TUJUH BELAS
Udara masih dingin, jendela kamarnya terbuka sebagian mempersilahkan suasana pagi untuk bertamu. Sepertinya Majid terlelap semalaman tanpa sempat mengecek keadaan sekitar. Dan baru tersadar ketika hawa dingin mengejutkan kulitnya. Selimutnya masih terlipat rapi disebelahnya. Keadaan diluar masih temaram oleh lampu jalan karena matahari masih terlelap dibalik belahan bumi lain. Anak lelaki itu terlihat menarik selimut setelah menutup jendelanya terlebih dulu. Matanya masih terasa mengantuk untuk memulai aktifitas. Majid memilih menutup matanya selagi sinar matahari belum menyirami daratan, melanjutkan tidur barang sebentar. Rasa kantuk masih menguasainya pagi ini.
Kenyataannya tidur yang dia lakukan tidak senyaman sebelumnya, tidak pula berlangsung lama. Dia terbangun lantas duduk, menguap hebat. Teringat akan pesan misterius semalam, seperti memperintahkannya untuk segera bangun. Melihat kebenarannya.
Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari di mana telepon genggamnya berada. Memeriksa jika ada sebuah pesan baru di sana. Ibu jarinya menekan, menahan tombol telepon genggam hingga menyala. Benar adanya, sebuah pesan baru telah menantinya. Datang sesaat setelah layarnya menyala. Dia membuka pesan itu selagi masih hangat, harap cemas dengan isinya. Mereka-reka apa yang akan dikatakan si pengirim misterius pagi ini.
“Selamat pagi. Jangan lupa sobat, hari ini ibumu akan membuatkan sarapan lain daripada sebelumnya.” Isi pesan misterius itu lebih terlihat seperti sebuah pengingat daripada ucapan selamat pagi semata.
Majid menengok jam dinding. Jarumnya menunjuk pukul enam tepat. Penuh rasa ingin tahu, Majid bergegas bangkit. Dia melompat dari ranjang nyamannya menghambur menuruni anak tangga. Sampai suara langkahnya terdengar tatkala beradu dengan anak tangga yang terbuat dari kayu. Menuju dapur tempat di mana ibunya berada. Di sana juga sudah ada bi Ijah yang selalu membantu ibunya setiap pagi. Dan kembali kerumahnya ketika makan malam sudah terhidang. Rumahnya dekat, bi Ijah sudah membantu keluarganya beberapa saat setelah ayahnya meninggal.
Rasa-rasanya dia harus membuktikan sendiri dengan kedua matanya mengenai kebenaran yang dilontarkan oleh si pengirim pesan misterius.
“Sarapannya sudah siap bu?” Tanya Majid kepada ibunya.
“Sebentar, 15 menit lagi. Tumben kamu tanya sarapan. Mau ada acara?” Tanya ibunya.
Majid terkejut mendengar waktu yang di katakan ibunya menjelang sarapannya siap. Pasalnya waktu itu sama dengan yang dikatakan oleh si pengirim pesan misterius semalam.
“Apa yang ibu buat?” Selidik Majid kembali memastikan. Berharap si pengirim pesan itu melakukan kesalahan pada prediksinya.
“Nasi goreng seafood.”
“Tidak biasanya ibu membuat masakan berat untuk sarapan?” Tanya Majid tidak percaya.
Ibunya menggeleng. “Tiba-tiba saja ibu sedang ingin membuatnya pagi ini.”
“Ya sudah bu, aku mau mandi dulu.” Majid kembali berlari menaiki tangga. “Aku mau ke Semarang, melihat UNDIP.”
“Bagaimana dengan Jakarta? Kamu tidak jadi ke Jakarta. Katanya ingin ke sana?”
“Tidak bu.” Jawab Majid singkat.
Majid lantas kembali menuju kamarnya. Dia meraih telepon genggamnya, memastikan apakah ada pesan baru lagi. Rupanya dia terlambat beberapa menit. Pada layar telepon sudah ada pesan baru. Kemungkinan pesan itu tiba ketika Majid masih di bawah.
“Bagaimana hasilnya sobat? Apa aku salah?” Isi pesan dari si pengirim pesan misterius.
“Setelah mandi dan sarapan aku akan menuju ke UNDIP. Aku harap kau memberiku arahan yang tepat.” Ketik Majid untuk membalas si pengirim pesan misterius.
