TIGA BELAS
Majid merebahkan tubuh lelahnya di atas pembaringan sembari menatap langit-langit kamar. Bayangan kedua temannya mengisi lamunannya saat ini. Hari-hari bersama mereka menjadi topik utama. Melayang bebas dalam ingatannya. Beberapa kisah konyol membuatnya tersenyum sesekali. Dia tidak menyangka kebersamaan mereka begitu singkat. Membuatnya terjaga di malam yang semakin larut. Meskipun tubuh lelahnya memberontak memohon untuk segera terlelap.
Angin bertiup kencang menghadiahkan hawa dingin dalam ruangan. Majid terperanjat bangkit menuju jendela. Seingatnya dia sudah menutup jendela itu. Tapi bisa saja dia salah, bisa saja dia lupa. Kenyataannya udara malam masih masuk melalui jendela yang terbuka.
Matanya mengumbar pandangan menyaksikan kepekatan malam. Kompleknya dibalut dalam aura lampu jalan keremangan, sunyi dan menenangkan, juga terlihat angker. Di langit, Tuhan menaburkan jutaan kerlipan bintang dan keremangan sinar bulan. Apakah bintang jatuh itu nyata? Jika iya, bisakah aku menitipkan doa padanya. Sehingga bisa tersampaikan pada Tuhan, pucuk-pucuk doaku. Batinnya sesaat setelah melihat bintang jatuh.
Hening, yang dia dapatkan hanya kesunyian. Udara malam sekali lagi berhembus sedemikian rupa. Menciptakan rasa dingin lain, membuatnya menutup jendela kamar segera, serapat mungkin. Tangannya meraba memastikan jika angin tidak akan kembali masuk. Kakinya melangkah meninggalkan jendela setelah tangannya meraih korden, menutupnya.
Tiga langkah meninggalkan jendela kakinya berhenti. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia teringat akan sebuah benda kecil yang diketemukannya sore tadi. Pancaran matanya beralih menatap meja belajar. Di atasnya tergeletak tas kecil yang dia kenakan seharian. Dia melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Setibanya di depan meja, tangannya meraih tas itu, lantas duduk di bangku meja belajarnya. Jemarinya membuka resleting tas seraya memasukkannya ke dalam mulut tas. Dia menarik kembali tangannya bersama benda kecil di dalamnya. Benda itu terasa dingin. Mungkin karena malam. Mungkin juga karena terlalu lama di dalam sana.
Hal pertama yang terlintas dipikirannya ialah bayangan orang iseng yang telah melakukan hal tidak penting semacam ini. Memasukkan benda aneh dalam botol kecil. Memikirkan apa tujuan sebenarnya dari orang itu, namun tidak juga mendapat jawaban. Rasa penasarannya memaksa untuk segera membuka penutup botol itu, memastikan apa yang ada di dalamnya.
Penutup botol itu erat terpasang, sampai-sampai Majid kesulitan dibuatnya. Berbagai upaya telah dia lakukan namun gagal. Botol itu masih tertutup erat. Kegagalannya menambah keingintahuannya akan benda mungil itu. Sampai-sampai dia menggigit tutupnya yang berwana coklat karena terlampau tidak sabar. Sayang usahanya tetap sia-sia. Botol itu masih tertutup rapat.
Majid menatap botol kecil itu dalam bimbang. Berpikir cara apa yang harus dia upayakan untuk membukanya. Secepat udara berhembus, dia menarik laci mejanya mencari korek api. Sebuah bisikan halus mengisi lamunannya, membuatnya tergugah. Dia memanasi tutup botol itu sejenak sebelum menariknya. Dan ajaibnya, tutup botol itu terlepas dengan mudah. Detik selanjutnya dia hanya terdiam menatapi keanehan yang baru saja dia alami. Masih ada rupanya hal tidak masuk akal semacam ini. Lantas datangnya bisikan barusan itu siapa? Ada perasaan takut yang berbau mistis dalam hatinya mengingat dia hanya sendirian.
Segera dia membuang pemikiran bodohnya, kembali fokus tertuju pada botol kecil di tangannya. Mengamati botol itu sejenak. Sebelum akhirnya dia menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Butiran pasir tumpah ruah beserta sebuah benda aneh yang kemudian tertutup kembali oleh sisa butiran pasir terakhir. Jemarinya menarik benda asing itu dari dalam gundukan pasir pantai. Matanya melotot menangkap sebuah SIM Card berwarna merah jambu mencolok. Benar-benar. Orang aneh macam apa yang melakukan hal semacam ini.
Majid mondar-mandir di dalam kamarnya dalam bingung. Kepalanya penuh kalimat tanya terkait benda aneh itu. Dipikir bagaimana pun aneh rasanya ada SIM Card berwarna merah jambu. Apalagi tempat mendapatkannya sudah sangat meragukan. Mana mungkin benda semacam itu ditemukan di sekitar pantai dan masih aktif. Terlebih provider mana yang menciptakan kartu semacam ini. Lagi-lagi rasa penasaran mengalahkan pemikiran logisnya.
Dia berhenti tepat di depan lemari dan membuka pintu gandanganya. Dia berjongkok mencari sesuatu. Mimik mukanya berubah ketika mengeluarkan sebuah kotak kecil. Kotak peninggalan ayahnya. Di sana berisi foto-foto lama dan beberapa lipatan kertas, serta sebuah telepon genggam tua milik sang ayah. Kali kedua yang dia lakukan adalah membuka penutup telepon genggam tersebut. Meskipun hanya iseng, tetap saja dia merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi ketika memasang SIM Card itu.
“Hai, selamat malam sobatku.” Sebuah pesan terlihat dalam layar biru tak lama setelah jemarinya menari di atas telepon genggam peninggalan ayahnya.
Majid menanggapi pesan itu dengan penuh penasaran. “Siapa kau?”
“Sudah pasti aku adalah sobatmu kawan. Namamu Majid Syahputra bukan?” Balas pesan itu.
“Mengapa kau bisa tahu namaku? Siapa kau sebenarnya?” Majid mengetik balasan itu dengan cepat.
“Aku sobatmu Majid. Sama seperti Amir dan Rudi.” Isi pesan itu kemudian.
“Bagaimana kau juga bisa tahu nama kedua temanku. Kau anak SMA Citra mandiri juga? Jangan iseng kau ya!” Balas Majid dalam pesannya.
“Aku juga tahu siapa Martha dan alasan kenapa kau menolaknya kala itu.”
Majid merasa penasaran akan pesan aneh itu. Namun dia tidak menanggapinya lagi. Menyinggung nama Martha membuatnya malas. Dia hanya menganggapnya pesan iseng dan melupakannya. Lantas mematikan telepon genggamnya dan memasukkannya jauh-jauh ke dalam laci meja belajarnya. Dalam hitungan menit kamarnya benar-benar sunyi. Dia terlelap dalam tidurnya malam ini.
***
Sinar pagi yang cerah masuk menemmbus gordennya, menyinari kamar Majid dalam sebuah kehangatan baru. Letak barang-barang kini terlihat jelas. Di sana terdapat sebuah ranjang di tengah ruangan. Di sebelah kanannya terdapat meja belajar dan meja komputer tepat di sebelah meja belajarnya. Sedangkan di sisi yang berhadapan terdapat sebuah lemari baju besar. Beberapa poster pemain sepak bola dari tim Manchester United terpampang di sana.
Majid terbangun ketika suara ibunya memanggil untuk segera bangun karena sarapan sudah siap. Hari ini sekolah bebas tidak ada agenda apapun mengingat ujian nasional sudah selesai. Seperti halnya orang pada umumnya, Majid bergegas cuci muka dan menggosok gigi. Dia mengganti bajunya lantas menuju kursi makan untuk sarapan.
Majid menarik gagang pintu kamarnya. Belum lengkap selangkah meninggalkan ruangan, masih diambang pintu dia kembali masuk ke dalam. Kakinya melangkah cepat menuju meja belajarnya, penasaran. Kejadian semalam benar atau hanya buah tidur semata, pikirnya. Dia menarik laci dan menemukan telepon genggam tuanya. Dengan ragu tangannya mengambil telepon itu. Lantas menyalakannya.
“Sobat, kenapa kau mematikannya.” Kata pesan itu.
Lalu pesan kedua muncul. “Selamat pagi sobatku Majid. Kau tidak ke sekolah hari ini?”
“Aku lelah ingin istirahat.” Jawab Majid mengomentari pesan dari orang aneh tersebut.
“Ke sekolah saja, akan ada kabar hoki.” Jawab si pesan itu kemudian.
“Apa pedulimu!” Kata Majid membalas pesan tersebut. Detik setelahnya dia mematikan teleponnya, mengembalikannya dalam laci.
Majid memakan sarapannya dengan sangat lahap karena kesal. Bahkan dia sudah selesai kurang dari 30 menit. Tiba-tiba telepon genggam yang biasa dia gunakan sehari-hari berbunyi. Ada sebuah pesan di sana.
“Ayo ke sekolah. Ada hal seru di sini.” Sebuah pesan tertanda nama Amir di sana.
Majid penasaran dengan keseruan apa yang Amir maksud. Namun ketika dia bertanya, Amir tidak mau membalasnya. Dia meminta Majid untuk datang ke sekolah secepatnya, dan menyaksikannya sendiri.
Ibunya memberi uang saku tambahan untuknya pagi ini. Tidak seperti biasanya, uang sakunya biasa dia peroleh hanya sebulan sekali. Bahkan tanpa sengaja dia menemukan lipatan uang lima puluh ribuan di saku celananya. Dia sendiri tidak ingat itu uang kapan. Dia teringat kata hoki pada pesan misterius di telepon genggam tuanya yang dia tinggalkan di laci meja belajar. Namun, dia sepakat untuk tidak menanggapinya karena Amir pasti sudah menunggunya di sekolah. Dia mengeluarkan sepeda motornya dan bergegas melaju menyisiri jalanan komplek sampai menyeberang jalan raya menuju arah di mana sekolahnya berada.
Setibanya di sekolah, hal pertama yang Majid lakukan adalah mencari di mana gerangan sabahatnya berada. Amir mengatakan jika dia menunggunya di mading sekolah dekat dengan ruang guru. Setengah berlari, Majid menuju lokasi Amir berada.
Majid berjalan mendekati kedua sahabatnya di depan mading. “Ada apa?” Katanya penuh penasaran.
“Kau ingat surat permohonan ekstrakurikuler yang kita buat dulu?” Kata Amir.
“Iya aku ingat.” Majid menjawab.
“Ini hasilnya.” Kata Rudi seraya menunjuk pada lembar surat resmi dari sekolahan tersebut. Di sana terlihat jelas kop dan tanda tangan kepala sekolah.
“Kita berhasil!” Seru Amir bahagia.
Seketika itu juga Majid teringat akan pesan pagi ini dari SIM Card aneh itu. Dia bilang hari ini adalah hari hokinya dan dia menyuruh Majid ke sekolah. Dia berpikir apa arti dari semua ini setelah beberapa kejadian yang dilaluinya pagi ini. Dia sangat bahagia menyikapinya, terlebih dengan surat pemberitahuan itu. Terlihat jelas dari wajahnya yang berseri. Walau sebenarnya dia juga merasa bingung dengan apa yang terjadi.
“Hai Majid.” Sapa seorang gadis di belakangnya. “Selamat ya, aku dengar permohonanmu diterima. Tapi sayang harus menunggu hampir dua tahun, dan kini kamu malah tidak bisa ikut andil di dalamnya.” Kata Sonia teman sekelasnya.
“Iya Sonia, aku senang dan benar apa yang kamu katakan. Iya kan Mir, Rud. Setelah sekian lama kita menginginkannya tapi ya apa boleh buat sih.” Jawab Majid menjelaskan. “Dan terima kasih Sonia. Semoga kegiatan ini bisa berlangsung seru untuk para adik kelas.” Tambahnya kemudian.
“Bagaimana jika sisa tahun kita di sekolah kita habiskan untuk mengatur ekskul ini?” Sahut Amir. “Aku sudah meminta penangguhan waktu untuk kelas XII sebelum masa kelulusan.” Tambah Amir kemudian.
“Jika diperbolehkan itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku setuju dengan perkataan Amir dan akupun akan membantu sebisaku.” Kata Rudi “Kau mau ikut?” Tanyanya pada Sonia.
“Boleh. Dan kalo di ijinkan aku ingin mengajak Yasmine dan anak kelas sebelah, Martha. Tidak apa-apa kan? Mereka mantan anak OSIS, mungkin akan sangat membantu nantinya.”
Seketika Amir dan Rudi memandang Majid dengan serentak. Soniapun juga ikut memandang sebelum dia menutup mulutnya.
“Ah maaf aku lupa. Aku tidak bermaksud demikian.” Kata Sonia pada Majid.
Majid mengingat bagaimana awalnya dia dicampakan oleh gadis itu. Seminggu setelah bergabung dengan OSIS, disaat mulai sibuk dengan kegiatan dan festival sekolah, mereka mulai jarang bertemu dan bermain bersama. Dan festival itu, pertandingan basket antar sekolah sebagai pemicunya. Entah bagaimana itu bermula tapi itulah kenyataannya. Cintanya kandas. Kemudian pertemuannya malam penuh derai air mata. Wajah Martha kembali diingatannya.
“Majid?” Kata Sonia lagi.
Majid tersadar dari lamunannya, menatap balik semua tatapan teman-temannya. “Kalian kenapa sih. Santai saja, aku tidak apa-apa. Semakin banyak yang membantu akan semakin ringan bukan?” Majid menimpali dengan senyuman.
“Baiklah, untuk masalah Yasmine dan Martha, aku serahkan padamu. Majid dan Rudi ikut aku ke ruangan Fotografi yang baru. Letaknya di sebelah tangga utara. Dekat dengan kelas X-3.” Kata Amir menjelaskan. “Dan nanti kalau kamu sudah sama Yasmine dan Martha. Kamu langsung menyusul saja ya.” Katanya kemudian.
Sonia mengangguk tanda mengerti lantas dia berlari menuju ruang kelasnya untuk mencari Yasmine terlebih dahulu. Sementara ketiga anak laki-laki itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Sonia. Mereka menuju ke utara di mana ruang ekstrakurikuler fotografi berada.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu