SEPULUH
Lampu jalan baru saja berpendaran tatkala sepada motornya menuruni jalanan kota. Selepas magrib dia bergegas menuju lokasi yang telah Martha tentukan sebelumnya. Gadis itu mengirimkan sebuah pesan teks padanya tepat ketika jarum jam saling bertumpuan menunjuk angka enam. Dia mengatakan dalam pesan teksnya bahwa dirinya sudah berada di tempat yang ditentukan.
Sepanjang jalan Majid terkurung dalam pikirannya, mengandai-andai tentang apa yang akan Martha katakan malam ini. Rasa penasaran membuahkan rasa tak sabar juga rasa berdebar di dadanya yang berdegup dengan ritme kencang, sekencang laju motornya. Rasa-rasanya ingin segera bertemu muka dengannya. Menanyakan apa masalah sang gadis yang telah menunggu diseberang sana secara langsung agar suasana hatinya tidak lagi dihantui rasa penasaran semacam ini.
Tempat mereka sering bertemu dulu tidak jauh dari sekolah mereka. Tidak jauh pula dengan rumah Martha berada. Hanya membutuhkan waktu setengah jam mengendarai sepeda motor dari rumahnya.
Majid memarkirkan motornya dengan manis. Setibanya di lokasi dia memandangi beberapa tatanan tempat yang tidak berubah sama sekali setelah sekian lama dia tak mengunjungi tempat itu. Lebih tepatnya ketika kisah cintanya masih utuh, sebelum mencapai halaman kosong, berakhir. Majid menuntaskan lamunannya. Menghindari kenangan semasa dulu yang memaksa masuk dari balik kursi-kursi yang tertata saling berhadapan di bawah kerlipan bintang-bintang. Menahan untuk tidak dikuasai oleh rasa nyaman akan keharuan masa lalu.
Dia melihatnya. Gadis itu terlihat sedang duduk dengan kaos berwarna kuning dan celana jeansnya. Lagi-lagi dia memilih tempat di luar ruangan. Sejak dulu memang dia suka duduk di tempat itu, katanya enak ketika melihat bintang yang berkerlipan di antara sinar rembulan. Ternyata kebiasaan gadis itu belum berubah sedikitpun. Dia tersenyum. Melihatnya membuat Majid teringat akan masa lalunya yang manis bersama gadis bernama Martha itu.
Tidak ingin membuat gadis itu menunggu terlalu lama, Majid berjalan menghampirinya dengan segera. Melewati pagar pintu restoran yang berlampu remang-remang. Matanya merasa takjub memandangi lampu-lampu itu yang melilit antara tanaman rambat dan pagar. Sepertinya lampu-lampu itu didesain sedemikian rupa demi menciptakan aura romantis. Di beberapa titik restoran juga terlihat beberapa tanaman pot gantung dan bunga-bunga segar melengkapi suasana romantis di dalamnya. Restoran yang mereka jadikan sebagai tempat bertemu ini memang didesain semirip mungkin dengan keadaan rumah. Dengan harapan membuat nyaman pengunjungnya.
Sepanjang arah pandang, setiap kursi restoran telah dipenuhi oleh pasangan muda yang sedang menikmati makan malam. Majid terus melanjutkan langkah hingga melewati beberapa pasang orang menuju di mana teman gadisnya berada.
“Hai.” Sapanya seraya duduk tepat di depan Martha. “Maaf aku terlambat.”
Martha tersenyum sayu. “Hai. Tidak apa santai saja. Kamu hanya sendiri?” Tanya Martha seraya menoleh ke sekitar.
Entah untuk kesekian kalinya Majid terpana melihat paras gadis didepannya. Sepertinya dia belum bisa seutuhnya melupakan sosok gadis di depannya. Meskipun sudah beberapa bulan lamanya tak berhubungan kasih. Entah apa namanya. Dia seperti masih menambakan sosoknya, namun sekaligus tak mengharapkan cintanya. Perasaan semacam itu sudah sangat jauh, meskipun gadis itu saat ini sedang berada tepat di hadapannya.
“Hai.” Kata Martha seraya melambaikan tangannya tepat di depan bola mata Majid. “Kamu melamun?” Tanyanya kemudian.
“Ah maaf. Kamu tadi bilang apa?” Selidik Majid memastikan.
“Kamu sendirian saja? Biasanya kan kamu bareng sama Amir dan Rudi?”
“Oh, mereka ada acara sendiri. Lagian kamu hanya mengajak aku kan?” Jawab Majid dengan senyum. “Ngomong-omong apa yang ingin kamu bicarakan denganku?”
Belum sempat Martha menjawab, seorang pelayan datang menghampiri meja Majid dan Martha. Dia menyodorkan sebuah kertas menu kepada mereka berdua. Setelah mendapat hasil pesanan, pelayan itu bergegas meninggalkan mereka berdua dengan ramah.
Sepeninggal pelayan restoran wajah Martha berubah sayu seketika, seperti bunga yang lemas tanpa unsur pendukungnya. “Aku cuma ingin bercerita saja. Aku tidak tahu harus bercerita dengan siapa lagi. Sekarang yang aku percaya cuma kamu.” Katanya pelan. “Dan aku minta maaf atas perlakuanku dulu. Aku harap kamu bisa memaafkan aku.” Kata gadis itu lembut. Matanya telah mengisyaratkan kesedihan yang teramat dalam. Berkaca-kaca siap membanjiri pipinya.
Memandang air mata Martha yang mulai menetes membuatnya salah tingkah. Mencari tisu namun nihil. Tak ada tisu di meja. Dalam hati dia menahan gugup. Sangat gugup sekali. Sebuah keberuntungan lain tangannya meraba saku, ada sesuatu di sana. Dia merogoh sakunya, menemukan sebuah sapu tangan yang bahkan dia sendiri tidak ingat kapan memasukkannya ke dalam saku. Sungguh keberuntungan baginya malam ini.
“Aku sudah memaafkan kamu dari dulu. Percayalah. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Kata Majid seraya menghapus air mata Martha dengan sapu tangannya. “Kamu simpan saja air matamu. Tidak selayaknya gadis semanis kamu menangis. Apa ada yang salah?”
Martha hanya terdiam, memandang Majid tatkala anak laki-laki itu menghapus air matanya. Terpaku mematung. Rasa kecewa menyelimuti hatinya. Dadanya sesak. Memikirkan betapa bodohnya dirinya waktu itu, menggadaikan cinta lelaki di depannya hanya karena paras yang akan habis dimakan zaman. kemudian gadis itu menunduk dalam tangis, sejadinya.
“Kamu sedang ada masalah apa?” Tanya Majid sekali lagi sambil menyerahkan sapu tangannya kepada Martha. Dia merasa tidak enak jika terus menghapuskan air mata itu dengan tangannya.
“Aku.” Katanya pelan dengan nada tercekat. “Aku putus dengan Aldo.” Air matanya kembali mengucur.
Majid menangkap pokok permasalahannya. Memandang sedih pada gadis di depannya. Tak mampu melakukan apa pun, memberi apa pun selain genggaman hangat pada tangan sang gadis.
“Aku tidak kecewa. Tidak sama sekali.” Katanya kuat, bergetar di setiap katanya. “Hanya saja aku. Aku...” Martha tertunduk menutup mulutnya. Diam dan tak mampu berkata lagi. Hanya tertunduk, matanya melepas tatapan Majid. Tangannya meremas tangan Majid kuat, sementara tangan satunya masih menutup mulutnya menahan tangis yang telah tak terbendung lagi, sejadinya.
Aldo adalah anak laki-laki pebasket yang sedang naik daun di SMA Citra Mandiri. Anak tinggi berambut hitam itu pacar Martha setelah meninggalkan Majid. Dia memang tampan, jadi wajar saja Martha memilihnya dibanding Majid. Tapi tampan bukan berarti berhati baik. Itulah fakta yang terpenting. Karena rasa cinta bukan sebuah rasa instan yang terbentuk hanya karena paras. Di dalamnya juga membutuhkan bumbu yang lain. Sayang dan kesetiaan, juga ketulusan.
“Kamu tenangkan dulu hatimu. Malam masih panjang. Aku akan menunggumu sampai kamu siap untuk bercerita.” Kata Majid seraya mengedarkan senyum. Membelai lembut tangan Martha yang meremasnya.
“Silahkan mas.” Kata seorang pelayan seraya menyajikan dua buah minuman. Melihat pemadangan janggal, dia segera berlalu meninggalkan kedua tamunya dengan senyuman ramah. Meskipun raut mukanya menyiratkan rasa penasaran.
Majid meraih segelas minuman dingin yang berwarna merah. Menyodorkannya kepada Martha yang masih tertunduk. “Ini, kamu minumlah dulu. Siapa tahu jus stroberi ini mampu membuatmu tersenyum lagi.” Kata Majid seraya menyerahkan segelas minuman dingin itu.
Martha meraih segelas jus dari tangan Majid dengan pelan. Dia tersenyum kepada Majid. Walau wajahnya masih parah lantas meminum jus itu perlahan. “Terima kasih ya.” Katanya pelan seraya meletakkan kembali minumannya. “Aku terakhir bertemu dengannya hari Kamis. Itupun tanpa ada janji untuk bertemu. Saat itu aku sedang ke mall sama kakak. Di sana aku melihatnya. Dia jalan bergandengan dengan adik kelas yang biasa di gosipkan orang-orang. Memang, awalnya aku tidak percaya dengan gosip-gosip itu. Tapi ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri hatiku terasa terbakar. Mungkin itu juga yang kamu rasakan. Makanya aku,” Martha kembali menangis. Sepertinya air matanya tidak kuasa menahan rasa sedihnya.
Majid menunggu beberapa saat sampai gadis di depannya sedikit tenang. “Maksud kamu Cika?” Tanya Majid memastikan.
“Iya. Dibandingkan denganku, Cika adalah model SMA yang sedang naik daun. Jadi ketika aku mencoba menemui keduanya.” Martha kembali tersedu.
“Sudah tidak apa-apa. Laki-laki di dunia ini bukan cuma dia. Aku juga masih di sini kan. Aku akan selalu mendukungmu. Menemanimu. Kita sahabat bukan?” Kata Majid meyakinkan.
“Aku sangat bodoh.” Martha kembali berucap. “Hanya gara-gara lelaki play boy itu mendekatiku, aku sampai meninggalkanmu.” Tangisnya.
Suasana malam yang syahdu berubah menjadi suasana yang penuh akan kegalauan. Bintang malam itu hanya berkelipan memandang dua insan yang saling bertukar aura sedih. Sedangkan rembulan tetap menari indah dalam balutan purnama tanpa menghiraukan orang-orang di bawahnya. Cahaya temaramnya terlihat bergoyang dibalik awan-awan yang melintas.
Malam belum cukup larut. Namun udara sudah mulai menampakkan hembusan dinginnya. Majid berdiri menghampiri Martha dan berdiri tepat di sampingnya. Dia melepas jaketnya, membalutkannya pada tubuh martha yang hanya mengenakan kaos lengan pendek. Gadis itu pasrah dengan apa yang anak laki-laki itu lakukan.
Majid terkejut ketika Martha menyentuh tangannya. Gadis itu menengok ke arah Majid. Mata mereka saling bertemu satu sama lain. Entah sudah berapa lama pandangan mereka tidak berpapasan seperti ini. Mata gadis itu masih merah dan lembab karena air mata. Pipinya memerah karena kesedihan.
“Kamu sudah benar-benar memaafkan aku bukan?” Kata Martha kemudian.
Majid menjawab pertanyaan itu dengan anggukan dan senyuman tipis.
“Apa kamu mau mengulang kisah kita dulu?” Tanya Martha penuh harap. “Aku ingin membayar dosaku padamu kala itu.” Tambahnya lagi ketika lawan bicaranya hanya terdiam.
Mendengar permohonan Martha, Majid segera menarik tangannya. Dia kembali duduk di depan Martha tanpa sepatah kata pun. Kini dia yang tertunduk. Pikirannya terasa berat, kacau entah karena apa. Harusnya dia senang mendengar permohonan itu. Tidak ada benci dalam hatinya lagi, selain rasa rindu itu sendiri. Tapi, kali ini dia merasa ragu.
“Kamu tidak mau ya?” Tambah Martha lagi.
Majid memandang Martha, lalu menoleh ke sisi lain. Entah kenapa dia tidak mampu memandang matanya lagi. Padahal beberapa saat yang lalu dia merasakan hal yang biasa-biasa saja. Seharusnya dia merasa senang mendengar permohonan itu. Di dalam taman hatinya masih terpampang beberapa potret kenangan menyenangkan dengan gadis itu. Dia juga masih merasakan rasa sayang itu. Tapi sekarang dia bimbang entah dengan lubang bekas luka dihatinya atau benih baru yang dia temukan dulu di perlombaan fotografi.
Sekuat apapun dia mencoba mengingat kenangan akan Martha, supaya dia mampu menatap kembali mata itu, yang muncul malah gambaran dari sosok yang lain. Bayangan dari gadis berambut panjang bergelombang lengkap dengan senyum manisnya. Kulit putih mulusnya pun ikut terngiang kuat dalam memorinya. Dia merasa sangat bingung karena bayangan gadis itu muncul kuat dalam benaknya. Padahal gadis itu hanya dia temui kurang dari satu jam. Tapi rasa rindunya sampai bertahan berbulan-bulan. Bahkan menciptakan suatu keraguan semacam cinta di dalam hatinya.
Majid kembali terkejut. Tangannya terasa hangat. Dia melihat tangan Martha menyentuh jemarinya. Anak laki-laki itu berusaha mengangkat dagunya, mencoba memandangi wajah Martha. Dia mengangkat mukanya perlahan. Meniti mulai dari tangan Martha hingga mendapati wajah cantik gadis itu yang masih sembab karena tangis. Walaupun menangis gadis itu masih terihat menawan di matanya. Sungguh.
“Kamu sudah menemukan idaman lain ya?” Kata Martha dengan senyuman.
Majid hanya terdiam. Dia tidak mampu berkata apapun saat ini. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
“Tidak apa-apa. Aku sadar jika itu salahku. Aku juga tidak memaksakan ini padamu.” Kata Martha kemudian. “Aku berterima kasih karena kamu sudah mau menemaniku malam ini. Terlebih mendengarkan cerita bodohku semalaman.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf.” Kata Majid kemudian. “Kamu fokuslah dengan ujian minggu depan. Aku yakin akan ada lelaki beruntung yang lebih pantas bersanding denganmu.” Kata Majid. “Aku yakin!” Tambahnya memastikan dengan anggukan.
Kala ini Martha yang tersenyum kecut. Tanpa terasa air matanya kembali menetes perlahan. Bukan sekedar air mata kesedihan, melainkan sebuah air mata bahagia. Dia senang bisa bertemu Majid malam ini. Meskipun apa yang dia inginkan tidak tercapai.
“Aku akan mengantarmu pulang jika kamu tidak keberatan.” Tambah Majid.
Martha mengangguk dalam senyumnya yang larut dalam malam.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu