Andai
“Cinta yang tulus dalam hatiku
membuang hasrat mimpiku
tuk bisa menyatakan sayang
tuk bisa mengungkapkan semua pada dirimu
Tak mungkin bagiku tuk memilikimu
segala rasa yang pasti tak mungkin tuk bisa kau terima semua
tuk bisa kunyatakan rasa kucinta kamu”
(Waktu yang Dinanti – Ungu)
Ali menghentikan petikan gitarnya pada lirik ini. Lagu yang tanpa sengaja ia hafal beberapa hari terakhir. Entah karena isi lirik lagu ini atau karena kunci gitarnya yang cukup sederhana.
“Oe, bray. Lo di sini ternyata.” Abu tiba-tiba muncul.
“Eh. Lo,” jawab Ali sambil menggeletakkan gitarnya di matras rumput.
“Kok ditaruh? Lanjutin donk. Tadi dari jauh, suara lo keren juga.” Abu meraih kembali gitar yang tergeletak lelah. “Nih, main lagi.”
“Capek.” Hanya itu jawab Ali sembari membaringkan tubuhnya di matras rumput yang begitu tebal.
“Eh, pake alesan capek lo. Lagu lo itu kena banget, bray.”
“Kena? Maksud lo?” Ali agak mengangkat kepalanya. Seakan ia terkejut dengan kalimat Abu yang baru saja ia dengar.
“Eh, nggak. Lagu siapa sih itu?”
“Ungu.”
“Oya? Kudet banget ya, gue?” Abu ikut merebahkan tubuhnya. “By the way, lagu itu buat siapa, bray? Jangan-jangan, lo lagi jatuh cinta?”
“Apa? Jatuh cinta?” Mata Ali melotot mendengar pertanyaan Abu yang terdengar konyol di telinga Ali selama ini.
Jatuh cinta? Suatu hal yang seakan tidak mungkin terjadi pada seorang Ali. Menurutnya, jatuh cinta itu sesuatu yang wasting time. Dari pada memikirkan sakitnya jatuh cinta atau merindukan orang yang baru saja muncul dalam hidupnya, Ali lebih suka memikirkan bagaimana memodifikasi mesin motornya agar lebih fit atau body motornya agar lebih eksotik.
“Biasa aja, bray. Nggak usah ngetril gitu.” Abu menjawab.
“Ya lo sih. Ngomongin cinta sama gue. Nggak ada tuh di kamus gue yang namanya jatuh cinta, kangen, mellow, mellow gitu. Apaan?”
“Jangan ngomong gitu, lo. Jatuh cinta beneran, lo harus traktir gue.”
“Iyaaa, siap. Gue traktir sepuas lo.”
Tos ringan menandakan sebuah persetujuan dari perjanjian kedua sahabat ini. Ali kembali meraih gitarnya. Kali ini, ia coba menyanyikan sebuah lagu yang sangat jauh dari kata cinta. Apa lagi, lagu yang baru saja ia nyanyikan tadi.
“Lagu apaan tuh?” Abu mengernyitkan dahinya. Lagu yang ia dengar benar-benar jauh dari familiar di telinganya.
“Yang penting enak didengar, bray.”
Iya. Memang. Lagu yang sedang Ali mainkan itu enak didengar. Melodi dan iramanya nge-beat dan bersemangat, meski syairnya terdengar asal bunyi.
“Stop! Stop! Syair lo nggak jelas.”
“Hahahahahaha.” Ali terpingkal melihat ekspresi sahabatnya itu.
“Eh, bray. Kok Zahra nggak nyariin kita, ya.”
“Hadeh. Ngarep banget sih lo.”
“Gue kangen banget.”
“Njir. Nggak ada lagu lo selain kangen?” Ali menyentil kepala Abu. “Emang berapa lama lo nggak ketemu Zahra? Perasaan pas jam istirahat pertama tadi, lo ketemu dia di kantin, kan? Ya…meski nggak sempat ngobrol.” Ali mengedipkan mata kirinya.
“Nah tu dia yang bikin gue makin kangen.”
“Astaghfirullah, bray. Lo baik-baik aja, kan?” Ali menempelkan telapak tangannya ke kening Abu.
“Set dah. Gue sehat….”
“Tapi otak lo yang nggak sehat.” Belum selesai Abu dengan kalimatnya, Ali sudah menyambar. “Setan tuh isinya. Hahahahaha.”
“Astaghfirullahaladzim. Tega lo, bray.”
Kedua sahabat ini pun terkekeh bersama dan merebahkan tubuh mereka di atas matras rumput yang sedari tadi seakan ikut mendengar obrolan konyol mereka. Angin berembus lembut menggiring awan putih berarak mencipta formasi kesenduan. Langit senja masih terlihat terang, seterang hati kedua sahabat ini. Kawanan burung terbang rendah menyapa pucuk-pucuk pepohonan di halaman belakang sekolah, base camp paling nyaman untuk mereka.
Ali, Abu dan Zahra seolah mendapat sebuah tempat yang ternyaman untuk melepas segala penat di hati dan kepala mereka di halaman belakang sekolah ini. Matras rumput tebal itu seolah ranjang terempuk bagi mereka. Suasana, setting dan aroma alami di tempat itu mampu merefresh otak dan hati mereka yang terkadang terasa penuh oleh beban belajar, keluarga, bahkan tentang cinta dan karya.
Ali masih terlihat duduk termangu dengan gitar di pangkuannya. Tidak satu pun nada tercipta dari denting senar gitarnya sore itu. Ia hanya memandang sekeliling, sesekali merebahkan tubuhnya dan terbangun kembali seketika. Ingatan Ali tentang kenangan bersama Zahra dan Abu, membuatnya semakin jauh dari harapan untuk bersama Zahra menghabiskan senja.
“Bila nanti saatnya t’lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa”
(Akad, Payung Teduh)
“Kok berhenti? Lanjutin mainnya.”
Sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga Ali tiba-tiba hadir. Suara itu seakan membuat jantung Ali berhenti berdetak untuk beberapa detik. Antara yakin bahwa suara itu nyata atau hanya hembusan angin saja. Mungkin rasa rindu yang telah memekat atau karena kenangan yang makin mendekat, membuat Ali seakan mendengar suara itu.
“Hey! Kok malah bengong sih, lo.”
Suara itu kembali terdengar. Bahkan, sekarang bukan hanya suara yang dapat terdengar, tapi juga wajah yang terlihat.
“Tuh kan. Masih bengong gitu. Jelek tau!” Gadis itu malah duduk di samping Ali. “Ali! Lo kenapa, sih? Kaya lihat hantu aja.”
“Zahra? Eh, ini asli lo, kan?”
“Ya iya lah. Eh, bukan, bukan. Gue hantu penghuni taman ini.” Mata Zahra sedikit melotot dan mengernyitkan dahinya. Menatap tajam ke arah Ali yang masih terlihat terkejut. “Noh, di sono noh tinggal gue. Di pohon besar sebelah sono. Lo liat, kan? Suara gitar lo ini bikin telinga gue pekak, tau nggak!”
“Hahahahahaha” Spontan Ali terbahak mendengar dan melihat tingkah Zahra yang menurutnya lucu itu.
“Eh, malah ketawa. Ini gue beneran, ya. Sekali lagi lo gangguin gue, bisa gue bikin lo … .”
“Apa? Kok nggak dilanjutin?”
Ali terjebak tatapan Zahra. Kali ini, tatapan Zahra benar-benar terlalu dalam. Bahkan, ia sendiri pun tidak menyadarinya. Zahra pun terlalu dalam menyelam dalam mata Ali. Mereka berdua sekarang terjebak bersama dalam sebuah tatapan. Seakan berada di lekukan labirin yang menyesatkan.
“Hm, Ali, lagu lo tadi apa?” Zahra berhasil lepas dari labirin itu. Ia berusaha mengatur nafas dan ekspresi wajah. Ia sedikit menunduk dan membenahi posisi duduknya. Hijab hijau muda yang ia kenakan seakan mimikri dengan warna karpet rumput tebal di halaman belakang sekolah itu. Apalagi, gaun bunga-bunga yang ia kenakan, terlihat membaur dengan rerumputan. Hanya alam yang mampu menangkap wajah malu-malu gadis cantik itu.
