Matahari memerah membiarkan langit biru ikut memerah mengikuti cahayanya. Semilir angin tak sejuk sore itu, jalanan macet, asap kendaraan mendominasi udara disana. Gedung-gedung pencakar langit ikut menghiasi sore yang sesak itu.
Dea, gadis berusia delapan belas tahun itu sedang berjalan dipinggir jalan setelah menyelesaikan pekerjaan part time yang ia jalani. Sesekali ia batuk karena udara kotor disana. Ia mendongakkan kepalanya menatap gedung-gedung pencakar langit. Pandangannya berhenti pada sebuah gedung yang cukup tinggi, bisa dilihat olehnya seperti seorang manusia tengah berdiri diatas sana, lebih tepatnya diujung gedung itu. Manusia itu menjatuhkan tas miliknya, seakan-akan memberi aba-aba, setelah ini ia yang akan jatuh menyusul tas itu.
Tak ada orang yang menyadari kejadian itu, trotoar jalan sangatlah sepi, tak seorang pun sadar sebuah tas jatuh dari atas sana. Mobil-mobil tetap berbaris menunggu lampu hijau menyala, semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dea segera berlari menuju gedung itu dan berusaha menyusul orang itu di rooftop. Pintu lift tidak segera terbuka, membuat Dea geram dan memilih untuk berlari menggunakan tangga.
Angka dipersimpangan tangga menunjukkan angka delapan. Deru nafas Dea terenggah-enggah, tinggal dua lantai lagi untuk sampai ke rooftop, semoga ia tak terlambat, batinnya di dalam hati. Ia terus berlari, walaupun kakinya mulai terasa lemah.
Sampailah di rooftop, beruntung pria itu masih berdiri diujung sana, ia belum menjatuhkan dirinya. Tanpa berbicara Dea berlari ke arah pria itu dan menarik tangannya. Pria itu jatuh diatas tubuh Dea yang kini terbaring di halaman rooftop tersebut, bisa dibayangkan betapa lemahnya tubuh pria itu hingga mudah terjatuh diatas tubuh Dea.
Tatapan kedua insan itu bertemu. Tatapan pria itu menunjukkan kesedihan yang dalam dan terlihat lemah. Pancaran mata sang gadis menunjukkan kekesalan dan tatapan berambisi.
‘Tampan.’ batin Dea
Pria itu tampan, meski sorot matanya lemah. Kulit putih, alis lurus yang khas, mata bulat berwarna abu-abu, hidung mancung, dan bibir merah tipis. Tampan yang jarang ditemui, tampan khas, tidak seperti tampan pada pria lainnya.
‘Flower boy.’ batin Dea lagi
‘Manis, meski tatapannya cukup tajam.’ batin pria itu
Pria itu tersadar dari tatapannya dan bangun dari tubuh kecil Dea. Dea ikut berdiri dan masih tetap memberikan tatapan kesalnya. Dea menarik tangan pria itu untuk ikut bersamanya. Pria itu tak mengikuti Dea dan malah menarik Dea kedalam pelukannya.
“Jangan dilepas, ku mohon, seperti ini dulu.”
Dea bisa mendengar isakan kecil disamping telinganya. Dea membalas pelukan pria itu, sesekali ia mengusap punggung pria itu berusaha menenangkan. Dea tahu, pelukan sangat berarti untuk orang-orang yang sedang lemah dan sangat membutuhkannya.
***
Dea membawa dua botol teh dingin ke arah meja kasir, mengeluarkan sejumlah uang kertas dan logam untuk membayarnya. Ia berjalan keluar sambil membawa dua botol teh yang dibelinya tadi dan menghampiri pria itu dikursi teras minimarket. Pria yang baru saja mencoba untuk bunuh diri dan sekarang terlihat lesu.
“Hey, minum ini, kau akan menjadi lebih baik setelah meminumnya. The power of teh ...” kata-kata Dea terpotong
“Emm, sebenarnya the power of teh hangat, tetapi disini tidak ada teh hangat, dingin pun sama saja, hehe.” lanjut Dea kikuk
Pria itu masih diam, tak menjawab Dea, dan lebih memilih untuk menunduk daripada menatap Dea.
“Orang sakit, orang sedih, orang kedinginan, orang berbeban pikiran, semua minum teh.” kata Dea
Dea tak melihat adanya perubahan, pria itu masih diam dan menunduk. Dea membukakan tutup botol itu dan menyodorkan kearah sang pria.
“Hey, minumlah, aku sudah membukanya. Dan lihat aku sekarang, jangan terus menunduk seperti itu.” kata Dea lagi
Perlahan pria itu mengangkat kepalanya, Dea tersenyum, sambil menyodorkan minuman itu lagi. Pria itu menerima dan mulai meminumnya perlahan. Setelah meminum beberapa teguk, dia kembali terdiam.
“Hey, aku Dea. Dirimu?” sambil mengulurkan tangannya
“Hai, aku Kevin.” membalas uluran tangan Dea
Sambil berjabat tangan, mata mereka bertemu, Dea tersenyum. Pelan tapi pasti sebuah ukiran senyuman mulai terbentuk di bibir merah Kevin. Dea merasa lega dapat membuat Kevin tersenyum. Perlahan juga Dea mulai melepaskan jabatan tangannya.
“Ayo berteman.” kata Dea tulus
Bagi Dea orang-orang sakit, mereka yang ditinggalkan, berbeban pikiran, putus asa, bukanlah orang-orang yang harus ditinggalkan. Mereka adalah orang-orang yang harus dijaga, semakin ditinggalkan semakin hancur juga mereka.
“Benarkah? Kau ingin berteman denganku?”
Kevin menjawab ajakan Dea dengan mata berbinar dan nada semangat. Dea menjawab Kevin dengan anggukan dan senyuman, tetapi wajah Kevin perlahan murung kembali. Matanya yang berbinar menjadi mata kosong tanpa harapan, bibir yang sebelumnya terukir senyuman sirna dalam sekejap.
“Kau tak ingin berteman denganku jika kau tahu masa laluku, aku tau itu.”
“Tidak, masa lalu hanyalah sebuah cerita lalu, aku berteman dengan seseorang tak melihat masa lalunya. Aku melihat dia yang sekarang dan dia di masa depan nanti. Masa lalu adalah sebuah pelajaran, tidak lebih dari itu.”
“Benarkah? Kau akan merasa jijik setelah tahu aku yang dulu.”
Dahi Dea mulai berkerut, alisnya saling bertautan, memikirkan apa masa lalu pria di depannya ini, hingga ia terlihat begitu putus asa.
“Seperti apa masa lalumu?”
“Aku ...” Kevin diam sejenak dan menarik nafas dalam
“Aku dulu adalah pria pemuas wanita. Kau mengerti maksudku?”
Dea terdiam sejenak, merasa terkejut dengan apa yang dia dengar beberapa detik yang lalu. Dengan cepat Dea menyingkirkan mimik muka terkejut itu dan menggantinya dengan senyuman manis.
“Kau pasti memiliki alasan untuk menjadi seperti itu. Aku yakin.”
Tak heran, Kevin sangatlah tampan mendekati sempurna. Tinggi, berdada bidang, berkulit putih, mata yang dalam berwarna abu, hidung mancung, bibir merah, dan berambut hitam gelap. Hanya saja matanya memancarkan kesedihan yang dalam.
“Iya, aku memiliki alasan. Aku yatim piatu sejak SMA, aku sempat tinggal dengan orangtua angkat. Mereka tidak mampu untuk memberiku pendidikan yang lebih tinggi setelah SMA. Aku sangat ingin meraih mimpiku, aku selalu pulang malam, untuk mengumpulkan uang, bekerja seperti itu, untuk biaya kuliah. Mereka tak suka aku selalu pulang malam, dan aku selalu dimarahi. Aku memilih pergi meninggalkan rumah untuk mimpiku, dan bekerja lebih sering untuk biaya hidup, tempat tinggal, dan biaya kuliah.”
Dea tersenyum memaklumi, Kevin tertunduk malu. Kevin sungguh merasa jijik dengan dirinya. Perlahan dia merasakan sebuah telapak tangan kecil sedang menepuk pundaknya. Kevin mengangkat wajahnya dan menatap Dea.
“Aku mengerti, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan.” kata Dea menenangkan
“Aku berhasil lulus kuliah dengan apa yang ku hasilkan. Aku mulai pindah dari kota asalku, dan memulai disini. Memulai kehidupan yang baru dan lebih bersih. Aku berpikir aku bekerja untuk wanita yang ku sayangi, tetapi semua wanita yang tahu tentang masa laluku memilih untuk meninggalkan aku. Lalu untuk apa aku hidup? Tidak ada yang benar-benar menyayangiku dengan tulus, bahkan orangtua kandungku sekalipun, mereka egois. Mereka bermasalah dan memilih untuk berpisah, tak ada yang menginginkan aku.” jelas Kevin
“Maka dari itu, kau melakukan hal itu tadi?”
Kevin mengangguk lesu.
“Hey, lihat aku. Jangan berpikiran seperti itu, ada aku disini, aku temanmu sekarang.”
“Tidak, aku tidak membutuhkan teman.”
Dea melongo mendengar jawaban Kevin.
“Aku butuh pasangan. Aku akan menjaganya, karena dia adalah segalanya untukku, menggantikan posisi kedua orangtuaku, sahabatku, kekasih. Dia segalanya untukku.”
“Lalu? Seperti apa inginmu sekarang?”
“Mencari kekasih yang mampu menerimaku dan masa laluku. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi, sudah puluhan wanita yang meninggalkanku setahun ini. Aku selalu jujur tentang masa laluku berharap mereka bisa menerimanya. Lalu? Entah, mungkin aku akan mengulangi kejadian hari ini. Untuk apa aku hidup?” jawabnya sambil tersenyum pahit.
“Ada aku sekarang. Jangan berputus asa.”
Dea menjawab dengan berani, satu hal yang ada diotaknya sekarang ‘Pria dihadapannya sangat membutuhkan sosok penyemangat’. Bukan cinta, atau hanya perasaan tertarik, rasa iba adalah alasan utama. Jahat memang, tetapi Dea mantap dengan jawabannya.
Kevin menatap dalam mata Dea dan tersenyum.
***