Sahabat bisa berpotensi menjadi saudara. Tapi sudara belum tentu bisa menjadi sahabat.
*
Jakarta, Juni 2017
HARI itu, dimana saatnya liburan sekolah tengah dilaksanakan. Sekolah sepi, semua siswa mengistirahatkan pikiran. Ada yang liburan ke luar kota, ada yang hangat out dengan teman-temannya, ada yang bermalas-malasan dan tidur saja di rumah.
Tapi, tidak bagi Ayunda. Di akhir bulan juni dimana liburan tiba, gadis itu tetap melaksanakan Praktik Kerja Lapangan yang tidak mengenal liburan sekolah. Benar, itu adalah kampus. Universitas terbaik di Jakarta. Namun, di sana Ayunda baru mengerti bahwa kuliah tak sama dengan sekolah.
Ayunda menemukan banyak hal baru, bagaimana bertemu dengan menyapa orang-orang baru yang tidak sama dalam kurun waktu satu jam. Dari SMK Kejora, Ayunda sendiri, namun di sana ia bertemu dengan anak-anak SMK 4. Ratu dan Yola, mereka berdua sangat mudah bersosialisasi. Jadi, kurang dari satu hari pun Ayunda bisa akrab dengan mereka.
"Gue tu bosen banget. Kalau hati udah berkali-kcinta. ibuat kecewa, apa menurut lo bisa midah memaafkan?"
Ayunda menggigit ice cream tanpa rasa ngilu. Hari itu, Taufan dan Ayunda jalan-jalan di pinggiran kota sambil menikmati ice cream yang dijual tak jauh dari instansi magang keduanya. Kebetulan,Tapi, tak semua saudara bisa menjadi sahabat.
Mungkin sejak mereka PKL, keduanya semakin dekat. Apalagi faktor instansi mereka yang bersebrangan. Ayunda membiarkan Taufan mengantar jemput dirinya selama mereka masih PKL.
Kiranya, dua bulan sudah cukup membuat perasaan salah satu di antara keduanya goyah. Nyatanya, mereka berdua semakin merasa butuh karena sudah nyaman bersama. Karena benar adanya, bahwa ada cinta yang datang seiring berjalannya waktu.
"Kayaknya seru ya kalau gitu?"
"Seru? Dih, cowok apaan nggak setia."
Taufan terkekeh, membuat lelehan ice cream yang mencair mengenai dagunya. Membuat Ayunda mendesis.
"Tuh jorok ih."
Taufan masih tertawa, membersihkan lelehan ice cream tersebut. Lalu, ia kembali berbicara pada Ayunda dengan cara yang lebih serius, "Tapi kayaknya gue beneran mau cari yang baru deh."
Ayunda meninju lengan Taufan, "Kok gitu? Kan lo juga udah tau kalau dia nggak dibolehin sama orang tuanya pacaran. Hargain dong."
"Kalau itu, gue juga udah ngertiin. Tapi di depan temen-temennya, dia sama aja," Taufan mengembuskan napas perlahan, wajahnya berubah muram dan sendu, "Gue capek menjalani status seperti ini."
Ayunda mengangguk, ia juga akan melakukan hal yang sama jika ia berada di posisi Taufan. Jadi, Ayunda tidak menyalahkan cowok itu. Sekuat apa kita berusaha menjaga hingga memiliki, namun jika sudah mendapatkan dan tidak dijaga akan sama. Pada ahirnya, ia akan pergi dan kita kehilangan.
***
“AYUNDA,” Panggilan itu berhasil membuat Ayunda menoleh. Bahkan Taufan pun juga, mengingat bagaimana suara itu sudah ia hapal di luar kepala.
"Wulan?" Ayunda tersenyum girang mendapati sahabatnya berdiri di sana. Jujur saja, ia merasa bosan dengan Taufan yang sejak tadi bicara receh dan nyeleneh. "Astaga, mimpi apa gue semalem sampai ketemu lo di sini?"
Ayunda berlari mendekati Wulan dan menghambur ke pelukan gadis itu. Ayunda rindu, sejak PkL mereka jarang bertemu. Kala itu, Ayunda berminat mengajak Wulan membeli ice cream. Namun, dia urungkan karena gadis itu malah menamparnya.
“Apa maksud lo, Lan?” Taufan menjauhkan Ayunda dari Wulan, seolah gadis itu berbahaya dan Ayunda perlu dilindungi.
Sakit. Ayunda tak mengerti, ia menyentuh pipinya yang perih lalu menatap Wulan dengan bingung.
"Lo kenapa? Kesurupan macan tutul apa kerasukan arwah Pak Laut? Galak betul," Ayunda bersedekap untuk berpura-pura marah.
"Murahan banget lo?"
Mendengar kata-kata pedas Wulan, membuat Ayunda mengernyit. Namun, setelahnya ia hanya menganggap bahwa jika Ayunda suka Laut, tak seharusnya Ayunda jalan dengan Taufan.
"Oh.. Kita emang biasa jajan bareng kalau lagi istira--"
"Kita pacaran. Kenapa?" Ujar Taufan memotong perkataan Ayunda. Bahkan dengan berani ia merangkul bahunya. Refleks, Ayunda bergerak menghindar, tak nyaman oleh sikap cowok itu.
"Apa sih? Jangan bikin timbul fitnah, Angin Topan!"
Wulan melihat tingkah keduanya dengan aneh. Namun tawa Taufan begitu lepas. Dan Ayunda terlihat seperti tak nyaman oleh kehadirannya yang tiba-tiba. “Gue nggak mungkin kan Wul? Pacaran sama dia. Ganteng aja minus."
"Nggak usah malu-malu, Sayang. Jujur aja, biar Taufan bahagia. Memangnya kamu nggak bahagia kalau dunia tau kita bersama?"
Kata-kata itu membuat dada Wulan bagai tertusuk. Bagaimana mungkin seseorang di dunia ini yang paling dia percaya dan diandalkannya bisa berkhianat dengan begitu tega?
Dengan langkah cepat, Wulan memilih pergi. Ia tdak mau lagi menatap Ayunda yang bertingkah pura-pura di depannya. Sekarang gadis itu justru terlihat menjijikkan di matanya.
"Wul, mau kemana?" Ketika Wulan beranjak, Ayunda mengejar. “Tunggu! Lo kena-"
"Ayah lo aja tukang selingkuh, gue nggak tanya kenapa anaknya sama aja!"
Ayunda sakit hati mendengar itu. Ia tak percaya mendengar penuturan itu keluar dari bibir sahabatnya. Ia bisa melihat kemarahan yang begitu nyata di dua bola mata Wulan. Ia berucap serius dengan sangat terluka.
"Kenapa lo ngomong gitu? Apa yang gue lakuin?"
Wulan terkekeh, air matanya berderai. Membuat hati Ayunda terasa tercubit. Ia tidak pernah melihat Wulan menangis di depannya sebelum sekarang. Dan ia merubah semuanya. Wulan menangis karena dirinya. Sahabat apa yang tega membuat salah satunya kecewa?
"Lo pura-pura gak tau atau bego? Harusnya lo tau kenapa selama ini gue menghindari Taufan. Kenapa gue menjauh. Kenapa gue selalu diam dan main ponsel tiap Girls Squad ngomongin dia."
"Lo?"
"Iya, Ayunda. Ini gue, cewek jahat yang selalu kalian hakimi karena terlalu tega telah menutupi status hubungannya dengan sahabat sendiri."
Ayunda ikut menangis melihat air mata Wulan berjatuhan. Hatinya ikut tercabik menyaksikan pandangan paling melukai ulu hatinya.
"Gue nggak bisa, dan kalau lo mau bahagiain Taufan, gue rela. Gue emang bukan gadis yang baik buat dia. Gue cuma akan jadi harapan dalam kemustahilan di antara semua keinginannya."
Ayunda tahu, ia menyadari perubahan sikap gadis itu akhir-akhir ini. Dimana Wulan yang anti ponsel saat berkumpul mulai asik sendiri. Dimana saat mereka membincangkan pria, Wulan memilih asik swa foto. Saat mereka makan bersama di kantin, Wulan bahkan mulai tidak ikut.
Ayunda merasa ada yang hilang. Namun ia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Wulan menjauh. Dan ia membiarkan. Mungkin sebegitu ia tidak peka sampai melukai sahabatnya sendiri.
Di saat Wulan membutuhkan tempat bercerita, mereka justru membicarakan Wulan di depannya dengan kata-kata yang kejam.
"Ma.. Maaf, maaf gue gak peka. Maaf gue terlalu bego buat jadi sahabat lo. Maaf gue gak bisa jadi sahabat yang baik buat lo. Gue bikin lo sedih, gue bikin lo nggak punya teman cerita. Tapi gue bukan paca--"
"Udah lah, Ay. Kebahagiaan lo itu kebahagiaan gue juga. Gue udah membiarkan dia bebas. Karena gue tahu, nggak semua burung nyaman di dalam sangkar. Yang ingin bebas memang harus dibiarkan lepas. Tolong, buat dia bahagia."
Kata terakhir yang menyesakkan. Wulan tak pernah tahu bahwa Ayunda hanya memiliki ribuan rasa sesak yang mengulum jantungnya. Ia bahkan tidak akan kuat berpijak lagi tanpa bantuan Taufan. Iya, pada akhirnya Ayunda memeluk cowok itu untuk berdiri agar tidak limbung. Wulan pergi, dan Ayunda menangis sejadi-jadinya.
Lalu, dua bola mata Ayunda bertemu dengan Sang Kopi yang menatapnya terluka. Biarlah, Ayunda memang sumber masalah. Ayunda sudah tahu masa depannya hanya dengan melihat Sang kopi tadi menatapnya dengan kecewa. Akan banyak luka di hatinya karena kehilangan sahabat, dan orang yang sudah ia yakini bahwa dia jatuh cinta.
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.