“Eh, ternyata, hantu suka denger lagu juga.” Ali merebahkan gitar dipangkuannya. Sekaan ia tahu, gitar itu berada di posisi yang sama sekali tidak nyaman.
“Apaan sih, lo.”
“Lah, bukannya tadi lo bilang lo itu hantu penghuni pohon besar di sana itu.”
“Udah deh, Ali. Ini gue, Zahra!”
“By the way, tadi tu, lo mau bikin gue napa?”
“Yang mana?”
“Yang tadi lo bilang. Kalo gue gangguin lo, lo bakal bikin gue napa?”
“Bikin lo jatuh cinta sama gue.”
Deg!
Dan lagi. Jantung Ali benar-benar berhenti berdetak. Entah apa yang sekarang ada di kepala Ali. Seakan kosong, semua kata dan apa pun telah pergi dari pikirannya saat ini. Hatinya berdesir, seperti gelak ombak menyapa bibir pantai. Tubuh Ali terasa ringan seringan kapas yang siap melayang terbawa angin.
“Hahahahaha. Lo kenapa, Ali?” Zahra terkekeh dan menepuk tangan Ali yang telah bersiap terbang bersama impiannya yang seakan hampir nyata.
“Nggak pa pa. Gue cuma heran aja sama lo, Ra.”
“Ih, harusnya gue yang heran sama lo. Lo aneh banget deh.”
“Lo yang aneh, Ra. Tapi lo nggak pa pa, kan?”
“Idih, gue sehat. Lo tuh yang sakit.”
“Iya, Ra. Lo bener. Gue yang sakit. Gue sakit karena terlalu mencintaimu.” Ali berbisik dalam hati. Andai Ali punya daya dan keberanian untuk mengucapkan semua, pasti akan ia katakan bahwa ia sangat mencintai Zahra. Tapi, kembali Ali hanya mampu berandai-andai, berhayal dan berharap. Sedang anak sahabat mama? Bagaimana dengan gadis itu? Siapa gadis itu?
“Iya, Ali, lo bener. Gue sakit banget hari ini. Gue sakit karena terlalu mengharapkanmu.” Pun Zahra berdesis dalam batin. Kali ini, entah apa yang Zahra harapkan dari seorang Ali. Sedang selama ini, Ali yang begitu dekat dengannya hanya menganggap Zahra sebagai sahabat. Dan lagi, Zahra tahu pasti, bahwa Ali tidak akan pernah menghianati Abu, sahabatnya. Abu yang menyimpan seluruh cintanya untuk Zahra. Dan anak tante Ratna? Bagaimana dengan lelaki itu? Siapakah lelaki itu?
Ali dan Zahra kembali terjebak dalam labirin yang mereka cipta masing-masing. Hanya diam. Bahkan suara angin yang berhembus lirih dan berusaha untuk tidak mengganggu mereka pun masih saja terdengar.
“Eh, Ali. Siswa di sini makin rame ya kayaknya.” Zahra membuka obrolan. Meski garing, ia berusaha untuk menutupi segala kegundahan hatinya.
“Iya. Tapi kok, kayaknya nggak ada yang suka ke sini ya, Ra.”
“Hm, mungkin nanti, pulang sekolah. Banyak kok yang biasa ke sini, kata pak Jo sih gitu.”
“Oya? Alhamdulilah kalau gitu. Artinya, usaha Abu untuk membuat taman ini nggak sia-sia. Bisa jadi ladang jariyah juga buat dia.”
“Abu?”
“Iya, Abu dan pak Jo.”
Ali hanya membalas dengan senyuman. Lagi-lagi nama Abu disebut di sini. Hanya napas panjang yang mampu Ali lakukan saat mendengar nama Abu disebut oleh bibir manis Zahra. Dan sekali lagi, andai Ali mampu mengatakan, bahwa ia sangat cemburu pada hal itu.