti siang ini, membuatnya tak sabar menelan ludah. Dia dan Aryo bergegas mencari makanan untuk sekedar mengisi perut mereka dan segelas es teh dingin. Beberapa botol-botol dingin berdiri di dalam lemari pendingin, sebuah kantin menyediakan berbagai makanan yang menggugah selera.
Di sebuah bangku Majid memakan roti dan sesekali meminum segelas teh dingin. Di sekitar ratusan mahasiswa lain saling berkerumun, mengantre membeli makanan. Sebagian dari mereka sudah terlihat sibuk dengan makanan mereka. Matanya melotot. Pandangannya tertuju pada satu titik. Majid bangkit meninggalkan Aryo, berlari tergesa sambil mengucap “permisi” terus mendesak masuk pada kerumunan. Perbandingannya memang 1 banding 1000. Tapi pasti tidak salah lagi, matannya melihatnya. Gadis yang mungkin dikenalnya, walaupun dia hanya melihatnya secara sekilas. Dia bergegas berlari, meskipun keadaan cukup riuh. Dia bergegas sebelum gadis itu jauh menghilang.
“Hai.” Kata Majid seraya memegang pundak gadis itu dari belakang.
Gadis itu terkejut seraya berbalik. “Ah kamu,” dia tertegun menatap wajah lelaki di depannya, rambutnya berbeda. “Majid! Kamu mengagetkanku saja.” Kata gadis itu kemudian.
“Kamu tidak jadi kuliah di Yogyakarta?” Tanya Majid.
“Kamu sendiri katanya mau kuliah di ibu kota?” gadis itu balik bertanya.
Majid hanya tersenyum mendengar pertanyaan Martha. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia mengikuti orang aneh yang setiap malam mengiriminya pesan misterius. Terdengar konyol. Dan lagi, topik yang tidak cocok dia libatkan pada mantan kekasihnya itu.
Aryo menyusul Majid dengan napas memburu, dia berada di sebelah kanannya setelah berlari. “Ini air minummu.” Ucapnya seraya menyerahkan minuman dingin di tangannya.
“Terima kasih Ar. Maaf ya, aku lupa asal main lari saja.” Kata Majid nyengir. “Eh kenalkan, Martha ini Aryo. Aryo ini Martha” Kata Majid memperkenalkan Aryo dengan Martha.
“Martha.” Kata gadis itu mengulang singkat seraya menjabat tangan Aryo. “Dan ini Jessica.” Katanya memperkenalkan teman di sebelahnya. Sementara gadis itu hanya tersenyum memarkan kawat behel di giginya. Rambutnya hitam ikal bergelombang. Kulitnya kuning langsat. Pun, senyumnya terlihat manis dibalik paras sayunya.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Majid kemudian.
“Salat. Kami mau ke mushola. Kamu mau ikut sekalian?” Kata Martha.
“Boleh, kebetulan kami juga belum salat.” Jawab Majid. “Ayo, Ar.” Majid mengajak Aryo.
Mereka berempat berjalan berdampingan menuju mushola.
***
Hari kedua ospek berlalu sama, lambat dan membosankan. Tidak jauh berbeda dengan ospek hari pertama yang berisi ceramah di ruang seminar. Sisi baiknya Majid bertemu dengan Martha kemarin. Juga teman barunya Aryo. Paling tidak sekarang dia ada teman lain yang bisa dia ajak bergaul bersama. Hari kedua mereka habiskan dengan mendengarkan dialog dalam ruang seminar. Sepulang dari kampus, Majid, Aryo, Martha dan Jessica melepas lelah di kedai minuman. Berbincang apa saja mengenai diri mereka masing-masing. Tertawa bersama melepas rasa lelah mereka seharian.
Sampai akhirnya tiba hari ketiga. Hari terakhir pelaksanaan ospek. Melihat kalender kecil dikamarnya, lingkaran merah pada angka terakhir kegiatan ospek membuat hatinya lega. Akhirnya pelaksanaan ospek segera selesai. Saatnya menjadi mahasiswa yang sesungguhnya.
Kegiatan hari ini ada yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan dua hari lalu. Terdapat unjuk kebolehan dan promosi dari para senior di berbagai unit kegiatan mahasiswa. Seperti prosesi di hari sebelumnya, kegiatan berada di tanah lapang. Semua duduk di tanah menyaksikan pertunjukkan. Sampai waktu istirahat tiba siang nanti ada lima penampil. Setiap penampil mendapat antusiasme dan tepuk tangan meriah dari para mahasiswa baru. Mereka juga menjelaskan bagaiman cara bergabung dengan kegiatan yang mereka bawa.
Semua rombongan kembali berdiri dan berbaris rapi. Berbondong meninggalkan tanah lapang dengan rapi. Hal yang membedakan kala ini adalah penampakan seorang gadis lain. “Siska!” Majid melihat gadis yang dikenalnya dengan nama Siska. Si gadis misterius bernama asli Iis pada hasil fotonya.
Di dalam kerumunan para calon mahasiswa baru Majid melihat gadis itu. Kejadiannya hampir sama di saat dia bertemu Martha. Sosoknya terlihat sekejap, lalu hilang dalam kerumunan orang-orang. Padahal Majid segera berlari ke arah gadis itu menuju.
Nihil. Jauh dalam relung hatinya dia berharap jika perempuan itu adalah Iis, tapi hal itu segera ditepisnya karena sesaat sosok yang dilihatnya berhijab dengan anggun berbeda dengan Iis yang dia kenal memakai pakaian kasual. Mungkin mereka hanya mirip. Meski begitu dia merasakan kenangan hangat walau hanya sejenak tatkala memandang penampakan gadis itu. Tapi entah dimana Majid tak sanggup mengingatnya. Dia kembali pada barisannya. Setidaknya ini adalah hari terakhir yang menyenangkan sebelum akhirnya deretan orang di sekitar Majid menjadi mahasiswa seutuhnya.
Prosesi pertunjukkan di mulai lagi seusai istirahat dan berakhir sore hari. Ditutup dengan pidato acara penutupan ospek. Hari-hari sebagai mahasiswa telah menanti Majid dengan kehidupan barunya. Selepas ospek hari terakhir Majid sudah berjanji pada Martha untuk makan bersama. Majid menunggu Martha di parkiran jurusan sampai gadis itu datang masih dengan pakaian ospeknya yang sama dengan Majid. Keduanya lantas meninggalkan parkiran yang masih penuh sesak.
Martha dan Majid memasuki sebuah warung makan tidak jauh dari kampus mereka berada. Keadaannya cukup sejuk dengan hembusan AC di beberapa dinding. Cat temboknya yang berwarna jingga juga cerah dan terawat. Mereka duduk berhadapan sampai seorang pelayan datang menghampiri mereka. Kurang dari lima menit pelayan meninggalkan mereka bersama kertas pesanan.
“Kamu belum bercerita kenapa memilih UNDIP daripada UI.” Kata Martha membuka sebuah obrolan.
“Aku sendiri juga tidak tahu. Katika aku mencoba ke Semarang untuk melihat kampus ini, tiba-tiba saja aku tertarik. Ya, karena ada saran juga sih dari teman.” Kata Majid menjelaskan.
Kedua alis Martha menyatu. “Teman? Maksudmu Amir atau Rudi?”
“Kamu kira temanku hanya mereka berdua saja.” Jawab Majid jengkel.
Martha tertawa melihat ekspresi Majid yang menurutnya lucu. “Maaf-maaf.” Katanya seraya menahan tawanya.
Pelayan kembali dengan nampan berisi makanan dan minuman. Dia meletakkan makanan-makanan itu di atas meja tepat dengan pemesannya. Setelah memastikan pesanan Majid, dia bergegas kembali ke posisi awalnya.
“Terus kamu sendiri kenapa tidak jadi kuliah di Yogyakarta?” Tanya Majid, sementara jemarinya berusaha memotong daging steak di hadapannya. Aromanya mengepul dalam ruangan.
Martha meminum es cokelatnya dengan perlahan. Air cokelat yang dingin mengalir perlahan di tenggorokannya, menyegarkan dirinya dari rasa lelah. ”Hmm, kalau aku sih karena ibuku yang meminta. Memang sebenarnya aku ingin ke Yogyakarta. Namun, ayah dan ibuku memastikan untuk mendaftar di sini karena bibiku tinggal di Semarang dekat dari sini.”
“Jadi kamu tidak tinggal di kos?”
“Tidak. Tadi pagi pamanku yang mengantar, karena sepeda motor yang akan aku gunakan belum datang. Jadi, kamu mau kan mengantar aku pulang?” Kata Martha menggoda.
“Boleh. Lagian aku yang mengajakmu. Sudah sewajarnya aku bertanggung jawab mengantarmu pulang.” Majid tersenyum.
Martha tertawa mendengar jawaban anak laki-laki di depannya. Munafik jika dia tidak menyadarinya. Sepertinya rasa cintanya kepada anak laki-laki tersebut masih tersisa. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu. Namun ketika bersamanya, suasana hatinya pasti dalam keadaan senang dan nyaman. Andai kala itu dia tidak meninggalkannya. Kadang pemikiran seperti terlintas begitu saja dalam bayangannya. Sesaat kemudian suasana hening. Mereka terlihat lahap menikmati makanan mereka.
Setelah mengantar Martha, Majid memutuskan untuk segera pulang ke kos, rumah dengan cat biru langit. Semenjak kuliah di Semarang, Majid memutuskan tinggal di sana. Meskipun kamar kosnya tidak terlalu luas tapi tempatnya cukup bersih dan tertata rapi. Disamping keadaanya yang sederhana, pun masih terlihat beberapa pot bunga indah di depan pintu utama kos. Kos tersebut berstruktur bangunan lama bercat biru muda. Bangunannya luas berkamar-kamar. Sang pemilik kos juga tinggal menetap di sana. Belum ada satu minggu anak laki-laki itu tinggal di kos sederhana itu. Sehingga penataan kamarnya masih terbilang seadanya dan terkesan sedikit berantakan.
Di sudut ruangan kamar kos tergelar sebuah kasur lipat lengkap dengan selimutnya. Tepat di depannya berdiri sebuah lemari baju setinggi satu setengah meter. Di samping kiri lemari tersebut terdapat sebuah meja kecil serba guna untuk menulis atau bisa dia gunakan untuk tempat laptop. Di sebelahnya lagi masih ada galon air dan beberapa kardus yang belum selesai dia rapikan di sisa ruangan kosongnya.
Majid merebahkan tubuh lelahnya di kasur lipat yang menurutnya tempat ternyaman sekarang. Seakan-akan rasa lelah selama tiga hari menumpuk dalam dirinya. Tidak ada lagi daya maupun tenaga untuk beraktifitas, kecuali tidur. Telepon genggamnya bergetar. Mungkin si pengirim pesan misterius itu. Jika bukan karena si pengirim pesan misterius itu, dia pasti sudah terlelap saat ini juga.
Pada layar telepon genggamnya, si pengirim pesan misterius bertanya, “Bagaimana kegiatan ospekmu selama tiga hari ini kawan?”
Sudah beberapa hari ini entah mengapa Majid tidak mendapat pesan darinya. Ketika malam hari datang Majid hanya terjaga sesaat. Rasa lelahnya membuat anak laki-laki itu terlelap. Baru malam ini Majid menjawab pesan itu dengan antusias. Dia menceritakan semua hal yang dialaminya ketika ospek. Bagaimana rasa lelahnya menghadapi senior menyebalkan dan pertemuannya dengan Martha yang menurutnya sangat kebetulan. Namun, sebelum Majid menceritakan kejadian di hari ketiga, si pengirim pesan misterius sudah menanyakannya lebih dulu.
“Apakah kau sudah bertemu dengan seseorang yang membuatmu tertarik?” Tanya si pengirim pesan itu dalam balasannya.
Majid kembali menjelaskan kejadian tadi siang. Di mana kehadiran sesosok gadis yang mungkin dia kenal. Sayang gadis itu lenyap dengan sekejap. Tapi si pengirim pesan misterius itu menanggapi lagi dengan jawaban aneh.
“Benang merah telah memudar dari keruwetannya. Tapi benang yang lain sedang saling merangkai.”
Majid menanyakan maksud dari pesan tersebut. “Benang merah? Apa maksudmu?” Tapi pengirim pesan itu tidak menanggapinya. “Siapa gadis itu sesungguhnya?”
“Dia juga sama denganmu kan? Calon mahasiswa baru.” Jawab singkat si pengirim pesan itu.
“Kalau sekedar itu aku pun juga tahu.” Balas Majid kemudian.
“Setelah melihat acara tadi saing, kamu sudah ada pilihan mengikuti kegiatan apa?”
Majid menjawab pertanyaan itu secepat biasanya. “Tentu saja fotografi.”
Terlebih setiap calon mahasiswa baru telah diberi kesempatan melihat tenda-tenda para unit kegiatan untuk sekedar bertanya-tanya. Mencari tahu sendiri keadaan unit kegiatan yang mereka inginkan. Termasuk Majid yang mengunjungi tempat unit kegiatan fotografi berada.
Si pengirim pesan misterius menolaknya. Dia masih memberi saran pada Majid. Kata-katanya menjelaskan jika Majid ingin segera bertemu dengan gadis bernama Iis dia harus mengikuti jalur yang dia buat. Apapun itu, Majid harus mengikuti alurnya.
Majid bersikeras mengatakan akan masuk di unit fotografi. Karena itu Majid sampai kesal dibuatnya. Terlebih disaat usulnya masuk di unit kegiatan fotografi di tolak mentah-mentah oleh si pengirim pesan misterius. Bahkan dia menyuruhnya masuk di unit kegiatan Jurnalistik. Di akhir percakapan dia menyuruh Majid untuk sabar dan tidak terburu-buru.
Awalnya dulu juga demikian. Majid ingin medaftar di Program studi Arsitek namun si pengirim pesan misterius menuntunnya di jurusan Sastra Indonesia. Hal itu membuatnya kesal. Namun, saat ini yang perlu dia lakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk merangkai masa depannya. Meskipun dia harus mengikuti alur yang telah diciptakan oleh orang lain, si pengirim pesan misterius. Terlebih dia sendiri tidak mengenal siapa gerangan orang dibalik pesan-pesan itu. Hidupnya penuh kekonyolan yang membingungkan. Menyerahkan masa depannya pada pesan-pesan yang tak jelas dimana rimbanya.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu