I love you more than I love rain.
And I love rain so much.
-Vallenia Ayunda-
-----
SAAT itu adalah hari senin. Seragam kedinasan khas guru sudah dikenakan oleh Laut. Juga sebuah novel yang kini ada dalam genggamannya. Lelaki itu seharusnya sudah siap untuk berangkat ke sekolah, memberikan novel itu untuk yang pernah dia janjikan lalu semuanya selesai. Setelah Laut tahu, bahwa Ayunda adalah adik Dante.
Tapi justru perihal itu yang menjadi masalah untuk Laut. Seolah Laut ingin menahan novel ini di rumah, mengatakan pada Ayunda bahwa novelnya belum datang karena kendala. Namun, air wajah kecewa Ayunda pasti akan membuat hatinya teriris-iris. Untuk kedua kalinya, Laut takut mengecewakan gadis, apakah dia jatuh cinta?
Jadi, keputusan Laut sekarang adalah meletakkan novel itu ke dalam tasnya. Sambil menyisir rambutnya ke atas dengan jemari, Laut lantas tersenyum, “Udah ganteng baru ngajar. Biar muridnya terpesona." Lalu terkekeh, “Nggak perlu semua, bikin pusing. Cukup Ayunda."
Sebenarnya Laut tidak tahu sejak kapan tahu nama gadis itu. Tapi mungkin ingatan Laut yang cukup tajam itu mampu mengingat nama Ayunda saat di toko bunga.
"Laut, sarapan yuk."
Laut tidak menoleh saat mendengar suara wanita setengah baya itu. Namun tubuhnya bereaksi, menjadi kaku. Tanpa sadar dua tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Laut nggak lapar."
"Sarapan itu penting, Laut."
Laut terkekeh sinis. Ia geli dengan kalimat yang baru saja meluncur dari bibir wanita itu, “Sejak kapan Mama peduli sama Laut?"
Setelah menggendong tasnya, ia memilih keluar dari rumah. Masuk ke dalam mobilnya, lantas segera membelah jalanan ibu kota yang tetap macat. Di dalam sana Laut memukul stir mobilnya, ia marah, namun bibirnya terkunci. Ia ingin menangis, tapi air matanya kering.
Laut membuang pandangan ke arah jendela. Tak ada apa pun di sana yang menarik perhatian. Hanya ada kendaraan yang mengantri untuk segera sampai pada tujuan, serta penat yang tak pernah tersampaikan.
***
GADIS itu menjatuhkan kepalanya di atas kedua tangan yang dia lipat. Matanya menatap lurus tepat ke arah papan tulis dengan malas. Dia melihat Bu Evy, guru matematika kelas sebelasnya sekarang dengan tatapan nSatyasa.
Kenapa bukan Pak Laut sih?
Sesaat Ayunda teringat akan satu hal. Memang Laut hanya mengajar jurusan Teknik serta pariwisata saja. Begitu kata Senior paskibra dulu yang Ayunda ingat. Jadi, kemungkinan diajar oleh Pak Laut jelas 0,001%.
Kalau Pak Laut jodoh Ayunda, boleh ya, kelas 12 diajar Pak Laut.
"Ya sudah, begitu dulu ya anak-anak. Kalian istirahat dulu, kalian laper kan pasti?" Bu Evy kembali bersuara. Tapi perkataan kali ini membuat kelas menggema. Suara penuh kelegaan terdengar dari murid-murid 11 Akuntansi 3 yang sudah mulai kelaparan.
"Jelas dong Bu, laperrr nggak ketulungan." Jawab Dilla antusias, tapi tertawa setelahnya karena semua anak 11 Akuntansi 1 menertawakannya. Bahkan ada yang melempar kertas ke arah gadis itu.
"Perut karet! Malu-maluin deh, punya temen kayak Dilla!"
"Buang aja dari Akuntansi 1!"
Bu Evy tersenyum tulus, tapi ada kilat kecil di matanya, “Saya juga laper soalnya."
Satu kelas tertawa lagi. Dan Dilla menunjukkan wajah penuh kemenangan. Nggak cuma dia sendiri yang punya perut karet, Bu Evy dengan jelas dan terang-terangan bilang lapar.
"Selamat siang anak-anak." Salam Bu Evy sebelum pada akhirnya meninggalkan kelas dan pergi.
"Selamat siang, Bu.."
Istirahat kali itu, Ayunda sudah ditunggu oleh Zara dan Wulan di depan kelas 11 Akuntansi 4, yaitu kelas milik Vela. Keduanya sama-sama sibuk memainkan ponselnya. Sampai mereka tak sadar, Ayunda sudah di sana.
"Vela belum keluar?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Ayunda. Wulan melirik sekilas ke arah gadis itu, “Lo nggak lihat siapa gurunya?"
"Siapa?"
"Gebetan lo. Biasa kalau dia yang ngajar."
Detik itu, jantung Ayunda berdebar dengan cepat, bahkan gadis itu salah tingkah hanya dengan mendengar nama Laut. Perlahan, mata itu melirik ke dalam. Benar, Laut yang ada di dalam sana. Menyebalkan bukan, kenapa tidak mengajar di kelas Ayunda saja? "Kok kelas Vela sama Pak Laut sih?"
Wulan mengembuskan napas lega, seperti baru saja melepaskan beban, "Untung kita sama Bu Evy. Lucu, baik, nggak tegang. Lihat deh tu Vela yang biasanya udah pucet, tambah tegang kan? Eh gue foto Vela dulu deh. Awas minggir!"
Wulan mendorong Ayunda hingga keseimbangan tubuh gadis itu hampir hilang. Ayunda berdecak melihat aksi Wulan yang mulai menyebalkan itu. Sementara Zara, dia menggelengkan kepala melihat kelakuan dua sahabatnya itu.
Ayunda melihat lagi kelas milik Vela. Matanya jatuh dan menatap pria berkacamata itu. Pada saat itu juga, Laut menoleh ke arah Ayunda hingga kopinya bertemu dengan iris coklat gadis itu.
Refleks, Ayunda menunduk. Dia menggerak-gerakkan bibirnya agar tidak membentuk sebuah senyuman. Sekaligus menyembunyikan rona merah yang bermunculan di pipi itu. Berdebar lagi.
"Kok temen kamu sudah keluar?" Terdengar suara Laut berguman di dalam kelas itu, “Emang sudah bel?"
"Sudah dari tadi, Pak." anak Akuntansi 4 menjawab serempak. Gitu ya, kalau guru salah dan disalahin, berani membela dirinya pasti keroyokan. Apalagi, kalau gurunya seganteng Pak Laut. Ralat! Segalak Pak Laut.
"Kok nggak bilang kalian."
"Pak Laut keasikan ngajar sih."
Ayunda menoleh. Dia melihat Wulan, gadis itu terkikik sendiri sambil melihat ponselnya, menekan-nekan layar ponsel itu dengan penuh semangat "Muka lo Vel jelek banget nggak ada bagus-bagusnya."
***
"GAYA lo makan pakai sumpit segala, biasanya juga pakai tangan."
Ayunda menoleh ke arah Wulan, “Lo ngomong sama gue?"
"Bukan. Sama setan"
Jadi inget Pak Laut malem itu kan!
Ayunda tersenyum kecil, membuat Vela dan Zara bergidik ngeri. Habis ngomongin setan, masa pipi Ayunda jadi merah tomat?
"Lo sehat nggak sih, Ay?"
Ayunda mendongak, “Iyalah. Kalau gue nggak sehat, gue nggak mungkin ada di SMK Kejora. Tapi, di Rumah Sakit Jiwa."
Mereka semua sama-sama ber-oh ria. Benar juga apa yang diucapkan oleh Ayunda. Tapi melihat tingkah Ayunda yang senyum-senyum sendiri memang aneh.
"Ayunda," Gadis yang dipanggil Ayunda menoleh ke sumber suara. Dia mendapati seorang laki-laki berdiri di sana. Laki-laki yang membuat tiga teman Ayunda menjadi kaku sekaligus senyum-senyum sendiri karena kedatangannya. Antara bingung dan senang melihat hubungan di antara Ayunda dan laki-laki itu sampai laki-laki itu menghampiri Ayunda, membuat kecurigaan ketiganya semakin bertambah.
Menurut mereka, Ayunda dan Laut ada apa-apanya memang. Apalagi, keduanya menjadi orang berbeda di saat yang bersamaan. Ayunda yang pendiam menjadi manja dan cerwet. Juga Laut, yang galak bisa menjadi manis dan penuh perhatian.
Tapi, kenyataannya bukan hanya tiga teman Ayunda saja. Bahkan semua siswa dan siswi yang ada di sana juga melihat aksi itu. Guru ganteng yang suka memberi siswanya ribuan soal remidi menghampiri salah satu murid biasa, dengan senyuman yang jarang dia tunjukkan. Walau pun, ada beberapa yang cuek. Paling juga urusan pelajaran.
"Iya, Pak?"
"Novelnya." Ayunda hanya melirik novel itu. Ada getaran kecil di tangan Laut. Getaran yang terlihat nyata dan bukan buatan. Getaran alami. Membuat Ayunda mendongak terlebih dahulu memastikan wajah Laut baik-baik saja.
Jakun Laut bergerak naik-turun. Lelaki itu tak menatapnya. Tapi hal itu justru terlihat cool di mata Ayunda. Cowok banget.
Namun, sedetik setelahnya Ayunda tersenyum dengan sangat lebar, senyuman yang membuat perut Laut terasa meSarast karena seperti ada sesuatu yang mengusik di dalam sana. Binar mata itu tulus. Ya, Laut tahu. Laut bisa membedakan mana senyum tulus dan tidak. Namun setahu Laut, jika seseorang tersenyum tulus, ada garis di mata orang itu.
Dilihat lagi Ayunda, gadis itu masih membaca blurb di belakang novel. Dan matanya langsung menatap Laut tanpa menunggu Laut siap. Dua mata yang saling berserobok membuat jantung Laut berdebar.
"Pak Laut telat, tau." Ayunda cemberut, “Terus saya nuker uang. Tapi nggak papa deh. Yang penting novel ini jadi milik Ayunda."
Menggemaskan, Laut mengusap puncak rambut Ayunda. Lalu nengambil duduk tepat di samping gadis itu. Menatap satu persatu teman Ayunda, “Boleh gabung, kan? Saya juga mau makan."
Wulan yang awalnya duduk di samping Ayunda langsung pindah di hadapan Ayunda. Yaitu memilih berdesak-desakan dengan Vela dan Zara, “Silahkan, Pak." Dan mengedipkan mata yang langsung disetujui oleh kedua temannya, “Kami duluan ya, Pak. Mau cari contekan. Titip sahabat kita, ya?
"Oh, pasti dijagain."
"Jagain hatinya juga?"
"Ah.. Boleh juga."
Setelah mengatakan itu, ketiganya cengengesan sendiri. Mereka bertiga langsung beriringan menuju kelas, meninggalkan Ayunda bersama keraguan yang nyata. Di satu sisi, Ayunda canggung makan bersama dengan Laut. Si sisi lainnya, perut Ayunda lapar tak tertahankan.
“Santai aja kali, kan saya cuma ngajak makan bareng. Bukan ngajak nikah.”
“Eh?”
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.