Segala kebutuhannya pagi ini sudah selesai dia siapkan, Majid segera bergegas menuju terminal. Sejam kemudian dia sudah berada dalam bus menuju Semarang. Siang nanti dia akan segera tiba di perguruan tinggi itu, jika arus di jalanan tidak padat merayap.
Telepon genggamnya bergetar. “Lihat-lihatlah dulu jurusan apa yang ingin kau ambil sobat. Semoga pilihanmu sama dengan arahanku.” Isi pesan baru dari si pengirim pesan misterius.
Majid hanya membaca pesan itu sekilas tanpa membalas. Beberapa menit setelahnya dia terlelap. Bus yang dia tumpangi melesat dari Surakarta menuju Semarang bagai angin. Saking cepatnya dia tak menyangka waktu berlalu. Mungkin juga karena dirinya yang terlelap. Dalam mimpi dia melihat dirinya dalam suasana baru, di tempat asing. Sebuah tempat penuh pepohonan dan bangunan tingkat. Di antara pepohonan berderet bangku. Sebuah taman dan dirinya duduk di sana. Seperti menunggu seseorang, yang dari kejauhan seorang gadis menghampirinya. Gadis itu tersenyum padanya. Kemudian hilang karena guncangan, terbangun. Mimpi itu lenyap secepat dia datang. Sebelum dia berhasil menerka sosok gadis dalam mimpinya. Majid tidak ada ingatan akan sosok sang gadis.
Wajahnya memandang jendela bus. Dia sudah berada di jalanan kota Semarang, terlihat dari beberapa bangunan yang diingatnya. Hal lain terlihat di telepon genggamnya, di sana tertulis Semarang. Tanpa terasa waktu tiga jam berlalu begitu saja. Tidak perlu waktu lama sampai akhirnya dia sampai di perguruan tinggi itu. Di sana dia hanya perlu menuju di bagian informasi, mencari informasi seputar kampus, jurusan yang ada serta cara pendaftaran dan biaya pendaftaran.
Keadaan di ruang informasi tidak sesepi yang dia bayangkan. Hanya untuk mencari sebutir informasi dia harus mengantri beberapa lama. Setelah mendapat informasi itu dia tidak segera pulang begitu saja. Dia duduk di sebuah bangku taman untuk melepas lelah membayangkan tentang dirinya kala menjadi mahasiswa nanti. Tinggal dua bulanan lagi dia resmi menempuh takdirnya menjadi seorang mahasiswa. Juga terbayang mengenai mimpinya tadi dalam bus. Meskipun tidak begitu pasti tapi tempat dalam mimpinya mirip dengan tempatnya duduk saat ini.
Sisa waktunya di Semarang dia putuskan untuk mencari tempat tinggal yang akan menampungnya ketika kuliah nanti. Berbagai lokasi dia jelajahi di sekitar kampus untuk mencari hunian yang cocok menurutnya. Sampai sebuah rumah sewarna langit terlihat tenteram untuknya. Menariknya untuk menengok lebih jauh, siapa tahu ada kamar untuknya dan terlebih nyaman untuknya menghabiskan tahun-tahunnya di kota Pelabuhan.
Setelah beristirahat di tempatnya melepas lelah sehabis mengelilingi tempat kos beberapa saat, dia melanjutkan perjalanannya ke tujuan selanjutnya. Dia penasaran apakah teman-temannya juga melakukan hal yang sama dengannya. Karena berputar-putar di kota orang sendirian terasa sangat sepi tanpa adanya sosok teman yang menemaninya. Karena perasaan itu dia teringat akan teman-temannya yang sudah berada di luar negeri.
Telepon genggam yang berada di saku kanannya bergetar.
“Hai sobat, jangan khawatir aku akan menemanimu sampai waktunya telah tiba.” Pengirim misterius itu tiba-tiba kembali mengirim pesan anehnya tiba-tiba.
Sebelum pulang ke kotanya, dia memutuskan untuk sekedar mampir ke SMA Bintang Kejora. SMA penyelenggara lomba fotografi tahun lalu. Sebuah sekolah yang mempertemukannya dengan sosok gadis misterius yang sangat dia rindukan. Mumpung waktu masih panjang, dia ingin memastikan keberadaan Siska di sekolah itu. Siapa tahu dia mendapatkan sebuah petunjuk lain. Majid mencoba meminta saran pada si pengirim pesan misterius. Hening. Telepon genggamnya tidak ada tanda-tanda balasan. Si pengirim pesan misterius tidak menanggapi pertanyaan Majid.
