Siapa yang membawa kamu ke hatiku, Pak Laut? Aku menemukan kamu di setiap sisinya.
--Vallenia Ayunda--
----
PAGI ini Ayunda sibuk menyalin PR dari buku milik Vela yang dipinjamnya beberapa waktu lalu. Semalam dia tidak sempat memikirkan tugas karena kepalanya dipenuhi oleh godaan Laut di kantin saat itu. Aneh memang, sudah cukup lama, tapi masih membekas.
"Ayunda cepetan dong! Bu Ida udah mau masuk nih!" Vela berteriak dari depan pintu sesekali menyembulkan kepala, tepat di depan kelas Ayunda.
"Iya bentar!" Ayunda mencebik, ia melihat ke arah jam dan sudah menunjuk pukul 7 tepat. Jadi, dengan membiarkan jurnalnya baru terisi 3 transaksi, gadis itu menyerahkan buku pada sang empunya.
Bu Ida masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening. Kalau semua orang bilang Pak Laut Mr. killer dengan ribuan soal remidi, maka Bu Ida adalah Mrs. Killer yang senang melihat muridnya menderita akibat hukuman yang diberikan, membersihkan toilet sekolah.
"Kumpulkan tugas di depan," Ayunda berusaha menulis beberapa soal lagi yang tersisa.
Semua murid berdiri dan mengumpulkan satu persatu buku tugas mereka. Sementara Ayunda masih berusaha menyelesaikan soal-soal yang masih tersisa dalam hitungan detik.
"Ayunda! Mana tugas kamu?"
Ayunda menoleh ke arah Bu Ida. Bu Ida melihat ke arah Ayunda yang sibuk menulis, “Iya,"
Dan Ayunda maju, dia mengumpulkan tugasnya yang masih diisi tiga dari dua puluh soal ttransaksi. Lebih baik kurang dari pada tidak sama sekali.
"Kenapa tugas kamu kurang?"
Ayunda cengar-cengir pasang wajah tanpa dosa, “Anu Bu, kan katanya dikerjain sebisanya."
"Halah alasan."
"Hehe.." Kan semua emang ada alasannya ketika bertindak. Ayunda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya sudah. Tunggu apa lagi? Bersihkan toilet yang ada di sebelah aula."
"Iya, Bu."
***
HARI ini sudah memasuki bulan Agustus. Namun cuaca masih secerah hati Laut. Dia bahkan mulai bersenandung tak peduli di mana keberadaannya sekarang, dan mendapat tatapan aneh dari guru-guru yang tidak suka padanya.
"Aku dengar kamu dekat sama anak kelas 11 Akuntansi ya? Siapa itu namanya? Ay.. Aisyah."
"Ayunda," Entah kenapa Laut menangkap nada tak suka dari Rani. Laut tidak lagi kaget kenapa perempuan itu bisa tahu kabar ini terlalu cepat. Karena Rani termasuk salah satu dari guru-guru yang senang menggosipkan berita sekolah yang masih hangat.
"Nah! Itu dia. Siapa? Nggak peduli." Laut mengernyit. Ia sampai takut jika Ayunda sudah kelas 12 dan mendapat guru si perempuan yang kini di hadapannya itu, “Jangan deket-deket sama dia, tau."
"Apa hak kamu ngelarang?"
Pertanyaan itu seolah menampar Rani. Perempuan itu memberenggut sebal. Namun tak mau kalah, ia pun membalas dengan amat santai.
"Kamu itu ya, dibilangin," Rani mengambil napas terlebih dahulu, “Cewek itu punya reputasi buruk. Di kelas dia dikucilkan. Dilla ikut ekstrakurikuler musik dan cerita. Nilainya di kelas juga selalu rangking satu dari bawah."
Laut hanya menaikkan alis mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Rani. Namun Rani tetap saja bercerita, seakan Laut harus mendengarkan semua pembicaraannya, lalu menuruti.
"Kamu pernah mikir nggak? Apa jadinya kalau kamu deket sama anak seperti itu? Tidak akan ada lagi yang menghargai kamu, kamu akan diremehkan dan dipandang sebelah mata."
"Oke," Laut menjentikkan jari. Ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah perempuan itu, “Terus, aku harus dekat dengan siapa? Pernah aku melarangmu dekat dengan pria lain?"
Jika tadi Rani serasa tertampar, ia sekarang terasa seperti ditonjok dalam sampai ke ulu hatinya.
"Kenapa harus melihat dia dan reputasinya dari cerita orang lain? Kenapa tidak melihat apa yang sudah dia lakukan terhadap kita? Ayunda itu gadis yang menyenangkan untuk berdiskusi."
Benar. Apa yang diucapkan Laut membuat bibir Rani terkunci. Mulutnya kian terkatup rapat tanpa bisa membuka suara lagi.
Melihat reaksi itu, Laut memilih meninggalkan Rani dan keluar dari kantor. Memuakkan.
Ngajar dimana, Mba?
Laut memilih mengirim pesan itu kepada Bu Seruni. Jika Bu Seruni mengajar kelas 11, kan Laut bisa sekalian modus lihat Ayunda.
10 Akuntansi 4.
Laut mendesah. Namun, akan lebih memilih menikmati embusan udara pagi dengan berjalan-jalan di lapangan sekolah dari pada mendengar ceramah Rani yang tak berguna, dan hanya membuang-buang waktu. Karena masa depan Laut adalah milik pria itu, bukan di tangan Rani.
"Nggak usah sok kecentilan! Lo itu baru kelas 11. Lo ngerasa cantik bisa deket sama Pak Laut?"
Suara itu terdengar nyaring, Laut berdecak di luar sana. Dia mendengar suara itu dari arah kamar mandi. Banyak kasus bullying memang akhir-akhir ini, tapi kenapa harus dirinya yang harus dijadikan alasan.
Males ngeladenin sih, tapi kok muridnya ya? Nanti dibilang guru tidak bertanggung jawab.
"Enggak, Kak.. Kemarin cuma kebetulan hiks.." Suara itu.
Plak!
"Kebetulan hah? Kebetulan lo bilang? Jelas-jelas Pak Laut sampai nyamperin lo di kantin dan ngasih novel,"
"Nggak bisa dibiarkan!" Laut mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam toilet yang berada di sebelah aula itu. Tidak peduli jika toilet itu adalah toilet putri. Yang ada di kepala Laut saat itu hanya satu. Si gadis bermata coklat.
"Kamu lagi!" Suara Laut terdengar berat. Matanya berkilat marah.
Dissa dan Hana. Siswi kelas 12 Tata Kecantikan 4. Dissa memang terobsesi dengan dirinya, gadis itu selalu mendekati dengan cara yang frontal.
Di bawah sana, Laut dapat melihat Ayunda. Gadis itu terisak dengan kondisi tak karuan. Rambutnya basah, pipinya lembab dan merah, juga dua kancing seragam atasnya terbuka.
Seolah memang sudah takdir, tadi Laut baru sampai dan belum sempat melepas jaket miliknya. Dan sekarang, Laut membuka jaket itu untuk melindungi tubuh Ayunda, membawa gadis itu ke dalam pelukannya.
"Pak Laut, ini nggak yang kayak Pak Laut lihat."
"Nggak yang kayak saya lihat? Kamu melakukan ini bahkan lebih dari tiga kali, Dissa. Apa skors kamu masih kurang?" ucap Laut penuh penekanan. Dua gadis di hadapannya benar-benar menyulut emosi Laut kali itu.
"Dia kecentilan deketin Pak Laut. Saya cemburu."
"Dengarkan saya baik-baik. Dia nggak pernah kecentilan sama saya apa lagi mendekati saya. Semua memang kebetulan, saya merusak novel milik Ayunda dan saya harus menggantinya."
Penjelasan milik Laut mampu membuat gadis itu membeku. Dissa mengaku salah. Tapi dia tidak menyesal. Karena tidak ada perempuan lain selain dia yang menjadi alasan Laut tersenyum.
"Jangan jadi murahan karena mencintai seseorang. Bersikaplah sewajarnya dalam mencintai seseorang. Cinta tidak bisa dipaksa, kalau kamu tetap seperti itu, sulit membuat laki-laki jatuh cinta."
Dan Laut membawa Ayunda ke ruang kesehatan sekolah untuk mengobati gadis itu. Dia juga meminjamkan seragam untuk Ayunda dari ruang Bimbingan Konseling. Mau tidak mau, Ayunda seperti ini juga karena dirinya.
"Masih sakit?"
Diam. Suasana ruang UKS masih hening. Ayunda tak mau membuka mulutnya walau sekedar untuk memecah kesunyian kali ini.
"Kamu nggak pa-pa, kan?"
Ayunda masih tak bergeming. Hal itu membuat Laut menghela napas panjang yang putus asa. Jelas tidak mungkin gadis itu baik-baik saja setelah mendapat perlakuan tidak enak dari kakak kelasnya.
"Makasih, Pak,"
Laut mendengus, “Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk menjaga murid-murid saya,"
Ayunda mengangguk. Benar, Laut hanya melakukan tugasnya dengan baik. Tapi kenapa rasanya aneh, berbeda. Ayunda merasa terlindungi dan aman.
Laut mengambil sebuah kotak dari dalam sakunya dan mengambil satu isi. Juga benda kecil yang tak dapat lepas dari pandangan Ayunda, “Pak Laut ngerokok?"
Laut menyalakan api dan membakar ujung rokok yang sudah menempel di bibirnya, “Kenapa? Kaget ya?"
Ayunda mengangguk. Sementara itu, Laut masih asyik menghirup nikotin yang ada di dalam benda kecil itu, “Nikotin itu bahaya, Pak."
"Saya tau. Tapi saya terlanjur nggak bisa berhenti."
"Kenapa?" Laut menghirup dan mengembuskan asap lagi sebelum menjawab.
"Dulu saya nggak ngerokok. Tapi, masalah dalam keluarga saya bikin saya stres dan butuh pelampiasan. Saya bertemu dengan benda ini dan saya merasa tenang ketika melakukannya. Awalnya, saya cuma melakukan ketika masalah itu datang. Tapi saya nggak bisa nolak ketika masalah itu datang setiap hari. Saya kecanduan,"
Ayunda memperhatikan Laut. Masalah keluarga? "Orang tua saya sering kali bertengkar. Mama saya selingkuh. Jadi, sebenarnya ini yang saya takutkan dari pernikahan. Saya belum siap. Orang itu sulit dipercaya, banyak pura-puranya, pendusta," Laut menghirup rokok itu lagi, “Yang ngaku cinta saja bisa berkhianat. Mama saya dulu yang ngejar Papa, tapi sekarang Mama yang nggak setia."
Hati Ayunda tersentuh, “Kita punya masalah yang sama ya, Pak? Ayah saya selingkuh. Ayah menikah lagi. Makanya, saya mau pacaran cuma sama cowok yang saya suka. Saya nggak mau sama sembarangan cowok. Karena kalau dia selingkuh, akan lebih mudah kalau dia orang yang saya sayang. Saya nggak peduli dia sayang sama saya atau enggak. Yang penting, saya sayang dia dan dia milik saya. Rasanya membayangkan itu terlalu cukup dan begitu indah.”
"Yang dibayangkan indah nggak selalu indah untuk dijalani," Laut mengutrakan pendapatnya yang berbeda, “Saya pernah cinta sama Rani. Tapi ketika dia berkhianat, perasaan saya sakit. Bahkan melihat Papa saya disakiti oleh Mama, saya sakit.”
Itu memang benar, “Kalau gitu, saya akan membuat semuanya terasa indah. Saya bakal nyadarin dia kalau cuma saya yang sayang dia."
"Kalau selingkuhannya lebih cinta dari kamu?"
Ayunda terdiam, dia menggigit bibir bawahnya dan membayangkan. Ayunda menggelengkan kepalanya, “Saya nggak sanggup,"
Laut tersenyum miring, “Hanya ada satu cara. Yaitu melepaskan. Membiarkan dia bahagia bersama orang yang dia cintai. Kamu harus percaya bahwa bahagianya juga mampu membuatmu bahagia."
"Itu bohong!" Ayunda menyela. Ini bertolak belakang dengan prinsipnya dan Ayunda yakin ini lebih sulit, “Cinta harus diperjuangkan, Pak."
"Iya. Saya tau, kalau sudah berusaha tapi dia tetap ingin lepas dari kita? Melepaskan tinggallah satu-satunya jalan."
"Saya nggak percaya kalau cinta itu nggak harus memiliki. Cinta itu egois, bohong kalau kebahagiaannya adalah bahagia kita juga. Nyatanya, kita bakal sakit hati melihat orang yang kita cintai itu bersama yang lain. Kalau nggak sakit hati, itu bukan cinta."
Dan Laut tersenyum. Dia tak pernah berbicara tentang cinta dengan cara bertukar pikiran pada gadis seperti Ayunda. Dan Ayunda cukup menyenangkan untuk dijadikan teman berpendapat, “Bagaimana kamu menghadapi orang tua kamu?"
Ayunda menggeleng, “Untuk ini, saya nggak akan pernah melakukan sesuatu karna saya nggak bisa."
"Dan saya juga nggak bisa membuka hati saya untuk kata pernikahan sekarang karena kamu nggak tau solusinya.”
"Padal simple. Salah satu ngalah dan nggak usah kelamaan kalau marahan,"
"Iya," Ayunda menoleh ke arah Laut, “Tapi saya tetap pada prinsip saya. Membiarkan orang yang saya cintai memilih kebahagaiaannya sendiri."
"Lembek!" Laut terkekeh, dia mematikan rokoknya dan membuang di tempat sampah.
"Mau bantu saya untuk berhenti ngerokok?"
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG