“Jadi gini Ta. Kamu harus menganalisis tentang kabel-kabel. Kemudian kakak akan mencari tombol on off nya. Nah, untuk menyambungkan kabel-kabel itu. Kamu hanya punya waktu dua puluh menit,” jelas Kak Dian saat kami sudah menuju lantai dua.
Sisanya hanya menunggu dibawah. Aku sangat khawatir sekali. Sangat khawatir.
“Kenapa harus diwaktu?” tanyaku heran.
“Kita tidak akan tahu aka nada bahaya apa diluar sana Mita. Jadi kita harus kerja cepat dan fokus. Mengerti?”
Aku hanya mengangguk.
Kami sampai dilantai lima. Rasanya kaki mau copot. Sumpah, kita hanya memakai tangga darurat. Karena tahulah kalau satu ibukota sekarang listrik ditutup?
Aku langsung melewati ruangan yang seperti kantoran. Berjejal-jejal kubikel tersusun rapi. Oh… ini bagus sekali. Aku seperti sudah dewasa sekali.
Aduh! Tali sepatuku lepas.
“Kak… Tunggu sebentar! Tali sepatuku lepas.”
“Ah! Kamu ini. Ya sudah kakak tunggu di ruangan depan. Cuma lurus terus belok kanan.”
Kak Dian memang hapal seluruh bagian di perusahaan IEU ini. Dari toiletnya, sampai ruangan kepala direkturnya pun, ia tahu.
Kak Dian pergi dan meninggalkanku sendiri.
Ok. Selesai.
Aku berjalan lagi menggunakan senter kearah yang sudah diarahkan oleh Kak Dian.
Dan aku menemukan sebuah tulisan sperti kutipan-kutipan bijak dengan kata .
“Keanehan adalah Kuncinya.” "Kamu Adalah Bukti." Dan "Intuisi adalah kunci. Biasanya."
Lah... Kok ada yang kayak gini di perusahaan elit? Ah... Sudahlah.
Berjalan lagi lima langkah. Kemudian ada sebuah suara yang berasal dari kubikel.
Ku arahkan senter itu menuju kubikel, dan tidak apa-apa.
Sekarang. Entah kenapa tubuhku mulai berjalan menuju kubikel tersebut.
Perlahan-lahan.
Saat mendekat kubikel tersebut, aku melihat jasad seorang bapak-bapak. Ia telah meninggal. Darahnya tercecar dimana-mana. Posisi jasad itu sedang duduk dengan wajah yang menyentuh meja kubikel. Mulutnya terbuka lebar dan matanya melotot tajam.
Aku menutup mulut terkejut. Dan kakiku gemetar hebat. Kumundurkan badanku perlahan demi perlahan.
Cekit…!
Bruk…!
Pintu tertutup sendiri. Aku berbalik badan. Dan berlari menuju pintu.
Aku pun berteriak, “Kak Dian! Buka pintunya!”
Karena aku semakin takut dan kalut, teriakkanku semakin menambah.
Lalu, dibelakangku ada bunyi sebuah lonceng. Aku berhenti berteriak dan kakiku gemetar hebat lagi. Keringat dingin pun bercucuran. Ini mimpi buruk sekali.
Ting… ting…
Bunyi itu pun hilang. Aku masih membelakangi bunyi karena tidak berani.
Ada bunyi lagi. Kalau yang ini memakai alunan gamelan.
Tung… tung…
Dan disusul dengan suara sinden.
Lingsir wengi…
Sliramu tumeking sirno…
Deg… aku tahu ini lagu apa. Menurut kepercayaan jawa, lagu ini sebagai pemanggil hantu. Kakiku sekarang lemas. Dan tubuhku gemetar. Ya Tuhan. Ini seram sekali.
Ku beranikan diriku menoleh. Perlahan-lahan ku tolehkan. Peasaan takut pun tidak terkendali. Aku menutup mata. Setelah badanku sempurna menghadap lagu tersebut, lagu itu pun mati.
Ku buka mata pelan-pelan.
Jreng…!!! Tidak ada apa-apa.
Aku menghela napas. Tapi, itu apa?
Ku edarkan sinar senterku.
Ke kanan…
Ke kiri dan Bhua!!!
Jasad bapak-bapak itu berdiri seram dihadapanku.
Aku berteriak keras. Kemudian berlari ke kubikel terdekat untuk mengambil senjata perlawanan.
Ku ambil sebuah gunting yang mungkin bisa membantuku. Lalu, ku lempar gunting itu dan tertancap tepat diatas mata zombie itu. Zombie itu terpelanting jauh dan kemudian jatuh dan terduduk. Ia mengerang kesakitan dan meringis sangat sakit.
Aku segera menggebrak-gebrakan pintu yang tadi tertutup tiba-tiba. Ku coba untuk pertama kalinya, nihil. Zombie pun masih mengerang kesakitan.
Kedua kalinya, nihil.
Ketiga kalinya, pintunya terbuka, dan aku masuk ke ruangan tersebut. Dan menutup pintunya.
Fiuh… aku menghela napas panjang.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, “Darimana?”
“Uaaaaa!!! Huhh…!!” sumpah, aku sangat terkejut sekali.
“Ta… tenang. Kamu kenapa?” tanya Kak Dian keheranan.
“Tadi… kak… tadi ada se… jasad bapak-bapak zombie yang nyanyiin lagu lingsir wengi terus teriak-teriak didepan mukaku sambil joget-joget,” jawab aku tidak tenang. Memang, untuk keadaan ini aku tidak bisa berfikir jernih dan hasilnya seperti itu.
Kak Dian memegang kedua pundakku, “Coba Ta… Tarik napas… hembuskan. Dan tenang.”
Ku coba. Hasilnya menjadi lebih baik, “Sudah kak.”
“Coba… ceritakan pelan-pelan.”
Ku ceritakan kejadianku tadi. Kak Dian manggut-manggut, lalu memasang wajah ketakutan, “Ta… Kita harus bergegas.”
“Iya kak. Jadi, kita mulai darimana?” tanyaku.
Kak Dian menjelaskan dengan agak tenang. Mungkin, inilah keahliannya. Bisa cepat tenang disaat-saat yang genting.
“Iya kak. Siap!”
Lalu, aku berjalan ke ruangan electric centre. Disana, aku menganalisis kabel-kabel serta berapa arus yang harus digunakan untuk meledakkan bom.
Kak Dian yang sedari tadi dibelakangku menyeletuk, “Kamu suka Arya?”
Aku pun terkejut. Hah? Arya?
“Entahlah kak. Dia laki-laki aneh. Kayaknya otaknya jorok.”
“Yang bener?” sekarang, nada Kak Dian sedikit kearah merayu.
“Benar kak. Tapi, entah kenapa, pas tadi diluar, ia memelukku.”
“Dia sebenarnya suka sama kamu.”
Hah? Arya? Suka padaku?
“Kak. Kalau becanda jangan kayak gitu dong. Ada-ada saja deh.”
“Memang ia suka kepadamu. Pada saat latihan taekwondo saja, dia sering menanyakan perihal kamu Ta.”
Pipiku memerah. Jantungku berdegub begitu kencang. Sebegitukah Arya yang sebenarnya.
“Ingat Ta. Arya bukan seorang gay atau play boy atau apapun. Ia hanya ingin terus bersamamu.”
Di depan listrik-listrik ini, aku menganga. Jadi? Rindu itu?
“Dan Ta… kalau mau tahu. Arya ini adalah tipe-tipe laki-laki yang berkomitmen. Kamu harus tahu itu. Dan Kadang hidup penuh kejutan kan?”
Entah kenapa, muncul perasaan menyesal dalam hatiku. Mataku berair. Entah kenapa, aku ingin sekali menangis. Tapi tidak bisa.
Ku hapus sedikit air mata yang sedikit lagi ingin turun. Dan selesailah tugasku.
Aku sekarang berhadapan dengan Kak Arya.
“Kak. Ini bohong kan?” tanyaku yang sekarang aku mulai menangis.
“Hei. Kamu tidak boleh menangis. Memangnya kenapa?” tanya Kak Dian yang keheranan.
“Waktu baru masuk sekolah, Arya kuanggap sebagai manusia yang aneh. Ia kuanggap sebagai orang paling kubenci di dunia. Mengapa? Karena kukira ia hanya bermain-main denganku. Sebegitukah Arya yang sebenarnya kak?” tanya aku sambil air mataku jatuh ke bawah.
“Arya suka padamu. Dan hanya itu. Ta… percayalah, ia orang baik.”
Air mataku menderas. Dan aku langsung memeluk Kak Dian.
“Kak maafkan aku,” sahut aku dipelukannya.
“Tidak apa-apa.”
Hari ini. Aku menangis. Didalam dekapan Kak Dian. Pemimpin dari kelompok kami. Bertepatan pada pukul 03.30.
***
Setelah drama menangis selama lima menit. Ku lanjutkan target ini. Waktu yang seharusnya dua puluh menit menjadi setengah jam. Karena hal ini.
“Ok Ta. Sekarang kita pergi keluar. Kakak sudah menagtur waktu ledakannya. Kita hanya punya waktu sekitar lima belas menit. Ok!?”
Aku mengangguk.
Dan sekarang, keadaanku aneh. Mata sembap dengan senyum yang melebar. Menjadikan aku layaknya monster-monster di film horror fantasi.
Kami turun ke lantai empat.
Turun ke lantai tiga.
Dua.
Satu.
Dasar.
Dan perjalanan tadi, membutuhkan waktu yang sangat banyak. Sepuluh menit, dan akhirnya kami sampai di lantai lobi.
Arya sedang menunggu kami berdua dengan duduk dan melamun. Begitu pun Denayla.
Cepat-cepat aku berlari ke Arya dan memeluknya.
“Eh? Kamu kenapa?” tanya Arya keheranan dipelukanku.
Aku hanya diam dan memeluknya erat.
“Sudah. Ayo kita keluar. Gedung ini akan diledakan. Dan kita memakai baju pengaman. Ayo cepat!” teriak Kak Dian.
Aku melepaskan pelukan dan tersenyum ke Arya.
Lalu berlari dan mengikuti Kak Dian yang sudah didepan.
Di luar, fajar sudah terangkat. Aku meghirup udara yang sangat sejuk. Tapi, disekitarku sangat berantakan. Aspal berceceran, Serpihan-serpihan bagian mobil, api yang menyalak-nyalak karena terbakarnya pohon-pohon di trotoar. Ini layaknya film zombie epik.
Aku melihat gedung IEU. Perasaan pun campur aduk. Marah, sedih, aneh, semuanya bersatu menjadi satu. Dan pada akhirnya, IEU menemui ajalnya.
“Ok. Semuanya. Cepat pakai baju ini. Ini melindungi kalian dari semacam ledakan dan radiasi. Pakailah! Kalian hanya diberi waktu satu menit!” suruh Kak Dian tegas.
Aku memakainya. Jika kalian ingin tahu seperti apa, baju ini seperti baju yang dipakai untuk para ahli masuk ke laboratorium. Berwarna kuning, dan terbuat dari bahan sintesis.
Aku memakianya dengan cepat. Hanya membutuhkan waktu lima puluh detik.
Lalu, aku mendekat kepada Kak Dian. Sekarang telah dimenit ke empat belas. Itu berarti, kita harus countdown!
“Ok… Kak Dian telah men-timer peledaknya, dan sekarang hitung mundur. Ketika kakak sudah mengucapkan nol! Berarti kalian harus tiarap dan tutup telinga. Ok?!”
Kami semua mengangguk.
Lalu Arya sekarang berdiri didekatku. Dan ini yang membuatku senang. Arya, aku pun menyukaimu untuk hari ini.
“Ok. 20!”
Jantungku berdebar-debar, Keringat bercucuran, tanganku dingin, dan semua tubuhku menegang.
“15!”
Arya memegang tanganku.
“14!”
Aku semakin tegang. Dan Arya memegang tanganku erat.
“10!”
Kulihat, Kak Mila berpegang tangan ke Kak Dian sepertiku. Dan Denayla hanya memegang pergelangan tangannya dengan cemas.
“8!”
“7!”
“6!”
“5!”
“4!”
Bismillah…! Ini pasti bisa.
“3!”
“2!”
“1!”
Aku langsung tiarap dan menutup telingaku.
“0!”
Hening…
Hening…
Lalu, sayup-sayup terdengar sebuah suara benda yang terbang. Suara tersebut semakin dekat.
Dan secercah cahaya pun menerpa kami. Kami semua beranjak berdiri.
Ku dongakkan kepala. Betapa terkejutnya kami.
Itu adalah badan pengawasan negara!
“Kami adalah badan pengawasan negara! Telah mengidentifikasi upaya peledakkan dengan bom UP786-1 tanpa izin! Kalian masuk ke kapsul ini. Sekarang!” suara tersebut berasal dari kapsul itu. Tapi, aku tidak tahu siapa yang mengucapkannya.
Kemudian, tanpa aba-aba, tubuh kami terangkat dan masuk kedalam kapsul.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa bom itu tidak meledak?