Siang itu juga Majid tetap menuju SMA Bintang Kejora, walaupun si pemberi saran tidak mengatakan apapun padanya. Dia berpikir tidak ada salahnya, karena dia sedang berada di Semarang saat ini. Siapa tahu dia bisa bertemu dengan Siska sesegera mungkin, tanpa sengaja. Seperti tahun lalu, dia berangkat menuju SMA itu dengan sebuah taksi.
Sesampainya di SMA Bintang Kejora Majid berkeliling untuk mencari ruang OSIS berada. Melewati sebuah tangga di sebuah bangunan sebelah ruang kelas X-5 matanya tertuju pada ruangan yang di atasnya bertuliskan Ruang OSIS. Penjaga sekolah sebelumnya mengatakan jika ruang OSIS berada tepat di ujung jalan koridor, berada di antara tangga dan ruang kelas X-5. Untung saja ketika tiba di ruangan itu Majid masih sempat berjumpa dengan salah satu anggotanya. Dia menjelaskan pada anak itu maksud kedatangannya di SMA Bintang Kejora. Anak laki-laki yang kelihatannya anggota OSIS itu memperkenalkan dirinya dengan ceria. Rambutnya cukup rapi untuk anak laki-laki. Namanya Ridho dan dia mendengarkan cerita Majid dengan seksama. Majid juga menceritakan tentang anak perempuan bernama Siska yang dicarinya lengkap dengan ciri-cirinya. Butuh waktu lama untuknya menjelaskan semua alasannya, karena siswa di depannya merupakan anggota OSIS baru. Ridho saat ini masih kelas X, baru hendak naik ketingkat selanjutnya tahun ajaran depan.
Anak itu ijin diri meninggalkan Majid, mencari mantan ketua OSIS. Ridho tidak bisa membantunya lebih selain memperlihatkan album foto kegiatan satu tahun lalu. Karena pada waktu itu, dia masih duduk di bangku SMP. Majid meniti album foto lembar demi lembar tatkala Ridho meninggalkannya, dia tidak menemukan satupun panitia yang memiliki ciri-ciri atau paras seperti Siska yang dia ketahui. Dia pasrah dan menutup kembali album foto itu. Memilih menunggu kedatangan Ridho dengan mantan ketua OSIS yang mungkin bisa membantunya.
Tidak berselang lama anak itu kembali dengan seseorang di belakang. Majid menjabat tangan Rio, mantan ketua OSIS. Tangan anak itu sangat kuat. Tanpa dijelaskan anak jangkung itu pasti pemain basket walaupun sudah tidak menggunakan seragam seperti layaknya Ridho. Kemungkinan besar dia seumuran dengan Majid, dengan kata lain dia sudah lulus tahun ini. Majid kembali menjelaskan maksudnya berkunjung ke SMA Bintang Kejora.
Rio memang salah satu panitia perlombaan kala itu. Dengan bertemu dengannya, Majid bisa menjelaskan alasannya lebih detail lagi. Dia juga mengatakan jika dia teman Amir, Runner Up pada lomba satu tahun sebelumnya. Senyuman tersungging di bibirnya, mantan ketua OSIS mengenal Amir, juga ingin membantunya. Kebetulan gadis yang dicarinya datang ke sekolah hari ini. Karena sebuah kebetulan juga sedang ada rapat pengurus inti OSIS.
Seorang gadis memasuki ruang OSIS. Badannya langsing, rambutnya bergelombang dan berkacamata bulat. Ada tahi lalat kecil di bibir sebelah kanannya. Kulitnya sawo matang, berbeda dengan yang Majid bayangkan. Juga Siska tidak memiliki tahi lalat di wajahnya dan kulitnya jauh lebih putih dibandingkan gadis di hadapannya yang baru saja datang. Majid kembali terkejut melihat gadis yang ada di hadapannya saat ini. Ternyata Siska yang dia temui berbeda dengan orang yang dia cari. Setelah penantian yang begitu lama dia kembali kecewa.
Majid bertanya di ruang OSIS, ternyata nama Siska memang perempuan yang dia dapati sekarang. Namun pada hari acara dia tidak datang karena sakit. Rio menjelaskan jika anak perempuan yang menggunakan nama Siska kala itu hanya seorang relawan dari salah satu peserta dan nama gambarnya hanya tercoret nama Iis. Ketua OSIS memberi tahu jika dia juara paling misterius karena ketika para panitia mengecek keberadaannya semuanya nihil. Bahkan ketika penjurian para panitia telah mencoba mencari dan hasilnya sama saja. Pun di OSIS sama sekali tidak ada data mengenai alamat atau nomor yang bisa dihubungi, apalagi sosial media seperti Facebook, sungguh tidak ada apa-apa selain kekosongan.
Mengetahui hal itu Majid memutuskan pulang ke Surakarta dengan perasaan kecewa. Telepon genggamnya bergetar. Majid membuka pesan yang berisi dari si pengirim pesan misterius. “Ini alasan kenapa aku tidak melarangmu sobat. Karena aku tahu gadis yang kau cari tidak ada di sana.”
Majid mengetik untuk membalas pesan tersebut. “Terima kasih banyak telah membantu membuang waktuku dengan percuma.”
“Majid!” Teriak seorang gadis ketika Majid hendak meninggalkan SMA Bintang Kejora.
Majid menoleh ke belakang di mana sumber suara itu datang. Tidak mengherankan jika dia bisa bertemu dengan gadis itu. Anak perempuan yang beberapa waktu hilang dari hari-harinya.
“Kamu Majid bukan?” Tanya gadis itu ketika berada tepat di hadapannya.
“Iya. Dan kamu? Melissa?” Tanya Majid ragu-ragu.
“Maafkan aku ya.” Katanya dengan menyatukan kedua telapak tangannya. “Ikuti yuk.” Kata Melissa seraya menarik tangan Majid.
Kedua anak itu duduk di sebuah bangku kantin sekolah. Dua buah es teh sudah berada tepat di hadapan mereka.
“Maafkan aku sebelumnya. Aku sudah mengacuhkan semua pesan-pesanmu baik dari pesan singkat ataupun facebook.” Rengek gadis itu. “Aku bukan bermaksud seperti itu tapi,” gadis itu menahan ucapannya.
“Aku paham, setiap orang mempunyai alasan mereka masing-masing.” Sahut majid ketika melihat gadis itu kebingungan untuk beralasan.
“Begini, pacarku marah kala itu. Dia tahu jika aku dekat dengan seseorang dan dia mulai mengekangku. Akun Facebook-ku dicekalnya. Bahkan pesan di telepon genggamku rutin dilihatnya. Akhirnya aku tidak berani membalas pesan darimu. Menghapusnya sebelum kubaca. Aku benar-benar minta maaf.” Kata gadis itu kemudian.
“Tidak apa-apa. Terus bagaimana keadaan pacarmu?”
Melissa menggeleng kepalanya. “Aku sudah putus dengannya.”
“Aku minta maaf.” Kini gantian Majid yang memohon maaf.
Gadis itu hanya tersenyum melihat tingkah anak laki-laki di hadapannya. “Kamu tidak mau makan? Aku pesankan soto ya? Aku yakin kamu akan terkejut. Karena soto ibu kantin di sini tidak kalah dengan soto di Surakarta.” Gadis itu beranjak dari tempat duduknya.
Majid memandangi gadis itu. Sosoknya yang ceria terlihat menawan. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda menambah aura feminimnya. Majid menggelengkan kepalanya, lantas tersenyum tatkala gadis itu menoleh ke arahnya, membalas senyum. Melissa berjalan ria kembali ke posisi duduknya, di depan Majid.
“Oiya, apa kamu ke sini hanya ingin mencari gadis bernama Siska?” Tanya Melissa tiba-tiba.
“Oh iya, maksudku tidak. Aku ke sini karena kebetulan saja sedang di Semarang.” Jawabnya dengan gugup. Terakhir kali Majid merasakan perasaan ini sudah setahun yang lalu.
“Kamu lulus tahun ini bukan? Kau akan kuliah di mana?” Gadis itu masih bertanya mencairkan suasana dengan senyumnya yang khas. Entah berapa gula yang dia habiskan untuk senyuman semanis itu.
“Kamu juga lulus tahun ini bukan?” Bukannya menjawab, Majid malah bertanya balik, dan gadis itu mengangguk. “Aku habis dari UNDIP, itulah kenapa aku sekalian kemari.”
“Kamu mau kuliah di sana?” Sahut gadis itu penasaran.
“Kemungkinan besar iya.”
“Silahkan sotonya.” Kata ibu penjual kantin dengan ramah. Suara itu telah mengalihkan fokus Majid dari sang gadis sejenak.
“Terima kasih bu.” Jawab Majid dan Melissa bersamaan.
“Aku juga akan kuliah di sana.” Kata Melissa. “Kita akan sering bertemu nanti.” Gadis itu kembali tersenyum ceria. “Makan yuk.”
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu