Aku keluar dari portal dan sampai di kamar Denayla. Ternyata dia sedang bermain virtual reality. Menggerakan tangannya dan berteriak lantang ketakutan. Aku tahu, pasti dia sedang bermain game horror.
Saat aku menepuk bahunya. Ia membuka VR-nya dan menoleh kepadaku. Anehnya, ia malah terkejut melihatku.
“Denayla, kamu kenapa?” tanya aku sedikit tertawa.
“Huh. Kamu mengagetkanku. Darimana saja kamu, lama banget. Sampai jam segini.” ia sedikit marah.
“Loh, bukannya masih jam dua belas siang?”
“Memang iya?”
Aku mengangguk.
“Oh, maaf. Itu di jam VR-ku mengatakan kalau sekarang jam dua belas malam. Maaf.”
Aku menepuk jidat.
***
Hari mulai malam. Aku dan Denayla makan bersama dengan memakai aplikasi online yang diantar oleh robot dengan waktu tidak lebih dari lima menit. Wow, segalanya instan bukan? Lalu aku naik ke lantai atas ke kamarku. Denayla masih menonton televisi dibawah.
Ku duduk di ranjangku, dan memandang tablet tipisku itu. Lalu tabletku bergetar. Ada yang menelpon. Tapi, bukan via suara, tetapi video call. Kurapihkan wajahku dan semuanya, lalu aku mengangkat telepon tersebut.
“Halo?” sapa orang itu yang wajahnya masih samar-samar.
“Iya? Ini siapa yah?” aku melihat dan wajahnya semakin jelas, “arya?”
“Iya. Ini aku.” Jawabnya terkekeh.
“Kenapa menelponku?! Mau modus lagi yah?”
Ia tersenyum, “Ingin tes saja, takut ini bukan nomormu.”
Aku lupa, pernah memberinya nomor telepon saat di kapsul.
“Oh.” jawab aku ketus.
“Ya sudah. Aku tutup dulu yah.”
“Terserah!” jawab aku ketus.
***
Pagi harinya. Aku masuk kelas dengan Denayla.
Aku duduk dikursiku dan sampingnya adalah Denayla. Kursi disekolah ini terbuat dari plastik transparan. Dan dikursi itu ada penyesuaian tinggi badan kita jika duduk. Maksudnya, jika kita duduk apakah kita ketinggian atau kependekan dengan meja. Terus, kursi ini bisa menghangatkan pengguna yang duduk disitu. Dan ditambah, kursi tersebut bisa memunculkan berita-berita harian.
Kutoleh Denayla, “Denayla, sekarang pelajaran apa sih?”
“Geografi kali. Ah, aku malas,” keluh Denayla.
“Emang sih.”
Lalu, kursiku bergetar. Kursi itu mengeluarkan sebuah lengan dan ada sebuah tablet. Itu menunjukkan suatu berita update terkini.
Di tablet itu tertulis, Waspada!!! Virus mutasi sudah berkeliaran. Pihak IEU (Indonesian Energy Unlimited) meminta maaf.
“Apaan sih? Berita nggak jelas. Orang sebentar lagi PILKADA ini malah menyebar berita bohong.” gumamku hingga terdengar Denayla.
“Lagi ngapain sih?” tanya Denayla penasaran.
“Ini, nih. Ada virus mutasi. IEU juga apaan?”
“Hah! Virus mutasi?” Denayla terperangah, “emang ada apa dengan IEU?”
“Katanya IEU meminta maaf karena virus ini. Memang IEU apaan sih?”
“Itu, Indonesian Energy Unlimited. Seperti laboratoriumnya Indonesia.”
Aku mengangguk, “Tapi, mengapa ada kata energi?”
“Ya itu sih, karena laboratorium itu lebih banyak meneliti energi alternatif untuk sepuluh sampai seratus tahun kedepan.”
“Oh,” aku mengangguk, “ya sudah. Aku membeli waterdrink dulu yah?”
“Silakan.”
Aku bangkit dari kursiku, lalu keluar kelas.
Udara pagi ini sejuk. Langit mendung dan mungkin sepuluh atau lima belas menit lagi akan hujan. Oh, aku suka sekali hujan.
Lalu aku keluar menuju kantin. Ingin membeli waterdrink. Itu sebenarnya air minum, tetapi bukan kemasannya berbentuk botol. Tetapi plastik yang aman dimakan, yang berbahan dasar singkong. Dan dijualnya pun tidak satuan. Tetapi memakai box yang isinya seratus. Karena bentuknya kecil-kecil.
Berjalan ke kantin tidak jauh. Hanya lima puluh meter (*mungkin) dari kelasku. Sesampainya aku di kantin, aku meminta kepada robot penjual untuk menyediakan waterdrink. Lalu tanpa butuh lama aku mendapatkannya. Bayarnya, dengan memakai e-dompet yang bisa dipakai dimanapun dan kapanpun. E-dompet akan selalu terhubung jika ada pembayaran.
Aku kembali ke kelas. Dan saat kembali ke kelas, ada Arya dengan teman-temannya.
Lalu, Arya melihatku juga dan berpisah dengan rombongan teman-temannya.
“Hai,” sapa Arya.
Ya Allah, mau apalagi lelaki gesrek ini?
Dia mendekatiku, “Sudah tahu berita hari ini?”
Aku mengangguk dan berkata ketus, “Itu berita bohong. Jangan coba-coba percaya deh.”
“Itu benar,” jawab Arya, “kalau tidak percaya, itu adalah ayahku. Ayahku yang meminta maaf. Karena dia pihak IEU.”
“Oh?” sahut aku dengan penasaran.
“Dan katanya akan menjadi seperti mayat hidup.”
Apa mayat hidup? Tapi, ngapain juga coba percaya sama laki-laki otak miring?
“Oh,” sahut aku ketus.
“Ya sudah, aku ke kelas dulu,” sahut Arya.
Terserah kamu mau kemana. Kesana kemari. Tapi, please jangan bawa-bawa aku.
Aku kembali masuk ke kelas. Hujan turun. Bersamaan dengan angin sepoi-sepoi. Rintikannya membuat simfoni indah. Mengapa ini menjadi puitis sekali.
Lalu, setiba aku di kelas, aku menatap lapangan. Semua murid dan guru berlarian. Aduh! Ada apa ini?
Lalu dibelakang kerumunan itu ada sebuah makhluk tinggi, berjalan gontai, bergigi taring, otak yang ingin keluar. Ditambah, aku melihat makhluk itu seperti memakan salah satu murid. Ia mengoyaknya, mencabiknya dengan rakus. Dan ternyata, ia mengincar otak manusia.
Aku berbalik badan menuju dalam kelas, “Hei! Ayo cepat keluar. Itu ada mayat hidup.”
Semua orang bangkit dari duduknya dan suasana kelas menjadi riuh. Kursi-kursi berantakan, buku-buku berceceran. Dan semuanya seperti kapal pecah.
“Denayla! Ayo cepat!” pekik aku.
Denayla mengangguk cepat. Ia berlari panik menujuku. Semua orang sedang berlarian menuju gerbang sekolah. Dan aku mengikutinya. Makhluk itu mungkin sedang asyik dengan santapannya.
Disaat aku hendak menuju gerbang, tiba-tiba ada satu suara yang kukenali. Ia Arya. Sedang berlari mengejarku.
“Ta,” teriak Arya sambil terengah-engah.
“Ada apa sih ini?” tanya aku semakin panik. Denayla juga panik ditambah shock berat.
“Itu yang kumaksudkan. Dialah yang disebut mayat hidup.”
Aku terkejut ditambah panik.
“Terus kami harus kemana?” tanyaku semakin panik.
“Kita ke terowongan saluran pembuangan.”
“Kamu gila yah?!”
` “Ini hanya solusi sementara. Kita kesana dulu. Ok? Tolong Ta. Untuk saat ini, tolong kamu jangan benci saya. Ini genting Ta, genting,” jelasnya dengan terburu-buru.
Semua orang sedang terburu-buru. Lalu, Denayla berteriak “Aaaakkkk…”
Kulihat kebelakang, ternyata ada tujuh mayat hidup yang sedang berjalan gontai menuju kami. Lalu, kami bertiga berlarian keluar gerbang. Dan masalah pun muncul lagi.
Dari sebelah timur kami datanglah gerombolan mayat hidup yang berjalan gontai dan cepat. Mereka bahkan lebih memiliki ambisi yang tinggi ketimbang mayat hidup yang tadi. Kami bertiga panik. Kemudian kami berlari menuju arah barat.
Kami terus berlari. Rintik hujan yang tadinya kecil berubah menjadi besar. Ini seperti film Inception. Ah, sudahlah. Akhirnya kami menemukan sebuah lubang. Ya, lubang untuk masuk ke saluran pembuangan. Lalu Arya membukanya, dan kami pun masuk.
Kami menuruni tangga yang terbuat dari besi. Dan Arya sudah menutup lubang tersebut. Huhhh… kami aman. Tapi, ini hanya sementara.