Dalam Hati Saja
“Pergilah! Jika datangmu sekadar singgah. Karena di sini bukan hanya ada kopi, Sayang. Tapi juga hati untuk pulang.”
Abu memandang kosong ke luar jendela. Kaca yang makin berembun, tak menghalanginya untuk tetap melempar tatapan ke luar café. Sedang jalanan makin melengang. Hanya beerapa kendaraan yang sengaja terparkir, dan sesekali orang berpayung melintas di depan café.
Hujan
Gerimis senja itu makin merapat. Petrichor makin menyeruak hingga ke dalam care. Sudah tida hari, hujan memang tak menyapa bumi. Pertrichor senja itu mungkin luaan rasa tanah pada gempita yang membasah.
“Sial!! Aroma petrichor makin melambungkan imajiku, mengais serakan disksi, dan memapahku dalam fiksi.”
Terlihat Bau mulai sibuk memainkan enanya di atas buku kecil yang selalu ia bawa. Sepertinya, bayangan hujan di luar sana mulai mengusik isi kepalanya. Masih juga seperti biasa, Zahra menjadi objek utama dalam tiap kalimat yang disusunnya.
“Apa lagi yang bisa kutuliskan selain rindu? Hangat dalam manis yang teramat pekat serupa secangkir kopi ini, Sayang.”
***
“Hey, Abu, ngapain lo di sini?” Zahra tiba-tba muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat panis saat mata bulatnya melihat Abu sedang duduk bertopang dagu di mejanya. “Lo nyari apa?” Mata Zahra masih saja berusaha menyelidik ke seluruh bagian meja.
“Tenang, Ra, panik gitu muka lo.” Abu menjawab dengan nada yang biasa-biasa saja. Seolah kehadirannya siang itu di ruang redaksi majalah sekolah, tidak aneh baginya.
“Loh, tapi, ngapain lo duduk di kursi gue?”
“Oh, ini kursi lo? Oh, ya, maaf, gue lupa. Lo kan pimred, ya di sini.” Abu segera berdiri dan mulai beranjak meninggalkan meja Zahra.
“Jadi?” tanya Zahra.
Abu hanya melotot dan sedikit mengangkat kedua pundaknya.
“Tadinya, sih, gue Cuma mau ketemu lo. Tapi, yaaacchh, sepertinya, gue harus bikin janji dulu deh kalau mau ketemu lo, sang pimred yang cantik.”
Alih-alih memberikan lelucon, tatapan tajam malah diberikan cuma-Cuma oleh Zahra. Namun, karena pembawaan Abu yang terbiasa cuek, ia pun melangkah meninggalkan Zahra yang masih termangu kesal.
“Kenapa, sih, kamu selalu aja menyebalkan!” umpat Zahra setelah yakin bahwa Abu telah benar-benar meninggalkan ruangannya.
“Agar kamu terus mengingatku, Ra.”
Mendengar suara Abu yang jelas tertangkap daun telinganya itu, Zahra langsung memutar badannya.
Yang ada, di hadapannya adalah Abu, dengan senyum tipisnya yang kharismatik. Lalu, pergi meninggalkan Zahra yang masih geming menata rasa malu. Bahkan, saking malunya, pipi gadis berhijab putih itu pun bersemu merah.
“Bodoh, Zahra! Apa yang kamu lakukan barusan?” umpat Zahra pada dirinya sendiri.
Lepas dari sebuah penyesalan atau apalah itu, Zahra melangkah menuju kursi redaksi. Selembar kertas dengan pena di atasnya membuat Zahra makin tertarik untuk menyelidik. Ada tulisan tangan pada lembaran itu. Hanya coretan, tapi cukup rapi. Bahkan, tulisan itu sangat bagus. Tidak terlalu panjang, bukan surat. Hanya beberapa kalimat sederhana dalam satu paragraf.
“Ada sesat yang teramat, saat pekat menggoda sesap. Ada endap yang merapat saat geliat makin lekat. Aku rindu kamu, Sayang.”
Ada gambar secangkir kopi di samping tulisan itu. Entah tulisan siapa. Yang pasti, sekarang, Zahra geming memandangi gambar cangkir dan penggalan sajak itu. Gemetar jemarinya mulai meraih lembaran itu. “Punya siapa ini? Nggak ada nama penulisnya juga. Aneh!” gumam gadis berparas lembut itu.
***
“Assalamualaikum. Sudah puas belum day-dreaming-nya?”
Mendengar salam yang terucap lembut, Abu pun terkesiap.
“Zahra? Waalaikumsalam,” jawab Abu terdengar sedikit terbata.
“Ih, napa lo gugup gitu? Kayak ngelihat hantu aja lo.”
“Eh, iya, eh, maksud gue udah lama lo di sini, Ra?”
“Udah lah. Udah sejaman.”
“Apa?”
Zahra makin terkekeh melihat ekspresi wajah Abu yang makin salah tingkah.
