Sebatas Doa
Abu menghentikan langkahnya. Pun Zahra terpaksa ikut berhenti mendadak. Sebuah tanah lapang berumput di halaman belakang sekolah. Cukup teduh. Beberapa pepohonan rindang menaungi tanah lapang itu. Rerumputan hijau yang tampak terawat rapi terhampar di tanah lapang itu.
“Kemarilah, Ra. Ngapain lo berdiri aja di situ?”
“Subhanalah, Abu. Gue baru tahu, di sekolah kita ada tempat seindah ini.”
Mata Zahra yang bulat indah tampak berbinar melihat tempat itu. Ia melempar liar pandangannya ke sekeliling halaman itu.
“Iya, gue maklum kok. Lo kan emang anak baru di sini.” Abu berkata sambil duduk di atas rerumputan tebal itu.
Beberapa bunga sengaja ditanam di pinggir halaman itu. Bunga kertas, begitu orang memanggil bunga yang berwarna-warni ini. Penataan warna bunga-bunga itu pun sepertinya telah diatur sebelumnya. Indah sekali.
“Kok, lo tahu tempat seperti ini sih?” Zahra masih memanjakan matanya dengan pemandangan yang berjuta warna itu. “Bahkan, hampir tidak ada siswa di sekolah ini yang tahu tempat ini.”
Abu tersenyum melihat ekspresi Zahra sore itu. “Lo suka, Ra?”
“Iya, Abu. Besok gue bakal cerita ke Ali tentang tempat ini.” Zahra berkata dengan penuh semangat.
“Apa? Kenapa harus Ali?”
“Maksud lo?” Mata Zahra tampak bertanya-tanya. Bahkan alis matanya yang tebal terlihat hampir bertemu.
“Ah, nggak. Maksud gue, Ali nggak akan suka dengan tempat ini.” Abu bingung harus berkata apa. Ia tidak ingin Zahra tahu tentang nada kecemburuannya. Dan ah, tidak mungkin Abu cemburu dengan Ali, karena ia tahu betul, Ali tahu tentang perasaannya pada Zahra.
“Abu, bukankah kita biasa bertiga. Ali harus tahu tempat ini. Nggak mungkin, kan lo nggak kasih tahu Ali tentang tempat senyaman ini?” Zahra makin terlihat antusias.
“Okay. Terserah lo, deh, Ra.” Abu mulai merebahkan tubuhnya di atas matras rumput yang cukup tebal. “Kemarilah, Ra.” Sekali lagi Abu mengajak Zahra.
Awalnya Zahra ragu-ragu untuk ikut merebahkan diri di samping Abu. Gadis berhijab ini cukup baik pengetahuan agamanya. Mana mungkin ia harus sebegitu dekatnya dengan Abu, apalagi hanya berdua. Bagaimana jika setan tiba-tiba ikut campur di antara mereka?
“Hey, Ra. Nggak usah setakut itu.”
Zahra tersenyum tipis membalas kalimat Abu.
“Gue tahu batasan kok. Tenang aja, gue udah jinak kok. Lo percaya gue, kan?”
Zahra kembali tersenyum dan duduk di samping Abu sekarang.
“Kalau lo ragu, kita beradu kepala aja. Gue hadap sini dan lo hadap sana.”
Mendengar kalimat Abu yang meyakinkan, Zahra pun menuruti Abu. Ia mulai ikut merebahkan diri di rerumputan itu.
Sekarang, mereka berdua saling beradu kepala. Abu dan Zahra sama-sama memandang langit senja.
“Subhanalah, ini indah sekali, Abu.”
“Iya, Ra. Ini tempat kedua yang ingin gue tunjukkan pada lo. Lo suka?”
“Iya. Ini luar biasa, Abu.” Mata Zahra kembali berbinar melihat lukisan Allah di langit senja itu. Beberapa gugusan awan berjajar rapi dengan gumpalan-gumpalan putih gading. Warna jingga sang senja berpadu selaras dengan biru langit dan abu-abu mencipta gradasi warna yang menakjubkan mata.
“Tadi lo tanya, kan, Ra, dari mana gue dapat ide-ide buat nulis? Jawabannya di sini.” Abu menghentikan kalimatnya dan tersenyum. “Melihat lukisan senja di atas sana sambil tiduran di matras rumput ini, bisa menghadirkan imajinasi, Ra.”
“Lo bener. Ali harus tahu tempat ini.”
Sekali lagi Zahra menyebut nama Ali. Mendengarnya, Abu mulai gelisah. Mengapa Zahra ingin sekali mengajak Ali ke tempat ini. Apakah di pikiran Zahra hanya ada Ali? Abu mulai gusar dengan semua pertanyaan yang melintas di hatinya.
Semakin Abu berusaha untuk menghapus prasangkanya itu, semakin banyak lagi pertanyaan lain yang hadir. Bukankah Ali terlalu tengil untuk seorang Zahra yang lembut dan sholehah? Apa karena Ali anak orang kaya, hingga Zahra lebih mencintai Ali dari padanya? Astaghfirullah, apa benar Zahra jatuh cinta pada Ali dan bukan dirinya?
***
“Hey, Abu, assalamualaikum.”
“Eh, waalaikumsalam.”
“Nglamun aja dari tadi. Lagi nulis apa sih, lo?” Zahra tersenyum pada Abu dan mencoba melihat ke arah laptop yang dibiarkan terbuka oleh Abu.
“Eh, nggak kok.” Abu buru-buru menutup laptop yang masih menyala begitu saja.
“Pelit banget sih diintip dikit aja.” Zahra memulai ledekannya. “Tenang, nggak bakal bocor kok sebelum launching.”
“Apa sih, lo, Ra.”
“Buku yang ke berapa nih?”
“Sudahlah, Ra. Jangan bahas yang begituan yak.”
Zahra tertawa mendengar kalimat Abu itu. “Apa? Bukannya dulu lo paling betah kalau diajak ngobrolin tulisanmu?”
“Itu dulu, Ra. Sekarang … .”
“Sekarang lo udah mahir dan professional. Jadi lo nggak butuh gue untuk editorin naskah lo, kan?” Belum selesai Abu dengan kalimatnya, Zahra sudah nyamber dengan argumennya.
“Tuh kan. Lo jadi suudzon.”
“Astaghfirullah, maaf.” Zahra menutup bibir mungilnya dengan telapak tangan.
Senja kali ini lebih terang dari biasanya. Tidak ada mendung yang menghalangi sang senja menjingga. Awan putih pun berarak tenang memulai formasi mereka. Burung-burung pun mulai riuh terbang pulang ke sarang. Sedang angin, terasa membelai lembut kain hijab Zahra yang terjuntai.
“Setelah ini, lo ada acara kemana, Ra?”
“Hm, nggak, nggak mau kemana-mana kok. Kenapa?”
Abu tersenyum, “Yuk, masuk. Gue mau ajak lo ke suatu tempat.”
“Kemana?” Zahra mengernyitkan dahinya.
“Udah, ikut aja.”
Abu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalanan di kota itu seperti membuka kembali lembar-lembar kenangan yang telah sekian tahun ia tutup. Sejak dua minggu lalu, lembaran itu pun seakan terbuka dan terbaca kembali satu demi satu.
Pun sore itu. Abu membuka kembali lembar yang ke sekian. Saat mobil yang dikemudikannya berhenti di sebuah gerbang yang tergembok itulah, Abu mulai membuka lembar kenangannya bersama Zahra.
“Loh, ini kan SMA kita?”
“Iya, yuk kita turun!”
“Mau ngapain? Bukannya gerbang terkunci?”
Zahra heran dengan ajakan Abu. Apa iya dia harus melompati pagar? Atau apa yang akan mereka lakukan di depan pagar yang terkunci?
“Sudahlah, ikuti gue aja. Tar lo juga akan tahu.”
Zahra terpaksa kembali mengikuti kata-kata Abu. Baginya, Abu tidak berubah. Dia tetap lelaki yang dikenalnya dulu. Lelaki misterius yang penuh dengan kejutan-kejutan manis.
Sekarang, mereka berdua telah berada di depan gerbang. SMA Pelita Harapan. Sekolah yang mengenalkan ketiga sahabat itu, Abu, Zahra dan pastinya, Ali. Tiga orang dengan karakter dan kegemaran yang saling berbeda. Ali yang beginjalan, cuek dan otomotif lover, Abu yang super cool, kharismatik yang sport lover dan Zahra yang lembut, agamis dan cukup serius.
Ternyata, untuk bersama, tidak harus sama atau menyukai hal yang sama. Mempunyai tujuan dan niat yang sama bisa membuat mereka terus bersama. Tujuan mereka bertiga sama, menulis dan berbagi manfaat pada orang lain.
Saat SMA, Zahra adalah pimpinan redaksi majalah sekolah. Ali dan Abu adalah penulis tetap di majalah itu. Waktu itu, remaja seusia mereka cukup menyukai modifikasi motor. Maka Ali adalah langganan pengisi kolom otomotif di majalah itu. Bahkan Ali berusaha memodifikasi sendiri motornya untuk jadi bahan tulisannya.
Pun Abu. Ia pengisi kolom cerpen dan opini. Isi tulisan Abu sangat mengena dibaca remaja seusia mereka. Meski terlihat macho dan perlente, ternyata hati Abu cukup melankolis. Itu terlihat dari cerpen-cerpen Abu yang masih tentang hujan, jomblo, jatuh dan mencinta.
Tak beberapa lama, Abu dan Zahra hanya berdiri terdiam di depan gerbang. Hingga tiba-tiba Abu memegang tangan Zahra dan menariknya dengan sedikit berlari. Zahra terkesiap dengan semua ini. Kali ini rupanya buku kenangan milik Zahra yang terbuka lembarannya. Ia ingat betul hal ini. Saat Abu melakukan hal yang sama padanya, sekian tahun lalu.
Dugaan Zahra benar saja. Abu mengajaknya ke tempat yang sama. Hamparan rumput di halaman belakang sekolah masih sama seperti dulu. Tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya beberapa pohon yang mungkin terpaksa diganti karena sudah terlalu tua.
“Lo masih inget tempat ini, Ra?”
“Tentu. Tempat ini masih saja indah.” Zahra melempar tatapan ke seluruh bagian halaman. Ia seakan ingin menemukan perbedaan tempat itu dari waktu lalu. Tapi tak juga ia temukan.
“By the way, kok tadi lo tahu cara masuk ke sini?”
Abu tersenyum mendengar pertanyaan Zahra. “Lo lupa, Ra? Tempat ini aku dan Pak Jo yang bikin begini, termasuk pintu rahasia di sebelah sana tadi.”
Zahra mengangguk tanda mengerti. Ia melihat ke arah Abu menunjuk. Tanpa ia sadari, tadi ia melewati pintu yang disebut Abu sebagai pintu rahasia.
Posisi pintu itu memang sangat rahasia. Di balik rerimbun bunga penitian yang tertata rapi. Pintu itu terbuat dari batang tanaman bamboo hias. Jadi tidak terkesan pintu. Hanya tampak seperti pagar dari bamboo. Meski juga terkunci, Abu tahu cara membukanya. Zahra tidak lagi menanyakan keingintahuannya. Ia tak lagi peduli tentang bagaimana Abu bisa membuka pintu itu. Yang pasti, Zahra tetap mengagumi tempat istimewa mereka saat SMA ini.
“Masih mau menikmati langit senja, Ra?” Abu memandang langit sore yang mulai beranjak senja.
“Tentu, Abu. Tiba-tiba aku kangen dengan langit senja.” Tanpa komando dari Abu, Zahra lebih dulu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.
Abu pun melakukan hal yang sama. Masih dengan formasi seperti dulu, saling beradu kepala.
“Lihatlah, Abu, warna senja itu masih sama seperti dulu.”
“Iya, Ra. Nggak ada yang berubah.” Abu berbisik lirih. Andai Zahra bisa mendengar isi hati Abu, ia pun ingin mengatakan bahwa perasaannya pun tetap sama. Bahkan rindu yang menggunung, menambah besar rasa cintanya pada Zahra.
“Oya, Abu. Lo nggak kasih tahu Ali kalau lo sudah balik?”
“Ali?”
“Iya, Ali, sahabat lo.”
“Hm, belum, Ra. Gue udah lama lost contact dengan Ali.”
“Hm, lo bayangin nggak sih, Abu, andai kita bisa bertiga lagi di sini? Memandang langit senja bertiga lalu berlomba menuliskannya. Kayak waktu itu. Lo ingat, kan? Ali pasti paling berantakan tulisannya.” Zahra tertawa ringan sambil terus memandang langit jingga di atas sana.
Sedang Abu? Abu hanya tersenyum mendengar celoteh Zahra. Masih tentang Ali. Cerita yang terdengar tanpa dosa ia gelontorkan ke telinga Abu begitu saja. Terpaksa mendengarnya, membuat hati Abu kian berkeliaran kemana-mana. Kecemburuan makin mengikat kuat kegelisahannya tiap kali Zahra menyebut nama Ali. Hanya doa dan istighfar yang mampu ia ucapkan. Ya, hanya sebatas doa, Abu melangitkan besar cintanya pada Zahra.