Seperti hujan, kamu memberi tenang.
Seperti hujan, datangmu mendatangkan rasa sakit.
-Laudito Ramadhan-
*
Dokumen-dokumen yang Ayunda kerjakan sudah beres. Tinggal surat masuk yang baru saja datang. Ayunda segera merekap surat tersebut, kemudian menyerahkan pada kepala bagian untuk dimintakan tanda tangan.
Tepat pukul dua siang. Ayunda membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, karena hari ini adalah hari terakhir magangnya. Baru setelah semua selesai, Ayunda berpamitan pada seluruh pegawai, terutama pembimbingnya.
"Bu, Terimakasih banyak sudah memberikan kami ilmu, mengajarkan saya tentang banyak hal dan juga pengalaman yang berharga. Maaf kalau selama ini saya ada salah dan melakukan pekerjaan yang kurang memuaskan."
Ibu pembimbing tadi tersenyum tulus, kemudian menyalami Ayunda dengan ramah. Seluruh pegawai PKL Ayunda di sini semuanya baik dan ramah, maka dari itu Ayunda betah.
"Perpisahan bukan akhir dari silaturakhim. Jangan sungkan main kesini lagi ya, kalau bisa.. Nanti setelah lulus kamu melanjutkan di sini."
Ayunda nyengir, kemudian menganggukkan kepalanya. Bukan tak mau, tapi Ayunda tidak mau kembali pada akuntansi lagi. Sedangkan Perguruan Tinggi ini dikhususkan untuk jurusan ekonomi. "Insyaallah Bu.."
"Ya sudah, laporan PKLnya ditinggal dulu saja, diambil besok-besok sekalian sertifikat magangnya keluar," Ayunda mengangguk. "Kami juga minta maaf kalau misalkan tidak banyak yang kami ajarkan di sini."
Ayunda mengangguk lagi, kemudian mereka berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya memilih untuk pulanh ke rumah.
Ayunda menaiki Bus, kemudian turun di stasiun untuk oper bus lain. Rinai perlahan turun dan membasahi jalanan ibu kota. Ayunda tersenyum tipis melihat gerimis yang berjatuhan. Sudah lama dia menanti hujan dan kini hujan kembali menemani hari-hari Ayunda.
Ayunda memilih untuk berteduh di depan mall yang tak jauh dari stasiun itu. Dia masih ingin di sana untuk menikmati hujan.
Terlalu menikmati hujan membuat Ayunda lupa diri. Dia tidak memahami mentari yang mulai lelah. Sang surya sudah mengintip di peraduannya sebelum benar-benar meninggalkan senja.
Satu persatu bus mulai hilang. Ditelah oleh jarak yang semakin jauh dari stasiun. Ayunda kembali pada dunia nyataannya setelah bergelut pada aksara di aplikasi favoritnya. Sudah tidak ada kendaraan umum lagi, dan ketika ia ingin menghubungi nomor ponsel Sang ayah, kesialan menimpanya. Ponsel itu mati.
"Sempurna banget. Bus habis, baterai habis. Puitis." Ayunda menepuk jidadnya. "Terus, gimana dong gue pulangnya?"
Ayunda menghela napas jengkel. Ia memutar otak mencari cara bagaimana agar bisa pulang. Di daerah sini tidak ada tukang ojek. Sampai akhirnya, ide itu datang.
"Kenapa gue nggak nyari warung yang ada jasa ngecarger-nya?" Gadis itu menjentikkan jari. Lalu dengan buru-buru ia berjalan ke arah warung mie ayam langganan Wulan di daerah mall itu. Ayunda sering lihat Zara ngecarger ponsel di sana saat mereka jajan bareng Wulan. Namanya juga Wulan, mie ayam Bu Yanti masih kurang. Harus mie langganannya yang paling jos gandos.
Tapi, langkah Ayunda terhenti. Dia melihat dua orang yang tidak asing dengannya, sedang berjalan bersama keluar dari mall itu. Mereka berdua kekuar dengan tawa yang menghias wajah. Dan, tawa itu adalah tawa diam-diam melukai perasaan Ayunda.
Cemburu. Tidak ada hak memang. Tapi Ayunsa benar-benar tidak suka jika pemilik mata kopi teduh yang selalu mendebarkan jantungnya kini berada di samping perempuan lain. Sayangnya, Ayunda bisa apa? Melarang? Itu adalah tindakan yang gila. Pria itu akan menganggap Ayunda rendah.
Detik itu juga, iris coklat Ayunda bertemu dengan Sang kopi. Suara desiran air hujan terhenti, menjadi sunyi akibat tatapan mereka yang mengunci. Laut berhenti melangkah, membuat perempuan di sampingnya bingung. Perempuan itu kemudian menatap arah yang Laut lihat.
Ah, gadis itu.
"Kamu kenapa ada di sini?" Suara itu membuyarkan Ayunda dari lamunannya. Ayunda tak sadar bahwa Sang kopi sudah berada di hadapannya.
"Neduh, Pak," Ayunda tidak bohong. Karena sebelum bus sampai di stasiun, hujan memang sudah turun.
Tetapi tetap saja Laut tidak suka, ia melihat penampilan Ayunda dari atas ke bawah. Gadis itu masih mengenakan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya.
"Ayunda ya?" Itu Rani. Ayunda mengangguk dan tersenyum kecil. "Kok kesini nggak ganti seragam dulu?"
"Saya belum selesai magang. Instansi saya memang pulangnya sore." Penjelasan Ayunda tidak membuat mereka berkomentar banyak. Mereka baru ingat bahwa kelas 11.1 baru saja menyelesaikan PKLnya hari ini.
"Kamu pulangnya gimana?" Rani berbasa-basi. Ia tidak enak meninggalkan gadis itu sendirian di sini. Apalagi sudah malam dan cuaca hujan. Walau pun Rani tidak suka pada Ayunda, setidaknya di hadapan Laut saja.
"Minta jemput Ayah."
"Oh, jemput? Tapi hujan.. Dari pada ngerepotin Ayah kamu mending kita antar. Nggak pa-pa kan Laut?" Rani menyikut lengan pria itu.
"Tapi, Ran.." Ayunda dapat melihat wajah Laut yang tidak bersahabat. Dan itu sesuatu yang asing. Ayunda harus sadar bahwa Laut yang sekarang berbeda dengan Laut yang dahulu. Walau terkadang Ayunda rindu, tetapi seharusnya Ayunda tetap bisa menghargai keputusan Laut.
"Nggak usah, Bu. Nggak ada anak yang ngerepotin Ayahnya sendiri." Ayunda tersenyum kecut, fake smile. Karna di dalam hati itu menjerit kesakitan, memanggil nama Laut berharap pria itu tersenyum padanya. Tersenyum saja, tidak lebih.
"Saya guru kamu. Saya masih punya kewajiban untuk menjaga muridnya."
Ayunda mencari akal untuk bisa menolak. Ia berdoa seseorang datang menjemputnya, karena yang ia sadar, ia tidak akan kuat untuk melihat mereka berdua tertawa bersama lagi.
"Ini sudah di luar jam sekolah." Ayunda ingin membela diri. Sungguh, walaupun akhir-akhir ini Ayunda merindukan Laut, tapi Ayunda tidak siap untuk bersama-sama lagi dengan Laut. Apalagi, Rani juga akan ikut.
****
Yang terisi di ruang mobil hanyalah sunyi. Sejak tadi Rani sibuk mengoceh di sampingnya, namun Ayunda tidak memperhatikan. Fokus Ayunda hanya kepada Laut, pria yang entah kenapa berubah jadi dingin padanya.
"Laut sudah biasa dijadikan sopir. Apalagi kalau saya dan Mama Laut shopping." Iya, pada akhirnya Ayunda kalah. Dan sekarang ia berada satu mobil dengan Laut. Jika dulu ini menyenangkan, sekarang terasa mengesalkan.
"Rani.."
Suara peringatan itu hanya ditanggapi dengan tawa. Ayunda masih canggung di sana. Sampai suara dering ponsel Rani mencairkan suasana.
"Iya.. Oh, ya udah nanti Rani ke sana ya. Hy Jagoan kecil! Kok nangis? Nanti Tante Rani jemput."
Sama halnya dengan Ayunda, Laut menatap gadis itu diam-diam. Namun sorot yang terpancar dari mata itu membuat Ayunda takut. Untuk pertama kalinya, dia tidak ingin bertemu dengan Laut.
Hujan turun semakin deras. Ayunda lantas membuang pandangan ke kiri jalan. Menatap kendaraan yang lampunya dinyalakan. Tak ada yang menarik, Ayunda hanya ingin segera sampai.
"Dadah.. Eh Laut, aku berhenti di caffe depan halte ya. Si Laskar makan di sana nggak mau pulang."
"Dan kamu membiarkanku berdua dengan gadis itu?"
Melihat Ayunda, Rani tertawa. "Gue percaya dia gak bakal macem-macem sama lo. Yang perlu diwaspadai adalah lo sendiri. Sebagai guru, gue titip dia."
Mobil berhenti, Rani berpamitan dari sana dan Laut meminta Ayunda pindah di depan. Katanya, Laut tidak mau dijadikan sopir.
Setelah itu pun, masih tak ada percakapan di dalamnya. Yang ada hanyalah kecanggungan. Hingga akhirnya, Laut memutuskan untuk menyetel lagu dangdut favoritnya. Dan ia pun mengikuti lirik lagu bergendre dangdut Jawa itu dengan lancar. Seolah memang dia paham dengan liriknya.
"Pak Laut suka lagu Jawa?"
"Saya lahir di Jawa, Jawa Timur."
"Bisa bahasa Jawa juga?"
Laut menoleh, "Sedikit."
Hening kembali mengambil alih keadaan. Ayunda mengambil ponsel dan memainkannya secara sembarangan, tanpa sebuah tujuan.
Ayunda pikir, hal itu bisa membuat Laut terkecoh. Namun yang berubah tidak selalu bisa kembali dengan tanpa alasan. Ia menatap Laut, wajah beku pria itu masih terpatri di sana.
"Pak Laut berubah."
Berubah? Laut ingin tertawa rasanya. Namun ia tak bisa apa-apa karena sedang ada luka di hatinya yang semakin mengaga. Laut selalu mencoba tegar, ia membuat tembok sebagai benteng pertahanan agar gadis itu rentan untuk masuk. Dan sialnya, gadis itu selalu hadir.
"Sudah sampai, Ay. Keluar."
Kalimat Laut diucapkan dengan sopan, tetapi tetap saja itu pengusiran. Apalagi ketika Ayunda belum selesai bicara padanya.
Ayunda menatap Laut dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Perlakuan Laut sudah menjelaskan bahwa pria itu tidak mau lagi diganggu olehnya.
Lalu, suara ponsel Ayunda berdering. Ia melihatnya, tampak nama Taufan tertera di sana. Ayunda yakin Laut juga melihatnya, karena pria itu langsung tertawa dengan smirknya.
"Pak Laut.. Liat Ayunda dan Taufan sejak kapan?"
Laut menggelengkan kepala. Tawa miris masih tersisa di bibirnya, "Kenapa? Apa yang saya lihat tidak penting untuk kamu.”
“Penting!!”
“Penting? Kita bukan pasangan, tidak perlu ada cemburu dan penjelasan.” Mendengar itu membuat Ayunda bagai tertampar kenyataan. “Keluarlah, Ayunda. Saya ingin pulang. Saya sudah mengantuk."
Ya, Laut memang benar. Mereka bukan pasangan dan Ayunda tidak perlu menjelaskan sesuatu pada Laut. Lagipula dengan menghindar, belum tentu itu pertanda bahwa Laut suka padanya, bahwa Laut cemburu padanya. Mungkin, memang Ayunda saja yang selama ini menganggap perlakuan baik Laut padanya berlebihan.
Selama ini, Ayunda tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup besar. Dan kata-kata Laut tadi berhasil membuat kepercayaan diri Ayunda yang minim semakin jatuh ke dasar jurang.
"Maaf."
Ayunda tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain itu. Ia keluar tanpa menatap Laut. Sudah cukup luka yang Laut tanamkan. Benar, sejak hari itu hidupnya seakan berubah. Tanpa Wulan, tanpa Laut.
Ia melihat ponselnya yang sedari tadi masih berdering, tidak ada minat yang tersisa untuk sekedar mengangkatnya. Ayunda mencoba berbaik hati pada Taufan, namun ia justru kehilangan banyak pihak. Tidak seharusnya pertemanan seperti ini dipertahankan.
Kadang, tali silaturahmi memang perlu diputuskan agar kita tidak merasakan luka yang sama.
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.