“Lo napa sih, Abu?”
“Lo yang kenapa?”
“Lah, kok gue?”
“Ngapain lo dari sejam lalu di sini nggak nyapa gue?”
Bukannya menjawab, Zahra malah tertawa lepas. Baru kali ini Zahra terpingkal seperti itu. Hingga tanpa sadar, pengunjung café yang duduk di sebelah meja mereka pun melirik kea rah Zahra.
“Ups! Tawa gue keterlaluan, ya?”
“Bukan tawa lo yang keterlaluan, Ra! Tapi lo nya tuh.”
“Lah, kok gue lagi?”
“Jangan ketawa lagi. Ntar diketawain orang sebelah lagi. Cantik-cantik masak iya, ngakak?”
“Ah, Abu!” Zahra terlihat tersipu.
“Eh, iya, beneran lo udah di sini sejam?”
“Ya, nggak lah. Lo nglamun apa emang? Sampai senyum-senyum gitu? Hayo apa hayo?”
“Nggak kok. Lagi ngitung hujan, nih, di luar. Lagian lo lama banget.”
“Iya, maaf. Kan hujan, mobil juga masih dibawa mama. Cari taxi on line lama juga nyantolnya.” Zahra mencoba menjelaskan dengan sesekali tersenyum khas Zahra.
Selesai mendengar penjelasan singkat gadis yang masih jadi objek tulisannya itu, Au mengangkat tangan kanannya. Ia melambai pada waiter café, lalu memesan secangkir coklat panas untuk wanita di depannya itu.
“Pesan buat siapa?”
“Lo.”
“Kok coklat panas?”
“Loh, bukannya lo suka coklat panas?”
“Sejak kapan, Abu?”
“Sejak … .” Abu menghentikan kalimatnya. Bola hitam di matanya bergerak, seolah menandakan bahwa ia sedang mengingat sesuatu. “Astaghfirullah.” Abu seakan tersadar sesuatu.
“Siapa yang biasa lo pesenin coklat panas?”
“Hm, sepupu gue.”
“Yakin, lo?”
“Iya, Ra. Jadi, kalau pas hujan gini, dia biasa pesen coklat anas.”
“Lo yakin, Abu?”
“Maksud lo, Ra?”
“Ah, lupakan!”
“Kenapa, ya, lo nggak bisa bosen dengan kaa ‘lupakan’? Lo pikir melupakan itu mudah?”
“Loh, kok lo marah sih, Abu? Harusnya gue, dong.”
“Siapa sih, Ra yang marah? Apa bisa gue marah sama lo? Pernah, ya?”
“Nggak, sih.” Zahra menggores senyum terpaksa di wajahnya.”
Masih ada sisa kesal yang menderu di hatinya. Bahkan, belum lagi rasa itu pergi, seorang waiter datang membawa secangkir coklat panas. Dengan segenap keramahan, ia sampaikan pesanan itu di meja.
“Maaf, coklat panasnya buat masnya aja, ya.” Zahra berkata pada pelayan itu. Dengan nada sedikit memaksa ramah, Zahra meletakkan kembali cangkir merah jambu itu di nampan yang dibawa sang pelayan.
“Zahra?” Abu lembut memanggil Zahra. Namun, seakan tak mendengar, Zahra tetap saja melakukan semaunya.
“Saya pesan lagi hot moccacino, ya.” Senyum manis mengakhiri dialog Zahra dengan pelayan yang masih berwajah bingung.
“Ra, lo kenapa, sih?”
“Nggak pa pa, emang kenapa? Lo lagi nunggu orang lain lagi selain gue?”
“Iya, nggak. Tapi kan … .”
“Kenapa, Abu? Lo pesen buat gue, kan? Kalau gue nggak suka, ya nggak pa pa kan gue ganti?”
“Iya…, tapi … .”
“Tapi apa lagi?” Nada suara Zahra tiba-tiba meninggi. Abu mulai sadar bahwa Zahra mulai marah.
Bukannya cemas, Abu malah menggambar segaris senyum di wajahnya.
“Lo nggak lagi cemburu, kan, Ra?”
“Cemburu? Sama siapa? Sepupu lo? Nggak lah.”
“Alhamdulilah.”
“Kok alhamdulilah?”
“Karna lo nggak cemburu.”
“Jadi, lo nggak suka gue cemburuin?”
“Apa?”
“Lu… .” kalimat Zahra terhenti. “Ah, sudahlah, Abu. Maafin, gue.”
Hening.
Hanya suara titik-titik hujan menampar paving trotoar depan café. Serta riuh embusan angin bersama tempias hujan menyapa kaca jendela café.
--- dalam hati ---
“Ingginnya, berlama-lama duduk denganmu saja. Meski tanpa kata yang mampu tereja, hanya mata yang menjangkau sua.” (Abu)
“Kadang, benda mati pun ingin dimengerti. Apalagi, seonggok daging bernyawa ini.” (Zahra)